Selasa, 27 Maret 2012

Kehormatan dan Jalan Hidup

Satu kali sempat saya lihat mantan pejabat penting lewat tak jauh dari saya. Beliau menggunakan batik, masih gagah seperti dulu tetapi nampak ada yang “berbeda” dari penampilannya. Beliau tidak lagi selalu didampingi asisten pribadi dan satu satuan pengamanan. Dengan tas “pasar” yang dikaitkan ke bahu dan dikepit diketiaknya, beliau menjadi sangat tidak “beliau.” Ada yang tak manis dilihat (saudara malaysian mungkin akan mengatakan, “macam ada yang tak kena la”). Sempurna kesan itu ketika saya memperhatikan beliau berjalan kaki sendirian ke samping gedung menuju gerbang.

Ya, saya terbiasa melihat beliau dengan kelengkapan fasilitas sebagai seorang pejabat penting. Memiliki lift kantor pribadi, dikerubuti bawahan-bawahannya, pengawalan setiap saat, sampai-sampai mungkin beliau tidak pernah menyentuh knop pintu mobilnya, karena akan selalu ada orang yang melakukan itu. Begitu tidak lazim melihat penampakan beliau ketika itu. seakan-akan kehormatan dan kewibawaannya sirna dihapus oleh tampilan yang tidak biasa seperti itu. Hal inilah yang membuat saya memikirkan lebih lama. Apa yang salah? Siapa yang salah?

Mungkin saya yang salah sampai berfikir seperti itu, atau mungkin hanya saat itu saja penampilan beliau tidak tepat untuk dimaklumi. Tetapi yang menarik hati saya untuk tenggelam lebih dalam bersama aliran fikir dibenak dan rasa adalah mungkin karena memang kehormatan dan kewibawaan beliau hanya direpresentasikan oleh kelengkapan fasilitas sebagai seorang pejabat. Kehormatan dan kewibawaan beliau ada hanya karena jabatan dan seremoni-seremoni protokoler yang memang sudah dikondisikan untuk memposisikan beliau sebagai manusia terhormat. Ya kehormatan dan kewibawaan hanya melekat pada jabatan bukan pada manusianya.

Namun kalau dilihat dan difikirkan lebih luas, fenomena ini lazim saja sepertinya. Skenario karir hidup formal kebanyakan orang baik yang tengah berlangsung maupun yang dicita-citakan, ya seperti inilah umumnya. Skenario hidup yang diawali mampu kuliah di perguruan tinggi ternama, bekerja di perusahaan bonafid dan menduduki jabatan puncak, atau menjadi pengusaha sukses dan menjadi boss dimana-mana. Tetapi setelah itu pensiun and suddenly you become nobody.

Seperti itukah jalur hidup yang akan menjadi sejarah kehidupan saya? Ditengah keasyikan saya merenung dan berimajinasi, kalimat tanya inilah yang muncul. Kebingungan saya tidak lama kok untuk menjawab pertanyaan ini. karena memang saya sangat tahu jawabannya. Tulisan saya yang secara paralel sedang saya susun rasanya tepat menjawab pertanyaan ini. Saya tegaskan di tulisan itu, saya ini aktifis, kerja-kerja saya yang utama adalah menegakkan nilai-nilai dengan amal-amal yang memposisikan diri sebagai “pelayan” manusia lain (kerja dakwah). Sehingga karir formal (kerja nafkah) saya hanya menjadi salah satu kerja dalam kerja utama itu. Dan yang terpenting karir hidup yang saya pilih ini tidak mengenal pensiun!

Bagaimana dengan kehormatan dan kewibawaan? Duh maaf, saya sangat sadar “karir hidup” ini tidak menyediakan itu. Tetapi jikapun memang ada saya akan minta kehormatan itu bukan datang dari penduduk bumi (manusia) tetapi dari penduduk langit. Namun sebenarnya berlebihan pula kalau kehormatan menjadi motivasi karir hidup ini atau menjadi sangat tak elok jika saya menuntut-nuntut mendapatkan itu. Biarlah itu menjadi ranah dan wewenang Pemiliki Segala Kehormatan. Saya lakukan karir hidup ini karena Tuhan yang perintahkan dan jika ada yang lebih dari itu, saya lakukan ini karena saya tidak ingin sekejap pun merasakan dahsyatnya siksa neraka (maafkan saya bunda Rabi’ah Al Adawiyah, saya tak bisa mulia seperti bunda).

Nah, kini yang sulit adalah bagaimana menjaga diri untuk fokus pada orientasi dan konsentrasi pada visi karir hidup ini. Ditengah gelombang cobaan dan badai ujian hidup yang datang bertubi-tubi disertai dengan angin sepoi-sepoi nafsu yang terus menggoda, tentu penjagaan diri untuk fokus dan konsentrasi begitu luar biasa susahnya. Dan salah satu jalan untuk fokus dan konsentrasi adalah membebaskan diri dari kelaziman skenario hidup formal yang ada, membebaskan diri dari parameter-parameter kenyamanan hidup yang artificial, tidak terikat dan bergantung pada fasilitas hidup yang memabukkan serta keluar dari rutinitas seremoni dan protokoler materialistik.

Loh, kalau seperti itu, gaya hidup yang bagaimana itu? Ya ga tau, saya belum memiliki bayangan seperti apa, saya jalani saja dengan pedoman nilai-nilai yang saya yakini. Dengan nilai-nilai itu sebagai karir hidup saya, mungkin saya berharap akan ada kelaziman baru dalam menjalani hidup. Tapi mungkin ada baiknya tidak perlu terlalu banyak bertanya, mari kita bereksperimen saja. Just do it! Wallahu a’lam..

Senin, 26 Maret 2012

Gundah..

Masih belum ikhlas dengan keputusan yang sudah anda ambil, karena anda masih terbayang-bayang pilihan lain yang terus menari di benak anda? Masih belum terima dengan kejadian baru lalu, meski sudah diingatkan itu takdir Tuhan yang ketentuannya telah ditetapkan sebelum anda lahir? Masih berandai-andai, kalau anda sepatutnya bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik, kalau saja anda tidak memilih apa yang sudah dipilih dan melakukan apa yang tidak pernah anda lakukan?

Entah yang menjadi objek kebimbangan serta kegundahan anda itu adalah karir, harta, jabatan, jalan dan gaya hidup, atau mungkin jodoh. Intinya kebimbangan dan kegelisahan itu mengganggu maju dan lajunya jalan hidup anda saat ini. Gangguan itu menghabiskan energy yang seharusnya dapat digunakan untuk mencapai hal lain. Gangguan itu dapat membuat kerja-kerja yang ada didepan mata menjadi tak maksimal, baik proses maupun orientasinya. Dan pada akhirnya gangguan ini akan menghasilkan kebimbangan dan kegelisahan baru, memunculkan gangguan-gangguan selanjutnya.

Saya tidak ingin menggurui anda, tidak juga ingin memberikan resep jitu agar kebimbangan dan kegundahan itu hilang. Karena saya menulis ini sebenarnya mungkin sedang ingin membagi kebimbangan dan kegundahan versi saya atas apa yang saya alami. Saya ungkapkan ini dalam rangka mendapatkan visi lain atau perspektif yang berbeda. Karena kok lama-lama semakin mengganggu ya, kok hal yang seperti ini selalu ada dan muncul ya? Jangan-jangan, ada yang salah dengan cara saya hidup? Masa sih saya selalu melakukan kesalahan yang sama?

Sesuatu yang selalu muncul itu biasanya masalah hidup, ujian, cobaan atau bala penggugur dosa. Ups interupsi, saat paragraf ini belum selesai saya tulis, tadi saya shalat dzuhur di satu masjid, dan subhanallah, sepatu saya hilang. Sambil duduk lama di tempat penyimpanan sepatu itu saya tersenyum. Sungguh sangat banyak alasan yang membenarkan Tuhan memberikan musibah ini, apalagi jika dilihat dari beberapa dosa yang sudah saya lakukan. Saya sangat berharap, dosa saya gugur karena kehilangan ini. Tapi sempat nakal juga fikiran saya tadi, karena di benak saya sampai keluar kalimat; “iya mau banget gugurin dosa, tapi jangan dengan sepatu itu.”

Hhh.. kalau saja saya tidak pakai sepatu yang itu, seandainya saya titipkan ke tukang semir sepatu, jika saja saya tidak terlalu lama di masjid. Hey, hati-hati fikiran ini kalau diteruskan bisa-bisa bermuara pada penyesalan takdir, mengeluh pada kehendak Tuhan atau bahkan menyalahkan apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Padahal (untuk kesekian kalinya) gelisah, gundah, khawatir, sakit, musibah dan bencana itu menggugurkan dosa. Dan ketetapan-ketetapan itu sudah merupakan skenario terbaik Tuhan untuk kebaikan diri kita sendiri. Semua ini ada dalam remote-Nya. Kadang kita bisa terima ketetapan itu, tetapi seringkali kita tidak mampu mengikhlaskannya.

