Kamis, 28 Februari 2008

Mukaddimah Ekonomi Islam

Lebih dari satu abad sistem ekonomi modern (konvensional) telah melayani kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan atau kepuasan mereka. Ekonomi modern memberikan berbagai macam cara bagaimana memuaskan keinginan manusia, sepanjang mereka memiliki akses atau kemampuan mengelola sumber daya ekonomi. Ekonomi modern tidak memiliki batasan improvisasi dalam berekonomi, kecuali mereka harus berhadapan dengan kekuatan pasar yang biasa diklaim sebagai invisible hand. Oleh sebab itu, tumpuan perhatian masalah ekonomi lebih ditujukan pada bagaimana mengatasi kondisi kelangkaan akan sumber daya ekonomi yang dihadapi setiap individu.

Kemajuan berupa kelengkapan infrastruktur, fasilitas dan kemajuan teknologi yang semakin memudahkan hidup dan kehidupan manusia menjadi klaim sebuah kesuksesan pembangunan ekonomi modern. Gedung-gedung yang megah, transportasi yang semakin memendekkan waktu, telekomunikasi yang semakin mengecilkan luasnya dunia menjadi prasasti ekonomi modern. Semua itu menjadi jejak betapa ekonomi modern telah berperan dalam pembangunan peradaban umat manusia.

Hingga saat ini kekuatan pasar telah menjadi prinsip umum yang secara konsisten dipertahankan dalam pengembangannya. Kepuasan individu menjadi rujukan teori dan praktek berekonomi. Instrumen-instrumen yang tercipta berikut barang dan jasa yang diproduksi dalam pembangunan ekonomi akhirnya konsisten dengan prinsip umum tersebut. Selanjutnya sebagai implikasi dari kecenderungan tersebut, parameter atau ukuran kemegahan dan keberhasilan pembangunan ekonomi direfleksikan oleh variabel-variabel jumlah materi yang dihasilkan oleh pelaku-pelaku ekonomi. Tidak heran jika kemudian prilaku ekonomi dari individu-individunya juga sangat konsisten dengan paradigma kekuatan pasar (kapitalisme), kepuasan individual (individualisme) dan materialistik (materialisme).

Namun dalam aplikasinya selama ini, tujuan dan praktek ekonomi modern ternyata tidak berjalan seiring. Keduanya tidak pernah bertemu pada puncak pencapaian ekonomi. Yang terjadi adalah kontradiksi dan paradok-paradok antara praktek dan tujuan, kerja dan harapan serta prilaku dan cita-cita. Kekacauan ekonomi kerap dan selalu terjadi, baik berupa krisis ekonomi maupun berbentuk kekacauan sosial. Pembangunan tidak malah memberikan kemakmuran yang merata namun semakin menunjukkan ketimpangan yang semakin dalam. Kemegahan ekonomi tidak semakin membuat individu-individu ekonomi semakin bersifat sosial yang mengedepankan nilai persaudaraan dan kekeluargaan tetapi malah membentuk dan menciptakan manusia-manusia yang rakus. Kue pembangunan semakin menggunung disisi pemilik-pemilik sumber daya sementara individu-individu yang tak berpunya semakin banyak jumlahnya. Bahkan berdasarkan data yang ada angka kematian akibat kemiskinan jauh lebih besar jumlahnya daripada jumlah kematian akibat peperangan, jumlah pengangguran rasionya tidak semakin kecil, inflasi yang merongrong daya beli (aksesabilitas terhadap ekonomi) semakin melangit, kriminalitas dan konflik-konflik sosial menjadi peristiwa keseharian yang menunjukkan ketimpangan sosio-ekonomi, sehingga secara makro yang terlihat adalah instabilitas ekonomi, dimana kemajuan ekonomi tidak bermakna kesejahteraan ekonomi.

Fenomena ini tentu membantah hasil-hasil pembangunan/kemajuan ekonomi yang diklaim selama ini. Dengan demikian tak berlebihan jika disimpulkan bahwa yang terjadi adalah kekacauan ekonomi bukan pembangunan/kemajuan ekonomi, karena jika yang terjadi pembangunan sepatutnya hasil pembangunan adalah sosio-ekonomi yang tertata, pemenuhan kebutuhan yang merata, kemegahan dan kecanggihan fisik ekonomi seiring dengan kemakmuran sosialnya, daya beli atau tingkat aksesabilitas terhadap sumber daya ekonomi akan selalu dimiliki oleh setiap individu, atau stabilitas ekonomi akan terjaga demi kelanjutan pembangunannya.

