Jumat, 31 Oktober 2008

Selamat Datang Krisis!

Ada sebagian orang yang khawatir kalau krisis keuangan ini akan menjerumuskan perekonomian Indonesia ke jurang kehancuran yang lebih dalam dari yang pernah kita rasakan dan lihat tahun 1997-1998. Seperti apa logika kekhawatiran itu? Logikanya adalah kehancuran sector keuangan Amerika, Eropa dan juga Jepang, akan pula mengacaukan sector riil mereka akibat tamparan beruntun berupa keketatan likuiditas yang membuat capital produksi langka dan pemberhentian kerja secara massif diawali oleh perusahaan-perusahaan keuangan. Kondisi tersebut tentu akan menurunkan daya beli masyarakat cukup signifikan. Terlebih lagi jika masyarakat secara kolektif cenderung menahan uang tunainya atas dalih berjaga-jaga mengantisipasi portfolio-portfolio investasi yang saat ini sedang tidak menarik untuk diakrabi.

Sebagai negara tujuan ekspor terbesar dari produk Indonesia (akumulasi Amerika, Eropa dan Jepang), tentu penurunan daya beli masyarakat Amerika, Eropa dan Jepang akan membuat goyangan yang cukup keras bagi trade balance Indonesia. Apalagi jika sector keuangan Indonesia juga ikut guncang mengingat pasar keuangan sewajarnya tidak memiliki sekat yang mampu mengisolasi krisis ada di pasar keuangan negara tertentu. Jika perkiraan ini terjadi, maka lumrahlah kekhawatiran membuat banyak orang sedikit mengurut dada menekan degub jantungnya yang semakin keras.

Terbayang kembali masa-masa sulit 1997-1998; antrian sembako, PHK dimana-mana, kriminalitas, social unrest, penjarahan, dan pemandangan menakutkan lainnya. Akankah pemandangan itu kembali terjadi? Tidak cukupkah informasi positif dari ekonomi domestik seperti; cadangan devisa kita jauh lebih besar, perbankan kita jauh dari masalah (NPF/NPL kecil dengan FDR/LDR tinggi), sektor riil kita sedang berputar dengan akselerasi yang baik, menepis kekhawatiran? Meskipun kekhawatiran lain adalah keakurasian kondisi perbankan, karena sinergi pasar keuangan global, diperkirakan tidak ada satu pasar keuangan pun di dunia ini yang telah berjalan dan mapan dapat lolos dari badai krisis keuangan.

Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, sepatutnya kita tidak perlu khawatir dengan krisis keuangan. Boleh jadi saat ini kekuatan Indonesia tidak lagi tergantung pada data-data ekonomi tetapi lebih pada kekuatan kebersamaan dalam respon prilaku ekonomi. Percaya diri pada kondisi ekonomi domestik dengan beralih dan konsistem menggunakan produk-produk dalam negeri dan meninggalkan aktifitas transaksi yang berakhir pada penggelembungan semu ekonomi (aktifitas interest base & spekulatif), sedikit banyak akan meningkatkan daya tahan ekonomi nasional. Terlebih lagi jika di sektor produksi, pemerintah dan dunia usaha maksimal menguatkan sektor riil dengan optimalisasi potensi SDA dan SDM dan kebijakan fiskal-moneter yang domestically conducive.

Perbankan, baik Syariah maupun konvensional harus secara maksimal menemukan terobosan dan peluang baru pada sector-sektor usaha domestic. Dengan besarnya potensi pasar, melimpahnya sumber daya alam dan manusia, diperkirakan perekonomian Indonesia belumlah sampai pada angka potensialnya. Sehingga dalam situasi krisis, penguatan sector riil bukan hanya menjadi perisai bagi perekonomian nasional dari infeksi krisis eksternal tetapi juga momentum membangkitkan kekuatan perekonomian Indonesia pada skala yang sebenarnya.

Di samping itu, kalaupun krisis itu menjelma kembali di tanah air tercinta ini, anggaplah sebuah pembelajaran kembali. Mungkin krisis kemarin tidak sepenuhnya menyadarkan kita pada kekacauan system dan prilaku serakah yang merusak. Badai krisis manghantam Indonesia itu sudah pasti, tetapi berapa lama dan berapa dalam implikasinya, kini tergantung pada upaya kita bersama. Semoga Allah SWT berikan yang terbaik. Wallahu a’lam.

Kamis, 30 Oktober 2008

Islamic Financial News: this is the momentum!

Secara reguler saya mendapatkan berita pendek (online) dan Majalah tentang keuangan syariah dari Islamic Financial News (Malaysia), saya kira berita-berita pendek itu cukup baik untuk diketahui teman-teman pemerhati ekonomi-keuangan-perbankan syariah. Semoga bermanfaat.

Dear Ali Sakti,

While global markets struggle to pick up the pieces from what has been dubbed “the worst economic crisis in decades”, the Islamic finance industry was dealt a blow when Standard & Poor’s revealed that more than US$5.6 trillion had been wiped off the value of Shariah compliant equities worldwide during the third quarter of 2008.

However, it added that Shariah investors had benefited from their lack of exposure to financials, which have been the focus of the market selloff. Its Index services vice president Alka Banerjee said: “While equity markets around the world have experienced a tumultuous quarter, Shariah investors continue to be shielded to some extent by the exclusion from their portfolios of financial stocks and other highly leveraged companies, which do not satisfy the strict compliance criteria associated with Islamic law.

”Standard & Poor’s Ratings Services had also revised its outlook on six banks in Gulf Cooperation Council (GCC) countries to stable from positive, which included Islamic banking giant Kuwait Finance House, citing the less supportive environment in which they operated from as a factor.The financial turmoil has boosted perception of Islamic finance, which is now being considered by many Western countries including the US and even Australia. It was reported that the US government was studying the salient features of Islamic banking to ascertain how far it could be useful in fighting the ongoing world economic crisis.

Prominent Egyptian-born, Qatar-based cleric Sheikh Yussef al-Qaradawi told participants of a recent conference to take advantage of the financial crisis to create a Shariah compliant economic system. “We have all the wealth... the Islamic nation has all or nearly all the oil and we have an economic philosophy that no one else has,” he said, alluding to the fact that Saudi Arabia holds a substantial portion of the world’s proven crude oil reserves.

The head of theological studies at Doha University shares Sheikh Yussef’s view, saying the global economic meltdown shows the need for a radical and structural reform of the global financial system. He says the system based on the principles of Islam offers an alternative that can reduce risks.On the flip side, others say that although interest, derivatives and short selling are forbidden under Shariah law, which means that Islamic financial institutions were not burdened any subprime loans, hedge funds or credit default swaps, investing in halal finance would not be a shield against a global financial or even economic crisis.

Our country reports focus on Japan, where the private sector has shown its full commitment to the growth of the Islamic finance industry. The government has now realized the potential of attracting petrodollars from Middle Eastern investors and government officials and industry practitioners are diligently studying Islamic finance.

The first of two market reports paint a dreary picture for Islamic investors saying they were not immune from stock market crashes while Monem Salam, in the other, urges the industry to avoid similar disasters by analyzing the failings of conventional finance instead of displaying a false sense of pride.

“Do not boast. Do not be negative. Show your strength with value-added products,” he advocates.

To read any of the above sections, you may download the specific article or full issue from our website. To do so, you may request for a trial subscription at no-charge.

However, you will not be able to take advantage of our extensive archived section - now containing in excess of 5,000 articles and reports. Why not take this opportunity to subscribe today!

The next issue will be available from Friday 7th November 2008.

Best regards,IFN team

Shariah-compliant stocks' value down by $5.6t

http://www.zawya.com/story.cfm

Over $5.6 trillion wiped off the value of shariah-compliant equities worldwide during the third quarter of this year, according to Standard and Poor's latest report released yesterday.
However, the latest review of the S&P Global Shariah Index Series (GSIS) confirmed that in most cases, Shariah investors have benefited from their lack of exposure to financials, which has been the focus of the market sell-off.

Stocks deemed to comply with Islamic law lost 23.4 per cent of their value on a total return basis over the year from last September 30, as measured by the S&P Global BMI Shariah index, covering 52 of the world's largest developed and emerging markets. The non-shariah conventional index, S&P Global BMI, fell 25.3 per cent over the same period.

Shariah-compliant stocks in emerging markets bore the brunt of the selling, with the S&P Emerging Markets BMI Shariah plunging 37 per cent, compared to a 35.4 per cent loss for its non-Shariah counterpart.

"While equity markets around the world have experienced a tumultuous quarter, shariah investors continue to be shielded to some extent by the exclusion from their portfolios of financial stocks and other highly leveraged companies which don't satisfy the strict compliance criteria associated with Islamic law," said lka Banerjee, vice-president, S&P Index Services.

S&P Global Benchmark Shariah Index Series reveals that the consumer-staples sector suffered the mildest declines within the Shari'a-compliant universe, dipping -0.28 per cent over the third quarter. The healthcare second followed in second place, with losses of -2.60 per cent. Shari'a-compliant stocks in the materials sector posted the heaviest losses, however, down 36.49 per cent.

On a country-basis, shariah investors fared worse in Australia, Turkey, South Africa and Ireland over the third quarter. The Philippines, staging a remarkable turnaround after suffering the heaviest losses in the second quarter, was the only country to post a positive return in the third quarter, up 0.8 per cent. S&P's Global Benchmark Shariah Index Series covers 52 developed and emerging markets as well as ten GICS (Global Industry Classification Standard) sectors. It is part of Standard & Poor's family of Shariah-compliant indices, designed to offer a comprehensive set of Islamic investment solutions for both benchmarking and investing activity.

S&P's Shariah indices are screened by Ratings Intelligence Partners, an independent Kuwait-based consulting company, collaborating with the S&P index committee, to apply a set of independent and objective guidelines for the day-to-day maintenance of each shariah index.

The firm's shariah indices undergo sector- and accounting-based screens excluding businesses offering products and services considered unacceptable or non-compliant according to shariah law.

© Bahrain Tribune 2008

http://www.zawya.com/story.cfm/sidZAWYA20081028040054/Shariah%2DCompliant%20Stocks%27%20Value%20Down%20By%20%245%2E6T

Selasa, 28 Oktober 2008

Lessons Not to Learn


By Abdulkader Thomas
Column in Islamic Finance Asia
(Oct/Nov 2008 Ed.)

Northern Rock, Bear Stearns, Fannie Mae, Freddie Mac, Lehman Brothers, Merrill Lynch, WAMU, AIG. We started thinking about this list in mid-2007. The fallen and the at risk, the merged given risk… these new big names (how many less well-known names have failed, we don’t yet know) suddenly seem to have no end. What failed us?

Is it capitalism and Adam Smith’s “invisible hand” which has caused this mess? Perhaps so. In the Bush-Blair rush to deregulate markets, the theories which went into play were that the markets know better the needs of people. There cannot be market failures that require government intervention. Inefficiencies will be set right by the market. But, the market allocates resources according to price. Setting the correct price requires trust and information. If the provider of information is untrustworthy, the market will not function correctly. If resources are abundant, and market participants are worried that they will “miss their opportunity”, then there are risks to both the pricing signals and the quality of information.

Indeed, during the subprime build-up, cash was abundant. Bankers, brokers and home owners alike rushed to avoid missing their chance. Since the invisible hand was a fiction of Smith’s mind, the government has to step into the breach and protect the broad market from distortions in information and dishonest behavior. Oh, and probably the government shouldn’t print too much money either! But, the now hyper-critical Mr Greenspan is the person who ran the printing press and didn’t seem to mind the lack of market oversight. So, greed let us down.

Did Basel II let us down? Those who have attended my courses on risk management in Islamic finance know that I have often made two harsh criticisms of Basel II. The first is that it has inherent bias toward the large institutions of the OECD countries; you know, the institutions that are currently putting the global financial system at risk. The second is that Basel II concepts assert that independent ratings are valid analyses of risk. But, the complexity of securities derived from subprime instruments, and probably now credit insurance vehicles, has shown that ratings fall if their assumptions are based on incorrect assumptions, or lack seasoned analysts to interpret the environment in which the instruments are issued, or are based on concepts that are not adapted to changing markets.

