Senin, 06 Januari 2014

kejujuran dalam ilmu

kejujuran ilmu, itu pokok ide tulisan ini. kejujuran ilmu bukan hanya jujur menyampaikan fakta pengetahuan tetapi secara mendasar ilmu yang baik akan menjaga pemiliknya untuk selalu jujur. ilmu dan kejujuran dengan begitu menjadi dua entitas yang saling menjaga. seperti saling menjaganya gunung dan lembah, kata dan makna, malam dan siang, cinta dan kasih sayang.

tulisan ini memang diinspirasi oleh film inside job yang saya lihat di youtube. mengejutkan bagi saya, ketika melihat professor-professor universitas terkenal larut dalam keserakahan industri keuangan yang meraksasa tanpa kendali. gelimang komisi yang melangit membutakan mata para guru besar itu, sampai-sampai mengangkangi kemahfumannya tentang apa itu ilmu ekonomi. buat anda yang belum pernah melihat film itu, selamat menikmatinya di youtube. akan anda lihat bagaimana laporan para guru besar itu tentang negara islandia yang mereka laporkan sehat namun beberapa hari setelahnya jatuh bankrut. ketika amerika bersiap terjun bebas dalam krisis keuangan terbesar setelah great depression, beberapa hari sebelumnya seorang guru besar yang dipercaya menjadi pembantu gubernur federal reserve, mengundurkan diri hanya karena alasan ingin merevisi buku ekonominya!!!

kejujuran untuk berkata benar dari ilmu yang benar, ilmu yang benar sepatutnya menjaga pemiliknya dalam kejujuran, semua itu tidak terlihat. yang disuguhkan malah sebuah fakta yang sangat pantas untuk dicibir. menyedihkan. pada saya, pertanyaan yang tak kalah pantas untuk disampaikan adalah, apakah ilmu yang mereka dapatkan itu benar? jika benar, kemana ilmu itu pergi?

sekali lagi ilmu dan kejujuran adalah dua entitas yang saling menjaga, mereka bersanding dan mengangkat pemiliknya pada derajad kemuliaan yang lebih tinggi. saya camkan kembali semua hikmah ini untuk diri saya. dan tentu untuk anda semua pencari ilmu dan yang sedang belajar jujur. ahlan.








Outlook Perbankan Syariah Indonesia: Menyongsong Otorisasi OJK


Ali Sakti

Melihat perkembangan industri perbankan syariah nasional terakhir, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati, diantaranya otoritas industri yang baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pencapaian market share psikologis industri 5% dan dimulainya periode krusial untuk persiapan implementasi mandat UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan liberalisasi pasar regional Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika dilihat secara sejarah industri perbankan syariah pada dasarnya terbagi menjadi 3 periode besar pertumbuhan, yaitu periode inisiasi dimana berdiri pertama kali bank syariah di Indonesia tahun 1992, periode pengembangan ditunjukkan dengan munculnya pelaku baru baik berupa Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) sejak tahun 2000 dan periode pemapanan ditandai dengan disahkannya UU Perbankan Syariah tahun 2008. Ditandai dengan disahkannya UU No 21 tahun 2011 tentang OJK, kini industri ini akan memasuki periode baru dimana otoritas industri akan beralih dari Bank Indonesia kepada OJK, dan secara resmi peralihan itu akan dimulai tahun 2014.

Pada periode pertama hingga tahun 2000, tidak ada petumbuhan yang signifikan dari industri perbankan syariah, karena memang indusustrinya belum terbangun, dimana didalamnya hanya ada pelaku tunggal yaitu Bank Muamalat Indonesia. Namun prestasi bank syariah pertama tersebut yang mampu bertahan dengan baik pada masa krisis keuangan 1997-1998 ditambah dengan tuntutan masyarakat yang begitu tinggi, membuat keran kebijakan dan regulasi terbuka untuk muncul bank syariah baru pada tahun 2000. Sejak itu Industri perbankan syariah nasional memasuki periode kedua yaitu periode perkembangan, dimana muncul 2 BUS baru dan 3 UUS. Dapat dikatakan periode pengembangan adalah era UUS mengingat pertambahan UUS yang cukup menonjol dari 3 UUS tahun 2000 menjadi 26 UUS pada tahun 2008. Selanjutnya pesatnya pertumbuhan industri yang mampu tumbuh lebih dari dua kali lipat dari pertumbuhan perbankan nasional, memancing perhatian pemerintah untuk memapankan industri ini dengan munculnya UU Perbankan Syariah yang telah lama ditunggu. Industri pun merespon kemapanan ini dengan menaikkan status (spin-off) bank-bank syariah dari bentuk UUS menjadi BUS. Periode pemapanan ini ditandai dengan perubahan komposisi BUS-UUS dari 3 BUS dan 28 UUS menjadi 6 BUS dan 25 UUS. Saat ini komposisinya  telah berkembang menjadi 11 BUS dan 23 UUS dengan asset yang telah menembus lebih dari Rp 200 triliun (per Oktober 2013).