Akhirnya tak bisa dipungkiri bahwa ternyata dalam lebih dari satu abad ini perekonomian modern hanya menghasilkan manusia-manusia ekonomi yang materialistik, individualistik dan konsumeristik. Bukankah masalah moral semakin menunjukkan wajahnya dalam ekonomi modern ini?

Bagaimana menjawab ini semua? Bagaimana menjawab masalah hidup dan kehidupan manusia dalam aktifitas mereka berekonomi? Tidak cukupkah apa yang sudah dibangun oleh ummat manusia modern saat ini, dengan periode yang telah melewati generasi demi generasi? Tidak begitu canggihkah pemikiran dan teknologi sehingga masalah ini menjadi berlarut-larut dan menghancurkan apa yang telah dengan susah payah dibangun?

Mari kita urai dengan sederhana kusutnya masalah ini. Kompleksitas permasalahan ekonomi ini jika ditelusuri lebih mendalam akan berpuncak pada masalah prilaku ekonomi individu. Masalah ini berpusat pada proses terbentuknya preferensi ekonomi, sehingga tumpuan perhatian untuk memecahkan ini semua terletak pada faktor-faktor pembentuk preferensi atau prilaku ekonomi, seperti idiologi, tata nilai hidup dan kehidupan, paradigma teori dan praktek ekonomi serta sasaran atau tujuan aktifitas ekonomi. Dengan demikian diperlukan sebuah sistem ekonomi yang memiliki idiologi yang kuat dan bernilai moral yang baik, yang menyelaraskan antara gagasan dan tindakan, praktek dan tujuan, kerja dan harapan serta prilaku dan cita-cita.

Berlandaskan pada analisa ini, Islam sebagai sistem hidup dan kehidupan manusia yang integratif dan komprehensif sangat tepat untuk menjadi idiologi, pedoman moral, sumber hukum atau rujukan dalam pengembangan ekonomi. Bersumber dari Tuhan membuat Islam mengeliminasi risiko terkontaminasinya sistem ekonomi dari kelemahan sistem yang berasal dari manusia. Karena kelemahan konvensional berawal dari hal ini, dimana kelemahan alamiah (fitrah) dari manusia menjadi built in dalam sistem yang mereka ciptakan dan susun. Konsistensi dan stabilitas diyakini menjadi nature dari sistem Islam, sehingga ia memiliki karakter yang kuat dan menjadi kandidat yang cukup beralasan untuk diposisikan sebagai sumber rujukan pembangunan ekonomi. Seperti apa bentuk ekonomi yang ditawarkan Islam?

Seperti layaknya keilmuan pada bidang yang lain, dalam Islam pengembangan sebuah sistem (sistem pada sisi kehidupan apapun) termasuk ekonomi akan bermula pada pemahaman akidah Islam. Ketauhidan yang berisi tentang pengakuan eksistensi Tuhan dengan segala konsekwensinya pada pola pikir, emosi dan prilaku dalam aktifitas keseharian menjadi elemen utama untuk mengembangkan sistem berekonomi. Terlebih lagi Islam memberikan tuntunan ahklak dalam berprilaku dan batasan-batasan syariah yang membuat hidup dan kehidupan manusia tetap terjaga dan terpelihara kebaikannya.

Prinsip ekonomi dalam Islam yang disarikan menjadi; tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, ahklak dan syariah Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nialai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan. Individu dan kolektif menjadi kaniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.

Dengan nilai-nilai seperti itu jelas prilaku ekonomi yang akan muncul tidaklah sama dengan konvensional, tolak ukur kepuasan tidak lagi bersifat individu dan keduniaan. Preferensi ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam akhirnya memiliki karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas. Absensinya riba, judi, spekulasi dan berjalannya mekanisme zakat serta instrumen sejenis lainnya dalam berekonomi, membuat ekonomi lebih maksimal menjadi aktifitas produktif yang mendekati full employment dengan pasar yang tidak selalu diancam oleh gangguan inflasi akibat sistem yang salah dan prilaku pemain-pemain ekonomi. Terlebih lagi eksistensi infrastruktur baik institusi maupun regulasi dalam perekonomian Islam membuat arsitektur ekonomi Islam menjadi lebih stabil dan mapan. Peran negara dalam memastikan berjalannya mekanisme pasar secara adil berikut perangkat pemerataan baik yang bersifat regulated maupun bebas serta terpeliharanya prinsip-prinsip syariah dalam mekanisme tersebut, kembali menegaskan bahwa bentuk ekonomi Islam sangat berbeda dengan ekonomi konvensional yang saat ini dijalankan oleh dunia.