For instance, highly tranched mortgage backed securities (MBS) created in the early 1990s were based on underpriced real estate and deep discounted mortgages. The concept continued through the mid-2000s. By then, the real estate was overpriced, and the mortgages may have represented a loan to value of up to 120%. So, if I buy an investment grade tranche of an MBS issued in 2004, my bank would have a superior capital allocation than if it had made and held a whole mortgage loan with a loan to value ratio (LTV) of 75%.

We can now see the essence of the crisis. It’s not securitization, it’s the erroneous assumptions ignored under Basel II, tolerated by rating agencies and regulators, the booming real estate market. Are there lessons from the 1997 Asian financial crisis that the Americans and others did not learn? Absolutely. The invisible hand allows industries to fail and people to suffer. The American and IMF (International Monetary Fund) advice was to let it happen.

But, Malaysia didn’t. Public works like the Putrajaya project most likely helped buoy the struggling economy. Government intervention in the financial markets rescued failing banks. And, at the end of it all, Malaysia’s financial system was intact, the infrastructure modernized and the people generally better off.So, it really is, as former US president Bill Clinton said in the 1992 presidential campaign, “the economy, stupid”. And, the economy is about the general welfare of the people, the citizens. That means the visible hand of public policy and government intervention is often needed to protect the markets so that the people may enjoy a broad level of well-being.

Oh, and interest. Okay, this is Islamic Finance Asia, and I am a promoter of Islamic finance. I would like to tell you that interest was an important part of the problem. And, it is. But, the reality is threefold:

A vibrant Islamic finance industry should help to diversify the financial system and help to reduce systemic risks;

Interest compounds problems and loans are significantly different from risk participations. Would a bank the size of the entire universe of Islamic banks (e.g. Lehman) fail if it had shared risk in lieu of borrowed money? Probably not as severely; and

Will the Islamic sector make its own mistakes, just different? Almost certainly.

Bank Umum Syariah di Indonesia Bertambah 2 Bank

Alhamdulillah, tahun ini telah bertambah 2 Bank Umum Syariah (BUS) baru yaitu PT. Bank Syariah BRI pada tanggal 16 Oktober 2008 dan PT. Bank Syariah Bukopin pada tanggal 27 Oktober 2008. Kedua bank ini menggenapi 3 BUS yang telah lebih dulu ada, yaitu BSM, BMI dan BSMI. Semoga kehadiran kedua bank ini merupakan awal keberkahan Allah SWT bagi dunia perbankan Indonesia. Dan kita berharap keberkahan lainnya akan menyusul dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Krisis keuangan global saat ini, betul-betul diharapkan menjadi tanda runtuhnya peradaban kapitalisme. Krisis ini menjadi fenomena penyiapan lingkungan bagi munculnya peradaban baru. Dan boleh jadi secara lokal peradaban baru perbankan muncul melalui perbankan syariah. Seiring dengan krisis keuangan ini, perbankan syariah Indonesia berkembang dalam skala yang lebih besar.

Teman-teman sekalian, Allah SWT sudah khabarkan bahwa sistem yang digerakkan oleh 10/20/100 orang yang beriman dan sabar akan mengalahkan sistem yang digerakkan oleh 100/200/1000 orang yang tak percaya pada Tuhan. Mari sambut khabar ini. Mari berusaha masuk dalam barisan orang beriman dan sabar, yang kekuatan mereka 10 kali ganda dari orang-orang yang tak percaya kebahagiaan syurga. Boleh jadi sumbangsih minimal yang diharapkan oleh Tuhan dalam menegakkan peradaban baru perbankan ini sekedar memegang rekening bank syariah dan ikut berusaha memperbaikinya, membesarkannya, menjaganya, dan sabar dengan konsekwensi dibalik itu semua.

Kalaupun ada cobaan ujian berupa ketidaknyamanan bersama dengan peradaban itu, ingatlah peradaban itu bergantung pada manusia dibelakangnya. Jadi jangan berpaling dari peradaban itu, peradaban itu menjadi keniscayaan zaman, bahkan zaman berharap dan menuntut ia ada. tinggal saja pastikan selalu manusia-manusia dibelakangnya adalah manusia yang memang tepat bagi peradaban itu. Semoga Allah SWT sabarkan hati dan kuatkan langkah kita. Amin.

Kamis, 23 Oktober 2008

Islamic Financial News: crisis impact to islamic finance

Moody’s Economy.com says the intensifying credit crisis has spread to foreign trade. According to the independent provider of economic analysis, reports have emerged of banks refusing to honor letters of credit from other banks. Some cargo ships have been stranded at ports, while stocks pile up because exporters have been unable to arrange shipping without being afforded bank finance.Yes, the tremors from the US subprime earthquake are indeed being felt globally by the ordinary folk. After Iceland, Argentina faces the prospect of bankruptcy, the Baltic states are said to be “in real trouble” and Pakistan has narrowly averted bankruptcy after securing financial backing. More than half a million people in Japan lost their jobs in just three months. Even the petrodollar economies are feeling the squeeze. Saudi Arabia and the UAE have poured up to US$10 billion into their banks to ease tight conditions as Gulf Arab policymakers prepare to discuss a coordinated response to the global economic crisis.British Prime Minister Gordon Brown’s admission that the global economic downturn is “likely to cause recession” in the UK saw markets slump. Bank of England governor Mervyn King said that not since the first world war has the international banking system been so close to collapse. Brown said: “Having taken action on the banking system, we must now take action on the global financial recession which is likely to cause recession in America, France, Italy, Germany, Japan and — because no country can insulate itself from it — Britain too.”The upside is that genuine interest is emerging in Islamic finance as an acceptable alternative. UK Trade & Investment is supporting a briefing to give financial companies a better understanding of Islamic finance by explaining whom it applies to, how it can complement existing financial services strategy, and what the benefits are. Chief executive Andrew Cahn said: “In these tough times, it’s more important than ever that we make the most of growing sectors like Islamic finance.”The Islamic Bank of Britain has reported a growth of 5% in customer numbers and 13% in customer financing. The reason is that the bank “has been better protected from the credit crunch affecting mainstream banks”, said its commercial director, Sultan Choudhury. He attributed the rise to people “looking for a safer option for their money”. In Australia, financial institutions and the government are considering introducing Islamic banking and its principles.Indeed, Islamic banking has largely escaped the crisis, but according to experts, because of its heavy reliance on property investments and private equity, the industry could be hit if the turmoil worsens and real assets start to crumble. Still, Kuwait Finance House reports that the outlook for Islamic financing is bright and it will likely take the lead in terms of providing funding for major projects as the conventional banking system reevaluates its business model.In the circumstances, Malaysia wants Islamic financial authorities to push for common global standards, pointing out that the differences are very small — “We agree on 95% of the products,” second finance minister Nor Mohamed Yakcop said.As someone put it, the rules of Islamic banking and finance read like a how-to guide on avoiding the kind of disaster that is currently gripping world markets.

Selasa, 21 Oktober 2008

Global Financial Crisis: Perbankan Syariah Goyang?

Krisis keuangan global ternyata "menggoyang" industri perbankan syariah Nasional. Ketatnya likuiditas bukan hanya monopoli industri keuangan konvensional dalam situasi bada saat ini. Kesulitan likuiditas tentu akan mengganggu operasional teknis perbankan sekaligus atmosfir industrinya. Jika goyangan ini ternyata menjerumuskan bank syariah secara individu pada situasi yang lebih serius, bukan tidak mungkin dibutuhkan pula semacam skenario bailout untuk mereka. Dari kondisi ini, maka (mungkin) lumrah ada yang bertanya: "masih relevankah bank syariah dikatakan perkasa terhadap guncangan keuangan?"

Perlu dipahami terlebih dahulu anatomi guncangan yang menggoyak industri perbankan syariah nasional. Ketatnya likuiditas yang juga ditandai dengan penurunan DPK, sejatinya bukan berasal dari kelemahan sistem perbankan syariah. Kondisi ini sederhananya merupakan konsekwensi logis dari situsi aplikasi perbankan ganda dalam satu playing field.

Respon kebijakan moneter yang meningkatkan suku bunga terhadap potensi capital outflow dan inflasi, membuat daya tarik pasiva perbankan konvensional menjadi lebih meningkat dibanding perbankan syariah. Sementara itu, kesulitan likuiditas unit-unit bisnis (baik riil maupun keuangan) di negara-negara Eropa dan Amerika sebagai negara tujuan utama ekspor korporasi nasional, mau tidak mau berimbas pada situasi likuiditas korporasi nasional, akibatnya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas tersebutnasabah korporasi banyak yang menarik atau mengalihkan dananya. Kondisi inilah yang diyakini menjadi sebab menurunnya DPK di perbankan syariah.

Artinya ini menjadi realitas yang diluar kontrol perbankan syariah, sehingga ketatnya likuiditas tidak relevan dihubungkan dengan ketahanan alami yang dimiliki perbankan syariah sebagai salah satu piranti sistem keuangan syariah. Sejauh ini guncangan keuangan yang dirasakan perbankan syariah merupakan kewajaran sistem, dimana industri syariah dan konvensional tidak terdikotomi. industri syariah dan konvensional masih saling tergantung dan saling mempengaruhi baik melalui transmisi-transmisi pasar maupun prilaku nasabah (akibat dominannya floating customer).

Secara umum bagi otoritas, penyikapan yang tepat dalam merespon situasi seperti ini adalah memperkuat perekonomian domestik melalui penguatan sektor riil dengan upaya optimalisasi pencapaian potensi pasar riil domestik. Ingat jantung ekonomi bukanlah Bank atau lembaga keuangan. Jantung ekonomi adalah pasar, maka kunci umum dari berlangsungnya perekonomian adalah pemastian kehidupan pasar. Harus ada upaya-upaya serius dari otoritas untuk menyajikan kepada seluruh pemegang modal agar percaya diri untuk berinvestasi di pasar riil. Dan jalan menuju pasar riil bukan saja sekedar diperlancar, tetapi juga harus diperbanyak jalan menuju kesana. Oleh sebab itu, some how saya sepakat sekali dengan pendapat bahwa bagi otoritas lebih penting pasar malam dan tanah abang dari pada pasar-pasar keuangan (yang lebih banyak dipenuhi oleh penjudi-penjudi yang malas). wallahu a'lam.

Kamis, 16 Oktober 2008

Dunia Membutuhkan Sistem Ekonomi Baru

Dunia Membutuhkan Sistem Ekonomi Baru

Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd mengatakan bahwa global economic crisis ini merupakan hasil dari “comprehensive failure of extreme capitalism”. Rudd mengungkapkan bahwa keserakahan dan ketakutan (greed and fear) sebagai “twin evils” yang menjadi akar penyebab dari kehancuran sector keuangan dunia. Tatakelola korporasi yang lebih mengedepankan keserakahan daripada integritas menjadi salah satu penyebab kehancuran system keuangan ini.

Dalam laporan tentang pertemuan pemimpin Eropa di Brussel oleh Economist.com, Presiden Sarkozy dari Prancis mengungkapkan bahwa Masyarakat Ekonomi Eropa meminta diselenggarakannya Global Summit yang membahas tentang pembuatan “a new form of capitalism based on moral values, and the effective regulation and supervision of all corners of the financial world”. Ide global summit ini akan disampaikan oleh Jose Manuel Barroso, Presiden komisi Eropa, di Camp David pada Sabtu (18 Okt 2008) nanti. Pertemuan ini merupakan pertemuan yang akan menawarkan “Britton Woods” baru. Sebelumnya Gordon Brown perdana menteri Inggris sudah juga mengatakan bahwa sudah saatnya dunia mencari Bretton Woods baru.

