Selasa, 31 Juli 2012

definisi keberkahan ekonomi 2

ini renungan yang sedikit lebih tegas atas pertanyaan mengenai pilihan-pilihan kerja antara kerja yang baik dengan gaji kecil atau kerja yang mudharat dengan gaji besar. dengan kaca mata iman dan syariah, kedua pilihan kerja itu tidak sepatutnya diperbandingkan. karena tidak seharusnya kerja halal dibandingkan dengan kerja haram (mudharat sekalipun), yang kemudian menghabiskan energy kita dengan menimbang-nimbang kedua pilihan itu. sesuatu yang haram tetap haram, ia tidak setanding menggunakan parameter apapun dengan yang halal.

ketidak-layakan perbandingan itu ibarat membandingkan pilihan syurga dan neraka. mana yang harus anda pilih? ini tentu saja bukan pertanyaan yang layak dan benar. perbandingan yang menuntut pertimbangan untuk memilih seharusnya seperti memilih jalan mana yang saya harus ambil menuju syurga, lewat sebagai petani atau sebagai guru, lewat sebagai pegawai bank syariah atau pegawai lembaga zakat.

jika anda fikir nafkah haram itu akan menjadi baik jika dikeluarkan zakatnya, maka pahami dan sadarilah bahwa kewajiban zakat hanya melekat pada nafkah-nafkah halal. atas nafkah haram lebih utama ia merubah nafkahnya menjadi halal dari pada harus membayar zakat. sebagai manusia yang sadar pada kebutuhan iman dan patuh pada syariah, cukuplah ini menjadi alasan dalam memilih dari mana nafkah yang dapat memenuhi kebutuhan dunia. semoga Allah mudahkan jalan bagi kita semua.

definisi keberkahan ekonomi

mengingat beberapa sahabat sempat bertanya bagaimana pendapat saya tentang pilihan-pilihan kerja dimana ada tawaran kerja di bank atau lembaga keuangan syariah lain yang memberikan gaji rendah dan ada tawaran kerja di lembaga konvensional dengan gaji besar, membuat saya jadi berfikir lebih lama dan tertarik merenungkan lebih jauh. selalunya saya menjawab, meski gaji kecil ada keberkahannya. tapi logika jawaban saya masih kalah dengan argumen; "tapi kan tanggungan keluarga banyak, beban rumah tangga besar, cicilan utang juga masih ada, kebutuhan sekolah anak-anak semakin tinggi.."

jawaban saya hanya fokus pada variabel "gaji kecil" dengan konotasi kepasrahan yang negatif, sementara keberkahan tidak jelas bentuk dan definisinya, meski ia dihargai dan sedikit meneduhkan dan memberikan berat pada jawaban. namun akhirnya tetap saja jawaban saya itu tidak memberikan opini yang layak untuk ditimbang-timbang. begitu kah? sebentar, bagaimana kalau kita bedah lebih jauh apa itu keberkahan dalam kasus ini. karena saya percaya, hakikatnya keberkahan itu sepatutnya menjawab masalah-masalah yang menjadi kekhawatiran di atas, seperti biaya sekolah anak, cicilan utang, biaya rumah tangga atau beban keluarga lainnya. keberkahan itu paket yang sangat luas dimensinya namun tunggal fungsinya secara ekonomi, yaitu meliputi dan menjawab semua bentuk kesulitan.

logika matematika jawaban saya diatas terhadap perbandingan reward kerja di tempat yang baik (halal) dengan kerja di tempat yang mudharatnya banyak, menjadi seperti ini:

gaji kecil + keberkahan > gaji besar + utang

banyak yang menyangka bahwa gaji besar akan mengamankan kebutuhan-kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang, seperti sekolah anak, biaya dokter kalau keluarga sakit, pemeliharaan rumah dan kendaraan, cicilan utang atau bentuk-bentuk beban lainnya. tapi banyak yang tidak sadar kalau keberkahan itu meliputi itu semua, dengan keberkahan boleh jadi anak-anak dapat beasiswa sekolahnya, anggota keluarga dijaga Allah kesehatannya, rumah dan kendaraan dijauhkan dari musibah-musibah, utang dilunaskan, bahkan keberkahan mungkin memberikan pintu-pintu nafkah yang tidak ada dalam logika dan rasional kita.

