Kamis, 28 Januari 2010

ya ikhwati...

Lihatlah ikhwah jika kita tidak lagi fokus pada akhlak dalam mengusung panji-panji Islam, yang tertawa hanya syetan dan musuh-musuh Islam




Ingat-ingat, sifat-sifat yang menjadi tujuan tarbiyah kita

Perhatikan...


Pernahkah perhatikan wajah langit yang setiap harinya selalu berubah? Wajah langit selalu tidak sama setiap hari setelah penciptaannya dulu, entah berapa juta tahun yang lalu. Seberapa banyak Tuhan punya refrensi wajah langit?

Pernahkah perhatikan semut yang lalu lalang di kamar mandi? Ternyata koloni semut itu punya sarang di kamar mandi, meski kita selalu bertanya darimana makanan dia dapatkan padahal kamar mandi selalu terlihat bersih. Begitu misterinya logika rizki yang Tuhan sudah genapkan bilangannya.

Pernahkah perhatikan pengemis yang masih bisa tertawa dan bercanda, meski hidup terus menghimpit mereka? Atau perhatikan orang-orang kaya yang wajahnya menunjukkan stress yang jauh dari makna bahagia? Mungkin karena himpitan sudah memenuhi seluruh hidup pengemis, sampai-sampai ia tidak lagi merasa itu sebuah himpitan. Sementara hidup orang kaya penuh dengan masalah sehingga kelebihan rizki baginya bukan lagi suatu keistimewaan yang bisa disyukuri atau bahkan dibanggakan.

Memperhatikan dan kemudian mengambil makna, sebuah pekerjaan yang sering kita abaikan. Itu mungkin yang membuat hati kita tidak peka dengan keadaan di sekeliling kita. Atau jangan-jangan karena itulah mulai sedikit manusia yang konsisten pada kebenaran-kebenaran yang telah sampai pengetahuan itu pada mereka.

Memahami setiap kejadian dan peristiwa, dari satu saat ke saat selanjutnya, lamat-lamat akan menyadarkan kita pada satu hal, yaitu Tuhan memiliki logikanya sendiri. Logika itu tertuang dalam kalimat-kalimat-Nya yang terangkum dalam Qur’an maupun yang terhampar di alam semesta. Logika Tuhan yang saya pahami tertuang dalam Islam. Bersama dengan Islam artinya kita akan dan harus selalu siap dengan logika yang tidak jarang misterinya terungkap di akhir sebuah peristiwa. Bentuk memahami logika boleh saja berupa syukur, karena harapan kita sejalan dengan logika itu, atau berupa penyesalan ketika harapan berhadap-hadapan dengan logika.

What I am trying to say is, sisihkanlah waktu untuk sekedar memperhatikan dan kemudian mencari-cari makna di belakangnya. Cara ini mungkin mampu meredakan dan mengurangi rasa gundah, gelisah, stress atau bahkan kecewa dengan semua yang kita alami. Atau cara ini mampu mengembangkan rasa sabar dan ikhlas yang memang saat ini mulai punah dari hati para manusia.

Kepada saudaraku, para mujahid dakwah, lihatlah kerja-kerja kita, terkadang kita juga gagal memahami logika Islam dalam kesibukan kita menegakkan panji-panji Islam. Tarbiyah belasan tahun atau puluhan tahun bukan jaminan kita mampu menyikapi dengan benar ujian Tuhan yang hanya berdurasi 2-3 menit. Sehingga tetap saja andalan kita adalah petunjuk dan perlindungan Allah SWT. Keyakinan yang semakin tebal pada kekuasaan Tuhan bukan hanya pada sekedar pada rizki, jodoh dan usia, tetapi juga pada semua peristiwa yang melingkupi hidup manusia, dari membukanya kelopak mata, hembusan nafas hingga pada hasil kerja dan kematian, haruslah menjadi logika kita atau bahkan menjadi reflek kita. Dengan begitu, Tuhan selalu ada bersama kita.

Duhai Tuhanku yang Agung yang Maha Perkasa, jauhkan rasa bosan dari hati kami untuk selalu bersimpuh di serambi-serambi suci-Mu...

Senin, 25 Januari 2010

Kembali ke Barisan!!!

Kembali ke barisan! Judul yang sebelumnya saya ingin cantumkan pada tulisan sebelum ini. tetapi kemudian saya koreksi, karena terbetik dalam hati, ingin bicara khusus tentang masalah yang satu ini. karenanya pula, tulisan kali ini saya khususkan teruntuk saudaraku para punggawa risalah yang berada di luar barisan dakwah dengan berbagai macam alasan. Mungkin karena tengah melepas lelah yang entah sampai kapan, atau tengah dirundung rasa bosan yang sudah kronis tak berujung, atau lelah dengan segala kerja-kerja dakwah dan pengorbanannya, atau terlampau asyik dengan kenikmatan lain di dunia lain, atau ruang hatinya telah penuh dengan kecewa akibat prasangka-prasangka yang tak kunjung mendapat tabayun, atau hanya sekedar salah mengartikan sayang Kekasihnya, Allah SWT, ia kira ia mendapat hukuman padahal sebuah ujian kemuliaan.

Kepada mereka semua saya serukan dengan sepenuh hati dan dengan segala kerendahan hati, kembali ke barisan!!! Jalan kemuliaan sudah merindukan tetes keringatmu untuk menyejukkannya, angkasa medan perjuangan mendambakan pekikan-pekikan takbirmu yang lantang.

Dan yang pasti, kami merindukan kalian semua. Kami ingin berjuang bersama antum kembali, seperti ketika kita sama-sama mebalik-balikkan lembar-lembar rosmul bayan sebagai pembelajaran akidah dan akhlak di lingkar-lingkar majelis ilmu dan ukhuwah. Tidakkah kau rindu masa-masa itu? Aroma dakwah dalam pertemuan pekanan yang menyuguhkan berbagai macam hidangan kehangatan. Masihkah kau ingat betapa enggannya langkah kita menuju kesana, tetapi sekali kita ada di dalamnya ada rasa syukur yang membuat kita tidak ingin menukar majelis itu dengan apa saja.

