Senin, 28 Januari 2013

Drama Krisis Keuangan Negara Maju

Krisis utang di Amerika Serikat (US) dan negara-negara kawasan Eropa (EU) sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Sejak bergulirnya krisis ini pada semester dua di tahun 2008 di sektor swasta US dan EU (krisis dipicu subprime mortgage), lalu menghantam lebih kuat sektor pemerintah pada tahun 2011 (krisis dipicu gelembung utang negara), hingga awal tahun 2013 kondisi sektor keuangan mereka belum ada perbaikan yang berarti.

Bahkan dari waktu ke waktu kondisi buruk itu terus mencetak rekor negative di perekonomian. Rekor tingkat pengangguran tertinggi, pertumbuhan ekonomi terburuk, penurunan credit rating tertajam, deficit belanja dan pemotongan belanja pemerintah terbesar, kebijakan pajak paling dramatis, konflik pekerja terburuk dan parameter lainnya yang selama ini jauh dari bayangan dapat terjadi di negara-negara maju seperti itu. Bahkan di beberapa negara Eropa terjadi gelombang migrasi khususnya pekerja muda dan berpendidikan tinggi dari negara itu kenegara diluar kawasan Eropa yang kini menjadi emerging market, dan kecenderungan ini tidak boleh dianggap sepele, Bak film layar lebar, perekonomian US dan EU sedang masuk dalam genre cerita thriller yang menegangkan.

Menegangkan bukan hanya membuat semua was-was terhadap imbasnya pada perekonomian global, tetapi juga was-was khawatir krisis meruntuhkan preseden kemapanan ekonomi barat, karena selama ini negara barat menjadi pedoman pembangunan ekonomi negara dimanapun. Keraguan yang berkelanjutan tentu memiliki risiko pada ketidakstabilan interaksi ekonomi global selama ini. keraguan ini semakin beralasan ketika krisis, khususnya di kawasan Eropa, memperlihatkan kerapuhan kesepahaman dalam bingkai Masyarakat Ekonomi Eropa. Saling curiga pada kebijakan-kebijakan yang diambil menyikapi krisis dan kecenderungan memproteksi kepentingan pribadi masing-masing negara menunjukkan kerentanan itu.

Dilain pihak, waktu yang cukup lama boleh jadi membuat banyak pihak tidak lagi perhatian dan aware dengan implikasi-implikasi lanjutannya, baik implikasi yang terjadi di dalam negara-negara krisis maupun implikasi di luar kawasan itu, bahkan implikasi pada wajah perekonomian global. Tetapi mungkin hal ini baik juga untuk membangun interaksi global yang sehat. Dunia secara perlahan akan membiasakan diri dengan realita bahwa negara maju tidak selamanya baik untuk dicontoh. Kondisi ini juga menjadi informasi yang baik untuk meyakinkan negara lain agar percaya diri mengambil langkah dan strategi ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan dalam negerinya berdasarkan visi dan kondisi tertentu dari negara tersebut. Krisis di negara maju setidaknya berhasil meruntuhkan pengkultusan strategi kapitalisme yang ditempuh negara-negara maju, dan menggoyang penghormatan berlebihan secara ekonomi kepada negara-negara tersebut.

Lebih jauh, perubahan kutub magnet dan pusat gravitasi ekonomi tentu bukan hanya merubah konstelasi percaturan ekonomi dunia tetapi juga politik. Karena selama ini dominasi politik secara signifikan dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi. Ketidakmampuan negara US dan EU menjaga daya saing ekonomi mereka tentu akan berimbas pada dominasi politik mereka di percaturan global. Gelar negara maju tentu akan menjadi pertanyaan banyak pihak jika kondisi mereka terlihat tertatih-tatih pada aspek ekonomi dan politik. Pertanyaan itu akan semakin relevan jika melihat kinerja ekonomi negara-negara itu berdasarkan parameter; pertumbuhan ekonomi, rasio utang luar negeri, jumlah pengangguran, dan budget deficit. Jika parameter utama ekonomi yang mereka miliki itu tidak lebih baik daripada negara-negara berkembang, apakah masih layak mereka digelari sebagai negara maju? “Kemajuan” mereka yang tersisa mungkin hanya dari sisi budaya, prilaku kemasyarakatan dan aspek sosial lainnya.