tapi keberkahan tidak hanya menjawab masalah kuantitas seperti itu, keberkahan sangat mungkin memberikan kualitas hidup yang lebih baik; anak-anak menjadi pribadi yang shaleh dan shalehah, keluarga penuh dengan kehangatan sakinah mawaddah warrahmah, rumah dan kendaraah serta harta yang ada menjadi harta yang mengalirkan amal shaleh tiada putusnya, atau kenikmatan-kenikmatan lain yang membuat kita menjadi lebih "kaya" dari sebelumnya. rasionalitas ini yang seharusnya menjadi hasil dari pembelajaran-pembelajaran ekonomi menggunakan perspektif dan prinsip Islam. rasionalitas yang membentuk prilaku konsumsi, produksi dan distribusi berorientasi pada ketundukan pada Tuhan.

rasionalitas yang memandang infak dan sedekah bukanlah pengurang disposable income yang kemudian menekan tingkat kepuasan mereka, tetapi justru akan semakin meningkatkan kepuasan, karena kepuasan bagi mereka sudah didefinisikan lebih luas, lebih tepat dan benar. kepuasan dan kebahagiaan itu bukan saat dimana kita bisa tersenyum dan tertawa, tetapi kepuasan dan kebahagiaan itu adalah saat dimana kita bisa membuat orang lain tersenyum dan tertawa, saat ketika kita mampu membantu menyelesaikan masalah mereka. rasional ekonomi ini yang ingin dibangun dalam ekonomi, rasional yang meyakini manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain, dan harta hanyalah alat untuk menjadi lebih mulia. wallahu a'lam.

Senin, 30 Juli 2012

sudah dapat apa?

Ramadhan sudah sampai pada memasuki periode 10 hari kedua, sudah dapat apa kita dari Ramadhan? sudah berapa dosa yang berhasil kita gugurkan? berapa banyak pahala yang sudah kita tumpuk? sudah berhasilkah kita mencuri perhatian Tuhan? sudah sukseskah kita membuat Beliau sayang pada kita? kalau belum, masih tersedia cukup banyak malam Ramadhan untuk mendapatkan itu, masih terhampar cukup hari-hari Ramadhan untuk menghujani langit dengan rintihan doa ampunan, atau sekedar sapaan lembut kepada Tuhan agar Beliau melirik pada kita. tak usah pedulikan gengsi dan prasangka pada-Nya, ambil air wudhu lalu bersimpuhlah di depan-Nya. katakan saja apa yang menjadi alasan gengsi dan prasangka, yang membuat kita selama ini sungkan meminta kasih sayang, segan berharap ampun atau tidak tega merepotkan Tuhan dengan diri kita yang seperti sampah. ...ketika saya tersadar dari satu perjalanan panjang di lorong yang gelap, entah itu karena sengaja berkelana atau tersesat, saya selalu berharap Tuhan sedang menunggu saya sambil tersenyum... ...duh Tuhanku yang Maha Penyayang, aku malu...

Senin, 23 Juli 2012

Financial Inclusion atau Economic Inclusion?

Financial inclusion kini menjadi trending topic dalam dunia keuangan, baik di sektor syariah maupun konvensional. Arah angin dalam dunia keuangan kini sedang berhembus pada dimensi kualitas dari industri keuangan, seiring dengan perkembangan kuantitasnya yang babak belur dihantam krisis. Selain memang industri ini mulai dipertanyakan esensi kemanfaatannya daripada sekedar prestasi mencetak profit.

Ide financial inclusion pada dasarnya adalah membuka seluasnya akses terhadap jasa keuangan bagi masyarakat khususnya masyarakat golongan bawah yang punya preseden sebagai golongan unbank atau juga unbankable. Melihat rendahnya tingkat akses jasa keuangan Indonesia, maka isu financial inclusion menjadi sangat relevan untuk dimunculkan dan dioptimalkan. Dengan struktur pelaku usaha dalam perekonomian Indonesia yang didominasi oleh unit usaha mikro dan kecil yang mencapai 51,2 juta unit atau mencapai 99,91% dari pelaku usaha di Indonesia (data Kemenkop-UMKM), maka tentu saja dengan isu financial inclusion ini diharapkan sektor keuangan mampu menjawab dan melayani kebutuhan akses jasa keuangan segmen raksasa (dominan) sektor usaha Indonesia ini.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Bank, 60% penduduk Indonesia meminjam uang, namun hanya 26% yang meminjam dari bank atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Secara spesifik hanya 17% yang dilayani oleh perbankan, sisanya dilayani oleh lembaga keuangan semi-formal (9%). Selebihnya pinjaman yang didapatkan oleh penduduk Indonesia berasal dari sektor informal (34%), yaitu dari tetangga, teman dan keluarga. Sementara penduduk yang belum terlayani masih juga relatif besar yaitu 40%, dimana 60% dari kelompok ini dinilai tidak layak mendapatkan pinjaman karena tergolong miskin dan sangat miskin.