Tidakkah kau tahu, Allah pun merindukanmu. Lihatlah Allah masih menunggumu di medan yang telah lama kau tinggalkan. Jika Allah murka mungkin sudah lama Dia benamkan kita dalam kemurkaan-Nya, sudah lama Dia jajakan aib-aib kita semua, tetapi lihat... rahmat-Nya masih meliputimu, kasih-sayangnya menghampirimu pagi hingga petang, petang hingga pagi kembali. Tataplah betul-betul, “tangannya” masih terbuka menunggu pelukan hangatmu... menunggumu kembali...

coba bayangkan betapa bahagianya Allah jika kau kembali. Bahagia Allah menyambut hamba yang baru mengenal-Nya saja begitu sangat, apalagi menyambut hambanya yang dulu pernah dekat dengan-Nya, pernah berjuang atas nama-Nya, berjuang menegakkan panji-panji-Nya, berkorban apapun yang dia punya untuk itu semua.

Duhai ikhwah, jangan biarkan kami berdiri sendirian di tengah-tengah padang... kembali!! Meskipun kami sendiri tak mampu menjamin diri kami untuk selalu ada di dalam barisan ini. tetapi setidaknya jika kalian ada di barisan ini, dan jika kami yang nanti tersesat, maka kami berharap kalianlah yang menyeru kami, mengingatkan kami, menyelamatkan kami.

Atas nama kecintaan itu semua duhai ikhwah, abaikan lelahmu, lupakan kebosananmu, tinggalkan semua prasangka, bergeraklah ketempat yang lebih tinggi agar kau dapat lihat hakikat-hakikat kemuliaan dan kasih sayang-Nya. Setelah itu, bersihkan diri dengan air-air wudhu yang sejuk, kemudian tersungkurlah dalam dua rakaat keinsyafan di serambi-serambi suci-Nya, ambil kembali mushaf-mushaf yang telah lama kau tidak nikmati maknanya, lantunkan bait-bait langit sebagai tanda engkau kembali berazam untuk menjadi penghuni langit. Tak perlu malu untuk teteskan air mata kerinduan yang telah lama kau bendung di kedua kelopak mata dan hatimu.

Ayyuhal Ikhwah!! Selanjutnya adalah masa untuk kembali ada di barisan perjuangan, kalian tahu posisi antum sebaiknya ada dimanadalam perjuangan ini. hampiri majelis-majelis ilmu dan ukhuwahmu, tunaikan amanah-amanah dakwah yang telah dianugerahkan padamu, hunus kembali semua senjata dakwah yang kau punya. Kini kau memiliki bekal yang lebih banyak, kesiapan pengorbanan yang juga tak kalah banyaknya, maka majulah... engkau telah kembali!!!

Minggu, 24 Januari 2010

Jangan Pernah Palingkan Lamunanmu dari Al Aqsa


Lamunan yang sepetutnya ada di benak setiap pelamun Islam akhir zaman ini adalah lamunan tentang Al Aqsa. Lamunan itu bahkan hukumnya wajib bagi para pemuda yang sudah mewakafkan dirinya bagi Islam dan semua bentuk perjuangannya. Lamunan itu sebagai harapan yang selalu menyemangati jiwa dan semua aktifitasnya, membakar semangat dan semua geraknya. Oleh karena itu konsentrasi pada setiap langkah menjadi sesuatu yang mutlak bagi semua pejuang.

Tetapi tidak kita pungkir, bahwa menuju puncak perjuangan, ujian, cobaan, godaan dan semua bentuk kendala yang dapat mematikan semangat, menyurutkan motivasi atau bahkan memadamkan harapan, akan semakin hari semakin dahsyat menerpa setiap pejuang. Oleh sebab itu, dibutuhkan keunggulan pribadi-pribadi Islam dan kesatuan langkah jamaah. Lihat saja derasnya gelombang godaan, tebal dan tingginya dinding ujian.

Akhirnya menegakkan kemuliaan Islam ini membutuhkan perjuangan yang lebih keras, pengorbanan yang lebih banyak. Para pejuang harus memahami jalan yang akan dilaluinya, jalan yang akan menjadi kehidupannya hingga kematian menjemput mereka. Oleh sebab itu, para pejuang membutuhkan ekstra semangat, ekstra motivasi dan ekstra harapan. Kebutuhan lebih pada itu semua akan dicukupkan oleh mimpi-mimpi syurga. Dan cukuplah bagi mereka janji syurga itu, untuk kemudian memberikan sepenuhnya hidup, jiwa apalagi sekedar harta bagi Islam dan kemuliaannya.

Dan untuk menuju kesana, medan perjuangan puncaknya ada di sebidang tanah di Palestina, sebidang tanah dimana tegak berdiri Masjid Suci ketiga ummat Islam, yaitu Al Aqsa. Tumpahkan semua obsesi dan cita-cita di sana. Pembebasan Al Aqsa adalah pembebasan semua aspek Islam yang saat ini tengah terjajah. Percayalah pembebasan Al Aqsa membutuhkan pembebasan tanah-tanah Islam terlebih dahulu, baik bebas dari kungkungan negara zalim maupun bebas dari pemimpin-pemimpinnya yang lalim.

Nah, kini hentikan semua lamunan, ambil posisi pada medan perjuangan masing-masing. Sekalipun medan perjuanganmu hanya sepetak ruangan taman bermain anak-anak, karena sesungguhnya perjuanganmu itu adalah menanamkan Islam pada mereka, sekaligus menjaga mereka dari sikap-sikap tidak terpuji yang nanti akan menjadi kendala bagi perjuangan mereka kala dewasa. Atau boleh jadi perjuanganmu adalah tengah menyiapkan prajurit-prajurit masa depan yang akan ada di barisan terdepan pembebasan Al Aqsa. So, jangan sibuk dengan hal yang tidak penting!