Well, seperti itulah hari-hari, berganti dari satu cobaan ke cobaan yang lain, berganti dari satu gundah ke gundahan yang lain. Mudah-mudahan pergantian itu hikmahnya adalah bergugurnya dosa yang satu ke dosa yang lain. Dan semoga kecepatan pengguguran dosa lebih cepat dari penumpukan dosa baru.

Jadi, mulailah belajar untuk siap menerima apa yang tidak kita harapkan. Luaskan ruang pemakluman di serambi hati untuk peristiwa-peristiwa yang tidak indah untuk dinikmati. Selanjutnya belajarlah untuk tidak panik dan cepat menikmati apa-apa yang memang sudah menjadi kehendak Tuhan.

Minggu, 25 Maret 2012

Tidur..

Tuhan sediakan malam memang untuk mengumpulkan energy. Energy yang kemudian berharga bagi aktifitas selanjutnya disiang hari. Tapi yang ingin saya soroti dan renungkan lebih lama bukanlah malam, namun aktifitan rutin malam, yaitu tidur. Pernah memikirkan tentang tidur sedikit lebih dalam? Atau selama ini kita lewati saja sebagai sebuah rutinitas? Sampai mungkin suatu saat nanti kita akan lebih memahami tidur ketika kita sudah tak mampu tidur karena sakit tertentu.

Coba sedikit fikirkan, tidur adalah tempat dimana pelakunya lepas dari semua tata-tertib dan hukum. Bahkan Tuhan mengakui itu, sampai-sampai Beliau tidak berikan dosa bagi orang tidur yang melewatkan ibadah-ibadah wajib-Nya (asalkan setelah bangun ia tunaikan kewajiban itu). Mungkin hak istimewa itu merefleksikan kondisi pelakunya, dimana dirinya saat tidur tidak memiliki kendali penuh atas dirinya, sehingga tidak layaklah ia dibebani sesuatu semacam dosa atas sesuatu yang ia tidak bisa control.

Begitulah tidur, disediakan Tuhan bagi manusia untuk sedikit rehat. Sehingga, tidur ternyata juga menjadi wahana anugerah untuk manusia dari Tuhan. Tidur merupakan bentuk nyata kasih sayang yang tak putus-putus dari Tuhan, tidak terikat dan tergantung apakah manusia itu bersyukur atau bermaksiat, mengenal dan tahu siapa Tuhannya atau tak kenal dan tak mau tahu. Kenikmatan tidur akan diberikan baik bagi yang beriman maupun yang bajingan.

Rabu, 21 Maret 2012

perang yang selalu ada

Pagi ini saya ingin melankolis. Melihat keluar jendela ruang kerja saya, nampak gedung pencakar langit yang berjejal mencoba menutupi pandangan saya pada gunung salak di ujung cakrawala sana. Langit nampak sangat biru meski awan berlapis dengan berbagai macam jenis berusaha menggenapkan panorama. Apa yang indah? Pemandangannyakah? Atau sesuatu dibalik itu?

Ya, saya merasa bukan apa yang tanpak itu indah, tetapi sesuatu dibalik itu yang membuat hati tertunduk dan bergumam pujian. Gunung dan lembah diatur sedemikian rupa, pohon dan awan ditata dengan variasi warna dan bentuknya, tak lupa matahari memberikan komposisi cahaya secukupnya, maka indahlah apa yang nampak dimata kita. Tetapi siapa yang mengatur? Siapa yang menata? Siapa pula mencukupkan komposisi, sehingga indah tertangkap oleh mata?

Gunung dan lembah tak tahu bahwa dia indah, pohon dan awan bahkan tidak peduli dengan keindahan, apalagi mentari yang tahunya hanya diam ditempatnya. Siapa yang menginginkan ini semua? Siapa yang berkehendak?

Bukan jawaban pertanyaan itu yang menjadi hikmah tulisan ini, tetapi kesadaran manusia untuk mau menjadi seperti gunung dan lembah itulah pelajarannya, menjadi pohon, awan dan matahari yang ikhlas diposisikan oleh Tuhan ditempat terbaik dan untuk kebaikan mereka sendiri. Sehingga semuanya menjadi adonan pemandangan yang harmoni dan indah untuk dipandangi.

Ya, pelajaran tentang penyerahan diri pada Tuhan, totalitas dan tanpa syarat. Kini saya pandangi diri saya lewat monitor komputer yang belum lagi saya hidupkan. Mampukah saya, karena ego saya tak kalah ngotot menuntut agar keinginannya dipenuhi, ia tak mau kalah dengan ikhlas yang sudah sampai di akal. Saya tahu setelah ini selalunya ego dan ikhlas akan berperang di hati, kita lihat saja siapa yang menang pada peristiwa-peristiwa sepanjang hari ini.

Selasa, 20 Maret 2012

Perbankan Syariah Tetangga: Pelajaran Berharga

Beberapa waktu lalu kami, Bang Cecep, Mbak Nyimas dan saya, dikunjungi tamu 2 dosen dari University of Malaya, Kuala Lumpur. Sebelumnya saya diberitahu oleh Bang Cecep kalau ada dua alumni IIUM, malaysian citizen yang ingin silaturahim, dan ketika berjumpa barulah saya tahu selain memang beliau berdua alumni IIUM (Universiti Islam Antarbangsa, UIA-biasa kami menyebutnya), mereka juga merupakan staf pengajar di UM-KL. Dan maksud mereka adalah untuk melakukan wawancara seperti apa pelaksanaan Islamic Auditing di industri perbankan syariah Indonesia.

Yang menarik perhatian saya bukanlah proses islamic auditing itu, tetapi beberapa informasi yang kami dapatkan beberapa style pengaturan perbankan syariah di Malaysia yang dilakukan oleh bank sentral yaitu Bank Negara Malaysia (BNM). Saya dengan sengaja ikut menggali informasi tersebut karena memang selama ini informasi terkait itu (best practices) sukar didapatkan.

Informasi pertama yang menarik adalah kebingungan para akademisi memahami produk-produk perbankan syariah Malaysia bahwa produk tersebut berbeda dengan konvensional, khususnya ketika dilihat dari sisi pandang ilmu akuntansi. Prinsip bahwa produk keuangan/perbankan syariah harus memiliki underlying transaction menjadi sukar dipahami untuk produk-produk perbankan syariah Malaysia, karena memang underlying-nya hanya terkesan mem-benchmark saja. Contohnya, produk mutakhir kijang emas (mungkin sama dengan produk murabaha emas di Indonesia), seorang nasabah yang ingin membeli hanya mendapatkan sertifikat kepemilikan sesuai jumlah yang ditransaksikan (ukuran yang digunakan adalah jongkong emas, dimana 1 jongkong sama dengan 100 gram), sementara ada tidaknya emas itu tidak jelas, karena jual-beli selanjutnya cukup menggunakan sertifikat tersebut.

Praktek serupa juga dilakukan pada beberapa produk klasik seperti murabaha atau bahkan produk sukuk di pasar keuangan. Sehingga disimpulkan bahwa kebanyakan produk perbankan syariah Malaysia bersifat paper based product. Hal ini diakui kedua kolega dari Malaysia ini, karena kondisi tersebut menyulitkan mereka dalam mengajarkan keuangan Islam dimana prinsip-prinsipnya secara substansial berbeda sekali dengan praktek yang dilakukan oleh industri. Terlebih lagi akuntansi (syariah) sebagai ilmu terapan (applied sciences) memang berharus sampai pada teknis penerapannya, dan akan menjadi tidak lucu kalau pada penerapannya tidak ditemukan perbedaan antara akuntansi syariah dan akuntansi konvensional dalam mengenali praktek keuangan syariah dengan keuangan konvensional.

Informasi kedua yang tidak kalah menarik adalah kontribusi akademisi yang minim dalam memberikan masukan, usulan dan kritisi pada pengembangan dan pengaturan perbankan syariah Malaysia. Selain karena media atau forum yang disediakan terbatas, style bank sentral yang begitu dominan membuat peran akademisi bersifat selected bagi mereka yang memang mendukung arah dan orientasi kebijakan pengembangan bank sentral (pemerintah?). Di Indonesia kondisi ini sudah sejak awal dihindari, atau bahkan dapat dikatakan bahwa pengembangan perbankan syariah memiliki pendekatan yang sebaliknya, yaitu membuka sebesar-besarnya peran akademisi dalam berkontribusi.

