Selasa, 09 April 2013

Bukan Justifikasi Atas Ketidakmampuan

Metamorfosa untuk tidak menjadi siapa-siapa bukanlah dalih atau justifikasi atas ketidak-mampuan. Karena menyikapi diri untuk tidak agresif terhadap takdir sesungguhnya bukanlah sikap pasif dan pasrah tanpa usaha. Sikap ini adalah sikap yang aktif secara sadar untuk hidup berdasarkan kehendak Tuhan. Harapan selalu ada untuk menjadi semangat dalam berbuat, namun jika usaha maksimal telah dilakukan tidak memberikan hasil sesuai dengan harapan, jiwa tidak kemudian tersungkur kecewa. Bahkan boleh jadi jiwa merespon dengan lapang dada yang kualitasnya sama dengan “kesuksesan”.

Eksistensi kehendak Tuhan atas segala sesuatu menjadi alasan utama kecewa dan sedih yang berlebihan tidak perlu muncul karena suatu kegagalan. Tuhan pernah berkata: sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman, jiwa dan harta mereka dengan syurga. Nah, bukankah jika berharap syurga maka tidak adalagi eksistensi kehendak pribadi, karena semua kepentingan manusia sudah dijual dan kini yang eksis adalah kehendak Tuhan.

Tuhan juga pernah berpesan melalui lisan Nabi-nya, yang garis besarnya seperti ini: wahai hamba-Ku kau berkeinginan, Aku-pun berkeinginan, jika kau tidak sandarkan apa yang kau inginkan pada-Ku, maka akan Aku berikan kau kesengsaraan dan keletihan, jika kau sandarkan apa yang kau inginkan pada-Ku, maka akan Aku cukupkan apa yang kau butuhkan, sesungguhnya yang terjadi adalah yang Aku inginkan.

Sungguh, pada saya ini simpul-simpul misteri hidup yang harus dipahami seiring dengan bertambahnya usia. Karena ia misteri, seringkali mekanisme kerja dan logika hidup dalam bingkai skenario Tuhan itu sukar untuk dicerna dan dimengerti sebab-akibatnya. Tapi percayalah, Tuhan selalu sempatkan semua manusia untuk merasakan terang benderangnya hikmah, menikmati lezatnya anugerah, dan memandang indahnya panorama hidup. Bukan yang mereka inginkan memang, tapi pasti yang mereka butuhkan.

Minggu, 07 April 2013

Metamorfosa Untuk Tidak Menjadi Siapa-Siapa

Silih berganti harapan muncul untuk terus menyemangati hidup dan kehidupan. Ketika keinginan sampai pada kenyataan-kenyataan takdir, entah itu kenyataan memberikan apa yang diinginkan atau kenyataan tidak memberikan apa-apa, akan selalu muncul harapan lain atau harapan baru mengganti harapan lama. Harapan memang berguna agar pemiliknya selalu memiliki hasrat hidup dan berbuat. Begitu seterusnya, hidup dipenuhi oleh satu harapan dan harapan-harapan selanjutnya.

Dari banyak harapan yang pernah muncul, berapa yang sampai menjadi kenyataan? Apa sebab kenyataan mampu dicapai sesuai harapan? Mereka seperti apa yang mampu melakukan itu? Mungkin beberapa anda akan menilai bahwa mereka yang mampu lebih banyak merealisasikan harapannya menjadi kenyataan adalah mereka yang sukses. Sehingga manusia yang seperti itu dijadikan referensi oleh manusia lain dalam mengejar mimpi-mimp mereka. Lalu, berapa banyak mereka yang mencoba strategi yang sama, memperoleh hasil yang sesuai kenyataan?

Dalam tulisan ini saya tidak sedang berbicara satu hal yang akan memotivasi anda untuk meniru jalan-jalan sukses saya. Justru sebaliknya, saya sedang ingin mengajak anda untuk hidup lebih baik dengan “ketidak-suksesan”. Karena juga memang saya merasa lebih banyak menemui kenyataan-kenyataan yang tidak sama dengan harapan, dimana kenyataan jarang memuaskan harapan saya.