Kepada mereka yang terus meninabobokkan dirinya dengan seribu satu alasan untuk dilayakkan menikmati kemegahan dunia, atau mereka yang saat ini penuh dengan kebosanan, atau mereka yang disesatkan dengan prasangka-prasangka, Atau mereka yang sudah merasa terjebak di sumur lumpur, padahal yang disangka lumpur itu hanya kotoran yang ada disudut-sudut mata atau sekedar kotoran yang memenuhi kaca mata, sadarlah!! bersihkan matamu atau ganti kaca matamu! Bangkitlah!! Kembali ke barisan!!! Barisan pejuang mulai bergerak! Barisan ini menuju medan yang kemenangannya sudah dijanjikan, hidup mulia atau mati syahid!!!

Selasa, 19 Januari 2010

Syair


Syair dalam beberapa waktu mampu menjadi alat ukur untuk mengetahui kedalaman hati, kepekaan rasa dan kebesaran jiwa. Atau ia bisa merefleksikan tingkat dan kualitas kesadaran. Atau setidak-tidaknya, syair mampu membuat pecintanya untuk jujur tanpa harus dipaksa.

Bagi saya, syair menjadi teman untuk berakrab-akrab dengan kebijaksanaan, dengan hikmah, yang kemudian mampu mengantarkan jiwa ini ada di dekat kebenaran. Itu mengapa syair tentang jiwa menjadi kekaguman saya diantara berbagai macam bait-bait syair yang mempesona. Syair tentang keindahan Tuhan begitu juga karya-Nya pun menjadi rangkaian kata bak mutu manikam dalam dunia olah kata.

Ada syair indah dari seorang anak manusia yang bernama Rabindranath Tagore, dimana di akhir syairnya ia bersaksi tentang keagungan Tuhan pada kejadian-kejadian hidupnya, cermatilah:

“.. i received nothing i wanted, i received everything i needed, God has answered my prays..”

Pengakuan yang tak kalah tulusnya juga terekam dalam jalinan kata-kata EMHA Ainun Najib, nikmatilah:

“.. jadi berhentilah mendirikan tembok – tembok, karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung, tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku, sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada..”

Dengan semua ketulusan dan kejujuran rasa, dengan syair kita mampu mendapatkan sebuah keheningan dalam keriuhan peristiwa-peristiwa. Karena syair-syair pada hakikatnya menjaga konsentrasi dan visi hidup. Apalagi jika kita resapi syair-syair langit dari Sang Maha Penyair, lihatlah bagaimana titah sekaligus kasih syang-Nya:

“.. wahai hambaku, kau berkeinginan, Aku pun berkeinginan. Apabila kau tidak sandarkan apa-apa yang kau inginkan pada-Ku, maka akan aku berikan kau keletihan dan kesengsaraan. Apabila kau sandarkan apa-apa yang kau inginkan pada-Ku, maka akan aku cukupkan apa yang engkau butuhkan. Sesungguhnya yang terjadi adalah apa yang aku inginkan..”

Demikianlah syair yang telah menghiasi dunia, sejarah dan manusia, dan ia sampai pada saya dengan kejujuran yang sama.

Kembali...

Ketika lisan dan kata tak mampu lagi mewakili rasa
Maka yang paling bersahaja untuk dilakukan adalah diam seribu bahasa

Ketika langit tak mampu meneduhi tingginya cinta
Dan ketika dasar samudera tak mampu manadahi rendahnya penghambaan
Maka tempatkanlah itu semua dalam ruang hati yang luasnya lebih dari alam semesta

Engkau cari jawaban hingga di puncak gunung dan kaki lembah
Tapi tidak kau temukan sebarang apa-apa terlebih makna
Engkau jauh manapak bumi dan sejarah
Ternyata ia ada di dasar jiwa

(2010)

Maka senandungkanlah kidung –kidung lamunan

“Kemanaku akan mencari, keadilan Tuhan telah pergi tinggi
Di sini aku rasa sepi mencari di setiap sisi
Gerak akan melangkah lagi, tak temukan kebenaran hakiki
Bertanya keras pada diri, kutemukan dalam renungan hati”

“Oh hati berikan aku jawaban, bahwa Tuhan masih tunjukkan jalan
Keadilan Tuhan tak kemana, hanya diri terlalu berkelana”

“Tak pantasku meratapi diri, Tuhan tak beri cobaan lebih
Tanpa kekuatan iman insani, coba renungi diri sendiri
Kudoa Tuhan tak lagi pergi, coba tahan keikhlasan hati
Benamkan keyakinan pada jiwa, agar dunia percaya pada-Nya”

(1997)

Senin, 18 Januari 2010

Keuangan Publik Islam


Beberapa waktu lalu saya diamanahkan kembali untuk mengajar mata kuliah Keuangan Publik Islam di Universitas Azzahra. Dari berbagai kelas yang saya ikuti, kelas ini yang menjadi salah satu kelas favorit saya, karena dominan diisi oleh para ustadz dan para dosen yang membuat saya sangat bersemangat untuk sharing pengetahuan dan wawasan. Terlebih lagi melihat respon beliau-beliau yang antusias. Masya Allah, semoga Allah limpahkan semua kebaikan kepada mereka, karena disela kesibukan dakwahnya, mereka masih semangat untuk menimba ilmu.

Teringat saya pada satu idealisme, bahwa sudah sepantasnya para pemuda Islam berkumpul dalam majelis-majelis ilmu di tanah-tanah Islam, mengkaji ilmu, saling menyemangati, bahu-membahu dalam amal dan terorganisasi dalam dakwah juga jihad. Atmosfer kelas di Azzahra, sangat mengingatkan saya pada idealisme itu. Semoga keberkahan menyelimuti kami semua.

Pada tulisan ini, bukan riuh rndah kelas itu yang ingin saya ceritakan, tetapi tentang diskusi kami di kelas. Tentang masalah ekonomi ummat yang sangat tua, yaitu kelaparan. Dan diskusi keuangan publik Islam, menempatkan kelaparan, kemiskinan dan masalah sosial-ekonomi lainnya, sebagai sasaran kebijakannya.