Khusus untuk lembaga keuangan sebagai lembaga intermediary, kemanfaatannya masih dirasakan oleh 26% penduduk Indonesia pada semua segmen usaha yang ada (usaha besar, menengah, kecil dan mikro). Kondisi ini tentu jauh dari ideal. Sebagai lembaga intermediary lembaga keuangan belum mampu menjalankan fungsinya dalam mendorong optimalisasi potensi ekonomi bangsa. Boleh jadi hal ini akibat infrastruktur yang belum lengkap, industri yang belum mapan atau sekedar karena preferensi komersial yang memusatkan pelayanan jasa keuangan terbatas pada kelompok masyarakat tertentu.

Data dan kondisi diatas semakin menguatkan alasan mengapa financial inclusion dibutuhkan. Namun pertanyaannya siapa yang sepatutnya melakukan dan bagaimana caranya? Bank atau lembaga keuangan non-bank atau kembali menjadi tugas pemerintah? Jika dimintakan kepada lembaga keuangan komersial, baik bank maupun non-bank, apa mungkin, mengingat financial inclusion akan menyasar masyarakat usaha kecil yang notabene berisiko tinggi secara komersial atau bahkan masyarakat miskin yang membutuhkan akses keuangan relatif untuk start-up business.

Ini masalah besar yang tidak sendirian harus dijawab oleh lembaga keuangan komersial, tetapi bersama pihak lain khususnya pemerintah. Dengan nature kelompok masyarakat unbankable itu tentu dibutuhkan pemerintah dalam men-support program pendukung seperti program jaminan atau subsidy bunga. Tanpa mengurangi penghargaan atas upaya meningkatkan kualitas sektor keuangan melalui program financial inclusion ini, namun akan sangat berguna jika masalah ini juga dipahami menggunakan perspektif ekonomi Islam.

Dalam ekonomi Islam secara garis besar menggunakan konsep zakat, masyarakat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan kemampuan zakatnya, yaitu masyarakat muzakki (kaya) dan masyarakat mustahik (fakir-miskin). Khusus bagi masyarakat (ekonomi) miskin, treatments yang diberlakukan (masih berdasarkan pada konsep zakat) relatif lengkap, yaitu penyediaan kebutuhan pokok mereka dan kebutuhan berusaha. Masyarakat miskin tidak hanya memiliki masalah akses modal untuk usaha, tetapi cenderung kompleks pada masalah lain seperti masalah kebutuhan pokok (basic necesities), integritas dan kompetensi, masalah keluarga dan bentuk masalah lainnya.

Konsep zakat Islam menyadari itu dan kemudian ia terjawab secara baik, karena konsep zakat secara prinsip mengakomodasi treatments untuk kebutuhan tersebut. Secara build-in, treatments itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konsep zakat. Oleh karena itu, istilah economic inclusion akan relatif lebih cocok digunakan dibandingkan dengan financial inclusion. Bersandar pada konsep zakat masyarakat miskin yang tidak punya apa-apa tidak hanya di berdayakan sebagai pelaku usaha dengan disediakan akses permodalan (financial), tetapi juga diberikan solusi dalam menjawab kebutuhan dasar mereka seperti makanan, pakaian, rumah atau pendidikan.

Konsep Islam bukan hanya ingin memposisikan masyarakat usaha mikro dan miskin sebagai aktif dalam industri keuangan dengan membuka akses bagi mereka memperoleh modal, tetapi lebih luas ingin memposisikan mereka aktif secara ekonomi, baik di sisi demand maupun di sisi supply dari ekonomi. Itu mengapa tolak ukur kemajuan ekonomi bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga dari tingkat partisipasi masyarakat dalam ekonomi atau tingkat keikutsertaan ekonomi (economic involvement level).