Uniknya, jika pertemuan tersebut jadi dilaksanakan, pertemuan itu seperti dejavu karena ia merupakan pertemuan yang hampir sama dengan pertemuan pemimpin Eropa dan Amerika di kota Bretton Woods, New Hampshire – Amerika bulan Juli pada tahun 1944. Pertemuan ketika itu juga berlangsung ketika Eropa dan Amerika mengalami guncangan yang dahsyat pada system keuangan mereka selama satu decade sebelum perang dunia kedua meletus. Pertemuan itu menghasilkan dua keputusan penting yang mengubah wajah ekonomi dunia, yaitu disepakatinya perjanjian Bretton Woods yang bermakna dimulainya system fixed exchange rate regime dan didirikannya International Monetary Fund (IMF) yang ditujukan sebagai lembaga keuangan international yang membantu Negara Eropa dan Amerika untuk bersama-sama keluar dari krisis yang tengah mereka hadapi ketika itu.

Apa itu sebenarnya Bretton Woods Agreements? Perjanjian Bretton Woods pada dasarnya adalah kesepakatan antara Negara – Negara Eropa dan Amerika untuk menggunakan kembali fixed exchange rate berbasis emas dengan pedoman bahwa semua mata uang di dunia harus mengacu pada US dollar dan US dolar merujuk pada standard emas dengan nilai 1 once emas sama dengan USD35. Perjanjian ini dilatar-belakangi oleh krisis keuangan yang bertubi-tubi melanda perekonomian Eropa dan Amerika sejak 1907 hingga tahun 1940-an.

Banyak yang menuduh krisis itu bermula dari maraknya pendirian bank swasta yang mencapai 19 kali lipat sejak tahun 1860 hingga tahun 1921 tanpa ada pengaturan yang jelas pada awalnya (Francisco LR dan Luis R Batiz,1985). Federal Reserve Amerika saja baru didirikan tahun 1913. Akibat fungsi money creation secara bebas dimiliki oleh lembaga perbankan, rezim mata uang emas ketika itu runtuh pada tahun 1915.

Sejak itu dapat dikatakan dunia mengalami monetary chaos, krisis bergantian dan mewabah di Eropa, Amerika bahkan Jepang. Yang paling menonjol adalah krisis yang dialami oleh German, Austria, Jepang dan tentu saja Amerika. German mengalami hiperinflasi yang membuat sampai-sampai gaji pegawai ketika itu harus dibayarkan dua kali dalam sehari. Austria selanjutnya menjadi korban akibat kehancuran ekonomi German. Jepang pun mengalami krisis perbankan sampai harus menutup 37 bank dalam system perbankan nasionalnya. Puncaknya adalah terjadinya The Great Crash di pasar modal New York dan Great Depression di dunia perbankan/ekonomi Amerika pada tahun 1929-1930, hingga net national product Amerika terpangkas lebih dari setengahnya.

Sejak saat itu perekonomian Eropa dan Amerika selalu dibayangi awan gelap krisis dan kekacauan ekonomi. Kondisi ini yang memaksa Pemimpin Eropa dan Amerika mengadakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian Bretton Woods. Perjanjian ini kemudian tak dapat lagi dipertahankan pada tahun 1971. Ditengarai dinamika sector keuangan dunia yang semakin “menggila” dengan aplikasi credit system dan spekulatif membuat rezim nilai tukar berbasis emas tidak sanggup bertahan. Tahun itu juga coba diatasi dengan melakukan devaluasi dollar melalui perjanjian baru yaitu Smithsonian Agreement dengan mengubah basis rezim dari 1 ounce sama dengan USD35 menjadi 1 ounce sama dengan USD38. Tetapi perjanjian ini hanya bertahan hingga tahun 1973 dan sejak tahun itu rezim nilai tukar dunia menjadi mengambang bebas.

Menggunakan definisi Batiz, praktis sejak tahun 1973 sebenarnya dunia mengalami monetary chaos kembali, terbukti dengan munculnya krisis-krisis keuangan baik di negara-negara maju maupun negara-negara emerging market di Asia dan Amerika Selatan. Bagaimana dengan IMF yang diharapkan berfungsi sebagai “polisi” dalam system keuangan dunia? Ternyata IMF gagal total menjadi lembaga yang mencegah krisis berulang. IMF hanya menjadi sekedar ambulans yang sebisa mungkin menjadi perawat yang baik dalam meminimalkan penderitaan negara-negara korban krisis.

Keberadaan lembaga-lembaga keuangan internasional dan lembaga-lembaga stabilitas keuangan baik di tingkat nasional maupun regional, sejatinya merupakan bendera putih tanda menyerah dari warga system keuangan terhadap eksistensi krisis. Krisis selalu ada dan menjadi kelumrahan system yang dianut. Oleh sebab itu lembaga keuangan internasional dan lembaga stabilitas keuangan sebagai ambulance harus selalu “stand-by.” Tapi haruskah krisis keuangan menjadi kelaziman? Adakah satu system yang tak memiliki konsekwensi krisis?

Bagaimana dengan Ekonomi Islam? Diyakini ekonomi Islam memiliki sesuatu yang lebih sebagai sebuah konsep ekonomi. Ekonomi Islam memiliki dua kekuatan utama, yaitu aplikasi ekonomi yang secara nature tidak menuju pada bubble/fragility dan moral yang menjadi pedoman berprilaku dari pelaku-pelaku ekonomi. Aplikasi ekonomi Islam lekat dengan aplikasi produktif barang dan jasa. Sedangkan keberadaan keuangan Islam pada dasarnya hanyalah aktifitas yang mendorong aktifitas ekonomi produktif, dimana transaksi-transaksi keuangan selalu bersandar sekaligus bermuara pada transaksi barang dan jasa, baik perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal dan lain sebagainya.

Sementara itu, keterpaduan nilai-nilai moral dan aplikasi ekonomi sudah menjadi nature dari ekonomi Islam. Bahkan moral menjadi nilai utama yang terlebih dulu terbangun dalam diri para manusia yang terjun sebagai pelaku ekonomi. Artinya seorang pelaku ekonomi harus terlebih dulu menjadi seorang moralis sebelum ia menjadi pelaku bisnis. Nilai-nilai seperti “manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang manusia lain” dan “harta terbaik adalah harta yang ada di tangan orang-orang yang shaleh,” menjadi pedoman dan menjadi indikasi bahwa moralitas didahulukan daripada aplikasi ekonomi. Selanjutnya aplikasi ekonomi Islam secara disiplin dikawal oleh syariah, yang terkandung didalamnya panduan-panduan bertransaksi dan prinsip-prinsip aplikasi ekonomi. Moral dan syariah bersinergi dalam satu system yang pas untuk karakter manusia (karena memang Islam dirancang untuk manusia). Tidak heran kini ekonomi Islam tengah menjadi sorotan utama para pencari model ekonomi, terlebih ketika sosialisme tidak menawarkan apa-apa. Karena sosialisme telah menjadi pengalaman yang menyakitkan buat dunia. Wallahu a’lam.

Blessing in Disguise: Kemunculan Ekonomi Islam dan Islam

Blessing in Disguise: Kemunculan Ekonomi Islam dan Islam

Krisis keuangan dunia yang perlahan berubah menjadi krisis ekonomi dunia, ternyata pada perspektif yang lain memberikan kabar gembira bagi para aktifis dakwah Islam. Sudah pasti kehancuran ekonomi dan keuangan kapitalisme ini akan memunculkan keinginan lebih serius dari kalangan capitalist untuk mencari model ekonomi alternative. Dan ekonomi serta keuangan Islam sudah tentu ada dalam daftar alternative tersebut, terlebih saat ini pertumbuhan industry keuangan Islam secara realita merupakan fenomena yang tak bisa dipungkiri oleh industry keuangan dunia sebagai industry yang sedang tumbuh dengan pesat dengan potensi pasar yang sangat besar.

Kehancuran kapitalisme menyadarkan banyak pihak bahwa ternyata ekonomi tidak hanya membutuhkan pasar dengan segala infrastrukturnya, tetapi ekonomi juga memerlukan nilai-nilai moral yang mengawal prilaku pelaku-pelaku ekonomi. Tetapi kapitalisme secara filosofis sudah mengeluarkan moral dari wilayah aplikasi dan disiplin ilmu pengetahuannya, sehingga pengembangan kapitalisme akan selalu tak memiliki moral di dalamnya. Karakteristik kapitalisme yang mengedepankan pembangunan dan pengukuran materialism berdasarkan prinsip-prinsip kekuatan pasar secara bebas, akan membuat ekonomi dan moral tidak mungkin bertemu dalam satu bangunan kapitalisme. Moral di kapitalisme dapat saja menjadi pelengkap system besar ekonomi, tetapi pada dasarnya ia bukanlah elemen yang menjadi bagian dari system. Dengan begitu, moral menjadi termarginalisasi, ia hanya muncul ketika manusia “capek” dengan kemapanan materialistic. Oleh sebab itu, jarang kita temukan manusia kapitalisme menjadikan moral sebagai semangat kerja atau menjadi inti kerja-kerja mereka. Dengan kata lain kapitalisme tidak pernah menghasilkan manusia moralis, moralis hanya terbentuk ketika manusia kapitalis “jenuh” dengan rutinitas kapitalisme, itupun biasanya terwujud ketika mereka sudah ada pada tingkat aman secara materi.

Sementara itu, keterpaduan nilai-nilai moral dan aplikasi ekonomi sudah menjadi nature dari ekonomi Islam. Bahkan moral menjadi nilai utama yang terlebih dulu terbangun dalam diri para manusia yang terjun sebagai pelaku ekonomi. Artinya seorang pelaku ekonomi harus terlebih dulu menjadi seorang moralis sebelum ia menjadi pelaku bisnis. Nilai-nilai seperti “manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang manusia lain” dan “harta terbaik adalah harta yang ada di tangan orang-orang yang shaleh,” menjadi pedoman dan menjadi indikasi bahwa moralitas didahulukan daripada aplikasi ekonomi. Selanjutnya aplikasi ekonomi Islam secara disiplin dikawal oleh syariah, yang terkandung didalamnya panduan-panduan bertransaksi dan prinsip-prinsip aplikasi ekonomi. Moral dan syariah bersinergi dalam satu system yang pas untuk karakter manusia (karena memang Islam dirancang untuk manusia). Tidak heran kini ekonomi Islam tengah menjadi sorotan utama para pencari model ekonomi, terlebih ketika sosialisme tidak menawarkan apa-apa. Karena sosialisme telah menjadi pengalaman yang menyakitkan buat dunia.

Begitu indahnya scenario Allah ketika Ia ingin menampilkan kebenaran di pentas dunia. Kehancuran kapitalisme bukan hanya memunculkan risalahnya dalam bentuk model ekonomi Islam, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi kebatilan dalam berbagai bentuknya. Politik Barat tentu menjadi sisi yang juga terganggu akibat kelemahan ekonomi mereka, propaganda-propaganda keagamaan oleh NGO mereka di tingkat underground di Negara-negara muslim mulai kehilangan bahan bakar akibat sumber dana sosial mereka ternyata ikut ambruk bersama kehancuran ekonomi dan industry keuangan Barat. Mungkin banyak perusahaan-perusahaan sebagai donator utama propaganda itu merupakan korban utama krisis keuangan dunia. Kalau sudah seperti ini, saya hanya ingin mengatakan, “lihatlah bagaimana konspirasi kebatilan itu terjadi begitu tersinergi dalam system kebatilan, dan maker Allah lebih dahsyat bukan. Karena dengan runtuhnya satu poros kebatilan hancur pulalah bangunannya. Uniknya kehancuran mereka disebabkan oleh ulah kebatilan itu sendiri.”

Saksikan bagaimana satu persatu ruas-ruas sendi kebatilan itu runtuh. Perhatikan bagaimana Allah melakukan itu semua. Dan jangan berkedip, sebentar lagi kita bukan hanya akan menyaksikan system perekonomian, politk, hokum, budaya atau bahkan peradaban Islam yang akan muncul, tetapi lebih dulu kita akan menjadi saksi munculnya generasi Allah, generasi langit, generasi terbaik yang akan menjadi pengusung peradaban terbaik. Generasi ini penuh dengan semangat, pengetahuan, keahlian dan tentu kesabaran. Generasi ini memiliki daya kerja maksimal 10 kali ganda dari manusia awam pada umumnya. Karena memang Allah sendiri langsung

Melihat sejarahnya, kemajuan industry dan teknologi Barat berakar dari gerakan yang menjauhi keyakinan, nilai moral beserta ritual-ritual tradisional agama. Gerakan ini ketika dulu meyakini bahwa agama dengan segala kewajiban yang mengikat manusia dipandang menghambat kemajuan manusia. Oleh sebab itu muncullah gerakan massif di Eropa termasuk Amerika untuk menjauhi itu semua. Kecenderungan inillah yang kemudian diyakini menjadi akar dari munculnya gerakan industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Mungkin hal ini menjadi pemahaman seorang pembaharu Islam, hingga ia mengatakan bahwa Barat menuju kepada kemajuan ketika mereka menjauhi agama mereka, sementara Ummat Islam mengalami kemunduran ketika mereka menjauhi Islam sebagai agama mereka.