Semangat keuangan publik Islam pada dasarnya sama dengan semangat yang ada dalam pembahasan sistem keuangan syariah (Islamic monetary system). Sistem keuangan syariah mengusung aplikasi ekonomi khususnya di sektor keuangan, menggunakan prinsip bebas bunga (riba), spekulasi (maysir) dan ketidakpastian (gharar). Sistem ini memiliki pesan yang sangat jelas agar dalam ekonomi tidak terjadi misalokasi sumber daya akibat kecenderungan sistem yang menjadi karakteristik aplikasi bunga dan spekulasi. Aplikasi bunga dan spekulasi cenderung membuat arus sumber daya ekonomi terkonsentrasi pada segelintir pihak pelaku ekonomi, kemudian berujung pada ketimpangan sektoral ekonomi dan ketidak-adilan interaksi antar sektor serta subsistem ekonomi.

Sementara itu, keuangan publik Islam memiliki fungsi menjaga tingkat alokasi sumber daya ekonomi terjaga pada tingkat yang minimum. Distribusi sumber daya atau alokasi faktor produksi pada tingkat minimum ini memiliki beberapa makna dalam ekonomi:

1. Distribusi sumber daya minimum ukuran utamanya adalah terpenuhinya kebutuhan dasar ekonomi masyarakat golongan terbawah ekonomi (mustahik). Tujuan penjagaan kebutuhan mereka adalah agar tidak ada alasan kendala ekonomi yang menyebabkan mereka tidak menjalankan kewajiban utama mereka kepada Allah SWT yaitu beribadah.

2. Alokasi sumber daya ekonomi minimum merepresentasikan tingkat minimum aktifitas ekonomi yang membuat perekonomian tetap running. Aktifitas ekonomi akan tetap terpelihara jika tingkat permintaan tidak sampai pada tingkat underconsumption yang membuat berhentinya roda perekonomian.

3. Menjaga alokasi sumber daya tidak lebih kecil dari batas minimum ini tidak bisa bersandar pada dinamika pasar secara alami, ia membutuhkan pengawasan dan pemastian. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran negara dalam memelihara kondisi itu. Karena memang negara memiliki kewajiban secara sosial menjaga kebutuhan dasar warganya yang berada di kasta terendah ekonomi.

Uniknya, dalam menjalankan misi keuangan publik Islam itu, ekonomi Islam memiliki dua jenis instrumen, yaitu jenis instrumen yang wajib (obligated) dan jenis instrumen yang bersifat sukarela (voluntary). Instrumen wajib dalam keuangan publik Islam diantaranya adalah zakat, jizyah dan kharaj. Sementara instrumen sukarela, seperti infak, sedekah dan wakaf. Kedua jenis instrumen tadi pada dasarnya menyasar kepentingan yang sama yaitu kepentingan masyarakat dhuafa, selain penyediaan fasilitas publik lainnya. (bersambung)

pejamkan mata...

pejamkan mata..., bagaimana jika anda buka kelopak mata kembali, kini yang dihadapan anda adalah maha gerbang padang mahsyar? siapkah emosi anda menghadapi seremoni pengadilan diri anda di tengah-tengah padang? ada api yang menjilat-jilat di ujung padang, matahari di satu jengkal ubun-ubun... siapkah?

ini sekedar imajinasi masa depan yang harus dibiasakan, karena bentuk imajinasi seperti ini yang akan mengoreksi langkah-langkah dunia. imajinasi seperti ini yang akan menjaga kesadaran dan konsentrasi. imajinasi ini bukan cerita-cerita dongeng punakawan di dunia wayang atau kisah-kisah ceria barbie dan peter pan. imajinasi ini adalah nasib masa depan, dan mengira-ngira nasib ini akan berbuah kewaspadaan sepanjang jalan menuju kesana.

betul, yang saya suguhkan adalah motivasi yang bersumber dari ketakutan. tapi bukankah akan sangat bermanfaat jika memang ia mampu menyelamatkan. tentu anda tidak akan mempedulikan siapa dan apa yang menyelamatkan anda, ketika tahu semua itu menyelamatkan anda dari sesuatu yang maha menakutkan, yaitu NERAKA!

Selasa, 12 Januari 2010

Berhitung-Hitung Kebaikan


Sheikhuttarbiyah, Ust. Rahmat Abdullah pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, jangan ingat-ingat perbuatan buruk orang lain padamu, tapi ingat-ingat perbuatan burukmu pada orang lain, jangan ingat-ingat perbuatan baikmu pada orang lain tapi ingat-ingat perbuatan baik orang lain padamu. Nasehat ini sungguh bermakna. Intinya, selalu ingat perbuatan buruk kita dan perbuatan baik orang lain. Mungkin maksudnya agar kita menjadi orang yang tidak menjadi beban orang lain dan tahu menghargai manusia lain serta bersyukur pada Allah SWT.

Tapi kali ini saya mungkin ingin berkata lain, saya ingin mengajak untuk berhitung berapa besar kebaikan yang dapat muncul dari satu perbuatan baik yang selama ini kita anggap remeh. Bagi sebagian besar orang uang 500 rupiah bukanlah seberapa, atau bahkan ada yang menilai ia bukan lagi menjadi uang dan sudah tidak layak ada di kantong atau dompet saku kita. Biasanya uang senilai itu sudah berserakan disekitar kita, di lantai, di kursi mobil, di laci lemari dan tempat-tempat ga penting lainnya.

Coba sedikit merenung berapa besar kekuatan 500 rupiah itu, berapa banyak cabang-cabang kebaikan yang bisa ia berikan bagi kita. Boleh jadi 500 perak itu bisa menggenapkan uang seorang pengemis yang bermaksud membeli obat untuk ibunya, dan dari keberkahan obat itu ibu itu sembuh dan dapat membuat dirinya shalat dengan normal kembali, dapat mencari nafkah lebih layak yang boleh jadi menghentikan anaknya menjadi pengemis sehingga dapat bersekolah kembali. Lihat berapa cabang kebaikan yang sudah anda dapatkan dari 500 perak yang anda sedekahkan.