Pendekatan research based regulation tentu menuntut varian kajian dengan jumlah yang banyak dan kualitas yang tinggi untuk mendapatkan satu set regulasi yang baik, selain mendapat pandangan practicability-nya dari praktisi perbankan. Peran akademisi selama ini diakomodasi dalam setiap hearing draft ketentuan, focus group discussion TOR dan hasil Kajian, sebagai konsultan atau co-writter dalam penyusunan kajian dan forum riset perbankan syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pendekatan ini sangat wajar mengingat pula sensitifitas dan tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap kepatuhan syariah dari aplikasi perbankan syariah di tanah air. Atas kondisi itulah, pengembangan menggunakan pendekatan bottom-up ini betul-betul mempengaruhi orientasi dan arah kebijakan pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia.

Tetapi perlu diakui, kelemahan pendekatan bottom-up ini sangat bergantung pada antusiasme pasar dalam membesarkan pasar dan derajat keberpihakan pemerintah dalam memperoleh fasilitas-fasilitas untuk akselerasi pengembangannya. Namun positifnya adalah proses pengembangan yang relatif terjaga secara sistem untuk in-line denganprinsip syariah dan teori keilmuan.

Di akhir pertemuan kedua kolega dari Malaysia itu antusias sekali untuk bisa berdiskusi lebih lanjut. Bahkan mereka berharap untuk bisa aktif dalam forum-forum akademisi di Indonesia. Well, semoga Allah SWT selalu beri petunjuk pada semua upaya ini, semoga apa yang salah segera diperbaiki dan yang telah benar dimudahkan pelaksanaannya.

Kamis, 15 Maret 2012

Jembatan Mikro dan Makro Ekonomi dalam Ekonomi Islam

Sudah menjadi pengetahuan umum dan menjadi masalah klasik ilmu ekonomi, bahwa ilmu ekonomi mikro dan makro dipisahkan oleh jurang teori dan logika. Dan jurang itu hingga kini belum dapat dijembatani oleh sebuah transmisi model ekonomi yang selama ini menjadi kekuatan pembelajaran pada masing-masing ilmu ekonomi tersebut. Sepintas akan terlihat bahwa basis analisis makro dan mikro ekonomi begitu berbeda. Meskipun banyak pakar akan memaksakan kesan saling melengkapi diantara keduanya, tetapi keduanya akan berbeda dalam memandang masalah ekonomi dan lucunya secara umum keduanya seakan-akan memiliki tujuan yang berbeda. Masa sih?

Mikro ekonomi dominan bicara tentang prilaku individual yang berorientasi pada pemaksimalan kepuasan dan keuntungan, dari prilaku ekonomi (konsumen dan produsen) sampai prilaku pasar (deman dan supply). Sementara pada makro ekonomi akan banyak bicara tentang dinamika ekonomi negara dengan orientasi pembangunan (pendapatan nasional), kesejahteraan (tingkat kesempatan kerja termasuk pemerataan) dan kestabilan sistem (tingkat harga dan laju inflasi. Namun dilihat dari dua pembahasan yang ada di mikro dan makro dengan kaca mata lebih dalam, akan terlihat ketidaksinkronan orientasi keduanya. Betul secara besaran variabel instrumen mikro dan makro terlihat berjenjang dan korelatif, tetapi jika dianalisis orientasi instrumen tadi akan terlihat tidak ada korelasinya, bahkan cenderung paradoksial.

Ketika instrumen makro bicara tentang upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian stabilitas ekonomi dengan basis analisis makro (kolektif), mikro ternyata bicara tentang kepentingan individual dalam pemaksimalan kepuasan dan keuntungan yang relatif tidak peduli dengan pencapaian kolektif tadi. Dinamika makro ekonomi tentu akan menjadi lancar dan optimal ketika langkah-langkah kolektif berjalan sesuai dengan visi dan orientasi mikro ekonomi. Namun realitanya akan sulit dicapai jika melihat nature ilmu mikro ekonomi, yang visi dan orientasinya lebih bersifat individualistik. Contoh sederhana, bagaimana men-sinkronkan teori utility mikro ekonomi dengan misi wealth and income distribution-nya makro ekonomi?

Yang juga menarik, meski banyak membahas prilaku individual (baik perseorangan maupun unit bisnis), pada himpunan ilmu mikro tidak akan ditemukan pembahasan filosofi prilaku ekonomi seperti nilai-nilai hidup yang diyakini mampu mempengaruhi tingkat preferensi ekonomi, misalnya nilai akhlak dan moral atau nilai agama dan keyakinan. Pembahasan prilaku individu terkesan betul-betul bersandar pada human nature (fitrah) manusia, tanpa memperhitungkan faktor-faktor yang dapat men-shape human nature, seperti agama dengan nilai-nilai akhlak dan moralnya.

Boleh jadi disinilah letak jurang antara mikro dan makro ekonomi. Sekaligus, disinilah pula letak jembatan yang sepatutnya ada atau dibangun agar mikro dan makro menjadi satu teori yang tidak bisa dipisahkan atau bahkan sampai berkorelasi paradok secara orientasi. Nah, inti dari tulisan ini adalah sekedar ingin menawarkan bahwa dalam perspektif ekonomi Islam, jurang itu tidak ada, atau mungkin dapat secara moderat saya katakan ada jembatan antara mikro dan makro ekonomi, yaitu nilai Islam itu sendiri. Islam memiliki akidah dan akhlak yang lengkap untuk menjadi nilai bagi prilaku ekonomi pada ranah mikro ekonomi dan nilai-nilai itu harmonis dengan guidance syariah pada ranah makro ekonominya. Islam baik mikro dan makro menuntun ekonomi untuk konsisten dengan nilai dan parameter ekonomi yang bersifat kolektif. Kepentingan kolektif mendominasi aktifitas mikro maupun makro. Secara sederhana, instrumen yang melekatkan itu misalnya zakat, dimana zakat pada satu sisi mempengaruhi prilaku individual maupun pasar di level mikro dan mempengaruhi konstelasi ekonomi negara pada level makro.

Rabu, 07 Maret 2012

Kurva Indiferens dalam Ekonomi Islam


Ketika ingin memahami teori prilaku ekonomi, biasanya pada bagian awal akan disuguhkan penjelasan mengenai teori marginal utility function. Teori ini mencoba menjelaskan logika kepuasan seseorang yang akan selalu coba dimaksimalkan dan dapat berubah bergantung pada kemampuan orang tersebut. Kepuasan yang dilambangkan dengan unit utility (manfaat) dikembangkan secara paralel oleh William Stanley Jevons (1871), Karl Menger (1871), Leon Walras (1874) dan Alfred Marshall (1874 – meski bukunya baru dipublikasi tahun 1890).

Teori utility menyebutkan bahwa total utility (kepuasan) akan selalu bertambah dengan bertambahnya konsumsi suatu barang, tetapi penambahan (marginal) utility-nya pada titik tertentu akan semakin berkurang terhadap konsumsi barang tersebut. Meski begitu teori ini dipandang masih memiliki kelemahan karena; (i) kepuasan merupakan hal yang sangat subjektif sekali sehingga tidak dapat dikuantitatifkan; (ii) tidak berlaku untuk semua barang, misalnya barang yang dipakai sekali dan berusia panjang seperti rumah dan sejenisnya; dan (iii) sepatutnya mempertimbangkan faktor waktu, karena waktu secara signifikan menentukan tingkat kepuasan.

Teori utility ini memang cenderung berguna memahami prilaku ekonomi di sisi konsumsi. Namun karena aspek konsumsi begitu mendominasi dinamika ekonomi, teori utility otomatis menjadi krusial posisinya dalam ilmu ekonomi (mikro). Preferensi konsumen menggunakan teori ini relatif diseragamkan, artinya meski teori ini berbasis individual (bukan kolektif) setiap individual dinilai memiliki parameter sama untuk menilai kepuasan.

Namun ketika kelemahan pertama dari teori ini (subjektifitas sebuah kepuasan) ingin didalami, maka pada masa selanjutnya muncul pula teori utility yang menggunakan pendekatan indiferens. Pendekatan ini secara garis besar ingin mengatakan bahwa setiap orang dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang sama tetapi berbeda kombinasi barang yang dikonsumsi. Nah titik-titik kombinasi barang yang berbeda namun memiliki tingkat kepuasan yang sama inilah yang disebut dengan kurva indiferens (kurva tingkat kesukaan/kepuasan yang sama). Teori ini dipelopori oleh Sir John R Hicks dalam bukunya Value and Capital (1939).