Perubahan konstelasi ekonomi dan politik sebenarnya saat ini telah berlangsung pada skala yang memang masih kecil, tetapi harus diakui hal itu tengah terjadi. Tekanan politik baik berupa diplomasi maupun kebijakan militer, serta intervensi kebijakan ekonomi dari negara-negara maju perlahan dirasakan melemah. Tekanan negara maju pada isu yang biasa mereka ributkan seperti hak asasi manusia, kebijakan/propaganda bantuan luar negeri dan lain sebagainya terlihat tidak senyaring biasanya. Kesulitan anggaran membuat negara-negara maju harus realistik dengan langkah-langkah menjaga hegemoni politik dan ekonomi (termasuk militer) mereka yang selama ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Disamping memang mereka harus konsentrasi pada kesulitan dalam negeri akibat krisis tersebut.

Sampai detik ini, memang masih sulit membayangkan akan runtuhnya dominasi US dan EU dalam percaturan global. Namun proyeksi-proyeksi ekonomi-politik untuk 20-30 tahun kedepan memperkuat validitas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Akankah tatanan dunia baru akan muncul pada semua aspek; ekonomi, politik atau bahkan militer, akibat krisis ini? Sudah siapkah negara lain menggantikan hegemoni negara-negara maju? Berkaca pada peralihan hegemoni Persia, Romawi dan Islam Klasik, smooth-kah transisi peralihannya kali ini? Hmmm.. drama belum selesai. Mari terus saksikan.

Rabu, 16 Januari 2013

kejenuhan versus kewarasan..

jika sampai pada puncak kejenuhan, saat dimana motivasi tidak ada, ketika orientasi tak jelas arahnya kemana, apakah Tuhan benarkan untuk sekedar rehat menikmati apa yang bisa dan ingin dinikmati? puncak-puncak kejenuhan memunculkan rasa tidak peduli, masa bodoh dengan semua jargon-jargon kebenaran, baik yang beredar di akal maupun yang terbenam di hati.

hambarnya kejenuhan memaksa akal dan hati untuk mau menerima gula-gula dunia. jika tidak, dalihnya semangat akan padam oleh rutinitas, akan mati karena letih. jika terus dipaksakan untuk bergerak, boleh jadi kewarasan akan hilang diusir kepenatan yang teramat sangat.

tetapi sampai kapan semangat boleh padam? sampai kapan kewarasan boleh hilang? khawatir ketika letih sudah hilang, saat penat sudah tidak ada, ternyata semangat masih belum menyala, kewarasan belum kembali. tersesat. akhirnya limbung entah kemana.

saya tahu, tidak sedikit anda yang bersedia mengambil risiko itu, karena mungkin kejenuhan tidak terlihat tepinya, karena kepenatan mungkin tidak nampak akan reda.

semoga Tuhan mudahkan jalan bagi kita para petualang peristiwa..

Rabu, 09 Januari 2013

BNM Batal Melarang Bay’ al Innah


Dalam Islamic Finance News (IFN) Reports tanggal 9-Jan-2013, Volume 10 Issue 01, pada artikel yang berjudul “Bank Negara Malaysia Makes U-Turn?” dijelaskan bahwa BNM memperpanjang batas waktu (deadline) untuk dimulainya pelarangan produk Bay’ al Innah. Sepatutnya produk ini tidak boleh di-launch lagi terhitung sejak tanggal 31 Desember 2011.

Menurut IFN berita ini diperoleh dari seorang bankir Malaysia yang menyatakan bahwa BNM memperpanjang batas waktu masih diperkenankannya me-launch produk Bay al Innah, setelah dilakukan pertemuan antara kelompok bank yang menolak ketentuan itu dengan pihak BNM. IFN tidak menyebutkan sampai kapan masa perpanjangan itu berlangsung.