Senin, 13 Oktober 2008

Economics Nobel Prize Goes to Krugman

Mungkin bukan sebuah kebetulan, ditengah fenomena yang menjadi simbol runtuhnya pemikiran neo-klasik, tokoh ekonomi keynesian mendapatkan penghargaan tertinggi yaitu Nobel di bidang ekonomi. Apakah ini menjadi sinyal, bahwa ekonomi dunia akan memiliki skenario yang berbeda pasca krisis keuangan global? Apakah Era keemasan Keynesian akan kembali setelah terkubur lebih dari tiga dekade oleh kritikan pedas Milton Friedman? Kita yang akan menjadi saksi.

Bagaimana dengan ekonomi Islam? Dapatkah ia mencuri momen ditengah kebingungan filusuf ekonomi modern dalam menemukan ruh ekonomi? Selama ini ekonomi modern tidak pernah memiliki ruh apapun kecuali keserakahan dan keserakahan. Ia hidup dari dan untuk keserakahan. Sewajarnya ia sudah punah sejak dulu, tetapi kelicikan akal manusia masih terus mampu menambah usianya.

Beralih dari satu titik ekstrim ketitik ekstrim berikutnya boleh saja dikatakan penyegaran sistem, tetapi hakikatnya sistem ekonomi ini sudah kehilangan daya topang untuk hidup. piranti-piranti systemnya sudah jenuh menahan beban yang berlebih. Credit system dengan bunga dan prilaku spekulasi sudah terlalu mengakar, memberikan hadiah jerat utang bagi negara-negara berkembang, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial.

Sementara prilaku serakahnya meninggalkan jejak paradok-paradok pembangunan ekonomi. Di satu belahan dunia terlihat manusia-manusia obesitas, budaya bertelanjang terjadi karena sudah muak dengan kemapanan, mengkonsumsi barang bukan lagi dimotivasi keinginan apalagi kebutuhan tapi hanya karena bosan dengan barang lama yang baru kemarin dibeli. Dan pada ketika yang sama ada satu bangsa tak mengenal apa itu keinginan, karena sejak lahir mereka hanya tahu bahwa hidupnya hanya di garis antrian untuk semua kebutuhan.

Ekonomi Islam hadir bukan hanya sekedar untuk urusan perut. Ia hadir untuk memuliakan manusia dengan nature kemuliaan yang ia bawa ke dunia. Ekonomi Islam bukan sebuah pemikiran yang perlu dibangga-banggakan untuk diteorikan. (bersambung)

Bush critic Paul Krugman wins economics Nobel


By GEOFF MULVIHILL and ELLEN SIMON


PRINCETON, N.J. — Paul Krugman, whose relentless criticism of the Bush administration includes opposition to the $700 billion financial bailout, won the Nobel prize in economics Monday for his work on international trade patterns.

The Princeton University professor and New York Times columnist is the best-known American economist to win the prize in decades.

The Nobel committee commended Krugman's work on global trade, beginning with a 10-page paper in 1979 that knit together two fields of study, helping foster a better understanding of why countries produce similar products and why people move from the small towns to cities.

Krugman (pronounced KROOG-man) is best known for his unabashedly liberal column in the Times, which he has written since 1999. In it, he has said Republicans are becoming "the party of the stupid" and that the economic meltdown made GOP presidential nominee John McCain "more frightening now than he was a few weeks ago."

But at a news conference, Krugman said he doesn't think he won the prize because of his political views.

"Nobel prizes are given to intellectuals," he said. "A lot of intellectuals are anti-Bush."
Tore Ellingsen, a member of the prize committee, acknowledged that Krugman was an "opinion maker" but said he was honored solely for his research.

"We disregard everything except for the scientific merits," Ellingsen told The Associated Press.
Following last year's Nobel peace prize award to former Vice President Al Gore and 2002's peace prize to former President Jimmy Carter, some on the right have dismissed the Nobels as politically motivated.


By picking one of the best-known voices on the left three weeks before a presidential election, The Royal Swedish Academy is sure to provoke further criticism.
But academic economists said Krugman's work merited the prize.

"The prize was rightly given for his early academic work on the theory of international trade, not his more recent work as a political pundit," said Harvard economist N. Gregory Mankiw, former chairman of President Bush's Council of Economic Advisers.

Krugman, 55, was the lone winner of the $1.4 million award and the latest in a string of Americans to be honored. It was only the second time since 2000 that a single laureate won the prize, which is typically shared by two or three researchers.

Krugman is the rare academic economist who is also part of pop culture. A YouTube video of Krugman's joint appearance with Fox News pundit Bill O'Reilly on "Meet the Press" has been viewed by more than 100,000 people. Besides co-authoring textbooks, he has written two best-sellers, "The Great Unraveling: Losing Our Way in the New Century" and "The Conscience of a Liberal."

Always outspoken, Krugman has compared the current financial crisis to Great Depression, saying Monday that he hoped a global effort to address the crisis might work.
"I'm slightly less terrified today than I was on Friday," he said, referring to the weekend talks among European leaders that led to the partial nationalization of British banks and unlimited access to U.S. dollars for banks worldwide.

That said, he hasn't found much to praise about the Bush administration's actions during the crisis. In a Times column Monday, Krugman commended British Prime Minister Gordon Brown and Chancellor Alistair Darling, saying they "went straight to the heart of the problem ... with stunning speed" by demanding ownership stakes in banks in exchange for financial aid, while U.S. Treasury Secretary Henry Paulson at first rejected that model

"And whaddya know," Krugman continued, "Mr. Paulson — after arguably wasting several precious weeks — has also reversed course, and now plans to buy equity stakes rather than bad mortgage securities."

The Bush administration would not comment Monday on whether Krugman would be invited to the White House, as is custom with American Nobel laureates.

Krugman said he hoped to continue focusing on his research and writing.
"The prize will enhance visibility," he said, "but I hope it does not lead me into going to a lot of purely celebratory events, aside from the Nobel presentation itself.

"I'm a great believer in continuing to do work," he said. "I hope that two weeks from now I'm back to being pretty much the same person I was before."

In awarding Krugman the Nobel, the Swedish academy said his theory helped answer pressing questions and inspired an enormous field of research.

Krugman's work looked at on how economies of scale — the idea that as the volume of production increases, the cost of making each unit falls — worked alongside population levels and transportation costs to affect global trade. Krugman's theory was that because consumers want a diversity of products, and because economies of scale make production cheaper, multiple countries can build similar products, such as cars. Sweden builds its own car brands for export and to sell at home, for example, while also importing cars from other countries.

"Trade theory, like much of economics, used to be discussed in the context of perfect competition: thousands of farmers and thousands of customers meeting in a market," with supply and demand governing prices, said Avinash Dixit, a Princeton economist who specializes in trade theory.

The theory changed as economists realized conditions in the market were imperfect, and that only a small number of companies in certain industries, such as autos, had economies of scale.

"Krugman was the main person who brought all the theory together, recognized its importance to the real world, produced a large expansion of international trade theory to make it more applicable to the modern world," Dixit said.

Krugman graduated with a bachelor's degree from Yale in 1974 and received a Ph.D. from MIT in 1977. Besides teaching at Yale and MIT, he also taught at Stanford. He is a native of Bellmore, N.Y., graduating from John F. Kennedy High School.

The last time an economist who was this well-known outside academia won the Nobel was 1976, when Milton Friedman, a University of Chicago professor who starred in a PBS series called "Free to Choose," took the prize.

The award is the last of the six Nobel prizes announced this year and is not one of the original Nobels. It was created in 1968 by the Swedish central bank in Alfred Nobel's memory.

The Nobels in medicine, chemistry, physics, literature and economics will be handed out in Stockholm by Sweden's King Carl XVI on Dec. 10, the anniversary of Nobel's death in 1896. The Nobel Peace Prize is handed out in Oslo, Norway, on the same date.

At Monday's news conference, Krugman was asked about China's economic future. He said he did not have an answer. "I've spent the last few years trying to save my own damn republic," Krugman said.

Associated Press writers Malin Rising, Karl Ritter and Matt Moore in Stockholm and Polly Anderson in New York contributed to this report.

Minggu, 12 Oktober 2008

"Global financial crisis is coming": Interview (I)

Lyndon H. LaRouche, Jr. is an American political activist and founder of various political organizations in the United States and elsewhere. He is perhaps best known for being a "perennial candidate" for U.S. Presidency, having set a minor record for most consecutive attempts at the office by running eight times; Harold Stassen ran for President nine times, but not consecutively. LaRouche has run for the Democratic nomination for President in every election year since 1980, including in 1992 while he was in prison. Yet he and his "LaRouche movement" have gained only limited electoral support, although he has received some support in Democratic presidential primaries.

Although he has no formal qualifications, LaRouche has written extensively on economic, scientific, political, and cultural topics. Critics consider him to be a conspiracy theorist and political attention-seeker. He is frequently described as an extremist, cult leader, a communist, a fascist, and an anti-Semite, all of which he denies. LaRouche is regarded by his followers as a brilliant individual who for political reasons has been unfairly persecuted.

In 1988 LaRouche was sentenced to fifteen years imprisonment for conspiracy, mail fraud, and tax code violations. He continued his political activities from behind bars. He was released in 1994 on parole after having served five years.

LaRouche lists his formal position as a director and contributing editor of the Executive Intelligence Review News Service, a core part of the LaRouche movement.
Recently Yong Tang, People's Daily Online Washington-based staff writer, has conducted an exclusive interview with LaRouche at his home in Virginia.

Yong Tang: Someone said that you are a good fortune-teller?

LaRouche: I'm a good forecaster.

Yong Tang: Your most recent forecast is that the global financial situation is on the verge of collapse?

LaRouche: It's already happening. Because the whole system has been insane since 1971-72. We had the Bretton Woods system which was built by American President Roosevelt. It was a fixed-exchange rate system with a gold denomination, a reserve system. Despite the attempt to sabotage the system, it worked. It was the basis for the recovery of the United States and Europe in the post-war period. And they destroyed it.

Yong Tang: In the 1970s?

LaRouche: First, in 1964 America started the war in Indo-China. That was the first mistake. The United States began to move in the wrong direction economically in 1964-65. By 1967 it was obvious we had made a turning point in technology. In 1971-72 with the Nixon decision on the monetary system, we entered a new monetary system which was a failure from the beginning. Now what happened is that because of our long-term capital investment in infrastructure and other things, we had a lot of technology, a lot of economic power built into the U.S. economy.
But today We Americans have been exhausted. Our infrastructure has not been replaced. We have not replaced our power stations. Our railroad system is dead. Our economy is dead, in whole parts. Our people don't have the skills they had 20 or 30 years ago. They've lost it. So we are disintegrating. Europe is disintegrating. We are a lost nation. We are a failure. Europe is a failure, in general. So the world economy has failed. We have a tremendous amount of financial debt that we can never pay.

Yong Tang: You mean?

LaRouche: Outstanding financial credits.

Yong Tang: You mean current account deficit?

LaRouche: More than that. The world economy is about 50 trillion dollars a year in debt. We have hundreds of trillions of dollars of debt. We can never pay this debt. Because of the inflation of the debt, especially since 1987 the build-up of the financial derivatives speculation is so great. First of all, physically we are breaking down. We are at a point where to maintain our economy physically. We would have to make large-scale investments. We have to replace the infrastructure. We are losing our water systems. We're losing our power systems. We're losing our transportation systems. We're losing our health-care systems. All these physical things on which the prosperity of the economy had depended are now worn out. They're gone. And we have tremendous debts. Our rate of production is collapsing. And therefore we are at a point where the system is going through a systemic collapse. This is the biggest collapse in modern history, it is now occurring. And the idiots just deny it. They just deny it. If you admit you would have a problem then��

Yong Tang: It sounds too horrible.