Berdasarkan teori utility menggunakan pendekatan indiferens ini, naik dan turunnya kepuasan dihubungkan dengan kemampuan beli (purchasing power) dari seorang konsumen, sehingga faktor yang menentukan kepuasan dalah hal ini adalah pendapatan (income-M) dan harga barang (price-P). Dan satu hal yang juga penting adalah kurva indiferens juga menjelaskan prilaku konsumen yang relatif akan rela berkorban lebih banyak untuk mendapatkan sedikit barang lain ketika konsumen telah memiliki barang itu dalam jumlah yang relatif banyak. Kecenderungan inilah yang disebut marginal rate of subtitution. Dan ini lah yang menjelaskan bentuk cembung kurva indiferens, dimana kedua ujungnya mendekati nol. Tetapi secara substansi teori utility tidak berubah, teori ini tetap berbasis individual dengan parameter konsumsi barang yang bersifat material. Bagaimana teori ini dipandang menggunakan perspektif Islam?

Tentu sebelum sampai pada teknis penjelasan menggunakan formula dan kurva, perlu dipahami secara mendalam filosofi prilaku ekonomi khususnya konsumen yang menggunakan nilai-nilai Islam. Moral Islam mengajarkan bahwa kepuasan seseorang dibangun tidaklah berbasis individual tetapi kolektif. Filosofi ini bersumber dari axiom yang diinspirasi oleh hadits “tidak beriman seseorang ketika ia bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan.” Dengan filosofi ini kepuasan seseorang bukan hanya ditentukan oleh konsumsi pribadi dirinya tetapi juga belanja amal shaleh (charity-good deeds) bagi orang lain yang membutuhkan.

Jika ingin menjelaskan filosofi ini menggunakan instrumen bantu, mungkin dapat dilakukan menggunakan skema budget constrain dan kurva indiferensnya Hicks (1939). Namun perlu disesuaikan ukuran-ukuran pemuasannya. Misalnya kini kombinasi barang yang keduanya material diganti menjadi kombinasi barang kebutuhan dengan belanja amal shaleh. Dengan penyesuaian ini, nilai utama Islam berupa iman dapat dimasukkan dalam fungsi preferensi konsumen yang menentukan kombinasi barang dan amal shaleh yang ingin didapatkan. Iman yang semakin meningkat maka konsumsi akan cenderung membanyak pada belanja amal shaleh dari pada barang. Tetapi penurunan belanja barang (sebagai trade-off/kompensasi dari peningkatan belanja amal shaleh) akan terhenti pada titik minimum kebutuhan dasar (basic needs).

Dari skema ini akan banyak informasi yang didapatkan terkait prilaku konsumsi/ekonomi menggunakan perspektif Islam ini. Misalnya belanja amal shaleh ini akan berimplikasi pada penyediaan kesempatan pada masyarakat dhuafa untuk memiliki purchasing power, yang digambarkan dengan munculnya budget constrain baru dalam skema tersebut. Hal ini bermakna pula bahwa prilaku berbasis kolektif ini memang bertujuan untuk mengajak sebanyak mungkin orang untuk aktif dalam ekonomi. Atau dengan kata lain konsep ini ingin menjelaskan bahwa prilaku itu bertujuan memfasilitasi kesulitan sebanyak mungkin orang dhuafa, agar mereka tetap tidak terhambat secara ekonomi fungsi penghambaannya kepada Allah, ketika ada tuntutan-tuntutan ibadah ditengah kesulitan hidup mereka.

Namun pertanyaan selanjutnya yang tidak kalah menarik adalah, apakah marginal rate of substitution yang ditunjukkan kurva indiferens akan tetap sama jika kombinasi dua barang material dirubah menjadi kombinasi barang material dan amal shaleh? Apakah dengan jumlah amal shaleh yang sudah banyak seseorang akan willing berkorban lebih banyak amal shaleh untuk mendapatkan sedikit barang material? Rasanya dengan iman yang selalu haus dengan amal shaleh instead of barang material, marginal rate of subtitution dalam perspektif Islam mungkin tidak akan sama. Sehingga kurva indiferens-nya tidak akan cembung khususnya pada pilihan belanja amal shaleh.

Masih perlu banyak perenungan dan analisis. Tetapi akan sangat berharga hasil perenungan dan analisis tersebut dalam memahami bentuk-bentuk ideal ekonomi yang ingin diwujudkan dalam bangunan ekonomi Islam ini. Selamat merenung.

Selasa, 06 Maret 2012

Politik Islam (juga) Politik Setoran?


Saya tidak memahami politik, baik logika maupun budayanya, atleast politik yang saat ini lazim diketahui dan dijalankan oleh para politisi. Tetapi saya ingin sekali menyampaikan kegelisahan saya terhadap satu bidang ini, mengingat perannya yang sangat penting bagi ummat. Kegelisahan ini juga muncul setelah lama mengamati praktek-praktek berpolitik (even dikalangan partai-partai Islam) yang tidak masuk atau pas dalam rasional dan logika saya.

Secara umum saya beranggapan bahwa ketika partai Islam masuk dalam ikhtiyar dan ijtihad politik, maka rasionalnya adalah apa-apa yang dilakukan dalam politik semua berada dalam bingkai Islam, dari niat, tujuan sampai dengan cara-caranya. Ketika politik sebelumnya dikenal sebagai ladang yang kotor karena budayanya dipenuhi oleh praktek korupsi, kolusi, rekayasa dan konspirasi serta dibumbui dengan lobi-lobi, sepatutnya partai Islam dengan politisinya memberikan ketauladanan seperti apa seharusnya berpolitik dengan baik dan benar. Memang dengan kondisi “kotor” yang dominan, awal-awal perjuangan politisi Islam membutuhkan energy ekstra baik secara ruhiyah, intelejensia maupun stamina.

Banyak “unek-unek” saya yang ingin saya sampaikan tentang seperti apa profil politisi itu sepatutnya. Tetapi rasanya masing-masing kita semua khususnya yang telah lama berada di dunia dakwah, tahu betul seperti apa sosok politisi dakwah itu. Sudah ada standardnya, telah terbangun gambaran itu sejak kita memahami seperti apa sosok muslim yang ideal itu. Sehingga, saya ingin langsung menyampaikan satu praktek yang dilakukan (pula) oleh politisi dakwah yang selama ini belum saya temukan jawaban rasionalnya. Apa itu? Budaya menyetor sejumlah uang untuk kepentingan jabatan politis. Seorang calon politisi atau pejabat publik yang ingin “manggung” diwajibkan menyetor sejumlah dana kepada partai yang mengusung. Apa rasionalnya ini?

Bukankah pengusungan seorang pemimpin dalam Islam inisiasinya berasal dari ummat? Bukankah kita tidak mengakui motivasi memimpin berasal dari ambisi? Sehingga logika setoran menyadi tidak relevan. Karena ummat yang menginisiasi maka dana itu sebaiknya dari ummat. Karena begitu bergairahnya ummat ingin dipimpin oleh seorang yang shalih lagi kompeten (profesional), maka tak segan-segan mereka akan berkorban menyediakan fasilitas bagi orang itu. Jadi, pemimpin betul-betul adalah orang yang terbaik diantara ummat, terbaik dalam keshalihan prilaku, ibadah dan kerja-kerja pelayanan ummat. Pemimpin tidak secara instan muncul hanya kerena mampu mendominasi jalan dengan spanduk-spanduk, poster-poster dan baligho besarnya, atau mendadak timbul di sudut-sudut kampung membagikan sembako dengan program-program bakti sosialnya. Pada saya, sungguh pemimpin-pemimpin yang muncul dengan cara-cara seperti itu adalah pemimpin yang kehormatannya runtuh sebelum ia terbangun.

Para ustadz dakwah dulu mengajarkan pada saya dan mungkin juga anda, bahwa kerja-kerja mulia itu bersyarat pada niat karena Allah, tujuannya untuk Allah dan caranya dilakukan dengan cara Allah. Nah, jika saya takar prilaku politisi dengan 3 parameter ini, maka prilaku mereka akan berhadapan dengan tembok tebal parameter ketiga, yaitu cara politisi yang tidak sesuai dengan cara Allah. Kalau sudah seperti itu, tidak mungkin kita berharap keberkahan dari politisi yang jabatannya diperoleh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan cara Allah. Ketika ukuran kelayakan seseorang untuk menjadi politisi atau pejabat dinilai dari “setoran”, apalagi kesuksesannya saat menjabat juga diukur dengan ukuran yang sama, apa rasionalnya saya harus menyerahkan kepercayaan pada pemimpin seperti ini?