Seperti diketahui bersama dalam beberapa tahun ini BNM berupaya merubah image/reputasi industri perbankan syariah nasionalnya yang dikenal liberal dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah. Dimulai dengan perubahan infrastruktur industri dengan mendirikan Sharia Advisory Council (SAC) pada tahun 2010 yang berada di dalam BNM. SAC bertugas mengeluarkan fatwa dan menjadi penasehat dalam aspek sharia compliance bagi BNM. Bahkan sejak ditubuhkan salah satu anggota SAC berasal dari Indonesia (saat ini Dr. Anwar Ibrahim sebelumnya Dr. M. Syafii Antonio).

Langkah selanjutnya adalah pelarangan penggunaan produk Bay’ al Innah oleh seluruh bank syariah disana. Namun ternyata hal itu tidak berjalan lancar mengingat produk ini begitu mendominasi portfolio produk pembiayaan perbankan syariah. Perlu diketahui portfolio produk berbasis jual-beli di Malaysia lebih dari 95% dari total portfolio pembiayaan. Tentu akan ada resistensi dari kalangan industri khususnya bank syariah yang selama ini merasa nyaman dengan produk ini.

Bay’al Innah merupakan produk kontroversial yang ditolak banyak negara diseluruh dunia khususnya negara GCC. Produk ini pada dasarnya transaksi kredit (antara nasabah dan bank) yang dijustifikasi secara syariah menggunakan transaksi jual-beli barang dengan skema “jual tunai murah, beli tangguh mahal”. Meskipun esensi transaksi ini (jual tunai murah, beli tangguh mahal ) juga masih melekat pada produk Commodity Murabaha (tawarruq) yang oleh BNM diproyeksikan menggantikan produk Bay’ al Innah ini.

Bank Indonesia's win over Bank Negara Malaysia

www.zawya.com


Islamic finance news awards results: Best banks poll 2012

________________________________________

Recognizing the best in Islamic finance

The winners of the eighth Islamic Finance news Best Banks Poll have just been announced, with some unexpected firsts, including Bank Indonesia's win over Bank Negara Malaysia for the title of Best Central Bank in Promoting Islamic Finance. This is the first time since the inception of the Poll in 2006 that the Malaysian central bank has not emerged a winner in this category. Covering all major and emerging Islamic finance markets, the IFN Best Banks Poll received an overwhelming response from industry players across the globe, including Australia, Syria, the UK, Lebanon, Iran and Kenya.

This year, the poll received an unprecedented number of votes totaling at 12,505, and after due diligence, 9,883 votes were counted towards the final results with 2,622 being rejected due to self-voting, duplication, and coming from dubious sources. The surge in votes by over 3.5 times this year is also attributed to a new voting system, allowing subscribers of Islamic Finance news to vote for their preferred bank by selecting from a provided list. In total 160 nominees over 36 categories received votes; illustrating yet again the growing size and reach of the Islamic banking and finance industry.

Selasa, 08 Januari 2013

Menjaga Martabat Kaum Dhuafa

Mengenaskan melihat antrian kaum dhuafa di depan rumah seorang dermawan atau di pelataran masjid sekedar untuk mendapatkan jatah dari zakat. Bahkan beberapa kali sampai mengorbankan jiwa akibat desak-desakkan yang tidak terkendali. Ironi pula menyaksikan kumpulan masyarakat dhuafa yang harus berpanas-panas terik menunggu dimulainya acara bakti sosial oleh satu partai politik atau perusahaan ternama karena petinggi partai atau direksi perusahaan belum tiba di tempat acara, atau sekedar menunggu kru wartawan yang diminta meliput acara itu.

Rasanya pemandangan itu sudah biasa bukan? Seperti biasa banyak orang menganggap hal itu sebuah kesalahan atas alasan acara itu hanya mengeksploitasi kaum dhuafa demi reputasi, status sosial atau tingkat keshalehan pihak pendonor. Seakan-akan kaum dhuafa memang sengaja “dipelihara” agar selalu tersedia untuk keperluan promosi pribadi, kelompok, komunitas atau perusahaan. Meski Tuhan sepertinya tidak memerlukan promosi atau iklan agar Beliau mengetahui keshalehan para dermawan, kecuali mereka ingin dilihat oleh sesama manusia.