Kesatuan prinsip dan paradigma serta konsistensi pada implementasi yang bernafaskan ketauhidan (ketundukan pada Sang Pencipta) yang sangat sesuai dengan kefitrahan manusia, dipercaya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan mensejahterakan, baik pada pembangunan fisik maupun sosial. Perspektif interaksi dan pembangunan ekonomi yang tidak terbatas dari kacamata individu tetapi juga kolektif semakin menegaskan bahwa ekonomi Islam merupakan entitas orisinil yang bertujuan mencapai kesejahteraan bersama. Dengan demikian keseimbangan ekonomi akan ada pada definisi dan bentuk yang sebenarnya, pemerataan sumber daya atau alokasi faktor produksi tidak hanya diserahkan pada kekuatan pasar, ketimpangan tidak lagi menjadi kecenderungan sistem dan kekacauan ekonomi bukan menjadi arah dari pembangunan.

Dengan dasar filosofi, paradigma dan prinsip-prinsip implementasi ekonomi seperti yang telah dijelaskan di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah seperti apa teori prilaku ekonominya, mekanisme mikro dan makroekonomi, keseimbangan umum ekonomi, kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Pembahasan buku ini mencoba menjawab secara sederhana pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pendekatan buku ini fokus pada penggalian karakteristik dan aplikasi ekonomi Islam secara orisinil dikombinasikan dengan analisa perbandingan terhadap aplikasi ekonomi konvensional. Pada bahasan tertentu penjelasan karakteristik dan aplikasi ekonomi Islam masih harus melakukan pemadanan dengan ekonomi konvensional, atau dengan kata lain penjelasan ekonomi Islam masih menggunakan instrumen, istilah atau struktur yang ada dalam ekonomi konvensional. Meskipun begitu, pembahasan buku ini semaksimal mungkin mencoba untuk meredefinisi setiap istilah atau variabel ekonomi yang memang sesuai dengan perspektif nilai dan hukum Islam, bahkan didahului dengan meredefinisi apa yang dimaksud dengan ekonomi, permasalahan ekonomi dan tujuan ekonomi.

Pada akhirnya diharapkan pembaca memahami dengan baik apa itu ekonomi sebenarnya. Ekonomi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dan layaknya ilmu pengetahuan, ekonomi sejatinya adalah sebuah model atau panduan dalam beraktivitas ekonomi yang memegang prinsip kebenaran absolut Tuhan. Tentu saja sebelum memahami ekonomi Islam secara komprehensif, pembaca diharapkan juga memahami posisi Islam (sebagai agama) dan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam ini. Ilmu pengetahuan ditempatkan sebagai sebuah disiplin dalam semesta himpunan kebenaran Tuhan yang semua itu terkandung dalam sistem Islam. Keduanya tidak ada dikotomi wilayah atau ruang lingkup bahasan, perbedaan ide dan inspirasi, pembagian referensi dan metodologi.

Dan pada akhirnya pembaca dapat memahami ekonomi Islam secara utuh baik teori, mekanisme, instrument, institusi maupun bangunannya, tidak sepenggal-sepenggal seperti kebanyakan pemerhati ekonomi Islam saat ini. Pemahaman yang sepenggal-sepenggal berakibat pada aplikasi yang tidak konsisten dan memberikan hasil yang tidak maksimal. Selanjutnya pembaca secara sederhana mampu membedakan atau bahkan berfikir lebih baik dalam mengembangkan ekonomi Islam untuk dapat mencapai tingkat yang lebih mapan, baik secara teknis aplikasi maupun kemantapan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah muamalah Islam. Jikapun ada kesamaan metode pembahasan antara ekonomi Islam dengan konsep yang lainnya, pada dasarnya hal tersebut hanyalah terletak pada model, alat atau instrument penjelasan satu fenomena ekonomi. Sementara filosofi dasar, fenomena prilaku, dasar model interaksi, kaidah hukum ekonomi dan konsep – konsep lainnya, Islam dan konsep non-Islam memiliki perbedaan yang merepresentasikan bangunan sistem yang tidak sama.