Lihat disekitar kita, dari barang-barang atau uang yang kita punya itu, memiliki potensi untuk memuliakan kita di hadapan Allah SWT. Kandungan kemanfaatannya sudah menunggu anda untuk diambil dan disebarkan. Mari lakukan sebanyak dan sebaik mungkin, mumpung masih ada kesadaran dalam jiwa kita, mumpung masih ada akal sehat dan nurani yang selalu membuat kita memahami pesan-pesan kebaikan di sekitar kita.

Demi Allah, seharusnya tak perlu ada satu orang manusiapun di dunia ini yang harus berbuat maksiat untuk sekedar mengisi perutnya dengan makanan, jika orang-orang kaya yang diamanahkan harta dunia padanya tidak asyik dengan keserakahan mereka. Lihat ibu-ibu yang menggendong anak diperempatan-perempatan jalan, anak-anak kecil bahkan balita berkeliaran di trafic light, pemuda-pemuda yang terpaksa atau sukarela menjadi preman-preman di stasiun dan terminal-terminal, gadis-gadis belia yang menjajakan tubuhnya di gang-gang sempit kota hingga dusun-dusun pelosok desa, itu semua bukanlah pemandangan biasa yang tidak menuntut tanggung jawab kita.

Kesempatan yang diberikan Allah pada kita untuk melihat pemandangan itu saja sebenarnya sebuah anugerah berupa potensi atau kesempatan bagi kita untuk melakukan sesuatu, hatta sekalipun sekedar 500 perak yang dapat anda berikan buat mereka. So, jangan lewatkan pagi tanpa sedekah anda, jangan lewatkan hari tanpa kebaikan-kebaikan. Setelah itu, kita berharap Allah berikan kita belas kasihan-Nya untuk menghadapi hari Maha Dahsyat di Pengadilan Akhirat. Dan akhirnya, saya ucapkan dengan penu harap kalimat ini: sampai jumpa di pintu sedekah gerbang mulia Syurga yang Maha Indah.

Prasangka


Hari-hari terakhir ini atmosfer hidup kita sesak dengan berita-berita konflik, dari keluarga, artis, politisi sampai pejabat negara. Inti dari konflik itu sama, yaitu dipicu oleh prasangka, terlepas dari motivasi prasangka itu, terlepas juga apakah dibenarkan atau tidak. Tetapi saya hanya ingin bicara tentang prasangka ini yang tiba-tiba muncul dalam benak saya.

Ketika kuliah dulu saya pernah dapat nasehat Nabi dalam sebuah pengkajian, Nabi bilang kalau kamu berprasangka jangan dilisankan, kalau kamu kecewa jangan dipendam dan kalau kamu marah jangan ditumpahkan. Nasehat ini saya ingin patuhi, meskipun sesekali baik sadar maupun tidak sadar saya lalai melanggar nasehat itu.

Pada satu pelatihan tahun 1997 mengenai motivasi Ust. Anis Mata pernah menasehati, bahwa karakter seseorang itu berawal dari lintasan-lintasan fikiran yang ada di benaknya. Lintasan fikiran dapat berupa apa saja, dengan judul yang sangat acak dan intensitas yang bervariasi. Jika lintasan fikiran pada satu tema berulang-ulang kali muncul, maka ia akan berubah menjadi memori. Dan memori yang terus muncul akan memancing keinginan. Keinginan yang tak terbendung akan berubah menjadi tindakan. Tindakan yang berulang-ulang akan berubah menjadi kebiasaan. Dan akhirnya, kebiasaan yang telah mendarah-daging pada seseorang akan menjadi karakter dirinya.

Kurang lebih seperti itu memori saya menyerap nasehat Ust. Anis Mata. Beliau menyarankan, jika ingin merubah karakter jangan rubah lewat kebiasaan, tetapi mulai dari sesuatu yang memulai itu semua, dari sumbernya, yaitu lintasan pikiran. Lintasan fikiran tidak bisa dikontrol, karena ia muncul begitu saja. Tetapi lintasan fikiran itu didorong oleh kondisi lingkungan yang ditangkap oleh indera dan kemudian berubah menjadi informasi pendek berupa lintasan fikiran di dalam benak. Jadi, yang harus dikontrol adalah memilih lingkungan yang baik, agar lintasan fikiran menjadi baik.

Dari itu saya mengambil kesimpulan bahwa sebagian atau mayoritas lintasan fikiran adalah dzon, prasangka! Ia bisa berupa prasangka baik atau prasangka buruk. Namun sampai saat ini saya masih berpendapat selama prasangka tidak dilisankan maka ia belum menjadi sebuah dosa. Karena prasangka di dalam benak kita tidak bisa kontrol, ia datang begitu saja. Ia akan memiliki nilai (buruk) jika prasangka tadi dilisankan. Jika ia prasangka baik, kalau dilisankan dapat menjadi ghibah, jika ia prasangka buruk kalau dilisankan akan menjadi fitnah.

Pada satu sisi saya melihat hikmah mengapa prasangka bermunculan uncontrolable di dalam fikiran, mungkin Tuhan ingin memberikan pintu-pintu alternatif keistimewaan bagi manusia. Karena barang siapa yang mampu mengotrol dirinya untuk tidak mengumbar prasangka yang ada dibenaknya, maka akan mulia kedudukannya disisi Allah. Coba kita lihat kebanyakan orang yang suka melisankan prasangka buruknya, dia akan sangat detail dan sangat jeli atau bahkan sangat sensitif/peka dalam melihat kesalahan orang lain. Dan sebaliknya, mereka yang bisa mengontrol diri dalam lisannya biasanya sangat sensitif dengan kesalahan-kesalahan dirinya sendiri, sehingga mereka memiliki kebijaksanaan dan pemakluman yang sangat bersahaja.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri sendiri, dengan penuh keinsyafan, saya bersaksi bahwa saya bukanlah orang yang bebas dari dosa dan khilaf, oleh karenanya saya mohon maaf kepada sesiapa saja yang mengenal saya atau yang tidak mengenal saya secara pribadi, dan pernah merasa tersakiti oleh lisan, perbuatan atau apapun bentuknya. Saya mohon maaf dari anda semua. Wallahu a’lam.