Duh, bukannya saya tidak tahu kalau berpolitik itu butuh biaya, tetapi tidak dengan cara tak terhormat seperti itu. Dakwah sudah mengajarkan dan sejarah juga sudah mencontohkan, logika pembiayaan dakwah memiliki skenarionya sendiri. Pembiayaan dakwah, entah itu dilevel gerakan dakwah, masjid, majelis taklim, ustadz keliling atau di tingkat elit politik seharusnya memiliki standard bersih yang harus dijaga. Dan jika di level politik belum ada sebaiknya para politisi dakwah (aktifis dakwah) memberikan contoh seperti apa itu. kenalkan ummat dengan budaya bersih. Jadikan budaya ini menjadi budaya baru di tengah dunia politik. Bukankah peradaban baru memang berawal dari budaya baru manusia-manusianya? Islam pun begitu bukan?

Ketika ini diabaikan atau budaya lama dijustifikasi, maka akan ada gelombang pengabaian kelaziman Islam selanjutnya, atau gelombang justifikasi budaya lama selanjutnya. Misalnya, gaya hidup politisi yang katanya aktifis dakwah, komitmen dakwah yang harus simpang siur dengan lobi-lobi dan angin politik, atau kerja-kerja yang tidak nampak perbaikan ummat dengan dalih macam-macam. Khusus untuk gaya hidup, banyak politisi dakwah kebingungan (kalau tidak mau dikatakan tidak peduli) bagaimana menerjemahkan dan mengimplementasikan kuliah-kuliah kezuhudan dalam kehidupan sebagai elit politik dan pejabat publik.

Ala kulihal, semua ini seakan menunjukkan para dalang dunia politik Islam kesulitan mempercayai betapa maha kayanya Tuhan, serta tidak yakin dengan janji-janji Tuhan kalau mereka berjuang dan membantu agama Allah ini, maka Beliau akan memfasilitasi semua yang dibutuhkan oleh perjuangan. Atau mungkin penegakkan panji Allah ini lupa untuk siapa panji ini ditegakkan?

Kamis, 01 Maret 2012

Indeks Return Sektor Riil untuk Benchmark Pricing Produk Bank Syariah

Dibanyak forum, baik formal seperti seminar atau training maupun forum non-formal seperti majelis taklim dan pengajian lepas, salah satu pertanyaan kritis yang sering diajukan untuk perbankan syariah adalah keabsahan syariahnya akibat penentuan harga produk yang diyakini masih mengacu pada tingkat suku bunga. Saya ingat sekali ketika dahulu pertanyaan inipun menjadi alat utama saya dalam mengkritisi aplikasi perbankan syariah tanah air. Bagaimana mungkin disebut syariah jika harga produk syariah ditetapkan atau dihitung merujuk pada riba? Bagaimana kita dapat membenarkan logika gerakan yang ingin memusnahkan root of evil dalam praktek keuangan yaitu riba, sepanjang riba masih digunakan sebagai rujukan harga produk? Bukankah selama ada yang memakai, selama itu pula riba akan selalu ada?

Oleh karena itu, jawaban atas kritisi ini tentu sangat utama untuk didapatkan, mengingat jawaban tersebut menjadi unsur yang substansial dalam pengembangan aplikasi keuangan syariah khususnya di sektor perbankan. Jawaban atas masalah ini boleh jadi menjadi salah satu elemen kunci pembuka wawasan baru atau bahkan logika baru dalam berfikir lebih lanjut seperti apa sepatutnya sistem keuangan dalam Islam itu menjadi. Jika memang riba sebaik tidak dirujuk sebagai harga produk, variabel apa yang tepat dijadikan rujukan?

Mari kita telusuri logika praktek keuangan syariah untuk bisa sampai pada variabel yang tepat itu. Dengan absensinya riba, maka keuntungan (profit) bisnis relatif hanya akan berasal dari aktifitas ekonomi produktif, baik yang berasal dari jual-beli, sewa menyewa atau jasa. Aktifitas investasi memang juga memberikan keuntungan berupa bagi-hasil tetapi bagi hasil itu tentu bergantung pada aktifitas utama dan pertamanya yaitu jual-beli, sewa menyewa atau jasa. Karena memang aktifitas investasi merupakan aktifitas ekonomi turunan dari aktifitas utama tadi. Oleh sebab itulah produk keuangan atau perbankan syariah juga merujuk pada aktifitas usaha berbasis jual-beli, sewa-menyewa, jasa dan investasi.

Jika aktifitas bisnis itu yang menjadi basis produk keuangan dan perbankan syariah, maka penentuan harga dari produk-produk perbankan syariah sepatutnya merujuk pada tingkat keuntungan umum yang ada pada aktifitas produktif tersebut. Sehingga secara spesifik, harga produk pembiayaan sektor properti bank syariah tentu sebaiknya bersandar pada tingkat keuntungan yang umum ada di sektor properti, begitu pula sektor lainnya, dengan tentu mempertimbangkan pula faktor lain seperti wilayah geografis dan biaya operasional. Singkatnya, perbankan syariah memerlukan sebuah rujukan atau reference rate berupa indeks sektor riil yang akurat yang mencerminkan tingkat keuntungan dari sektor-sektor usaha produktif ekonomi.

Keberadaan reference rate ini pada hakikatnya bukan hanya berguna bagi industri perbankan syariah untuk menjadi salah satu pertimbangan atau rujukan dalam perhitungan penetapan harga produk-produk mereka, tetapi juga menjadi variabel yang membuat pasar sektor riil akan semakin transparan, yang berguna dalam optimalisasi alokasi sumber daya, efisiensi pasar dan akselerasi aktifitas ekonomi. Bahkan keberadaannya akan membantu pula dalam penetapan kebijakan-kebijakan publik seperti kebijakan pasar dan perpajakan.

Jika indeks return sektor riil tersedia secara akurat berdasarkan sektoral, sub-sektor atau sampai dengan komoditasnya dan diketahui pula sebaran geografisnya, tentu indeks ini akan memberikan informasi yang kaya, bukan hanya berguna bagi pelaku bisnis swasta (baik unit usaha maupun lembaga keuangan) tetapi juga berguna bagi pihak pemerintah, dari pemerintah pusat sampai dengan daerah.

Bayangkan reference rate tersedia lengkap seperti itu, kemanfaatan apa yang mungkin didapatkan perbankan syariah? dengan adanya reference rate secara lengkap tersebut, bank syariah mampu menilai lebih akurat projek sektor riil dan daerah mana yang lebih menguntungkan, memahami karakteristik dan sebaran risiko pada berbagai sektor, sub-sektor dan komoditas atau bahkan risiko pada sebaran secara geografis. menetapkan tingkat harga yang sesuai dengan kemampuan pasar dan karakteristik biaya yang dimiliki untuk mencapai optimalisasi penyaluran pembiayaan, serta dengan lebih akurat menyesuaikan strategi bisnis berdasarkan tingkat imbal hasil di pasar dan daerahnya. Lebih lanjut ketersediaan reference rate ini akan mendorong perbankan untuk mengambil keuntungan lebih besar dengan melakukan transaksi pembiayaan berdasarkan produk berbasis bagi-hasil.

Sayangnya ketika membaca argumentasi seorang petinggi salah satu bank syariah tanah air di harian Republika, Senin, 27 Februari 2012, yang menyebutkan bahwa benchmark (pricing) lembaga keuangan sepatutnya berdasarkan lembaga keuangan lain bukan berdasarkan sektor riil, saya semakin menyadari bahwa konsep ini (pricing produk menggunakan referensi keuntungan sektor riil) akan berjalan baik jika para praktisi perbankan khususnya para pimpinan bank syariah memang memiliki persepsi yang benar apa itu bank syariah. Apalagi selanjutnya jika ternyata pimpinan bank syariah salah memahami fungsi referensi rate yang cenderung diartikan sebagai sebuah price policy dari regulator. Runyam.

Saat ini Bank Indonesia sedang mencoba memunculkan reference rate ini dalam satu kajian indeksasi return sektor riil sebagai benchmark pricing bagi produk perbankan syariah. semoga Allah mudahkan. Wallahu a’lam.

Praktek Umum Pricing Produk Perbankan Syariah

Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa hal yang paling banyak mengundang perdebatan adalah penentuan harga produk jasa perbankan syariah, baik penentuan harga (pricing) produk pendanaan maupun produk pembiayaan. Hal ini disebabkan adanya faktor rujukan (benchmark) sebagai bahan perbandingan. Dimana disinyalir hingga saat ini perbankan syariah masih menggunakan suku bunga (bank konvensional) sebagai rujukan dalam penentuan harga produk-produknya. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar dijalankan dan infrastruktur pasar yang tersedia lengkap, maka para bankir tidak akan menghadapi kesulitan dalam melakukan pricing.