Dalam sebuah analogi sederhana, kesamaan sistem ekonomi Islam dan konsep diluar Islam mungkin layaknya dua batang pohon muda yang tidak terlihat akar dan bentuk daun serta cirri-ciri lainnya, yang kemudian mudah bagi siapa saja untuk mengambil kesimpulan bahwa dua pohon tersebut identik. Namun ketika mereka mengetahui seperti apa bentuk akar, guratan dan bentuk daun atau terlebih lagi mengetahui bentuk dewasanya kedua pohon tadi, maka jelaslah keduanya merupakan dua jenis pohon yang berbeda.

Rabu, 20 Februari 2008

ISLAM SEBAGAI SISTEM



“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al Maidah: 3)


A. Pendahuluan

Salah satu definisi Islam secara bahasa (etimologis) adalah selamat. Islam adalah jalan hidup yang menjaga dan memelihara manusia ada di jalan keselamatan dan menuju pada keselamatan yang abadi. Di samping itu Islam juga bermakna tunduk patuh atau berserah diri (al istislaam), damai (as silm) dan bersih (as saliim). Jadi Islam merupakan konsep bagi manusia yang berserah diri pada kehendak Pencipta yang bersifat damai dan bersih. Islam sebuah konsep hidup yang tidak terikat pada ruang dan waktu, materi dan spiritual, sebab dan akibat. Ia merupakan petunjuk (peta) bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia. Dan Al Qur’an sebagai narasumber orisinil Islam memberikan penegasan ini dalam beberapa ayat-ayat-Nya.

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah: 44)

“…sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dengan yang bathil)…” (QS. Al Baqarah: 185)

Islam sebagai konsep atau sistem hidup bersifat integratif dan komrehensif (sempurna), Ia mengintegrasikan semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik dalam kehidupan pribadi maupun interaksi kolektif. Ia juga meliputi semua sisi detil kehidupan (komprehensif), sehingga mencerminkan kelengkapan dan kesempurnaan Islam sebagai sebuah sistem atau konsep hidup. Imam Syahid Hasan Al Banna dengan sangat jelas menerangkan posisi Islam bagi kehidupan dalam karya besarnya Majma’atu Rasail (Risalah Pergerakan).[1] Al Banna menggambarkan bahwa Islam meliputi semua aspek kehidupan, dimana Islam adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.

Dalam pembahasan sistem ekonomi Islam ini, Islam ditempatkan sebagai semesta sistem yang didalamnya terdapat subsistem-subsistem yang mengatur segala jenis aktivitas manusia dalam kehidupannya. Salah satunya adalah sistem ekonomi sebagai anggota sistem dalam semesta sistem hidup Islam.

Dalam falsafah keilmuan Islam, dapat digambarkan posisi ekonomi Islam berada dalam ruang lingkup pembahasan ilmu syariah. Aktivitas ekonomi diklasifikasikan dalam pembahasan muammalah jika dirujuk dalam bahasan keilmuan Islam. Dan dalam pembahasan fikih muammalah biasanya lebih pada pembahasan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip umum bermuammalah yang diatur oleh nilai dan aturan Islam. Imam Al Ghazali[2] menyebutkan bahwa tujuan dari Syariah adalah meningkatkan kesejahteraan (welfare) seluruh manusia, melalui perlindungan agama (dien), diri manusia (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (maal). Definisi Al Ghazali ini sangat jelas menggambarkan fungsi sistem ekonomi yang mengambil syariah sebagai paradigmanya, dan tentu saja lebih menjelaskan hirarki keilmuan ekonomi Islam berkaitan dengan inti idiologi Islam.

Karakteristik keilmiahan ilmu ekonomi Islam dengan demikian tidak dapat dipisahkan dengan nuansa spiritual idiologi Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang menjadi ayat pertama yang diturunkan ke dunia.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS. Al Alaq: 1)

Dalam ayat di atas Allah SWT secara implisit menegaskan bagaimana aktivitas penggalian ilmu tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ilahiyah. Sehingga pengkajian ilmu bukan hanya bertujuan melakukan transfer ilmu (knowledge) tapi juga ada transfer nilai moral (value). Di samping itu sebenarnya ilmu yang benar sepatutnya memang tak memisahkan pengetahuan dengan nilai moral. Dalam ilmu sebaiknya mengandung dua unsur penting tersebut, sehingga tak ada ilmu yang dapat disebut ilmu yang bebas nilai.