Tulisan ini bukan untuk membahas alasan yang lazim itu. Tulisan ini ingin mengingatkan satu esensi yang lain, satu pelajaran yang mungkin kurang sering didiskusikan, yaitu tentang urgensi menjaga martabat kaum dhuafa, menjaga kehormatan para mustahik. Karena jika kita melihat prosedur amal shaleh yang telah ditetapkan secara syariat, baik filosofinya, teknis operasionalnya, infrastrukturnya dan aplikasi-aplikasi sejenisnya, akan terlihat pelajaran yang memiliki satu pesan yang sama.

Mari lihat dan pahami lebih dalam. Instrumen penyokong dhuafa yang paling utama dalam syariat adalah zakat. Tuhan sudah banyak mengingatkan dalam firman-Nya bahwa zakat itu adalah rizki kaum dhuafa (mustahik) yang diberikan melalui tangan orang kaya (muzakki). Sehingga esensinya sebagian harta orang kaya itu merupakan “titipan” yang harus disampaikan kepada pemilik sesungguhnya. Hal ini berarti mekanisme penyampaian titipan itu dilakukan bukan atas dasar pertimbangan belas kasihan yang memberikan implikasi bahwa muzakki akan naik pamornya jika mereka memberikan sebagian hartanya pada kaum dhuafa.

Mekanisme zakat juga berlangsung bukan digerakkan oleh keimanan. Beriman atau tidak beriman, seorang muzakki wajib menyampaikan barang titipan itu. Jika tidak mereka sampaikan maka dosa besarlah bagi mereka, tetapi jika mereka lakukan ya biasa saja, itulah sewajarnya yang harus terjadi. Dengan filosofi dan pemahaman ini, maka dalam mekanisme zakat kaum dhuafa (mustahik) dan orang kaya (muzakki) kedudukannya baik secara sosial maupun ekonomi sejajar, setara, tidak berbeda kasta.

Untuk semakin menegaskan kesetaraan itu, pada teknis operasionalnya penyampaian “barang titipan” itu disyariatkan dilakukan oleh perantara yang disebut amil. Amillah yang menjadi hijab antara mustahik dan muzakki. Hal ini agar pula interaksi mustahik dan muzakki pada aktifitas yang lain terjadi tanpa dipengaruhi oleh faktor belas kasihan atau balas budi akibat interaksi zakat tanpa perantara tadi. Amil membuat interaksi kehidupan antar kelompok masyarakat menjadi sehat.

Oleh sebab itu, infrastruktur dalam mekanisme sosial harus tersedia, dan salah satunya adalah lembaga amil ini. Lembaga inilah yang bertugas menjaga kehormatan masyarakat khususnya kaum dhuafa. Orang kaya yang ingin menyampaikan harta hak milik dhuafa tidak perlu bertemu langsung dengan kaum dhuafa, bahkan tidak perlu tahu siapa dhuafa itu. Amillah yang melakukan itu.

Jika sudah seperti ini, jangan pula amil yang kemudian mempermalukan dan merendahkan martabat kaum dhuafa dengan “memamerkan” dhuafa di etalase-etalase bakti sosial berdalih syi’ar. Menyampaikan harta titipan kaum dhuafa tidak perlu diatas panggung, dipublikasi berlebihan, ditepuki dan disaksikan banyak orang termasuk para muzakki. Amil sepatutnya datang langsung kepada kaum dhuafa, ketuk pintu rumah mereka, sampaikan langsung harta milik mereka itu, setidaknya amil akan lebih tahu kondisi rumahnya, keluarganya.

Menjaga martabat dhuafa itu penting agar kaum dhuafa dapat lebih maksimal turut andil dalam aktifitas kemasyarakatan yang lain. Jangan sampai kedhuafaannya diketahui terbuka oleh tetangga dan masyarakat sekitarnya, sehingga kaum dhuafa jadi rendah diri dalam rapat-rapat warga atau dipandang rendah dan diremehkan oleh masyarakat yang lain. Menjaga martabat dan kehormatan kaum dhuafa pada dasarnya adalah menjaga kehormatan masyarakat itu sendiri. Itu mengapa Tuhan juga mewanti-wanti untuk saling menjaga kehormatan, menutup aib diri dan sesama. Dan salah satu mekanisme penjagaan itu ada dalam mekanisme zakat.