LaRouche: It's collective insanity, mass insanity. It's cultural insanity. It's how whole empires disappear. You say, this is a powerful empire and suddenly it collapses. How could this powerful empire collapse? It didn't collapse because of external reasons, it collapsed because of internal reasons. And that's what's happening now with the United States and Europe. It's the internal characteristics of the problem which are the cause of the collapse, not something external. Human beings naturally tend to be creative. If you have a good system, they will work, they will make improvements, they will survive. BUT if they adopt an idea which is a bad idea,they can destroy themselves, as ancient Greece did, as Rome destroyed itself. So you have a self-destructive policy. We have an insane policy. We are destroying ourselves. Europe is destroying itself.

And the problem is that the countries of Asia which are in a sense beginning to move up in a certain way, are caught in a world which is destroying itself. China, as I say, doesn't really have the independent economic development it requires. It has development which it has brought into China. Which is useful. But it is not entirely China development. It's foreign development coming into China. Foreign technology coming into China. But what about the generation of technology within China by China? The country must have its own independent development.
Yes, bringing in outside development is good. Yes, you do that. You'd be foolish not to. But you must develop your own internal development-at least for the long term. And the problem is that the situation with India and China and the countries of Southeast Asia, they could not develop on their own if Europe and the United States collapse.

Yong Tang: So that means the whole world economic system would collapse?

LaRouche: The whole world would go into collapse. For example, to what degree does China's existence economically depend upon export now? What happens if the U.S. market collapses?
Yong Tang: It's just unimaginable!

LaRouche: China is holding a vast amount of dollars. These dollars could collapse by 50% very quickly. Japan also has a vast amount of dollars. These dollars could be worthless, in the sense that you can't do anything with them. South Korea would encounter a similar problem. All of Southeast Asia has similar problems. Not in the same magnitude, but the same thing. The Philippines problem, Southeast Asia problems. Indonesia, a terrible crisis. India could also be affected.

Yong Tang: Does that mean almost all countries will be involved in this global financial crisis?

LaRouche: Yes. It's bigger than the crisis of the 1930s.

Yong Tang: That would be the biggest crisis in history?

LaRouche: Yea. Exactly.

Yong Tang: So what would happen then?

LaRouche: I will try to prevent it. Little me is trying to prevent it. This little poor man is sitting out here trying to prevent it.

Yong Tang: If that crisis does happen, what would happen? A Third World War?

LaRouche: War. Chaos. All things become possible, when chaos occurs. Look at the fall of empires. The only model is to look at what happens when an empire falls. You have it in Chinese history. China went through various periods of crisis and collapse. But this is worse. What you hope for is that the sense of the crisis will cause people to think and change what they're doing in time. If we change our ways, we can survive.

Yong Tang: So you're making a proposal to set up a New Bretton Woods System in order to prevent that crisis from happening?

LaRouche: If governments take responsibility, if governments have the will to take responsibility and subordinate money to government will, we will survive. As you know in China, we can survive.

Yong Tang: Can you explain in detail about the New Bretton Woods?

LaRouche: Well, what Roosevelt did is this. Roosevelt was an American. And when people think about U.S. economy, they think really about the British economy, not the U.S. economy. Now what we are operating in the United States is largely the British model. The economics that is taught in our universities is the British model. It's not the American model. So that's where the problem lies. Now, in the American model, our policy is that money has no intrinsic value. Money is given value properly by government, and the government protects that currency by managing, managing prices and so forth, to prevent the currency from becoming crazy. Now, the basis for development is capital. You need long-term investment, you build a power plant, like the Three Gorges Dam, it's a long-term investment. It's going to take many years to get the value out of the Three Gorges Dam, but it's essential. So a tremendous amount of investment goes into Three Gorges. Now you have to write on thirty year, fifty year investment before you have to start replenishing it, rebuilding it. So therefore you have to have investment.
But what happens if your prices go wild, go up and down? Then you can't make long-term investments. Just the rate of borrowing costs, if borrowing costs fluctuate wildly, you can't make long-term investment. Because long-term investment is generally 2 percent interest per year, maybe 3 percent. But if the prices fluctuate, then the interest rates go up, borrowing costs go up. If the borrowing costs go up, if the currency fluctuates in value, then international cooperation and development end.

So therefore you must have a financial system which has a fixed exchange rate over the long term. The borrowing costs among countries must be cheap. There must be guarantees to prevent the system from going wild. Then you could do it. We could get out of any mess by sufficient long-term investment in things that countries need. Long-term projects. Which means that we employ enough people so that we are producing more than we are consuming. We should make long-term investments in infrastructure. And we would survive just fine. Whenever we did that in the United States, we did well. Roosevelt rebuilt the U.S. economy. Hitler would have ruled the world if Roosevelt had not been American President. Roosevelt saved the U.S. economy. And without Roosevelt, Hitler would have been dictator of the world. So it was the right thing to do, because we could do so much that we had the power which enabled the victory over the Nazis during World War II.

As a matter of fact, we should go back to the American system, away from the British system. So my proposal is essentially what Franklin Roosevelt did at the end of the Second World War. At that time the United States was the only country that had a stable currency. We use the U.S. dollar in the Bretton Woods system to set up a fixed exchange system for the world. And under this fixed exchange rate system in the first twenty years after the Second World War, there was a great rebuilding of Europe and other parts of the world with economic growth during that period.

Then, starting from London, the British faction and their friends in the United States began to destroy the American system with the first Harold Wilson government in 1964-65. So we destroyed the Bretton Woods System, which Nixon did in 1971-72. And when that happened, we went crazy. And all of our economic problems came out of this change from 1964-65, the change of the monetary system from the Bretton Woods system of Roosevelt to this floating exchange rate system. It wasn't done all at once. It was done officially in 1971-72 but actually the motion for the change came in 1964-65 with the Harold Wilson government.

By Yong Tang, People's Daily Online Washington-based Staff Writer

Sabtu, 11 Oktober 2008

Diskusi Seputar Filosofi Ekonomi Islam

Pertimbangan moral atau keadilan dapat dengan mudah kita temukan dalam banyak tempat di dalam tubuh ilmu ekonomi. Adam Smith (untuk menyebut salah satu contoh dari sekian banyak pemikiran tentang moral di dalam ilmu ekonomi) di dalam The Theory of Moral Sentiments telah menyebut secara jelas bahwa utilitas manusia itu dipengaruhi dan tidak dapat terpisah dari utilitas manusia yang lain (konsep inilah yang akhir-akhir ini disebut sebagai social preferences atau social utility function).

Paragraf diatas ini secara umum tidak memiliki hal-hal yang perlu saya komentari karena awal pemikiran konvensional klasik dalam membangun perekonomian memang banyak bicara tentang moral. Tetapi yang mungkin “lupa” dibahas di sini adalah definisi moral seperti apa yang dimaksud oleh Adam Smith, Todi atau juga teman yang menulis ini. Saya juga tidak temukan definisi konkrit dari moral yang dimaksudkan oleh Smith, tapi dari tulisannya, bisa kita simpulkan sejauhmana ruang lingkup moral yang dimaksud.

Adam Smith (1776):
“Capitalism is based upon individual self interest and the pursuit of Monetary Gain”
“the capitalist economy is not the result of total conscious planning”
“similarly, the moral education and socialization of a human is not the result of total conscious planning. It is the result of the constant feedback of society to the actions of the individual”.

Khusus pada kalimat ketiga yang saya quote, sudah tersirat bagaimana Smith sudah mengindikasikan bawa moral yang dia maksud tidak mengandung unsur “Tuhan” di dalamnya. Hal ini sejalan dengan ulasan Spencer J Pack pada pemikiran Smith yang meyakini bahwa Smith berpendapat bahwa “Humans are largely ruled by sentiments, feelings and passions. Theology is not a source of guaranteed truth”

Selain yang di atas lebih baik kita sepakat saja bahwa moral itu abstrak!


Seringkali kita menentukan pilihan warung mana yang akan kita masuki untuk makan siang dengan mendasarkan keputusan pada banyaknya antrian pembeli yang berdiri di depan suatu warung. Inilah salah satu bukti bahwa preferensi kita tidak sepenuhnya berdiri sendiri dari preferensi orang lain. Contoh lain, pernahkah kita bisa dengan mudah makan dengan nyaman di depan teman dekat kita yang sepuluh menit sebelumnya mengaku kelaparan belum makan selama dua hari akibat dompetnya yang berisi uang makan selama sebulan hilang ? Manusia sama sekali jauh dari bayangan aliran standar dalam ilmu ekonomi yang melulu memaksimalkan utilitasnya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial ! Titik !

Contoh yang diambil sangat tidak relevan dalam membantah bahwa ekonomi mainstream sudah mempertimbangkan moral dalam pengembangan/pembangunan teorinya. Apakah contoh itu merupakan kasus masiv dalam ekonomi yang kemudian menjadi core model ekonomi? Itu kasus-kasus minor yang kemudian tak menjadi teori sekalipun. Kalaupun ia coba diteorikan, cukup hanya sampai sejauh itu.

Kalau kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk sosial kita tidak membantah, jika kita bicara dalam ranah sosiologi. Tapi dalam wilayah ekonomi, mungkin kesimpulan itu menjadi tidak valid. Lihat saja adakah teori-teori terapan ekonomi memasukkan elemen manusia bermoral di dalamnya. Contoh yang paling vulgar, lihat teori-teori produksi, marginal utility, keuangan dan lain-lain, semuanya konsisten dengan prinsip rasionalitas Jeremy Bentham (1748-1823): maximizing pleasure minimizing pain. Sehingga wajar ketika para ekonom konvensional tidak mampu menemukan apa yang salah dalam system saat krisis keuangan/ekonomi melanda mereka hanya mengkambing hitamkan greedy (moral), mungkin mereka sadar (atau sudah sejak dulu sadar) bahwa yang tak ada dalam ekonomi mereka adalah moral.

Diawali dari Smith dan kemudian diteruskan oleh misalnya, Garry S. Becker, Vernon Smith, Daniel Kahneman, Samuel J. Bowles, Schmidt atau Matthew Rabin serta ekonom-ekonom lainnya semua menyimpulkan bahwa pertimbangan non-materi menjadi bagian tak terpisahkan dari rasionalitas yang dimiliki oleh manusia. Rabin (saya memperkirakan dia initidak lama lagi akan mendapat Nobel) contohnya mampu merumuskan model yang menggambarkan perilaku manusia untuk selalu membalas kebaikan dengan (juga) kebaikan atau kejelekan dengan (juga) kejelekan berdasarkan intention (baca=niat) yang dimiliki masing-masing individu (lihat theory of fairness-nya Rabin).

Teori-teori moral yang coba diungkit konvensional seketika mati setelah ia ditelurkan, lihat saja apa ia berkembang menjadi teori terapan ? apakah ia membentuk bangunan ekonomi ? membentuk masyarakat ekonomi ? karena boleh jadi ia tak memiliki pijakan yang kuat dalam menilai ini baik dan itu buruk. Baik dan buruk oleh ekonomi konvensional diserahkan pada pasar. Sehingga ekonomi modern yang berkembang adalah teori-teori individualistik materialisme yang tak ada sedikitpun moral ada disana. Akhirnya kita temukan bangunan ekonomi konvensional adalah bangunan materialistik, masyarakat individualistik. Kalau mau menggunakan moral, How to measure moral ? Pencabutan moral dari disiplin ekonomi ini silakan dikonfirmasi pada buku Alfred Marshall (1890) ’Principles of Economics’.