Dan inilah yang menjadi karakter ilmu ekonomi Islam. Ekonomi Islam bahkan menempatkan nilai moral (akidah dan akhlak) sebagai asumsi dasar utama dari ilmu dan sistem ekonomi yang dibangun. Efektifitas dan optimalisasi sistem ekonomi Islam ini sangat ditentukan oleh tingkat nilai moral Islam yang ada pada pelaku-pelaku ekonomi.

Sinergi keilmiahan dan spiritualitas inilah yang ingin ditampilkan dalam penjelasan buku ini. Namun ketentuan-ketentuan baku yang merupakan aturan dan prinsip fikih muammalah tidak secara detil dibahas dalam buku ini. Pembahasan buku ini beranggapan bahwa ketentuan tadi sudah menjadi asumsi dasar dari sistem ekonomi Islam, sehingga pembahasannya lebih didominasi pada penjelasan mekanisme ekonomi dalam sebuah sistem.

Dengan kata lain, pembahasan buku ini lebih memfokuskan pada rangkaian aktivitas dalam sebuah sistem ekonomi dengan menggunakan aturan dan prinsip-prinsip Islam. Sehingga tentu saja pembahasan buku ini berasumsi bahwa aturan dan prinsip tadi telah dengan baik mendefinisikan dan menyediakan segala instrumen, institusi, regulasi segala hal yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam, untuk kemudian dirangkai dalam sebuah sistem yang berguna bagi manusia untuk menjalankan aktivitas ekonomi mereka.

B. Islam Sebagai Konsep Hidup dan Kehidupan

Islam sebagai konsep atau sistem hidup tidak hanya menjanjikan sebuah keteraturan, keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan, tapi juga memiliki konsekwensi-konsekwensi bagi manusia yang meyakininya. Konsekwensi-konsekwensi ini dapat berupa aturan yang harus dipatuhi atau bisa juga berupa tindakan-tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh penganutnya.

Sebagai seorang individu manusia memiliki berbagai kefitrahan yang sangat kompleks, memiliki bermacam variasi kecenderungan, dan melekat padanya kelebihan serta kelemahan yang dapat menjadi keuntungan dan hambatan bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Karakteristik manusia itulah yang membutuhkan sebuah sistem yang sesuai dengan segala kefitrahan yang ada pada dirinya. Dan Islam memiliki jawaban untuk melakukan tugas itu. Islam tidak hanya memberikan arahan, aturan atau ketentuan bagi manusia sebagai individu, tapi Islam juga merangkai setiap individu dengan individu yang lain dalam sebuah sistem yang begitu harmoni dan indah.

Jadi Islam tidak hanya berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia tapi juga untuk kesejahteraan kehidupan mereka (interaksi antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Penciptanya).

Manusia sebagai subjek dan objek dalam sistem hidup Islam, menjadi fokus pertama dan utama. Karena manusia bukan hanya menjadi objek yang diatur tapi juga merupakan faktor yang menentukan berjalannya sistem dan kekokohan sistem serta pengembangan sistem kedepan. Islam yang mengatur hidup manusia sebagai seorang individu tercermin dalam konsep iman, konsep ikhlas dan konsep ihsan.

“Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam sistem kerugian. Kecuali mereka yang beriman, dan beramal shaleh. Dan saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. Al Ashr: 1-3)

Islam mengatur interaksi antar manusia yang bersifat kolektif, tercermin dalam konsep khilafah (kepemimpinan), konsep tawsiyyah (saling menasehati), konsep ukhuwwah (tali persaudaraan) dan konsep amal shaleh (tolong menolong). Prasyarat interaksi digambarkan dengan lugas oleh Allah SWT dalam surat Al Ashr ayat satu sampai tiga. Diterangkan secara garis besar dalam ayat tersebut bahwa manusia tidak akan berada dalam sistem kerugian sepanjang manusia berinteraksi secara kolektif berdasarkan keimanan individu yang diimplementasikan dalam aktivitas amal shaleh dan saling menasehati.