Pricing dalam produk perbankan syariah meliputi tingkat penawaran atas nisbah bagi hasil, margin murabahah dan fee ijarah, serta fee based income rates (Else Fernanda, SE.MSc, Penentuan Harga (Pricing), Presentasi (unpublished), Universitas Paramadina, Jakarta) Pricing pada sisi pendanaan mencakup produk-produk giro, tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan mencakup produk pembiayaan berbasis jual-beli, sewa, jasa dan investasi.

Secara umum factor-faktor yang mempengaruhi penentuan harga produk perbankan adalah sebagai berikut:

• kondisi/situasi pasar; kondisi pasar tertentu lazimnya secara langsung mempengaruhi kebijakan sebuah bank dalam penentuan harga produk mereka. Kondisi pasar yang ketat akibat krisis membuat bank relative meningkatkan harga produknya, begitu pula sebaliknya, jika kondisi cenderung kondusif bank akan menyesuaikan atau menurunkan harga produk mereka.

• persaingan; dalam rangka menjaga market share baik secara produk maupun volume usaha, penentuan harga tentu akan secara optimal mendukung tingkat persaingan sebuah bank di pasar keuangan/perbankan.

• kebijaksanaan pemerintah; pada kondisi tertentu sebuah bank akan memberikan harga-harga khusus pada produk-produk tertentu dalam rangka mendukung program pemerintah, misalnya program kredit mikro atau kredit perumahan sederhana.

• regulasi; ketentuan otoritas perbankan untuk maksud menjaga stabilitas dan kesehatan industry melalui peraturan prudential banking-nya tentu akan secara langsung menjadi factor penentu pricing produk perbankan.

• target laba yang diinginkan; tingkat laba tertentu yang menjadi target bank selalunya menjadi salah satu pedoman pihak bank dalam menentukan tingkat harga tertentu pada produk-produk mereka.

• jangka waktu; penentuan harga produk juga mempertimbangkan segala aspek yang melingkupi produk terkait dengan waktu (waktu jangka pendek dan jangka panjang). Dimana waktu yang semakin panjang memberikan potensi lebih besar terjadinya hal-hal yang tidak diprediksikan atau potensi timbulnya permasalahan dalam sebuah prooduk perbankan.

• reputasi perusahaan; dalam kondisi tertentu, bank juga mempertimbangkan reputasinya di pasar dan industry dalam menentukan harga produknya.

Unsur yang sangat umum melekat pada factor-faktor penentu harga di atas adalah unsur risiko, dimana risiko menjadi elemen yang paling konsisten hadir di setiap factor-faktor di atas.


Pricing Produk Pendanaan

Harga produk perbankan syariah pada sisi pendanaan terdiri atas nisbah bagi hasil produk deposito dan tabungan mudharabah mutlaqah, bonus produk giro dan tabungan wadi’ah serta fee produk deposito mudharabah muqayadah. Tingkat nisbah bagi hasil produk deposito (baik untuk nasabah prioritas maupun regular) secara teknis dipengaruhi oleh rata-rata bagi hasil pasar perbankan syariah dan suku bunga. Variabel-variabel ini sebenarnya menjadi referensi yang mencerminkan tingkat willingness dari nasabah untuk menginvestasikan uangnya di portofolio deposito bank dibandingkan portofolio keuangan syariah lainnya.

Perlu diingat bahwa motivasi penempatan di deposito adalah generating income, sementara penempatan di giro dan tabungan relative dimotivasi oleh alasan berjaga-jaga. Dengan demikian pricing untuk giro dan tabungan yang direfleksikan oleh tingkat bonus (yang besarnya tidak diperjanjikan atau ditetapkan sebelumnya), menjadi sangat fleksibel bagi bank. Namun begitu, bank tetap harus mempertimbangkan tingkat bonus dipasar dalam rangka menjaga reputasi bank tersebut di industry.

Untuk produk giro dan tabungan yang berbasis akad titipan (wadi’ah), daya tarik untuk nasabah lebih didominasi oleh kelengkapan dan kemudahan fasilitas produk tersebut dibandingkan tingkat bonus-nya. Hal ini mengingat sifat dananya yang berjangka pendek dan harus dalam kondisi likuid. Sementara daya tarik produk deposito mengandalkan tingkat atau nisbah bagi h asilnya. Untuk memudahkan memahami pricing produk pendanaan deposito (mudharabah mutlaqah), dibawah ini model pricing produk dan variable penentunya:

Nisbah Bagi Hasil Deposito = F (bagi hasil rata-rata perbankan syariah, suku bunga)

Meskipun begitu, pricing nisbah bagi hasil deposito (mudharabah mutlaqah) tetap mempertimbangkan pula kemampuan bank secara internal selain tingkat penerimaan pasar yang telah direfleksikan oleh variable diatas (bagi hasil rata-rata perbankan syariah dan suku bunga). Kemampuan bank tersebut meliputi kecenderungan profitabilitas di pasar, efisiensi operasional dan kelengkapan fasilitas produk.


Disamping itu, produk pendanaan lain yang dimiliki oleh bank syariah adalah produk deposito mudharabah muqayadah, dimana pricing-nya berupa penentuan tingkat fee yang dikenakan pada investor, mengingat mudharabah muqayadah merupakan produk off balance sheet, dimana bank syariah berperan sebagai agent yang mempertemukan investor (nasabah) dengan project (pengusaha). Penentuan tingkat fee dalam pricing produk mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan cara menentukan tingkat nisbah bagi hasil produk deposito mudharabah mutlaqah, yaitu berpedoman pada tingkat fee rata-rata perbankan syariah dan fee yang ditawarkan industry perbankan konvensional (umum). Sementara itu, teknis penentuan bagi hasil dan bonus bagi produk pendanaan (giro, tabungan dan deposito).


Pricing Produk Pembiayaan

Penentuan harga pada produk pembiayaan bank syariah saat ini pada umumnyamasih menggunakan metode atau teknis pricing yang dilakukan oleh bank konvensional. Perbedaan jenis pembiayaan, yaitu pembiyaan berbasis jual-beli dan bagi hasil (investasi), tidak membuat metode pricingnya berbeda. Yang berbeda hanya representasi harga hasil pricing. Untuk produk berbasis jual-beli representasi harganya berupa tingkat margin, sementara untuk produk berbasis bagi hasil representasi harganya adalah nisbah bagi hasil.

Factor-faktor yang menentukan tingkat margin atau nisbah bagi hasil dalam pricing produk pembiayaan bank syariah (Else Fernanda, SE.MSc, Penentuan Harga (Pricing), Presentasi (unpublished), Universitas Paramadina, Jakarta), diantaranya adalah sebagai berikut:

1. total biaya dana (cost of fund); biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dana dan cadangan wajib (reserve requirement)

2. target profit; tingkat keuntungan yang diinginkan bank yang memperhitungkan tingkat persaingan, klasifikasi nasabah dan sektor usaha

3. biaya operasional; meliputi biaya gaji, administrasi, pemeliharaan dan lain-lain

4. cadangan risiko pembiayaan bermasalah; antisipasi terhadap risiko pembiayaan bermasalah

5. cadangan risiko fluktuasi suku bunga; antisipasi terhadap risiko persaingan pasar akibat fluktuasi suku bunga

6. pajak; pajak atas penghasilan bank

Secara rinci teknis pricing produk pembiayaan bank syariah dapat dilihat pada lampiran 2.1. Kendala yang dinilai cukup krusial saat ini adalah kondisi masyarakat yang dealing dengan bank syariah masih menggunkaan pola berfikir konvensional. Di samping itu, infrastruktur yang mendukung agar pricing pembiayaan bank syariah sesuai dengan logika operasional keuangan syariah, seperti informasi indeks tingkat return sektor riil masih belum tersedia untuk dijadikan rujukan penentuan harga.

Dalam pricing produk pembiayaan bank syariah, masalah yang juga jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Untuk produk jual beli seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya dalam perbankan konvensional, misalnya 12%. Tingkat keuntungan ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah. Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per annum. Dalam syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu akad. Artinya jika bank dan nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 % per annum dari harga beli sebesar Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya tidak lagi sebesar harga beli + 24 %, tetapi harga beli + 30 %. Itu sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat, karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga dalam bank konvensional.