Pilar utama untuk memastikan masyarakat aktif secara ekonomi dalam Islam adalah zakat. Keberadaan zakat yang diwajibkan (dengan derajad kewajiban setara dengan shalat), pada dasarnya akan selalu memelihara kemampuan atau daya beli (purchasing power) dari kelompok masyarakat paling bawah dalam piramida ekonomi. Sehingga, dengan kondisi masyarakat indonesia yang masih besar kelompok masyarakat miskinnya, mungkin lebih tepat bagi pemerintah untuk menggulirkan program economic inclusion. Dengan program ini dipastikan tidak ada seorangpun warga fakir miskin indonesia yang terabaikan secara ekonomi.

Isu sentral dari logika ini sebenarnya berasal dari prinsip ekonomi islam yang ingin memelihara proses distribusi kekayaan dan pendapatan (wealth and income distribution) berjalan dengan maksimal. Tidak heran jika Ibnu Khaldun berpendapat bahwa sebuah wilayah yang penduduknya banyak akan memberikan kemakmuran yang lebih baik, sepanjang proses distribusi kekayaan dan pendapatan berlangsung dengan baik (anti teori dari Robert Malthus).

Logika Ibnu Khaldun sangat sederhana, sepanjang economic inclusion berjalan dengan maksimal, tentu sektor demand ekonomi akan tetap terjaga pada level yang baik, dengan tingkat purchasing power dari masyarakat mustahik sebagai level minimum dari demand ekonomi, maka diharapkan sektor supply akan dapat juga terpelihara. Dengan begitu interaksi dasar ekonomi dapat terjaga untuk selalu berjalan, sepanjang tidak terjadi pengacauan sistem melalui aktifitas keuangan menggunakan riba dan spekulasi. Praktek Riba dan spekulasi cenderung mengganggu putaran ekonomi melalui misalokasi produksi dalam ekonomi, akibat uang beredar (potensi modal) tidak sepenuhnya bergerak menghasilkan barang dan jasa (economic value added).

Minggu, 22 Juli 2012

Satu Lagi Tentang Optimisme

Satu lagi tentang optimisme, ditengah preseden opini yang selalu ada pada lisan kita sebagai seorang muslim. Opini lazim yang biasa keluar dari kita adalah pesimisme pada Islam dan ummatnya. Memandang skeptik terhadap apa-apa yang berkaitan dengan perkembangan ke-Islaman dan keummatan. Islam yang terpecah-belah, saling menuding keburukan, menepuk dada menunjuk diri yang paling benar, budaya berhalaisme, ummat pemalas atau ummat yang kacau balu tidak tahu skala prioritas, tidak paham prinsip dan idealisme, tidak menjunjung harga diri dan kehormatan, baik pada dimensi akidah, akhlak maupun syariah.

Rasanya anda semua familiar dengan maksud saya ini. preseden dan opini lazim ini tidak jarang mematikan semangat untuk bergerak maju dan sibuk dengan kerja-kerja kebaikan atau perbaikan. Tapi sebentar dulu, saya termasuk orang yang tidak serta-merta mengamini kelayakan apalagi kebenaran preseden ini. saya merasa selalu ada sudut pandang yang berbeda, dan boleh jadi sudut pandang itu yang nyaman untuk digunakan dalam memandang segala hal. Salah satunya adalah sudut pandang optimisme.

Jangan lihat terlalu jauh kalau ingin menilai ummat Islam akhir zaman ini. Sekali Tuhan sudah nobatkan kita sebagai ummat terbaik dengan kalimat “pelantikan” yang terkenal itu; “kuntum khairu ummah...”, maka tak elok kita menjelek-jelekkan diri sendiri. Terlebih lagi ketika diakhir zaman ini ummat butuh sekali manusia-manusia Islam yang bersemangat dalam berjuang, berkorban dan terus bergerak mengabarkan serta mencontohkan kebaikan-kebaikan.