AS

Senin, 11 Januari 2010

...di ujung langit


Aku duduk manis di ujung langit
Mencoba menata mega agar tampak lebih cerah
Kulihat matahari sunset tersenyum simpul menyemangati
Sementara di sudut lain kelam mulai menyelimuti bukit dan lembah


Termangu aku melihat dua alam yang menghadirkan dua makna
Gelap dan cahaya pada diriku, pada sejarah dan masa depan


Tapi apa itu gelap apa itu cahaya
Gelap hanya saat ketika tidak ada cahaya
Sedangkan cahaya adalah energi yang menampakkan apa saja
Sehingga gelap bukanlah sesuatu yang padan dengan cahaya
Karena sesungguhkan yang ada hanyalah cahaya


Itulah kasih sayang Tuhan
Dunia hanya ada kasih sayang
Tak ada tempat untuk murka dan kebencian
Karena murka dan kebencian hanya satu dari sekian bentuk kasih sayang


Kini kulihat hakikat dunia, yang ada hanya sang Maha Tunggal

Sektor Mikro-Kecil Perekonomian


Lembaga keuangan mikro termasuk syariah (LKM/S) memiliki karakteristik yang khas yang perlu dipahami oleh berbagai kalangan; operasionalnya, prilakunya, kelazimannya dan ukuran-ukuran kelancaran bisnisnya. Karakteristik ini tentu sangat dipengaruhi oleh prilaku sektor mikro-kecil yang menjadi pasar utama mereka.

Dengan analisa di atas, boleh jadi apa yang menjadi praktek di LKM khususnya BPR adalah banyak siasat yang dilakukan untuk merespon kekakuan ketentuan yang diterapkan regulator, mengingat benchmark ketentuan itu mengacu pada peraturan yang berbasis lembaga keuangan lebih besar dalam hal ini bank umum komersial.

Misalnya kelaziman pengusaha kecil yang mendapat pelunasan sekaligus dari user ketika projek telah rampung dilakukan, kalau seperti itu, tentu akan menjadi pertanyaan bagaimana bank sebagai penyandang dana proyek tersebut menilai pengusaha kecil terkait tingkat kolektibilitas mereka. Padahal tingkat kolektibilitas secara umum bersandar pada kelancaran pembayaran pengusaha kecil itu setiap bulannya. Bagaimana bisa lancar kolektibilitasnya jika pembayaran user kepada pengusaha kecil biasa dilakukan ketika projek rampung. Jika bank tidak menyesuaikan diri atas realita itu, maka tentu pengusaha kecil itulah yang bersiasat “mengelabui” bank karena realita yang ada.

Oleh sebab itu sangat lumrah jika ada pendapat yang mengusulkan agar LKM/S diperlakukan sebagai lembaga keuangan tersendiri. LKM/S menjadi genre baru dalam dunia keuangan, ia menjadi spesies baru berdasarkan kelaziman-kelaziman dunia bisnis mikro-kecil. Jika pendapat ini diakomodasi, maka dunia mikro-kecil akan terpolarisasi pada satu sudut ekonomi secara mandiri dan kemudian berkembang menjadi sektor baru dalam perekonomian.

Sektor mikro-kecil akan mengembang menjadi sistem jika kelengkapan sistem seperti landasan hukum formal (undang-undang), infrastruktur, kebijakan, regulasi dan lain sebagainya, tersedia dan menjadi sebuah kemutlakan. Industri sektor riilnya sudah sekian lama berdiri, meskipun tata-kelolanya belum dilakukan secara terencana, sistematis dan terukur. Bahkan keberadaannya mendominasi struktur ekonomi nasional, sepatutnya pemerintah memandang kondisi ini sebagai sebuah kekuatan ekonomi, bukan dari perspektif beban.

Mari berpihak pada sektor mikro-kecil nasional, mapankan kedudukannya. Mulai alihkan tujuan pasar anda ke pasar-pasar tradisional, warung-warung kecil, pasar-pasar pagi, pasar malam, pasar kaget. Kunjungi kampung-kampung jajan instead of retail-retail internasional yang semakin menggurita.

Minggu, 10 Januari 2010

Editorial Media Indonesia: Senin, 11 Januari 2010


Membaca Editorial Media Indonesia (MI) pagi ini membuat kupingku, kuping teman-teman kolegaku dan pasti kuping pimpinan-pimpinan tempatku bekerja menjadi panas. Seperti itukah bobroknya tempatku bekerja? Profesionalisme yang menjadi doktrin dalam pembekalan rutin internal Bank Indonesia, baik formal maupun informal, sudah begitu tertanam pada saya. Meskipun memang profesionalisme itu tidak menyeluruh dilakukan masing-masing pegawainya, tetapi harus saya katakan bahwa atmosfer profesionalisme itu kental terasa di BI dibandingkan kantor pemerintah kebanyakan.

Kalimat di atas jika saya teruskan akan terasa kepentingan saya sebagai salah satu pegawai BI yang sakit hati, terasa keberpihakan yang sangat-sangat subjektif. Oleh sebab itu, saya tidak akan lanjutkan. Mengapa? Karena; (i) cukup bagi saya untuk mengatakan penilaian Editorial MI sangat subjektif, mengeneralisasi sesuatu yang kompleks; (ii) saya tidak memiliki kapasitas, baik posisi maupun informasi untuk memberikan klarifikasi atas “tuduhan” Editorial MI; (iii) konsentrasi saya harus tetap terjaga menjalankan amanah kerja yang saya sudah yakini sebagai bagian sekaligus rangkaian dari kerja-kerja dakwah.

Kepada saudara-saudara pemerhati dakwah atau mereka yang telah mengikhlaskan diri berjalan di medan dakwah, jangan terganggu dan menghabiskan energi pada diskusi dan perdebatan yang sebenarnya kita tidak bisa berkontribusi untuk merubah keadaan. Kita yang tidak memiliki posisi dan kapasitas itu (berkontribusi untuk merubah keadaan), sebaiknya konsentrasi saja pada semua amanah yang ada dihadapan kita. Ikhlaskan saja itu semua diselesaikan oleh mereka yang memang sudah dikehendaki oleh Allah. Apapun hasilnya, baik terselesaikan dengan baik atau buruk, atau bahkan tidak terselesaikan sekalipun, itu kehendak Allah. Insya Allah ada hikmah dan kebaikan di baliknya.