Namun kalau saya renungkan lagi lebih dalam, dalam kesendirian dan diam, saya temukan semua jawaban yang membebaskan saya dari gundah karena ketidak-suksesan itu. Berkali-kali dan bertubi-tubi ketidak-suksesan atau kegagalan itu datang, tetapi berkali-kali pula ternyata saya memperoleh “kompensasinya”. Setidaknya di bawah ini catatan kegagalan saya yang menonjol dalam hidup.

Gagal kuliah di kedokteran dan elektro membuat saya mendalami ilmu ekonomi. Gagal untuk dapat segera bekerja setelah kuliah memaksa saya kuliah kembali dan berkenalan lebih dalam dengan ilmu ekonomi Islam. Tidak serta-merta mendapat ijazah master akibat belum melunasi biaya kuliah, ternyata tidak menghalangi saya untuk bekerja di bank sentral. Tak pernah cukup tabungan saya untuk memiliki rumah yang saya idam-idamkan, ternyata menuntun saya dan istri untuk menunaikan ibadah haji terlebih dahulu.

Dan kini baru saja saya gagal melanjutkan studi S3 meski beasiswa dan diterima kuliah di universitas luar negeri sudah saya peroleh, tapi saya belum tahu apa yang akan saya dapatkan sebagai “kompensasinya”. Atau kegagalan-kegagalan lain sebelum ini yang saya juga belum tahu dan belum dapatkan kompensasinya.

Ya, jika difikirkan lebih dalam ke dasar substansinya, akhirnya banyak sekali penjelasan atas kegagalan itu. Penjelasan bahwa kegagalan itu bukanlah sesungguhnya gagal. Pertama yang sampai pada saya adalah kesimpulan bahwa gagal memperoleh hasil yang sesuai kenyataan tidak melulu karena salah dalam memunculkan harapan, salah dalam berencana khususnya penetapan harapan tanpa memperhitungkan kemampuan. Saya menerka biasanya orang yang berharap sesuatu secara otomatis telah memasukkan pertimbangan kemampuan dirinya.

Kedua, bahwa kenyataan tidak hanya bergantung pada kemampuan, karena mekanisme Tuhan dengan kehendak-Nya lebih superior atas apa yang terjadi pada semua peristiwa hidup manusia. Oleh sebab itu, ketiga, bahwa keyakinan akan skenario Tuhan bermaksud baik pada setiap kenyataan yang harus diterima setiap manusia harus dipahami betul. Sehingga, ketidak-suksesan tidak begitu saja dilihat dilihat sebagai kegagalan.

Menggunakan kesimpulan-kesimpulan seperti itu, saya memandang hidup manusia pada tingkat tertentu selalu menerima pembelajaran dari Tuhan. Dan ketidak-suksesan yang berulang kali datang bukanlah bentuk gagal, tetapi boleh jadi bentuk pelatihan bagi manusianya untuk mampu semakin hari menerima kekecewaan dengan lebih baik, belajar ikhlas, belajar sabar. Meskipun saya yakin sekali ketidak-suksesan selalunya diiringi “sukses” dalam bentuk lain yang awalnya selalu diremehkan atau bahkan tidak dipedulikan.

Nah, oleh sebab alasan-alasan ini, saya sampai pada kesimpulan akhir, bahwa ketika seorang manusia ikhlas menerima bahwa dia “bukan siapa-siapa” (no body), sesungguhnya saat itu dia telah menjelma menjadi “siapa-siapa” (some body). Mereka menjadi manusia paling bersahaja dengan emosi yang matang dan mampu dengan dewasa menghadapi semua perkara berikut dengan hasil-hasil “gaganya”. Toh, baginya jikapun pada akhirnya hal ini bukanlah pembelajaran yang bisa diterima akal dan hatinya, keyakinannya mampu menyikapi dengan menganggap bahwa dosa sudah berkurang akibat ketidak-suksesan itu.