Dengan konstelasi seperti itu, menarik melihat dinamika yang akan terjadi pada tahun 2014. Diyakini bahwa pertumbuhan dan atmosfer ekonomi makro tahun 2014 akan lebih baik dari tahun ini. Banyak lembaga ekonomi baik domestik maupun internasional termasuk Bank Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5-6% dengan tingkat inflasi yang relatif terkontrol pada kisaran 4,5 plus-minus 1%. Kestabilan ekonomi domestic tentu menjamin irama positif pertumbuhan industri perbankan syariah nasional. Bank Indonesia pada tanggal 16 Desember lalu telah mengeluarkan outlook perbankan Syariah 2014, dimana diperkirakan secara moderat pertumbuhan industri berdasarkan asetnya sebesar 19% - 29%. Perkiraan ini memang terkesan lebih pesimis dibandingkan dengan pertumbuhan dalam satu tahun terakhir yang mencapai rata-rata 38% dengan pertumbuhan terendah 34% pada bulan Januari dan tertinggi 46% pada bulan Mei. Dengan kondisi yang relatif sama, sebenarnya ruang pertumbuhan industri perbankan syariah nasional masih cukup terbuka ada di kisaran 30-35%. Namun dengan asumsi bahwa tahun 2014 merupakan tahun peralihan otoritas perbankan dari BI ke OJK, dimana industri perbankan khususnya dan industri keuangan nasional secara umum akan lebih terfokus pada pembenahan kelembagaan, sehingga implikasinya diperkirakan tidak ada kebijakan yang signifikan yang akan diambil untuk mengakselerasi pertumbuhan industri lebih tinggi.

Dengan demikian, sebagai konsekwensi yang juga wajar, maka diharapkan pembenahan kelembagaan meliputi pembenahan pondasi dasar yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah nasional, yaitu kebutuhan mendesak akan master-plan pengembangan industri perbankan syariah nasional. Momentum penyatuan kewenangan regulasi industri keuangan Indonesia dibawah satu payung OJK seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk memperoleh sebuah grand master-plan pengembangan system keuangan nasional yang kuat dan focus pada kemanfaatan maksimal bagi perekonomian Indonesia. Terlebih lagi OJK memiliki amanah tambahan dengan disahkannya UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), maka sempurna pengawasan industri keuangan nasional yang dilakukan oleh OJK, dari industri keuangan mikro yang melayani segmen masyarakat usaha mikro-kecil sampai dengan industri keuangan menengah besar (dominan oleh perbankan dan pasar modal) yang melayani segmen masyarakat usaha menengah dan besar.

Menghadapi periode krusial untuk implementasi UU Perbankan Syariah dimana tahun 2023 seluruh pelaku perbankan syariah harus berbentuk BUS dan pemberlakukan liberalisasi keuangan atas kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2020 (khusus sektor keuangan), perlu mendapat perhatian yang lebih dari OJK. Kesiapan regulasi dan kebijakan yang menciptakan lingkungan industri yang kondusif, memfasilitasi pemenuhan kebutuhan SDM yang kompeten, kelengkapan infrastruktur yang mendorong pelayanan menyeluruh bagi semua segmen usaha dan mendorong kinerja dan jangkauan pelayanan lembaga keuangan pada seluruh segmen masyarakat usaha Indonesia. OJK masih memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan itu semua. Namun kebutuhan yang paling mendesak untuk segera disediakan adalah tersedianya grand master-plan pengembangan industri keuangan nasional. Tentu master-plan pengembangan industri tersebut disusun secara terencana dengan sistematis dan terukur. Sejauh ini dokumen resmi terkait ini sudah sering didiskusikan, baik berupa Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) maupun Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), namun road-map tersebut belum menjadi platform bersama yang secara resmi berlaku dandipahami dengan baik sehingga menyatukan visi dan strategi teknis pengembangan industri. Hal ini tentu menjadi tantangan awal bagi OJK. Sebagai lembaga otoritas dari hampir meliputi semua industri dalam system keuangan nasional, OJK tentu sangat membutuhkan road-map pengembangan industri.

Dengan demikian, tahun 2014 menjadi tahun yang didominasi oleh upaya konsolidasi industri keuangan khususnya industri perbankan syariah. Konsekwensi hukum dari berlakunya UU OJK harus diikuti dengan penyesuaian UU Perbankan termasuk UU Perbankan Syariah yang akan menjadi amanah OJK. Tantangan berat pengembangan industri keuangan syariah termasuk perbankan syariah didalamnya, memang akhirnya terletak pada harmonisasi kebijakan dan regulasi yang diintegrasikan dalam satu payung OJK. Tetapi diyakini bahwa keterpaduan ini akan memberikan efek akselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah nasional karena diharapkan integrasi pengaturan akan mereduksi atau bahkan mengeliminasi hambatan yang selama ini ada. Gaung sosialisasi perbankan syariah akan lebih nyaring terdengar dengan baju kampanye industri keuangan syariah nasional, karena skala promosi akan relatif lebih massif dan impact-nya akan lebih signifikan. Konsekwensi turunan pada penyiapan SDM di sektor pendidikan akan lebih serius dilakukan karena akan merujuk pada skala industri keuangan syariah yang terlihat jauh lebih besar dan lebih nyata. Dan terakhir, skala besar yang mencerminkan peran dan kontribusi industri keuangan syariah nasional termasuk perbankan syariah, akan lebih menggugah pemerintah untuk lebih mengambil peran aktif dalam mendorong industri ini, seperti menyediakan insentif kebijakan seperti yang selama ini dinikmati industri yang sama di negara lain, misalnya insentif pajak, keberpihakan memanfaatkan industri keuangan syariah dalam pengelolaan treasury lembaga negara dan lain sebagainya. Semoga semua harapan ini tidak sekedar menjadi harapan.

*) tulisan ini sudah dimuat di Republika tanggal 25 Desember 2013