Dengan alasan itu, saya mengajak teman, tetangga dan semua orang yang saya kenal, mari jaga martabat kaum dhuafa, jaga kehormatan mereka. Malulah kalau sampai ada dhuafa yang harus mengetuk pintu atau sekedar menyodorkan proposal untuk minta harta mereka (zakat). Mari juga kita tanamkan kehormatan pada diri mereka kaum dhuafa, kita bangun rasa percaya mereka kepada Tuhan, sehingga nanti wujud kaum dhuafa yang mampu menjaga kehormatan dan martabatnya, orang kaya yang kearifan dan kedermawanannya semakin bertambah-tambah.

Senin, 07 Januari 2013

nasehat..

Satu nasehat dari beberapa nasehat yang telah ditulis di sini, dan ini yang kesekian kalinya dikhususkan untuk saya pribadi

1. hiduplah semau apa kau hidup, tapi akhirnya akan mati
2. cintailah siapa saja yang ingin kau cintai, tapi akhirnya akan berpisah
3. berbuatlah semaumu tapi jangan berputus asa karena semua akan ada balasannya

Nasehat, seringkali tidak terasa beratnya, tidak dalam maknanya, tidak sampai maksudnya. Tetapi ia menjadi begitu krusial, karena nasehat menjadi salah satu tanda bahwa kebenaran masih disadari, masih ada, masih menjadi ukuran dan pedoman.

Tapi bukankah tidak ada satupun manusia di atas muka bumi ini yang terjamin kedudukannya selalu mulia dan bersih, mengapa harus ada manusia yang begitu percaya diri untuk tampil dan memberikan nasehat tentang kebenaran dan kearifan?

Ya, mungkin itu mengapa Tuhan menggunakan istilah "saling menasehati" dalam satu anjuran-Nya? "Saling" mengisyaratkan saling bergantian dalam menasehati, karena mungkin seseorang satu waktu sedang turun keimanannya dan pada waktu lain tengah naik keimanannya, sedangkan ada orang lain yang siklus imannya kebalikan dari orang itu. "Saling" juga secara implisit bermakna kebenaran prilaku individu harus dijaga dengan interaksi bersama-sama (berjama'ah).

Ushur sebagai Kebijakan Resiprokal dalam Ekonomi Islam

Beberapa waktu ini, salah satu berita yang cukup menyita perhatian di jagad perbankan dan keuangan Indonesia adalah isu tentang “keegoisan” Malaysia yang terus menunjukkan sikap negatif dalam membuka industri keuangan mereka terhadap keinginan ekspansi beberapa bank swasta Indonesia yang ingin beroperasi di negeri melayu tersebut. Requirements yang terkesan berbelit dan menghambat dengan berbagai alasan, membuat daftar sentimen negatif terhadap Malaysia semakin panjang.


Oleh sebab inilah, maka isu kebijakan resiprokal juga dituntut oleh kalangan industri domestik terhadap bank-bank asing terutama bank-bank swasta yang dimiliki oleh pihak Malaysia (swasta atau pemerintah). Perlakuan yang sama terhadap bank-bank asing tersebut tentu akan memenuhi rasa keadilan ditengah semangat pembangunan nasional yang tengah gencar membenahi diri menuju pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Kondisi perekonomian termasuk industri keuangan yang menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam periode satu dekade ini setelah krisis dahsyat tahun 1998, seharusnya menjadi modal kuat atau bargaining power bagi Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari mitra luar negeri. Kekuatan pasar Indonesia yang dominan di kawasan ASEAN dengan tingkat pertumbuhan tertinggi memang diakui tidak serta merta membuat Indonesia bisa berlaku jual-mahal terhadap pihak asing yang ingin berbisnis di dalam negeri, karena Indonesia sendiri membutuhkan suntikan-suntikan modal untuk membangkitkan potensinya. Tetapi setidaknya Indonesia dapat berlaku proporsional dan fair untuk kepentingan industri dalam negeri.