Hal ini juga kemudian semakin dikokohkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang lain, yaitu surat Ali Imran ayat 103.

“Berpegang teguhlah kamu semua pada tali Allah bersama-sama dan janganlah kamu semua bercerai-berai. Ingatlah kamu semua akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu saling bermusuhan lalu Allah mempertautkan hatimu dengan kasih saying. Maka dengan nikmat Allah, menjadilah kamu semua bersaudara”. (QS. Ali Imran: 103)


C. Harmoni Antara Konsep Hidup dan Kefitrahan Manusia

Allah SWT sebagai Pembuat konsep hidup juga merupakan Pencipta makhluk yang bernama manusia. Kesamaan sumber pencipta dari dua entitas ini tentu secara logika disimpulkan bahwa keduanya, konsep hidup dan manusia, memiliki kecenderungan (kefitrahan) dan karakteristik yang sama. Apalagi bahwa memang Allah SWT menciptakan konsep hidup Islam spesial untuk manusia, yang berarti keduanya memiliki hubungan fungsi yang sangat erat. Penegasan Allah SWT ini ada dalam firman-Nya di bawah ini.

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al Maidah: 3)

Penciptaan konsep hidup Islam yang memang Allah SWT khususkan buat manusia tentu sudah begitu sesuai dengan kecenderungan dan karakteristik manusia, sebab Allah jualah yang menciptakan manusia dengan segala variasi kecenderungan sifat, sikap, kecerdasan dan emosi berikut karakteristik fisik lainnya. Dengan demikian aturan hidup yang disediakan oleh Allah SWT telah mengakomodasi kefitrahan manusia. Kefitrahan disini dapat di artikan sebagai tabiat manusia dengan segenap unsur yang melekat padanya; keutamaan, kekurangan dan juga unsur-unsur yang saling bertentangan semisal baik dan buruk, cinta dan benci, cemas dan harap, individu dan kolektif, setia dan khianat, positif dan negatif[3].

Konsep hidup yang kemudian secara spesifik memiliki aturan-aturan yang khas pada semua aspek kehidupan, ekonomi, hukum, politik dan social-budaya, tentu saja mempertimbangkan dan mengerti betul apa yang menjadi fitrah manusia. Dengan demikian konsep hidup Islam sudah menjadi konsep hidup yang dapat dikatakan sempurna. Islam lengkap mengatur semua aktivitas manusia dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan manusia.

Sementara itu Allah SWT melihat dan menilai interaksi manusia di dunia menggunakan konsep hidup yang memang sudah Allah ridhai (Al Maidah : 3) mempertimbangkan juga kemampuan manusia tersebut. Jadi kesuksesan manusia di dunia yang akan terlihat dalam kehidupan akhirat juga bergantung pada kemampuan masing-masing manusia.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakan…” (QS. Al Baqarah : 286)

D. Ekonomi Islam Sebagai Rangkaian Sistem Kehidupan

Keberadaan sistem ekonomi Islam berawal dari definisi atau pemahaman bahwa Islam merupakan sistem hidup yang mengatur semua sisi kehidupan, yang menjanjikan keselamatan dunia dan akherat bagi para penganutnya. Islam pada hakekatnya juga merupakan panduan pokok bagi manusia untuk hidup dan kehidupannya, baik itu aktivitas ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya. Pemahaman bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara menjadikan kebaikan atau kesejahteraan di akherat sebagai tujuan utama dari hidup manusia. Dan Islamlah yang diyakini sebagai “peta” menuju tujuan utama itu.

Sebagai peta Islam memiliki kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau bahkan aturan-aturan spesifik dalam pengaturan detil hidup dan kehidupan manusia. Islam mengatur hidup manusia dengan kefitrahannya sebagai individu (hamba Allah SWT) dan menjaga keharmonian interaksinya dengan individu lain (sosial kemasyarakatan).

Dalam aktivitas kehidupan manusia, beberapa aspek aktivitas tersebut memiliki sistemnya sendiri-sendiri, misalnya aspek ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya. Dan Islam yang diyakini sebagai sistem yang terpadu (integrative) dan menyeluruh (comprehensive) tentu memiliki formulasinya sendiri dalam aspek-aspek tersebut. Sistem ekonomi Islam, sistem hukum Islam, sistem politik Islam dan sistem social budaya Islam merupakan bentuk sistem yang spesifik dari konsep Islam sebagai sistem kehidupan.