Kejujuran, untuk menyebut aspek moral yang lain, juga dijunjung tinggi dalam ilmu ekonomi. Buktinya ? Ketiga ekonom yang meraih hadiah Nobel tahun 2007 lalu adalah para ekonom yang berpendapat bahwa Pareto optimal dan alokasi sumber daya yang lebih efisien bisa didapat jika para pelaku pasar mau, mampu dan mempunyai insentif mengungkapkan apa yang mereka punya dan ketahui. Oleh karena itu perlu diciptakan mekanisme yang memberi insentif untuk itu. Dengan kata lain, insentif untuk berlaku jujur (sekedar info penelitian aktual yang saya lakukan saat ini juga berkisar di topik ini dengan memasukkan faktor kejujuran ke dalam signaling game dan kemudian mengujinya di laboratorium melalui eksperimen ekonomi). Sedikit "menentang" pendapat Todi, bahwa tanpa bantuan agama pun manusia telah mampu berpikir dan bertindak bahwa pertimbangan moral dan keadilan akan selalu membawa kebaikan.

Pertanyaannya kembali, apa yang menjadi parameter/ukuran moral, keadilan dan kebaikan itu ? ketika manusia mengakui ada kelemahan dalam sifat dan sikapnya, dalam kecenderungan dan karakteristiknya, yang built in dalam dirinya, bukankah sangat logis dalam menilai, mencipta atau apapun yang ia lakukan kelemahan itu akan juga built in dalam hasil kreasi manusia. Sama halnya ekonomi sebagai ilmu yang menjadi sistem kelola harta untuk manusia, yang coba dikreasi oleh manusia, maka tentu kelemahan manusia akan built in dalam sistem itu. Oleh sebab itu sangat beralasan tak pantas manusia menciptakan sistem yang ditujukan untuk mengatur dirinya sendiri.

Sayangnya, budaya memasukkan moral dalam analisa ekonomi ini sedikit tenggelam. Beruntunglah kemudian ada psikologi, biologi atau matematika yang mampu menyelamatkan wajah ilmu ekonomi menjadi sedikit "lebih bermoral". Temuan-temuan ini tidak akan pernah muncul jika rasionalitas yang kita pakai masih mendasarkan pada metode utilitarianisme- nya neoklasik itu. Jadi, jelas sekali bahwa kalau kita ber-moral, jujur dan secara sosial menghargai orang lain maka kesejahteraan bersama yang akan kita dapat dan bukan sebaliknya. Ilmu ekonomi telah jauh-jauh hari sebenarnya membawa kita pada kesimpulan ini.

Dalam filosofi ilmu ada dua jenis ilmu berdasarkan fungsinya: ilmu tentang pengaturan manusia dan ilmu tentang pengaturan alam raya beserta isinya. Kimia, fisika, biologi, matematika adalah ilmu pengaturan alam raya yang didapatkan dari observasi manusia pada benda-benda alam. Keilmuan itu sifatnya tetap, seperti air yang akan selalu mengalir ketempat yang lebih rendah, udara berpindah dari tekanan tinggi ketekanan rendah, atau sekedar pohon rambutan yang selalu kompak akan berbuah pada musimnya meskipun mereka tak sama waktu di tanamnya (usianya). Semua benda alam patuh pada satu hokum. Artinya hokum itu sudah built in dalam sifat kebendaannya. Yang kemudian manusia temukan hokum-hukum itu. Ada hokum fisika, kimia biologi dan lain sebagainya.

Ekonomi, psikologi, sosiologi, hokum, politik adalah ilmu-ilmu yang mengatur manusia, dan manusia berbeda dengan benda alam selain dirinya. Manusia memiliki kebebasan dalam memilih untuk bertindak, manusia tidak memiliki sifat kebendaan yang konsisten untuk patuh pada satu hokum. Oleh sebab itu ilmu yang sepatutnya menjadi pedoman mengatur dirinya adalah ilmu yang bersifat rivilasi (revelation). Ilmu dari pihak yang memang tahu betul sia pa manusia beserta karakteristik dan kecenderungannya, yaitu pihak yang menciptakannya. Dan inilah landasan mengapa di Islam ada Ekonomi Islam, politik Islam, Hukum Islam, Psikologi Islam dan lain-lain. Karena memang Islam adalah ilmu mengatur manusia. Dari sini juga sudah dapat diidentifikasi bahwa dalam islam ilmu dan agama tidak bisa didikotomikan.

Sementara F.Y. Edgeworth (1881) mengatakan dalam Mathemathical Economics bahwa yang selalu konsisten dalam diri manusia (terlepas dia berbeda agama atau tidak beragama sekalipun, berbeda suku, bahasa dsb) dalam menentukan keputusan hidupnya termasuk ekonomi adalah egoisme (lihat Rational Fool-nya Amartya Sen).

Saya khawatir yang coba diungkit oleh paragraph diatas adalah pemikiran-pemikiran ekonomi mainstream yang sudah tak ada tempat dalam ekonomi mainstream itu sendiri. Karena ia tak hadir dalam wajah ekonomi modern saat ini. Kalaupun muncul kembali, pemikiran-pemikiran itu akan menemukan kebingungan karena ekonomi modern tidak memiliki tembat bagi mereka walaupun mereka satu “atap” dalam konsep. Pemikiran moral tidak menemukan ukuran baik-buruknya, kecuali ia dikembalikan kepada interpretasi dan preferensi manusia.


Nah, bagaimana dengan peran agama ? Saya sendiri pernah melakukan penelitian kecil tentang faktor apa yang membuat manusia mau memberikan sesuatu yang dia miliki kepada orang lain. Ini saya lakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan subjek dan reward yang menyerupai kehidupan nyata. Salah satu kesimpulan yang saya dapat adalah religiositas tidak mampu menjadi predictor yang signifikan terhadap jumlah donasi (amal) yang diberikan oleh satu manusia kepada manusia lain. Dengan kata lain, ada factor lain di luar agama yang mampu mendorong untuk berbuat baik kepada orang lain. Meskipun hasil kesimpulan saya ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh dengan melihat metodologi ataupun teknis eksperimen yang saya lakukan, setidaknya ini mampu memberikan gambaran (meskipun sedikit) tentang hubungan antara keberagamaan dan kebaikan sosial (charity).

Ya mungkin harus dilakukan sebuah penelitian yang besar sehingga tidak sampai pada kesimpulan yang tak sempurna.

Berkenaan dengan Islam, dengan ber-Islam secara benar, makin ber-moral dan adil-kah kita? Mungkin ya dan mungkin juga tidak. Kenapa? Ya itu tadi karena manusia adalah makhluk sosial. Bukan semata-mata agama yang jadi rujukan dia. Sekelompok orang atau identitas sosial tertentu bisa dia jadikan bahan rujukan untuk bertindak atau berperilaku.

Berkenaan dengan landasan moral dalam ajaran Islam, saya melihat bahwa rasionalitas yang menyusun ilmu ekonomi Islam masih menyimpan banyak kesulitan setidaknya dalam tataran operasional (saya tidak melihat ini dari keunggulannya dibanding ilmu ekonomi standar). Berikut beberapa hal sulit itu:

1. Konsep pembatasan hawa nafsu membawa konsekuensi pada adanya rasionalitas minimalis yang berbeda dengan prinsip maksimasi di ilmu ekonomi standar itu. Bisa saja kemudian kita berkata bahwa dalam sistem Islam bahwa perusahaan tidak akan selalu mengejar keuntungan setinggi yang dia dapat dan individu tidak terdorong untuk mencapai kesejahteraan sepanjang yang dia mampu kejar.

Prinsip-prinsip agama jika dipahami secara parsial atau sepotong-sepotong tentu akan mengantarkan pada kesimpulan pada poin pertama ini. Meskipun masalah utamanya adalah ketika ada seseorang mau membahas satu objek, sepatutnya orang tersebut tahu betul objek tersebut. Dalam hal ini, apakah penulis di atas tahu betul apa itu Islam berikut prinsip-prinsip ekonominya? Poin diatas tidak menggambarkan pemahaman itu, karena kalau hanya berkaca pada pembatasan hawa nafsu tentu kesimpulannya seperti itu. Kaidah atau prinsip “ manusia terbaik diantaramu adalah manusia yang mermanfaat bagi manusia lain” maka tentu saja baik individu maupun kolektif termasuk unit bisnis akan berusaha memaksimalisasi kemanfaatan dirinya dari sebanyak mungkin sumber daya ekonomi yang dimilikinya.

2. Pembatasan hawa nafsu berarti pembatasan keinginan dan pemenuhan atas keinginan itu sendiri. Sehingga, misalnya, pilihan teknologi untuk mengolah barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan manusia pun jadi terbatasi seterusnya sehingga pertumbuhan ekonomi jadi lebih moderat dibanding ilmu ekonomi standar yang mengasumsikan tak terbatasnya kebutuhan dan pemenuhan atas kebutuhan manusia. Konsekuensi lain, dalam model pertumbuhan seperti ini bisa saja pengangguran dan inflasi tak terlalu kentara. Output lebih sedikit berfluktuasi, karena asumsi pembatasan kebutuhan tadi, pengangguran alami relatif sedikit dan perekonomian secara umum lebih stabil.

Untuk butir kedua ini pun penjelasannya sama dengan yang di butir pertama. Dengan kaidah yang telah disebutkan itu tentu manusia yang meyakini prinsip “kemanfaatan” akan memaksimalkan upayanya termasuk teknologi, capital dan labor (Coub Douglas model J). Hidup hemat juga tidak bermakna consumsi menjadi moderat dan agregat demand (AD) berkurang sehingga outpun menjadi minimal. Ingat setelah dia memaksimalkan pencapaian income kelebihan income setelah kebutuhan pokok hidupnya akan dimaksimalkan untuk mengoptimalkan kemanfaatan dirinya. Sisa disposable income itu akan berada di tangan mereka yang membutuhkan dan kemudian berubah menjadi demand. Sehingga boleh jadi pada kondisi ini AD akan jauh lebih besar karena mengakomodasi golongan masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki daya beli (yang sebelumnya tidak ada dalam teori). Apalagi jika charity bisa digerakkan oleh keimanan keberagamaan sehingga bisa membantu I (investasi) dan G (govt spending). Sudah tentu dengan begitu pertumbuhan ekonomi tidak sekedar moderat bukan?

3. Peredaran uang akhirnya hanya ditentukan dengan kecepatan aktifitas pemenuhan kebutuhan manusia yang terbatas tadi. Pertanyaannya, siapa yang berhak menentukan seberapa banyak jumlah barang dan jasa yang diproduksi?

Ups, ingat kebutuhan tidak selalu bermakna statis, ia dinamis tergantung perkembangan taraf ekonomi. Dulu kebutuhan dasar kita air yang dimasik hingga mendidih kini kebutuhan dasar kita air-air mineral di dalam kemasan gallon maupun botol. Nilai-nilai kebersamaan dan kemanfaatan tadi akan membatasi simpangan deviasi yang kita kenal dengan ketimpangan atau kesenjangan ekonomi. Jumlah Uang memang kemudian hanya ditentukan oleh volume transaksi produktif barang dan jasa dan dengan dinamikanya yang tepat secara syariat, maka akhirnya secara genuine yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah populasi disamping preferensi.(untuk jumlah barang dan jasa).

4. Mirip dengan sistem Keynesian, ketimpangan sosial mungkin akan lebih kecil dibanding sistem ekonomi standar karena orang miskin dibantu oleh zakat dan santunan. Pertanyaannya, bagaimanakah cara menjaga agar individu selalu mempunyai insentif agar berzakat atau shodaqoh?

Well ada yang kembali miss, Zakat berbeda dengan shodaqoh, dan zakat berbeda pula dengan pajak. Zakat tidak memerlukan insentif. Karena zakat itu wajib sifatnya. Ia harus bersifat memaksa, untuk ini ia hampir sama dengan pajak. Tetapi penggunaanya ia definitif hanya untuk 8 golongan manusia dan ini yang berbeda dengan pajak. Jangan berkaca pada apa yang saat ini berlaku terkait pajak, aplikasi saat ini jauh dari bentuk idealnya.

5. Pencemaran lingkungan akibat dari eksploitasi yang berlebihan untuk pembangunan ekonomi bisa jadi sama sekali tidak akan ditemukan dalam sistem ekonomi Islam. Tetapi, sebagai pertanyaan terakhir, adakah empirical validity yang telah mampu mendukung berjalannya sistem ekonomi seperti yang saya sebut di atas?