Kita tentu tidak ingin nilai tambah ekonomi Indonesia yang tengah bergeliat ini, lebih banyak dihisap oleh para kapitalis asing, yang notabene tidak begitu care dengan kepentingan ekonomi nasional. Nah. Bagaimana masalah ini dilihat dari perspektif ekonomi Islam? Seperti apa pendekatan yang dimiliki oleh Islam dalam menyikapi kondisi ini?

Konsep resiprokal pada dasarnya telah dikenal dalam kebijakan politik ekonomi dalam Islam. Pada masa Rasulullah kebijakan resiprokal mungkin belum begitu terlihat mengingat kompleksitas dan ruang lingkup aktifitas ekonomi belum begitu tinggi dan luas. Barulah pada masa Khalifah Umar bin Khattab hal ini menjadi perhatian dan muncul kebijakan spesifiknya. Kebijakan resiprokal tentu sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi domestik yang bersinggungan dengan ekonomi negara lain. Dipengaruhi pula oleh tingkat kedaulatan (tingkat daya tawar) ekonomi yang bergantung pada besar volume dan kompleksnya perekonomian tersebut.

Kedaulatan ekonomi Islam pada masa Umar bin Khattab dimulai ketika pemerintahan Umar mulai membenahi administrasi negara dan sekaligus inventarisasi aset-aset negara. Pada masa pemerintahan Umarlah relatif dimulainya fokus pembangunan fisik (ekonomi) dan non-fisik domestik negara Islam, setelah pada masa Khalifah Abu Bakar perhatian pemerintah lebih tercurah pada penstabilan kegaduhan politik selepas wafatnya Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam menegakkan kedaulatan dan meninggikan bargaining power negara Islam yang ber-ibu kota Madinah, Umar bin Khattab selaku khalifah memberlakukan kebijakan re-minting dari uang yang beredar di wilayah kedaulatan negara Islam Madinah. Kebijakan ini mengharuskan pembuatan relief baru pada mata uang dinar dan dirham yang beredar ditengah masyarakat, dengan simbol-simbol Islam. Pembuatan relief ini dilakukan pada setiap uang yang masuk ke Baitul Mal.

Sebelumnya untuk mendukung kebijakan ini, Umar melembagakan Baitul Mal sebagai institusi riil dari negara. Meskipun pelembagaan fungsi Baitul Mal bukan hanya atas alasan kebijakan re-minting mata uang semata, kompleksitas urusan negara baik politik maupun ekonomi, berlebihnya harta zakat baik yang berupa uang atau barang dan ternak, serta atas alasan diplomatik (politik) berupa amanah propaganda (dakwah) Islam ke negeri-negeri lain, menjadi alasan lain mengapa Baitul Mal diperlukan dan ditubuhkan (dilembagakan).

Pelembagaan Baitul Mal menjadi titik krusial dan menjadi milestone pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi Umar bin Khattab, baik yang berupa kebijakan publik maupun kebijakan moneter. Langkah-langkah yang ditempuh negara melalui Baitul Mal ini membuat kebijakan ekonomi terlihat terarah dan sistematik (formal) dalam menerjemahkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Dan kemudian dapat menjadi inspirasi dan rujukan dalam perumusan kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya.

Tidak terkecuali kebijakan spesifik yang ditujukan sebagai kebijakan resiprokal ekonomi merespon kebijakan serupa yang diberlakukan oleh negara lain. Salah satu kebijakan resiprokal yang mulai diberlakukan pada masa Umar bin Khattab adalah Ushur. Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke Negara Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga maksimal sama dengan tarif yang diberlakukan negara lain tersebut atas barang Negara Islam.