Pendapat saya ini, saya maksudkan bukan hanya bagi kasus Editorial MI, tetapi pada semua masalah yang seringkali menyita perhatian, waktu dan energi kita. Tetapi selalunya perhatian, waktu dan energi yang telah kita keluarkan itu tidak memiliki pengaruh apa-apa, ia bak menggantang asap, membelah air atau menendang langit, sia-sia. Saya pun, baru saja belajar “ikhlas untuk diam”.

Rabu, 06 Januari 2010

Militansi Ekonomi Islam


Memperlakukan medan perjuangan ekonomi Islam layaknya medan jihad menjadi cukup beralasan saat ini. Dengan segala bentuk variasi dan intensitas tantangannya, perjuangan menghidupkan ekonomi Islam bak kisah perang yang menyuguhkan banyak drama. Saya berlebihan? Mungkin juga, karena tulisan ini memang dimaksudkan untuk memprovokasi siapa saja yang sudah jenuh dengan kebohongan dunia modern atau siapa saja yang tulus ingin menapaktilasi gaya hidup orang mulia terdahulu.

Perjuangan ekonomi Islam saat ini, saya lihat masih harus dituntaskan di wilayah prilaku ekonomi. perjuangannya bertujuan menancapkan panji-panji idealisme Islam, berupa nilai-nilai tauhid dan akhlak, dalam prilaku-prilaku ekonomi. idealisme dan akhlak Islam diharapkan menjadi pedoman dan referensi setiap preferensi prilaku ekonomi.

Coba bayangkan jika keputusan-keputusan membeli barang atau memakai suatu jasa tertentu digantungkan dengan pertimbangan kemashlahatan, seperti peduli pada sesama, dibutuhkan atau tidaknya. Mungkin secara akumulatif prilaku itu akan membuat wajah ekonomi yang berbeda.

Musuh utama dalam perjuangan prilaku ini, tentu saja adalah nafsu berupa keserakahan dan kekikiran. Sementara ajaran materialistik, individualistik dan konsumeristik harus dihapus dari paradigma berpikir semua pejuang ekonomi Islam. Karena ajaran itu menjadi simbol-simbol keserakahan dan kekikiran ekonomi. Butuh kesungguhan, tekad, motivasi dan usaha yang keras untuk dapat mengikis keserakahan dan kekikiran dalam prilaku.

Pertama harus ada perubahan keyakinan dan paradigma. Selanjutnya dibutuhkan keikhlasan menerima akhlak-akhlak Islam sebagai rujukan tunggal berprilaku ekonomi. Kemudian mulai membiasakan prilaku-prilaku amal Islami yang mampu menutup keserakahan dan kekikiran, seperti gemarkan infak, biasakan bersedekah, budayakan berbagi hadiah, rutinkan meringankan urusan orang lain dan bentuk-bentuk amala lainnya. Jangan lewatkan satu hari kecuali sudah ada kebaikan berupa infak atau sedekah atau bahkan sekedar menyingkirkan batu dari jalan dan tersenyum, pada pagi atau sorenya.

Militansi melalui disiplin prilaku ekonomi yang Islami ini akan berujung pada kesantunan dan kesahajaan ekonomi. Keluhuran budi akan menjadi nilai yang diusung oleh ekonomi. Dan ini adalah keniscayaan. Kita sanggup mewujudkan ekonomi seperti ini. Yang dibutuhkan saat ini adalah pejuang-pejuang yang bersedia mengorbankan kenikmatan-kenikmatan dunianya, menggantinya dengan kehidupan sederhana. Kesederhanaan hidup itu selanjutnya menjadi senjata mereka dalam menghidupkan ekonomi Islam, menjadi senjata dakwah berupa ketauladanan hidup, menjadi kampanye tak henti dari ekonomi Islam.

Senin, 04 Januari 2010

Tarbiyah


Tarbiyah. Kata ini memiliki banyak dimensi saat ini. Di Indonesia kata tarbiyah bahkan sudah tidak secara bebas lagi digunakan, akibat kata tersebut telah dinisbahkan pada satu gerakan dakwah atau bahkan gerakan social-politik tertentu. Negative atau positif persepsi terhadap gerakan itu sedikit banyak juga berpengaruh pada persepsi terhadap kata tarbiyah, yang berujung pada sikap skeptis yang kurang beralasan bagi mereka yang mendengar atau bersinggungan dengan kerja-kerja tarbiyah.

Pada tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan persepsi saya tentang tarbiyah. 19 tahun yang lalu saya mulai mengenal kerja-kerja tarbiyah, baik saya sebagai objek kerjanya dimana saya diposisikan sebagai sasaran tarbiyah, maupun sebagai subjek dakwah yang diamanahkan melakukan kerja-kerja tarbiyah. Naik turun iman membuat kerja-kerja tarbiyah yang saya lakoni tak jarang jauh dari motivasi kerelaan. Tapi saya sadar, terpaksa atau rela kerja-kerja tarbiyah ini sudah cukup dominant mempengaruhi saya (kalau tidak ingin dikatakan telah membentuk karakter saya). Tarbiyah hingga saat ini, sudah meminta separuh usia saya. Dan mumpung masih sadar saya ingin katakana, dengan semua kebaikan yang saya sudah nikmati dari tarbiyah (baik terpaksa maupun rela) saya mau tarbiyah mengambil semua usia yang saya punya.

Bagi saya tarbiyah khusus tentang Islam yang dilakukan secara regular (minimal pekanan) dengan kurikulum yang standard, pembahasan yang menyeluruh dan mendalam, serta bentuknya yang menyentuh semua potensi manusia (akal (aqliyah), jiwa (ruhiyah) dan fisik (jasadiyah)), merupakan pendidikan yang terbaik untuk membangun keimanan saya. Upaya peningkatan iman oleh kebanyakan orang dilakukan dengan sporadic, gerilya, bahkan bisa menghasilkan iman yang jalan di tempat atau bahkan mundur teratur, akibat upaya maju kemudian dipangkas oleh amal buruk akibat iman yang turun. Mereka maju dengan amal shaleh satu langkah tapi mundur dua langkah akibat maksiat dan dosa.