Issue keterpisahan pasar finansial dari pasar riil timbul lagi dalam pembahasan rujukan benchmark. Dalam suatu pembahasan produk, para dealer treasury mengajukan penetapan fatwa Dewan Pengawas Syariah atas transaksi forward. Ketika ditanya bagaimana menghitung harga beli valuta asing sesudah jangka waktu 30 hari, para dealer memberikan rumus sebagai berikut:

Nominal Valuta Asing x Nilai Tukar [ 1 + ( 30/360 x 15%)]

Para ulama amat terkejut ketika mengetahui bahwa 15% itu tingkat bunga pasar, dan mereka bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dijadikan dasar perhitungan. Apakah tidak ada alternatif lain? Celakanya masalah rujukan ini bukan saja masalah nasional, tetapi juga merupakan fenomena internasional. Saat ini kritik tajam dilontarkan kepada bank syariah karena menjadikan pasar uang sebagai rujukannya.

Islamic Development Bank, misalnya, masih menggunakan London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR) sebagai rujukan cost of fund dari dana yang diberikan. Padahal rujukan itu tentunya didapat dari tingkat bunga. Karena itu sebuah rujukan khusus bagi bank syariah masih dinantikan sebagai pengganti pasar uang antar bank. Pernah ada usulan agar tingkat harga bank syariah merujuk kepada tingkat harga di pasar riil dengan masingmasing sektornya. Misalnya tingkat keuntungan pada sektor konstruksi adalah 20%. Maka bank dapat mengenakan tingkat harga untuk jual beli konstruksi pada sekitar tingkat itu. Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih mendalam, karena akan timbul berbagai masalah, diantaranya kecemburuan antarsektoral. Misalnya, bisa saja nasabah yang membeli barang konsumtif dengan cara Murabahah merasa dirugikan karena dikenakan tingkat harga lebih tinggi dari mereka yang membeli barang modal, juga dengan cara Murabahah, dengan tingkat harga yang lebih rendah.


Instrumen yang Dijadikan Referensi Pricing

Berdasarkan teori mikroekonomi, prilaku produksi (supply) sangat dipengaruhi oleh prilaku konsumsi (demand). Dan sepertinya ini masih berlaku dalam pasar perbankan nasional. Prilaku praktisi perbankan sangat memperhitungkan prilaku nasabahnya di pasar. Dan seperti apa prilaku praktisi perbankan syariah dalam pembentukan harga produknya (product pricing), tentu akan bergantung pada prilaku pasar dari potensi nasabahnya.

Karakteristik pasar perbankan nasional masih cair antara syariah dan konvensional. Hal ini dikarenakan beberapa faktor:

1. Perbankan syariah masih tergolong baru sehingga pasar (masyarakat) masih kekurangan informasi terkait dengan operasional dan produk bank-bank syariah.

2. Pemahaman tentang keunggulan konsep syariah belum tersosialisasikan dengan baik pada masyarakat luas.

3. Adanya persepsi yang menilai bank syariah hanya diversifikasi jasa pelayanan keuangan sektor perbankan.

Faktor-faktor di atas membuat pasar perbankan syariah didominasi oleh nasabah mengambang (floating customers). Dengan begitu, perbankan syariah saat ini tidak hanya saling berkompetisi antar bank syariah, tetapi juga harus berkompetisi dengan bank-bank konvensional. Ketika bank konvensional masih menguasai struktur perbankan nasional, maka strategi bisnis bank syariah tentu akan mempertimbangkan prilaku bank konvensional, mengingat potensi nasabah yang ada lebih familiar dengan perbankan konvensional. Terkait dengan product pricing bank syariah, berdasarkan kondisi tadi bank syariah harus mempertimbangkan product pricing bank konvensional.

Faktor-faktor yang menjadi referensi dan variabel perhitungan produk bank konvensional tentu akan pula menjadi pedoman perhitungan bank syariah. Selain itu, mengingat saat ini aplikasi atau konsep praktek/operasional perbankan syariah masih relatif mengacu pada perbankan konvensional, maka model penentuan harga produk (termasuk variabel-variabel independen yang mempengaruhinya) juga dapat dipastikan tidak jauh berbeda.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada hakikatnya yang menjadi reference rate dari product pricing bank syariah masih mengacu pada tingkat suku bunga pasar. Atau reference rate yang juga menjadi pedoman product pricing-nya bank konvensional.


Gap Analysis; Praktek dan Teori

Dengan konsep bagi hasil yang menjadi karakteristik operasional perbankan syariah, maka secara teori penentuan pricing produk bank syariah sangat ditentukan oleh kinerja sisi aktiva (asset). Kinerja pengelolaan dana berupa bagi hasil atau margin dari aktifitas pembiayaan bank syariah akan kemudian menjadi landasan bank syariah dalam menentukan tingkat bagi hasil dan bonus bagi nasabah di sisi pendanaan (liability).

Namun saat ini pricing produk bank syariah masih berpedoman pada tingkat kewajiban bank kepada nasabah. Dengan begitu terkesan pola pricing produk bank syariah masih menggunakan metode konvensional yang tidak sejalan dengan logika operasional keuangan menggunakan konsep bagi hasil. Konsep konvensional berbasis bunga, sisi pendanaannya akan relative menjadi titik perhatian, mengingat beban atau kewajiban yang sudah diperjanjikan tetap berupa bunga simpanan/deposito menjadi beban yang harus dipertimbangkan dalam operasional keuangan khususnya sisi pembiayaan.

Sementara itu operasional keuangan yang menggunakan konsep bagi hasil, pada dasarnya tidak memiliki alur mekanisme seperti konvensional. Kewajiban pada sisi pendanaannya tidak diperjanjikan tetap, besarnya kewajiban yang dapat dianggap sebagai beban itu tergantung pada kinerja sisi pembiayaannya. Dengan begitu, dalam keuangan syariah titik perhatian relative ada di sisi pembiayaan. Semakin baik kinerja pembiayaan bank syariah maka logikanya akan semakin memperbaiki tingkat bagi hasil yang dapat diberikan bank pada nasabah. Logika inilah yang sepatutnya menjadi pemahaman dasar dalam memahami teori pricing pada produk perbankan syariah. Artinya secara teori, teknis pricing produk bank syariah sepatutnya tidak menggunakan pola atau bahkan metode yang sama dengan konvensional, karena konsep operasional bank syariah berbeda dengan bank konvensional.

Perbedaan konsep keuangan syariah (absensi bunga, konsep bagi hasil dan jual-beli) pada operasional bank, memiliki implikasi yang berbeda dengan kelaziman pada bank konvensional pada semua aspek, termasuk pada teknis penyaluran pembiayaan dan metode pricing produk-produknya. Dengan absennya bunga, maka penyaluran pembiayaan bank syariah untuk men-generate income secara garis besar terfokus pada dua cara yaitu jual-beli (keuntungan dari margin jual-beli) dan investasi (keuntungan dari bagi hasil).

Realita pasar perbankan syariah dimana mayoritas nasabah penyimpan tetap berorientasi pada besar keuntungan (tingkat bagi hasil) yang ditawarkan oleh bank syariah, lagi-lagi membuat logika operasional bank syariah tidak sesuai dengan teorinya. Dengan karakteristik pasar atau nasabah yang seperti itu, maka sisi pendanaan bank syariah tetap menjadi titik sentral perhatian dari operasional bank. Dengan alasan menjaga tingkat bagi hasil yang kompetitif tertentu pada sisi pendanaannya, bank syariah kemudian menjadikan tingkat bagi hasil tersebut sebagai pedoman dalam menentukan margin atau nisbah bagi hasil yang ditetapkan dalam produk-produk pembiayaannya.

Kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan produk jual beli dari produk bagi hasil membawa ekses pada penentuan tingkat harga ini. Tingkat keuntungan yang ditentukan untuk produk jual beli, akhirnya menjadi cost of fund untuk semua produk, termasuk produk bagi hasil. Celakanya, hal itu juga dihitung dengan metode per-annum. Maka tidak heran jika ada Mudharabah dengan bagi hasil yang dibebankan kepada nasabah setara 20% per annum. Artinya nasabah sebagai mudharib harus membayar bagi hasil kepada bank setara 20% pertahun. Jika nasabah mendapat keuntungan lebih dari itu, ia hanya membayar 20% saja, sedangkan jika ia rugi maka ia harus tetap membayar setara itu. Padahal Mudharabah adalah produk bagi hasil yang kondisi pendapatannya tidak fixed, tergantung situasi bisnis. Kerancuan ini timbul karena bank menganggap cost of fund sebagai target yang wajib dipenuhi untuk mencapai tingkat keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah penyimpan, tanpa memilah produk syariah tertentu yang memiliki karakter seperti itu.

Jika demikian halnya, maka prinsip perbankan syariah hanya tersisa pada nama produk, karena pada dasarnya paradigma konvensional juga yang diterapkan. Itu terlihat pada proses yang dilakukan para bankir syariah dalam menetapkan asset liability management. Mereka menentukan dulu berapa tingkat keuntungan yang harus diberikan kepada nasabah penyimpan (dengan rujukan tingkat bunga yang diberikan bank konvensional), lalu menetapkan tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan (dengan rujukan yang sama). Dengan kata lain, sebenarnya para bankir syariah selama ini menerapkan konsep biaya (cost concept).