Pemberlakuan ushur ini dapat dijadikan referensi atas bentuk-bentuk resiprokal yang lain dalam kebijakan ekonomi merespon treatment yang diberlakukan oleh negara lain atas kepentingan nasional. Kebijakan ushur sedikitnya memberikan tiga pelajaran penting: pertama, dibenarkan atas prinsip keadilan melakukan kebijakan yang bersifat barrier kepada negara lain ketika negara tersebut mengenakan kebijakan barrier atas kepentingan nasional; kedua, perlakuan resiprokal tidak boleh menzalimi negara lain dengan melarang memberlakukan kebijakan yang lebih berat dari kebijakan yang diambil oleh negara lain; dan ketiga, pada dasarnya ekonomi Islam menjunjung tinggi interaksi ekonomi yang bebas berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan.

Pungutan pajak berupa tarif ushur harus dilihat betul-betul substansinya. Kebijakan ini tidaklah bertentangan dengan tindakan Rasulullah yang ketika memulai pengelolaan negara Madinah menghapuskan pungutan Ushur (pajak) oleh para ashir (petugas pemungut pajak). Karena kebijakan ushur berupa tarif bea masuk (pajak impor) oleh Umar bukanlah kebijakan pajak yang merata mengena kepada seluruh rakyat dan tidak bersifat permanen. Pajak impor ini bersifat kondisional sekali sepanjang pajak sejenis diberlakukan oleh negara lain atas barang (kepentingan) negara Islam.

Untuk memastikan prinsip-prinsip keadilan ditegakkan dalam menjalankan kebijakan ini, muhtasib (petugas pengawas pasar) dapat berfungsi menyerap informasi-informasi pasar yang kemudian menjadi pertimbangan pemberlakuan kebijakan resiprokal oleh Baitul Mal. Informasi tersebut penting dalam menentukan besarnya tarif, barang apa dari negeri mana saja yang terkena kebijakan dan sampai kapan kebijakan itu akan berlangsung, tentu didukung oleh informasi tersebut. Sebagai catatan, pada masa Umar bin Khattab, Hisbah (dengan muhtasib sebagai pelaksananya) yang berfungsi sebagai pengawas pasar belum formal dilembagakan. Institusi Hisbah secara formal baru ditubuhkan pada masa Abasiyah.

Dalam konteks kekinian kebijakan-kebijakan resiprokal tentu tidak hanya sebatas pemberlakuan tarif impor (Ushur) tetapi dapat pula berbentuk kebijakan lain. Misalnya kebijakan regulasi yang lebih ketat atas pelaku usaha asing dimana negaranya memberlakukan kebijakan yang sama atas kepentingan nasional. Hal ini tentu akan berkembang pada bentuk-bentuk yang sangat bervariatif bergantung pada kompleksitas atau tingkat variasi aktifitas ekonomi yang melibatkan dua atau lebih negara (ekonomi internasional. Dimungkinkan pula ijtihad bentuk lain yang mungkin substansinya sama. Wallahu a’lam.

Pustaka

Abdul Azim Islahi, “Ibn Taimiyyah’s Concept of Market Mechanism,” Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992).


Abidin Ahmad Salama, Fiscal Policy of An Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, (Edited by Mahamoud A. Gulaid & Mohamed Aden Abdullah), Islamic Research and Training Institute (IRTI) – Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, 1995

F.R. Faridi, “A Theory of Fiscal Policy in An Islamic State,” Readings in Public Finance in Islam, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank (IDB).

Hafas Furqani, Institusi Hisbah: Studi Model Pengawasan Pasar Dalam Sistem Ekonomi Islam, Skripsi S1, jurusan Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002 M/1423 H.

Hasanuzzaman, Economic Functions of An Islamic State (The Early Experience), The Islamic Foundation, Leicester UK, 1991.

M.A. Sabzwari, “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Editor: Adiwarman Karim, SE, MA), The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT), 2002.

Muhammad Akram Khan, The Role of Government in the Economy, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997.

Muhammad Nejatullah Siddiqi, Role of The State In The Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, United Kingdom, 1996.

Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, Azzam, Jakarta, 2003.

Yusuf Qaradhawi, Fiqih Daulah: Dalam Perspektif Al Qur’an dan Sunnah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1997.

Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (Editors), Money and Banking In Islam, International Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad, Pakistan, 1996.