Tarbiyah dengan segala perangkat yang dimilikinya akan berfungsi menjaga irama upaya memajukan iman dan mereduksi penurunan iman yang terlalu drastic. Tarbiyah juga ingin menyelaraskan pengetahuan dengan amal, karena melalui tarbiyah orang tidak hanya diberikan wawasan pengetahuan keislaman dan kehidupan, tetapi juga disediakan ladang-ladang amal baik kolektif maupun individual. Bahkan proses evaluasi (mutaba’ah) kemudian menjadi nasehat lain yang mengingatkan peserta tarbiyah untuk menjaga irama keimanan itu.

Jika upaya peningkatan keimanan itu dilakukan secara mandiri (sendiri), terbayang oleh saya bagaimana susahnya menata, menjaga dan mengupayakan majunya iman. Karena semuanya betul-betul tergantung manusia itu secara sendirian. Kepada beberapa sahabat, saya katakan bahwa tarbiyah pekanan itu ajang saya untuk mengevaluasi kerja-kerja amal saya satu pekan kebelakang dan mempersiapkan semangat dan rencana baru untuk amal satu pekan kedepan. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapa saja yang membaca buah pikiran ini, temukan dan ikutilah majelis-majelis rutin tarbiyah dimana saja, dengan symbol apa saja, selama panji yang diusungnya adalah Islam, insya Allah ada kebaikan yang lebih besar di dalamnya bagi kita semua.

Syahadatain


Satu bahasan tauhid yang jarang sekali diulas, salah satunya adalah syahadatain. Apa fungsinya, tujuannya dan konsekwensi-konsekwensi yang dituntut dari syahadatain, menjadi bahasan yang hampir-hampir dilupakan oleh majelis-majelis ilmu. Tulisan ini ingin mengisi kekosongan itu, yaitu menyampaikan secara sederhana apa fungsi, tujuan dan konsekwensi sebuah kalimat dahsyat yang kita kenal dengan syahadatain.

Fungsi syahadatain secara garis besar, antara lain adalah (QS. 4:41 , 2:143 )

Pintu masuk ke dalam Islam (QS. 7:172 , 47:19 ); syahadatain (syahadat) menjadi prasyarat dari status keislaman seorang manusia. Syahadat menjadi pintu gerbang seseorang untuk mendapatkan banyak kelimpahan anugrah dan kasih sayang dari Allah SWT. Dengan syahadat, seseorang diangkat status kemanusiaannya menjadi manusia yang “dipandang” oleh Allah SWT, dimana amal shaleh sekecil apapun memiliki potensi terkucurnya rahmat dari Allah SWT. Tanpa syahadat seorang manusia menjadi tidak memiliki nilai. Tanpa syahadat amal shaleh mereka sebesar dan semulia apapun dinilai Allah seperti debu-debu yang berterbangan.

Intisari ajaran Islam (QS. 21:25 , 45:18 ); syahadat menjadi hakikat Islam. Syahadat merefleksikan sebuah ketundukan total kepada Tuhan termasuk dengan ketentuan-ketentuan-Nya (syariat Islam). Syahadat menjadi pedoman atau referensi bentuk-bentuk penghambaan berupa prosesi ibadah yang benar, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya serta nilai-nilai akhlaknya. Puncak dari setiap amal shaleh dan ketaatan manusia kepada Tuhan adalah penyerahan hidup dan kehidupan manusia secara total kepada Allah SWT yang menjadi makna dari kalimat syahadat.

Konsep dasar reformasi total (QS. 6:122 , 13:11 ); dengan syahadat seorang manusia merubah dirinya dari makhluk yang tidak memiliki nilai, menjadi makhluk yang sempurna. Karena kesempurnaan fisik dan jiwa kemudian dilengkapi oleh kemuliaan nilai, pedoman, tuntunan atau ajaran yaitu Islam melalui pintu transformasinya berupa syahadat.

Hakikat da'wah para Rasul (QS. 21:15 , 3:31 , 6:19 , 16:36 ); syahadat sebagai sebuah ajaran ketundukan pada Tuhan Yang Maha Tunggal dan Berkuasa, menjadi hakikat ajaran yang disampaikan oleh seluruh Nabi dan Rasul. Dari sejak Nabi dan Rasul pertama hingga penutupnya, hakikat dakwah dan pedoman risalah yang mereka bawa adalah makna yang terkandung dalam syahadat ini. Berdasarkan fakta ini pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa kehancuran kehidupan manusia yang selalu terjadi sepanjang sejarah pada intinya berawal dari kelalaian mereka pada pesan syahadat, yang akhirnya tergambar pada kehancuran praktek-praktek kehidupan manusia, baik pada aspek ibadah, akhlak maupun ketentuan hukum kehidupan.

Keutamaan yang besar (Hadits: Man qala Lailaha illallah, dakhalal jannah; barangsiapa yang mengucapkan “Tiada tuhan selain Allah” akan memperoleh syurga); janji Allah melalui lisan Rasulullah seperti yang telah terekam dalam hadits tadi, mengindikasikan keutamaan dan besarnya bobot kalimat syahadat. Bagaimana tidak, dengan syahadatlah keutamaan lain dalam ibadah dan amal shaleh yang dilakukan manusia menjadi memiliki nilai (berat) di hadapan Allah SWT.

Nah, dengan kejelasan makna syahadat bagi kita ini, masihkah kita meremehkan kalimat mulia ini, atau bahkan sampai melalaikan konsekwensi-konsekwensinya dan menggadaikannya dengan kenikmatan-kenikmatan semu dunia. Duhai manusia, syahadat adalah anugrah terindah dan terbesar yang dihadiahkan kepada semua manusia Islam, maka mari jaga, pelihara dan tunjukkan pada Allah SWT bahwa kita sangat bertanggung-jawab terhadap anugerah ini.