Apakah pertanyaan empirical validity ini pernah dipertanyakan pada ekonomi konvensional kapitalisme atau konvensional sosialisme sebagai menjadi syarat kesahihan aplikasinya ketika keduanya baru dibangun? Jadi ketika ia dikomparasikan secara teori akan menjadi tidak relevan ketika faktor komparasinya dibawa keranah empiris ketika keduanya tidak memiliki stage yang sama pada ranah tersebut.

Jumat, 10 Oktober 2008

G7 vows 'action' on economic crisis

Finance officials from the world's top economic powers have pledged to take "decisive action" in a bid to stem the worst financial crisis in more than 50 years.

The officials from the Group of Seven industrialised countries meeting in Washington DC issued a five-point plan on Friday aimed at easing the global credit crisis.

The group pledged in a statement to take "decisive action and use all available tools'' to try to resolve the crisis.Under the plan, the G7 said it would seek to protect major banks from collapse.

It would also work to get credit flowing, support banks in raising cash from both public and private sources, seek to further insure deposits of money and work to revive the beleaguered mortgage financing market.

Henry Paulson the US treasury secretary said the US government would move "swiftly and thoughtfully'' to implement a rescue package.

'Fundamental change'

But many market commentators were sceptical that the G7 could do anything to soothe the turmoil in the world economy.

Robert Scott, an international economist, told Al Jazeera: "I didn't hear anything new here at all. Markets were looking for something much more concrete.

"We need the government to step in ... and help the poorest consumers suffering from these sub prime mortgages - that would be ideal. "But that would be time consuming and we need something in the interim.

"Speaking from outside the White House, Al Jazeera correspondent Rosiland Jordan, said: "The G7 is not known for coming out with detailed plans, so it's not surprising there was just a list of generalities.

"People are wondering ... do we need to let the free market basically shake out those who made bad decisions, or is this really the moment for the US government to lead the way into a kind of nationalisation of the financial sector.

"It would be a fundamental change in the way the US runs its economy, if that were the case."

'Pure greed'

She said Henry Paulson's comments on the US government buying shares in financial institutions was "a form of nationalisation".

She said: "Is the US prepared for the ripple effect from that sort of action?"In Paris, Max Keiser, a financial analyst, told Al Jazeera that the financial crisis was a result of "... pure greed, pure hubris - the gods are punishing us humans."We are going to enter something like 1893 which was a lot worse than the 1929 [Wall Street crash].

"This is a catastrophe, these are suicide bankers ... they are almost completely out of control."The G7 pledge for action came hours after George Bush, the US president, insisted his country "will solve" the global financial meltdown.

In a televised address from the White House, he blamed "uncertainty and fear" for the crisis and insisted US authorities had what they needed to confront the crisis.

'Uncertainty and fear'

Bush said: "The United States government is acting. We will continue to act to resolve this crisis and restore stability to our markets. We can solve this crisis and we will."His comments came shortly before the Dow Jones index of leading US shares closed lower for the eighth-straight day, ending down by 1.5 per cent, or 128 points, at 8,451.

Markets across Asia and Europe earlier plummeted as lending rates between banks continued to rise despite this week's efforts by central banks to break the impasse in credit markets.

The volatile trading in New York was matched in Europe, where Britain's FTSE-100 closed 8.9 per cent lower, Germany's DAX ended down by 8.4 per cent, and France's CAC-40 was off by 7.7 per cent.In Asia, the Nikkei 225 suffered its worst one-day fall since the 1987 market crash, closing 9.6 per cent lower.The Hang Seng ended down by 7.2 per cent.

At least seven countries suspended stock trading amid market chaos including Russia, Iceland and Brazil.

In Vienna, the stock exchange was suspended after stocks tumbled 10 per cent at the opening bell, and in Russia representatives of the MICEX and RTS exchanges said they had suspended regular trading until further notice under orders from financial regulators.

In Japan, the global credit crisis claimed its first financial institution on Friday as the government looked to prop up the country's smaller banks.

Ministers played down the risk of contagion from the collapse of Yamato Life, a small, unlisted insurance company, but investors remained unconvinced.

The Nikkei suffered its biggest one-day percentage loss since the stock market crash of October 1987 after the news.It has lost nearly one quarter of its value during the week.


http://english.aljazeera.net/business/2008/10/200810102082871419.html

Zakat sebagai Alat Peredam Krisis

Sudah menjadi kelaziman kalau masyarakat kelas bawah akan merasakan hantaman krisis paling parah diantara golongan masyarakat yang ada. Gejala inflasi akibat nilai tukar yang melemah, tingginya suku bunga karena likuiditas yang ketat dan peningkatan unemployment karena perlambatan pertumbuhan ekonomi, akan mendorong golongan masyarakat kelas bawah sebagai korban pertama dari krisis sekaligus korban yang merasakan kesulitan ekonomi yang paling parah.

Jaring pengaman social harus tetap menjadi perhatian pemerintah dalam situasi tidak menentu seperti sekarang ini. Upaya pengamanan atau pencegahan masalah social harus diakui sangat penting, karena sekali saja krisis ekonomi berubah menjadi krisis social, proses pemulihannya akan jauh lebih membutuhkan effort. Memang belum bisa dikatakan Indonesia sudah masuk dalam pusaran krisis keuangan yang bom-nya sudah meledak di Amerika dan Eropa, namun dengan logika sistem keuangan global yang terintegrasi, Indonesia pasti akan merasakan pengaruhnya.

Berbagai analisa sudah mengklasifikasikan apa yang terjadi di Amerika mirip sekali dengan peristiwa Great Depression yang juga pernah dialami mereka pada 1930-an. Pada saat itu perekonomian (khususnya amerika) mengalami depresi ekonomi sampai pada level under-consumption. Perekonomian kala itu betul-betul tidak bergerak. Namun kemudian John Meynard Keyness mengkritik pendekatan ekonomi market mechanism yang selama ini dilakukan oleh Negara-negara amerika dan eropa, dan mengusulkan agar pemerintah melakukan intervensi dengan meningkatkan government spending untuk memecahkan masalah under-consumption. Ide ini berhasil.

Dengan maksud yang sama, pada dasarnya perekonomian Islam memiliki mekanisme yang secara nature mencegah perekonomian tenggelam dalam situasi under-consumption. Pilar pertama ekonomi Islam mewajibkan berlakunya mekanisme zakat, dimana masyarakat golongan bawah akan dipastikan selalu memiliki income yang berarti selalu memiliki purchasing power. Dengan begitu perekonomian selalu dijaga tingkat agregat demand-nya pada level yang minimum yaitu permintaan kebutuhan dasar. Sehingga pada akhirnya roda perekonomian tidak akan pernah berhenti karena kekuatan supply selalu menemukan pasangannya, yaitu kekuatan demand.

Dengan mekanisme ini pula krisis ekonomi tidak berubah menjadi krisis social karena siapa saja warga Negara yang masuk menjadi golongan paling dasar dalam piramida ekonomi akan selalu dijaga kepentingan ekonominya. Sementara melalui program ekonomi Islam yang lain krisis ekonomi yang bersumber dari krisis keuangan sepatutnya dapat dicegah untuk selalu muncul. Wallahu a’lam.

Kamis, 09 Oktober 2008

Global Financial Crisis: Indonesia Bingung

Hari demi hari pasar bursa memberikan excitement yang berbeda. Hampir setiap hari di hamper semua lantai bursa pada pekan ini mencatatkan rekor kejatuhannya. Pada kamis ini Dow Jones mencatatkan rekor kejatuhan tujuh kali berturut-turut. Kini Dow mencatatkan nilai indeks dibawah angka 9000 dimana 2 hari yang lalu baru saja memasuki nilai dibawah 10.000. Berarti angka indeks itu adalah angka yang terburuk sejak tahun 2003, bermakna juga kemunduran 5 tahun kebelakang.

Dengan kondisi kacau seperti saat ini, maka muncullah keraguan yang mempertanyakan kredibilitas para pelaku pasar dan regulatornya. Karena memang di sector keuanganlah berkumpulnya manusia-manusia cerdas dengan gaya hidup kelas atas. Dimana “kesaktian” standard-standard seperti good governance, risk management, transparency, market discipline dan lain-lain. Atau sebenarnya mereka tidak concern dengan hal itu karena perhatian utama lebih tertuju bagaimana mencetak keuntungan. Dan berkelit dari segala ketentuan dianggap sebagai informasi lebih yang kemudian melayakkan mereka mendapatkan profit.

Bagaimana di Indonesia? Mungkin kalangan industry keuangan Indonesia sedang (semakin) bingung, apa yang harus mereka lakukan menghadapi krisis ini. Mereka saja belajar GCG, risk management dan segala tetek bengek standard keuangan dari biangnya keuangan yaitu Amerika. Dan kini mereka lihat “guru” mereka hancur dengan standard yang mereka yakini/kampanyekan kepada seluruh negara di dunia. Namun terlepas dari itu semua, melihat perkembangan ekonomi Indonesia saat ini dan anatomi krisis yang mulai menghinggapi perekonomian Indonesia. Saya masih optimis bahwa ekonomi Indonesia akan mampu bertahan meskipun tentu lajunya akan tertekan. Itupun kalau data-data yang ada mencerminkan kondisi yang sebenarnya.

Konsumsi automotif, pertumbuhan kredit dan investasi Indonesia hingga akhir semester pertama 2008 menunjukkan kecenderungan yang positif. Jika pasar modal terpuruk maknanya ada informasi yang tak sama antara yang terjadi di sector riil dan yang beredar di lantai bursa. Harapannya apa yang terjadi di lantai bursa kita hanyalah sentimen negatif yang sudah menjadi kelaziman di sana, yaitu merujuk pada apa yang menjadi kecenderungan di seluruh pasar modal dunia khususnya Amerika. Namun perlu juga dicermati seberapa besar dana-dana sector riil terikut dalam perdagangan dilantai bursa, karena ketika bursa hancur sudah pasti akan ada kesulitan likuiditas pula yang terjadi di sector riil sehingga akan berpotensi mengacaukan prediksi awal tadi.

Economist HSBC di Hong Kong berpendapat bahwa apa yang terjadi di Asia secara nature berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika dan Eropa. Sehingga ia mendukung posisi pemerintah masing-masing negara Asia untuk tidak melakukan program terpadu, merujuk pada perbedaan respon kebijakan dari tiap-tiap negara. Saat ini memang mayoritas bank sentral masing-masing negara Asia melakukan pemotongan tingkat suku bunga, tetapi ada juga yang menaikkan suku bunga mengingat struktur dan kondisi perekonomian yang tidak memungkinkan. Pendapat ini sejalan dengan data-data yang ada di lapangan khususnya perkembangan di sektor riil.

Beberapa waktu kedepan adalah waktu pembuktian seberapa kuat ekonomi Indonesia menghadapi badai ini. Selain itu, waktu kedepan juga akan menjawab apakah data kinerja perekonomian riil Indonesia sebaik yang dipublikasikan. Wallahu a’lam.

Hakikat Klasik Vs Keynesian

Membaca artikel Farewell to the Neo-Classical Revolution-nya Robert Skidelsky, mungkin akan semakin menguatkan pendapat bahwa beberapa dekade lalu adalah masa kejayaan neo-Klasik. Namun menarik mencermati pergulatan pemikiran Klasik - Keynesian ini jika kita lebih teliti melihat apa yang terjadi disekitar kita. Tepatnya, ada beberapa kejanggalan yang mungkin kita bisa temukan dalam aplikasi dua pemikiran itu sehari-hari.

Pertama, ketika kampanye globalisasi didengungkan semenjak kaum moneteris "berhasil" mematahkan pemikiran Keynesian pada pertengahan tahun 1970-an, perekonomian dunia digerakkan oleh pemikiran Klasik dalam bentuk modernnya. Milton Friedman sebagai motor moneteris mengkritik kebijakan diskresi Keynesian yang akan berakhir pada kondisi Crowding Out, dimana kebijakan fiskal (G) kemudian menekan investasi swasta (I) yang terakumulasi pada stagnasi pertumbuhan ekonomi. Tetapi anehnya, mungkin sejak tahun 70-an pula, buku-buku teks yang menjadi buku pedoman bagi pembelajaran ekonomi bagi para calon-calon sarjana sampai Phd, adalah buku-buku yang lebih banyak disusun oleh kaum Keynesian. Lihat saja buku-buku yang ada ditangan anda para akademisi, buku Gregory Mankiw, Paul Krugman, Rudiger Dornbusch atau Stanley Fisher?