Mari lihat saja apa yang ada disekitar kita, semakin burukkah Islam itu. Jangan jauh-jauh. Lihat anak-anak kita, bandingkan dengan kita dahulu ketika seusia dengan mereka. Saya yakin banyak anak-anak kita kondisi ke-Islamannya jauh lebih baik dari kita dahulu. Dengan membandingkan usia yang sama, mereka lebih dulu bisa baca atau bahkan tulis Al Qur’an, lebih banyak hafalan surah-surah, aktif di TPA/TPQ. Anak-anak kita lebih mengenal akhlak dan akidah lebih baik, mendapatkan wawasan ke-Islaman lebih banyak karena saat ini lebih banyak sekolah-sekolah Islam untuk dijadikan pilihan, dari PAUD, TK, SD, SMP sampai SMA. Bahkan tidak sedikit dari kita yang memasukkan anak-anak kita ke pesantren sehingga saat ini santri jauh lebih banyak dari masa-masa terdahulu.

Selain itu, lihat rak-rak buku yang ada di ruang kerja atau ruang tamu, saya kok yakin lebih banyak buku-buku agama kini yang tersedia dirumah anda dibandingkan rumah ayah anda dahulu. Meskipun akan ada yang mengatakan; “banyak buku Islam, bukan berarti dibaca kan?!” Ya betul, tetapi lebih ga jelas dibaca kalo dahulu di rak tak ada buku Islam kan?! Itu mengapa sudah lebih dari 10 tahun ini, buku Islam menjadi buku terlaris di negeri ini. lihat istri dan kaum wanita di sekitar kita, mulai lebih banyak yang menggunakan kerudung bukan? Dan hiduplah industri-industri pakaian muslim-muslimah. Lihat dompet anda, sudah mulai ada kartu ATM bank syariah ya? bank-bank pun mulai berdandan syariah akibat tuntutan anda, teman anda, tetangga anda yang ingin kebutuhan jasa keuangannya sesuai tuntunan Islam. Efeknya, sekolah, universitas, kurikulum dan silabus mata kuliah sekarang akrab dengan syariah, sehingga akhirnya Islam menjadi familiar pada semua hal, langkah men-syaamil mutakammil-kan Islam sudah mulai diayunkan. Begitu juga dengan upaya-upaya me-rahmatan lil alamin-kan Islam.

Sekarang lihat jumlah jamaah haji Indonesia, mulai banyak kaum muda yang berangkat ke tanah suci, nyadar ga sih? Shaf-shaf shalat wajib berjamaah di masjid pun dibanyaki oleh orang-orang muda. Memang iman tidak otomatis berkorelasi positif dengan angka dan jumlah-jumlah itu, tetapi tentu akan sangat tidak beralasan keimanan yang baik dikaitkan dengan variabel-variabel diatas dengan jumlah yang kosong bukan? Numbers and figures tell a thousand words.

Nah hal-hal kecil yang dekat dengan saya itulah yang membuat saya tetap optimis, dan saya berusaha tidak keluar dari gerbong optimisme itu, semoga begitu juga dengan Anda. Mari sebarkan otimisme ini, mari tetap menjaga motivasi, atau bahkan membangkitkan inspirasi untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik. Meski akhirnya itu hanya berguna untuk diri kita sendiri, kerana kerja kebaikan dan perbaikan setidaknya menghentikan diri kita dari kesibukan pada keburukan dan memburukkan. Bismillah..

Kamis, 19 Juli 2012

Selamat Datang Ramadhan..

Bulan itu sedang berkunjung, bulan suci bak samudera atau badai kesejukan yang yang mampu menelan semua dosa. Jangan sia-siakan setiap detik penggalan waktunya. Semoga Ramadhan kali ini menjadi ramadhan yang terbaik yang pernah hadir dalam hidup kita.

Maaf Lahir Bathin

Ali Sakti & Keluarga

Rabu, 18 Juli 2012

Alam Semesta yang Kutelan

Kutimang-timang dunia dengan seluruh isinya

Sesekali kupeluk dan rasakan kelembutannya dengan pipiku

Tapi setiap kali pula ada rasa tak nyaman di dada ini

Akhirnya, kutelan ia sekaligus dengan jagat raya



Kutelan alam semesta berikut ruang-ruang tak terhingganya

Kutelan dunia agar tak ada lagi yang ditimang dan mengganggu

Kutelan ia agar tak ada ingin dan mau yang tersisa



Karena kutahu hanya dunia yang membuatku memiliki ingin dan mau

Akhirnya aku menjadi makhluk tunggal dihadapan Tuhanku

Menjadi satu-satunya dzat yang diperhatikan dan disayangi