Karir Dakwah adalah Karir Hidup yang Sejati

Salah satu parameter sukses hidup adalah kesuksesan karir kerja (nafkah). Menjadi pengusaha yang sukses, CEO di perusahaan ternama, guru besar untuk satu disiplin ilmu, pejabat tinggi di lembaga pemerintah atau parameter lainnya yang memposisikan pemangkunya sebagai manusia dengan status sosial tertinggi, sebagai seseorang yang sukses.

Demi itu gelar sukses itu, demi posisi-posisi yang mulia tadi, maka muncul dan berkembanglah konsep-konsep menuju hidup sukses. Dari konsep yang masuk akal sampai konsep diluar akal sehat, dari memunculkan motivasi, merumuskan strategi sampai dengan implementasi, dari upaya keras peras keringat sampai dengan siasat bersama dukun menggunakan jampi-jampi, semuanya ditujukan untuk meraih sukses. Tentu saja sukses dengan definisi seperti diatas.

Nah, ditulisan ini saya bukan mau menawarkan konsep baru atau ingin memberitahu siasat yang jitu. Seperti biasa saya hanya ingin mengajak merenung sejenak, melamunkan; apakah sudah benar konsep kita tentang karir hidup. Saat kita sudah mengakui bahwa orientasi hidup ini telah beyond dari sekedar dunia (ada akhirat yang juga kita tuju), maka sepatutnya karir hidup juga mengacu pada orientasi ini.

Oleh karena itu parameter sukses juga seharusnya mengakomodasi definisi kedua orientasi, yaitu dunia dan akhirat. Sukses tidak akan valid jika hanya mengakomodasi dunia tetapi mengabaikan akhirat. Parameter sukses harus melingkupi apa-apa yang disebut sukses di kedua orientasi itu, khususnya akhirat.

Saya sangat yakin jika saya ingatkan tentang parameter sukses di akhirat, anda akan sangat fasih menyebutkan apa saja parameternya, dari kerja-kerja ibadah hingga amal-amal muamalah. Tetapi yang jarang diinsyafi adalah kesadaran pada karir hidup tadi. Jika memang kita mengakui parameter sukses tadi bukan hanya kesuksesan dunia tetapi juga akhirat, maka karir hidup yang sejati seharusnya adalah karir yang berorientasi akhirat, karir yang tidak mengenal pensiun dan tidak memiliki batasan waktu untuk disebut sukses.

Inilah yang kemudian membuat saya yakin bahwa karir hidup yang utama bagi mereka yang berorientasi pada dunia dan akhirat adalah karir dakwah (amal shaleh), bukan karir nafkah. Tetapi percayalah untuk fokus pada karir ini kita memiliki berbagai rintangan. Sifat-sifat fitrah seperti keserakahan, cinta dunia, lupa dan kebodohan menjadi tantangan yang sangat besar. Namun begitu, jika kita mampu mengendalikan sifat-sifat itu, tentu akan menambah kemuliaan dan mendukung kesuksesan karir hidup yang sejati. Fokus.

Rabu, 02 Januari 2013

usiamu..

matahari masih sama seperti 30 tahunan yang lalu. terik atau terhalang awan cahayanya masih sama, menerangi dan menjadi penanda hari baru. pagi, siang hingga petang, berbagai peristiwa silih berganti, ada yang saling melengkapi, ada yang terjadi dan terus memperkaya kehidupan yang dilewati, ada yang membuat bingung untuk disikapi, atau banyak juga yang hingga kini terus menjadi misteri..

berkaca pada masa lalu dan berharap pada masa depan, menjadi saat-saat yang memenuhi hidup dan kehidupan. seringkali menatap semua itu dengan penuh percaya diri dengan senyum memenuhi ruang dan waktu. tetapi tidak jarang menatap kuyu dengan sungut yang hampir-hampir tak beda antara hidup dan mati..

mungkin ini akan terus terjadi, berulang dengan wajah peristiwa yang berbeda-beda, tetapi memiliki esensi yang sama. satu substansi dengan beragam respon, karena hidup memiliki beribu harapan dan mau..

inilah usiamu..