E. Kesimpulan

Islam merupakan sistem yang sempurna dan lengkap, meliputi semua sisi kehidupan, untuk semua masalah dan pada semua kondisi di setiap tempat dan zaman. Islam adalah sistem hidup dan kehidupan, yang integratif dan komprehensif. Ekonomi merupakan salah satu himpunan sistem dalam semesta sistem Islam. Ekonomi Islam menjaga dan memelihara kefitrahan manusia dan alam sekitar. Ekonomi Islam memelihara ruhiyah maknawiyah begitu juga ukhuwwah ijtima’iyah. Oleh sebab itu, menggunakan Islam dalam menjawab permasalahan ekonomi akan memberikan hasil yang lebih komprehensif. Islam memberikan tuntunan pribadi, interaksi dan sistem, prinsip-prinsip aplikasi, ruang untuk membangun perekonomian dengan segala instrumen kebijakan, institusi dan aspek hukum pengembangan, pengendalian dan pengawasan. Namun perlu dipahami bahwa kualitas dan intensitas serta kemanfaatan sistem ini sangat tergantung pada manusia yang mengembangkan, mengendalikan dan mengawasi berfungsinya sistem perekonomian.

[1] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan, Intermedia 1997, pp. 116 – 132.
[2] Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin: Jilid 2, Asy Syifa, Jakarta, 1990.
[3] Ali Abdul Halim Mahmud, Perangkat – Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, Era Intermedia, Jakarta, Cetakan ke Delapan 2005, pp. 22.

Rabu, 13 Februari 2008

Sejarah Amal daripada Sejarah Pemikiran

Umumnya saat ini pembelajaran ekonomi Islam tertumpu pada pemikiran-pemikiran bentuk, aplikasi dan kebijakan-kebijakan pada semua aspek ekonomi. Sedikit pembahasan mengenai prilaku ekonomi yang memang sepatutnya dibangun dalam suatu system ekonomi. Bentuk, aplikasi dan kebijakan-kebijakan ekonomi Islam pada dasarnya berasal dari prilaku dari individu-individu yang berprinsip pada nilai dan ketentuan Islam dalam menyikapi fenomena-fenomena ekonomi. Oleh sebab itu, pembelajaran ekonomi Islam misalnya tentang sejarah seharusnya bukan focus pada pembelajaran sejarah pemikiran, tetapi lebih pada sejarah amal/prilaku ekonomi Islam. Pengetahuan dan pemehaman mengenai prilaku ekonomi Islam dari manusia-manusia shaleh terdahulu akan memberikan pengetahuan yang tidak kalah kaya dari hipotesa-hipotesa atau hasil eksplorasi ilmiah aplikasi ekonomi Islam.

Lihatlah bagaimana keluhuran budi manusia mulia terdahulu mampu membentuk fenomena ekonomi dengan begitu bersahaja. Kemakmuran akhirnya menjadi implikasi dari prilaku-prilaku seperti itu. Kemakmuran dan kesejahteraan tidak dimulai oleh perumusan model-model aplikasi ekonomi Islam, tetapi oleh keindahan karakter manusia-manusianya yang dibentuk oleh nilai-nilai Islam. Oleh karena itu pula, tahapan utama dan pertama dari pengembangan system ekonomi Islam ini adalah membangun dan membentuk manusia-manusianya. Kebijakan-kebijakan yang harus selalu diutamakan dalam pengembangan system ini tentunya adalah kebijakan memelihara dan meningkatkan kompetensi keislaman manusia-manusianya.

Sehubungan dengan ini , literature-literatur pertama yang harus menjadi referensi bagi akademisi dan pemerhati di bidang ini adalah buku-buku tentang akidah dan akhlak. Pemahaman pada akidah dan akhlak inilah yang semakin menjelaskan bentuk aplikasi ekonomi Islam itu bagaimana serta kemana akan menjadi. Lihatlah apa yang menjadi kurikulum dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi dalam pembelajaran ekonomi Islam, masih jauh dari bentuk yang sepatutnya dilakukan. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk mewujudkan system pembelajaran ekonomi Islam yang tepat menjadi lebih penting.