Padahal jika paradigma ini dirubah dengan konsep pendapatan (revenue concept) maka bank sebagai mudharib tidak memiliki kewajiban untuk memberikan keuntungan jika memang belum bisa memperolehnya. Artinya cost of fund bank adalah nol. Demikian pula jika bank sebagai penerima titipan untuk penerapan wadiah pada produk giro. Karena itu bank syariah bebas menetapkan keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan, bahkan bisa lebih murah dari bank konvensional. Namun sampai saat ini kendala utma yang membuat harapan ini belum terealisasikan adalah karena belum adanya pemahaman atau penerimaan pasar (masyarakat) terhadap logika bisnis dan keuangan syariah. Disamping itu kendala yang tidak kalah penting adalah kemampuan dan pengetahuan dari para bankir syariah yang menentukan seperti apa operasional dan mekanisme kerja di dalam bank syariah.

Harus diakui bahwa praktek pricing produk bank syariah saat ini belum dalam mekanisme yang ideal. Hal ini yang juga menjadi perhatian dalam analisis gap teori dan praktek pada operasional perbankan syariah. Berdasarkan analisis di atas dapat diidentifikasi bahwa gap antara teori dan praktek dalam pricing produk perbankan syariah dapat terjadi sedikitnya karena 3 (tiga) factor, yaitu:


Faktor Kompetensi dan Teknis Operasional

Sudah menjadi kemakluman banyak pihak bahwa industry perbankan syariah masih tergolong sebagai infant industry yang masih berumur kurang dari satu decade, sehingga kelemahan yang cukup krusial terletak pada kemampuan atau kompetensi SDM dan kemapanan operasionalnya. Kelemahan ini tentu mempengaruhi aplikasi pricing produk yang saat ini menjadi focus analisis.

a. Kemampuan dan pengetahuan bankir (SDM)

Kelemahan pada kompetensi SDM tentu akan mempengaruhi teknik atau praktek pricing produk bank syariah, dimana selain menuntut keahlian dan pengetahuan pada praktek perbankan yang berpedoman pada prudential banking, SDM bank syariah dituntut pula memiliki kemampuan dan pengetahuan pada praktek perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Saat ini kompetensi SDM perbankan syariah dinilai masih terbatas. Kemampuan dan pengetahuan kebanyakan SDM bank masih dominan keahlian dan pengetahuan perbankan konvensional. Kenyataan ini tentu tidaklah mengejutkan mengingat, mayoritas SDM bank syariah berasal dari SDM bank-bank konvensional dan hamper semuanya berlatar belakang pendidikan formal konvensional. Kondisi ini tentu mempengaruhi cara atau teknis pricing produk bank syariah. Pengetahuan yang terbatas pada pasar dan kurangnya fasilitas pasar berupa data harga pasar yang terperinci dan updated membuat SDM bank syariah masih menggunakan cara atau teknik pembentukan harga yang tidak berbeda dengan konvensional, termasuk menggunakan suku bunga sebagai pedoman dalam menentukan harga produk.

b. Teknis Pricing yang Dikenal Umum

Disamping kelemahan SDM, penggunaan metode yang sama dengan bank konvensional dalam pricing produk bank syariah, juga terjadi karena saat ini belum disepakati metode yang lebih baik dan dikenal oleh praktisi industri perbankan syariah nasional. Misalnya sampai saat ini belum ada reference rate di perbankan syariah yang dapat digunakan untuk mengganti suku bunga dalam pricing produk bank. Sektor riil sebagai basis utama operasional bank syariah belum begitu sempurna memberikan informasi untuk dapat digunakan dalam pricing produk bank syariah.


Faktor Realita Pasar

Selain alasan kelemahan SDM dan alternative teknis pricing produk, factor realita pasar dimana bank syariah harus berhadapan dengan pesaing yang bukan saja sesame bank syariah tetapi juga bank konvensional, membuat bank syariah tetap memperhitungkan fluktuasi suku bunga dalam menentukan harga produk-produknya. Kondisi ini terjadi sedikitnya karena dua sebab, yaitu pasar yang bercampur akibat dominannya floating customer yang dihadapi bank syariah dan belum tersedianya alternative reference rate yang digunakan oleh perbankan syariah.

a. Floating Customer

Prinsip syariah yang menjadi landasan operasional bank syariah tidak kemudian dengan mudah mampu menarik masyarakat Indonesia yang dominan berpopulasi muslim. Dengan kata lain operasional bank syariah tidak kemudian mampu merubah potensi pasar muslim yang potensial menjadi segmentasi pasar syariah yang cukup untuk membesarkan industry perbankan syariah. Oleh karenanya, perbankan syariah saat ini, seiring dengan upaya sosialisasi dan edukasi masyarakat dalam rangka membentuk pasar dan lingkungan yang kondusif, notabene harus berhadapan dengan pasar yang sama dengan pasar konvensional. Pasar tersebut memiliki karakteristik yang berorientasi pada besarnya tingkat return, kelengkapan fasilitas, kemudahan transaksi dan rendahnya risiko. Artinya dengan situasi seperti ini, bank syariah tidak hanya berhadapan dengan competitor sesame bank syariah tapi masih tetap harus bersaing dengan bank-bank konvensional. Menyikapi kondisi ini, bank syariah tentu saja tidak serta merta mampu menerapkan apa-apa yang ideal dalam aplikasi-aplikasinya. Khusus praktek pada teknis pricing produk, realita masyarakat atau pasar ini membuat bank syariah harus mempertimbangkan tingkat-tingkat harga yang berlaku dan diterapkan oleh bank-bank konvensional. Dan tingkat harga yang selama ini menjadi nilai jangkar (anchor rate) adalah suku bunga.

b. Infrastruktur Pasar Belum Lengkap

Selanjutnya hingga saat ini perbankan syariah masih belum memiliki rate ideal yang sesuai prinsip-prinsip syariah untuk dijadikan rujukan dalam melakukan pricing produk. Realita pasar ini lagi-lagi membuat praktek pricing menggunakan suku bunga sebagai pedoman menjadi suatu “kelumrahan” pasar. Idealnya dalam melakukan pricing produk merujuk pada tingkat return yang memang diberikan oleh pasar riil, mengingat operasional perbankan syariah tidak lepas dari sektor/pasar riil. Saat kajian ini disusun, bank Indonesia bekerjasama dengan beberapa peneliti diperguruan tingga tahun ini telah memulai kajian yang bertujuan pada akhirnya menyusun suatu indeksasi bagi return sektor riil, yang dapat digunakan sebagai alternative referensi pricing. Meskipun begitu, jika pada saatnya nanti indeks ini tersedia, perbankan syariah tetap memerlukan program-program pengembangan kompetensi SDM agar aplikasi ideal yang memanfaatkan indeks return sektor riil dipraktekkan utamanya oleh para praktisi perbankan syariah.

Dengan kondisi tersebut diatas, maka sudah sangat mendesak dimilikinya sebuah reference rate yang lebih relevant, yang mampu menjawab isu pada keabsahan proses penentuan harga produk perbankan syariah secara syariah. Dan salah satu solusinya adalah memunculkan indeks return sektor riil yang kemudian dijadikan reference rate bagi pricing produk bank syariah.

Reference rate of return yang menggambarkan return sesungguhnya dari sektor riil, memberikan manfaat secara mikro di tingkat industri keuangan syariah khususnya perbankan syariah sebagai berikut:

1. Menjadi referensi untuk product pricing bagi sector keuangan khususnya perbankan syariah.

2. Menjadi referensi bagi perhitungan kelayakan investasi

3. Meminimalkan potensi ketidakadilan (kezaliman) dalam interaksi pelaku pasar di sektor perbankan

Reference rate of return secara makro akan memiliki implikasi positif bagi perekonomian berupa:

1. Memberikan informasi akurat bagi pasar sehingga tercipta keadilan bagi semua pelaku pasar yang selanjutnya memelihara atmosfir pasar yang kondusif.

2. Mendorong terciptanya pasar keuangan yang transparan dan efisien.

3. Mendorong optimalisasi capital formation dan alokasi sumber daya dalam rangka meningkatkan aktivitas investasi yang secara maksimal mendukung sektor riil.

4. Mendorong keseimbangan sektor riil dengan sektor keuangan sekaligus menekan kesenjangan sektor riil dan keuangan yang selama ini cenderung terjadi.

5. Mendorong integrasi pasar.