Entah kebingungan seperti apa yang akan dihadapi mereka para sarjana ketika akan mengimplementasikan ilmunya di lapangan, karena ternyata ada gap yang mendasar antara yang mereka pelajari (dan mungkin juga sudah mereka yakini) dengan kecenderungan perkembangan aplikasi ekonomi. Atau cukup menjawab kejanggalan ini dengan berkilah: "emang gue pikirin". Kalau sudah seperti itu, yakinlah bahwa ilmu ekonomi yang realistis teraplikasikan adalah ekonomi madzhab pasar, tidak penting pemikiran ekonomi, tidak peduli apa itu Klasik atau Keynesian, yang penting perekonomian harus memberikan kepuasan maksimal bagi pemangku ekonomi (baik ia CEO multinational company maupun sekedar penguasa kelurahan).

Kedua, ketika gegap gempita globalisasi melalui freetrade area pada level regional mulai terbentuk, aplikasi-aplikasi instrumen fiskal dan moneter ternyata kental menggunakan style-nya Keynesian. Bunga sebagai instrumen sentral dalam perekonomian diperlakukan sesuai dengan rekomendasi Keynessian. Inkonsistensi (kalau tidak mau disebut kebingungan) sepertinya menjadi wajah resmi ekonomi konvensional modern sejak dulu. Klasik memandang bahwa bunga terbentuk oleh kekuatan depositors (tabungan) dan kekuatan pengusaha (investasi). Sementara Keynesian relatif melihat bunga sebagai harga keseimbangan dari penawaran dan permintaan uang (IS-LM Concept). Meskipun saat ini mayoritas perekonomian pernegara (baik maju maupun berkembang) menggunakan konsepsi Keynesian yang selanjutnya dielaborasi oleh Sir John Hicks (disinipun sudah terlihat inkonsistensi nasional dan internasional), tetapi baik konsepsi Keynesian dan Klasik tidak mampu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam perekonomian.

Lompatan-lompatan pemikiran diawali dari Klasik ke Keynesian, kemudian ke Moneteris, neo-klasik, new keynesian dan seterusnya, dengan dalih bahwa hal itu sebagai sebuah dinamika koreksi keilmuan, pada hakikatnya menunjukkan ketidakberdayaan ekonomi konvensional modern untuk merumuskan seperti apa ekonomi sepatutnya menjadi. Dua elemen dasar dari ekonomi, yaitu prilaku manusia dan system ekonomi, yang sejatinya coba diramu oleh para ekonom. Tetapi mereka gagal mengharmonisasikan keduanya dalam sebuah interaksi ekonomi.

Para ekonom itu sudah berasumsi bahwa manusia dibiarkan saja dengan sifat-sifatnya mengejar kepuasan ekonomi, dari situlah kemudian ekonomi dimodelkan, diformulakan, dirumuskan dalam madzhab-madzhab pemikiran. Jika kebetulan ada sifat manusia serakah dalam interaksi itu, akhirnya tersedia juga legal system untuk mengakomodasi keserakahan tersebut. inilah sebenarnya pangkal dan akar kesalahan ekonomi konvensional modern. Pertama, kesalahan membiarkan manusia berekonomi menurut sifat-sifat alamiahnya dengan mengabaikan eksistensi sifat-sifat negatif manusia. Kedua, kesalahan memodelkan system ekonomi yang cenderung meng-entertaint sifat-sifat negatif manusia seperti keserakahan. padahal ketika menyadari bahwa manusia memiliki sifat-sifat negatif, tentu sifat-sifat tersebut akan melebur dalam system yang mereka rumuskan.

Rabu, 08 Oktober 2008

Indeks Bursa Saham

Ada yang menarik untuk diperhatikan disela-sela riuh rendahnya global financial crisis yang tengah berlangsung ini. Diantaranya adalah parameter krisis yang ditampilkan atau dirujuk oleh semua pihak yaitu indeks bursa di pasar modal. Bursa sendiri berasal dari nama seorang pedagang Belgia yakni Van Der Bourse, dimana hotel yang dimilikinya di kota Bruges - Belgia menjadi tempat bertemunya para pedagang di kota tersebut (Syahatah & Fayyadh 2004).

Mengapa bursa menjadi parameter krisis keuangan? Padahal kalau mau dicermati, indeks bursa pasar modal yang meningkat seringkali tidak mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pula. Lihat saja performa Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sebelum ini pertumbuhannya diakui diantara yang terbaik di Asia, bahkan pertumbuhannya setelah krisis keuangan 1997/98 telah berlipat ganda, tetapi pertumbuhan ekonomi tidak menunjukkan peningkatan yang sama. Sebaliknya ketika Indeks Bursa terjun bebas apalagi secara masif di beberapa negara, seperti yang terjadi saat ini, perekonomian relatif ambruk. Kalau begitu apa manfaatnya bursa kalau cuma seperti itu?

Ssingkatnya, bursa pada awalnya diharapkan menjadi tempat bertemunya para pemodal dengan pengusaha yang membutuhkan modal (genuine investment transaction. Namun karena transaksi kerjasama itu dilakukan menggunkaan sertifikat akhirnya berkembang pula transaksi selanjutnya yaitu transaksi yang memperjual-belikan sertifikat tersebut dengan motivasi monetary gain dari selisih harga jual dan beli. Akhirnya yang memasuki bursa bukan lagi sekedar pemodal dan pengusaha tetapi juga para spekulator pemburu "spread harga". Dan kini yang dominan di lantai bursa adalah para spekulator ini. Tidak heran jika kemudian peningkatan indeks bursa tidak memiliki korelasi dengan peningkatan kinerja perekonomian.

Bagaimana bisa ketika bursa runtuh perekonomian menjadi ikut terpuruk? Sederhananya, karena para spekulator di lantai bursa ternyata membawa dana-dana lembaga-lembaga bisnis sektor riil. Ketika terjadi kemacetan di bursa berarti akan terjadi masalah likuiditas di lembaga-lembaga bisnis tersebut. Pada sisi lain, sebenarnya peningkatan volume bursa, dimana aktivitas yang dominan adalah spekulasi, pada hakikatnya akan menghambat percepatan volume sektor riil, mengingat uang beredar yang sepatutnya memproduksi barang dan jasa tertarik oleh gaya gravitasi pasar modal. wallahu a'lam.

Farewell to the Neo-Classical Revolution

Farewell to the Neo-Classical Revolution

by Robert Skidelsky

LONDON – The looming bankruptcy of Lehman Brothers, and the forced sale of Merrill Lynch, two of the greatest names in finance, mark the end of an era. But what will come next?
Cycles of economic fashion are as old as business cycles, and are usually caused by deep business disturbances. “Liberal” cycles are followed by “conservative” cycles, which give way to new “liberal” cycles, and so on.

Liberal cycles are characterized by government intervention and conservative cycles by government retreat. A long liberal cycle stretched from the 1930’s to the 1970’s, followed by a conservative cycle of economic deregulation, which now seems to have run its course. With the nationalization of America’s two giant mortgage banks, Fannie Mae and Freddie Mac, following the nationalization earlier this year of Britain’s Northern Rock, governments have started stepping in again to prevent market meltdowns. The heady days of conservative economics are over – for now.

Each cycle of regulation and de-regulation is triggered by economic crisis. The last liberal cycle, associated with President Franklin Roosevelt’s New Deal and the economist John Maynard Keynes, was triggered by the Great Depression, though it took World War II’s massive government spending to get it properly going. During the three-decade-long Keynesian era, governments in the capitalist world managed and regulated their economies to maintain full employment and moderate business fluctuations.

The new conservative cycle was triggered by the inflation of the 1970’s, which seemed to be a product of Keynesian policies. The economic guru of that era, Milton Friedman, claimed that the deliberate pursuit of full employment was bound to fuel inflation. Governments should concentrate on keeping money “sound” and leave the economy to look after itself. The “new classical economics,” as it became known, taught that, in the absence of egregious government interference, economies would gravitate naturally to full employment, greater innovation, and higher growth rates.

The current crisis of the conservative cycle reflects the massive build-up of bad debt that became apparent with the sub-prime crisis, which started in June 2007 and has now spread to the whole credit market, sinking Lehman Brothers. “Think of an inverted pyramid,” writes investment banker Charles Morris. “The more claims are piled on top of real output, the more wobbly the pyramid becomes.”

When the pyramid starts crumbling, government – that is, taxpayers – must step in to refinance the banking system, revive mortgage markets, and prevent economic collapse. But once government intervenes on this scale, it usually stays for a long time.

At issue here is the oldest unresolved dilemma in economics: are market economies “naturally” stable or do they need to be stabilized by policy? Keynes emphasized the flimsiness of the expectations on which economic activity in decentralized markets is based. The future is inherently uncertain, and therefore investor psychology is fickle.

“The practice of calmness, of immobility, of certainty and security, suddenly breaks down,” Keynes wrote. “New fears and hopes will, without warning, take charge of human conduct.” This is a classic description of the “herd behavior” that George Soros has identified as financial markets’ dominant feature. It is the government’s job to stabilize expectations.

The neo-classical revolution believed that markets were much more cyclically stable than Keynes believed, that the risks in all market transactions can be known in advance, and that prices will therefore always reflect objective probabilities.

Such market optimism led to de-regulation of financial markets in the 1980’s and 1990’s, and the subsequent explosion of financial innovation which made it “safe” to borrow larger and larger sums of money on the back of predictably rising assets. The just-collapsed credit bubble, fueled by so-called special investment vehicles, derivatives, collateralized debt obligations, and phony triple-A ratings, was built on the illusions of mathematical modeling.

Liberal cycles, the historian Arthur Schlesinger thought, succumb to the corruption of power, conservative cycles to the corruption of money. Both have their characteristic benefits and costs.
But if we look at the historical record, the liberal regime of the 1950’s and 1960’s was more successful than the conservative regime that followed. Outside China and India, whose economic potential was unleashed by market economics, economic growth was faster and much more stable in the Keynesian golden age than in the age of Friedman; its fruits were more equitably distributed; social cohesion and moral habits better maintained. These are serious benefits to weigh against some business sluggishness.

History, of course, never repeats itself exactly. Circuit-breakers are in place nowadays to prevent a 1929-style slide into disaster. But when the financial system, left to its own devices, seizes up, as it now has, we are clearly in for a new round of regulation. Industry will be left free, but finance will be brought under control.

The cycles in economic fashion show how far economics is from being a science. One cannot think of any natural science in which orthodoxy swings between two poles. What gives economics the appearance of a science is that its propositions can be expressed mathematically by abstracting from many decisive characteristics of the real world.

The classical economics of the 1920’s abstracted from the problem of unemployment by assuming that it did not exist. Keynesian economics, in turn, abstracted from the problem of official incompetence and corruption by assuming that governments were run by omniscient, benevolent experts. Today’s “new classical economics” abstracted from the problem of uncertainty by assuming that it could be reduced to measurable (or hedgeable) risk.

A few geniuses aside, economists frame their assumptions to suit existing states of affairs, and then invest them with an aura of permanent truth. They are intellectual butlers, serving the interests of those in power, not vigilant observers of shifting reality. Their systems trap them in orthodoxy.

When events, for whatever reason, coincide with their theorems, the orthodoxy that they espouse enjoys its moment of glory. When events shift, it becomes obsolete. As Charles Morris wrote: “Intellectuals are reliable lagging indicators, near-infallible guides to what used to be true.”

** Robert Skidelsky, a member of the British House of Lords, is Professor emeritus of political economy at Warwick University, author of a prize-winning biography of the economist John Maynard Keynes, and a board member of the Moscow School of Political Studies.
Copyright: Project Syndicate, 2008.

http://www.project-syndicate.org/commentary/skidelsky9