Selasa, 29 September 2009

Review Risalah Taklim: Ekonomi Islam


Membaca buku Risalah Taklim karya Imam Syahid Hasan Al Banna, memberikan banyak semangat bagi saya, baik dengan sengaja maupun tidak. buku itu sudah memberikan saya banyak inspirasi dalam memahami prinsip-prinsip hidup dan kehidupan.


Artikel yang sampai saat ini saya selalu baca berulang-ulang (karena haus akan provokasi semangat beramal dan berdakwah) adalah; "Kepada Para Pemuda dan Mahasiswa". Artikel itu seperti menjadi penyemangat ekstra, selain Qur'an dan Hadits, bagi semua kerja-kerja dakwah dan keilmuan yang telah dipaksakan untuk menjadi kesibukan sehari-hari.


Tetapi akan sangat tidak lengkap jika latar belakang saya yang banyak tenggelam dengan wawasan keilmuan ekonomi Islam, saya tidak mengkaji pemahaman Imam Syahid Hasan al Banna tentang Ekonomi Islam.


Sekilas tulisan Imam Al Banna tentang Ekonomi Islam sangat kental dalam pembahasan hakikat ekonomi (economic paradigm), kesederhanaan hidup (economic behavior) dan pendistribusian kemanfaatan harta (wealth income distribution).


Oleh sebab itu, saya berharap saya memiliki waktu untuk mengkaji tulisan beliau pada buku Risalah Taklim tentang Ekonomi Islam. Bismillah.

Microfinance Indonesia: Keunggulan Ekonomi Nasional


Senin lalu saya diminta untuk ikut mempresentasikan kondisi keuangan mikro Indonesia oleh kolega di kantor khususnya keuangan mikro syariah kepada tiga tamu kamu dari Central Bank of Nigeria. Untuk kesekian kali kami kedatangan tamu internasional yang ingin belajar banyak tentang keuangan mikro Indonesia yang memang senyap-senyap keuangan mikro Indonesia sudah menjadi perbincangan dunia internasional.

BRI bahkan sudah memiliki divisi khusus untuk menangani tamu internasional yang akan belajar pengalaman mereka, kononnya juga tamu internasional itu dikenakan fee. Wow keren. Ketika saya diundang IFC World Bank bekerjasama dengan CGAP untuk mempresentasikan keuangan mikro Indonesia di Dubai pun, “keharuman” nama Indonesia dalam pengembangan keuangan mikro pun sudah tercium. Melihat respon dan antusiasme kalangan internasional, seakan-akan saya ketika itu tidak menyadari keunggulan negara sendiri.

Beberapa waktu lalupun saya mendampingi Dr. Mohammad Obaidullah, peneliti IRTI IDB yang telah berkali-kali datang ke Indonesia untuk meneliti konsep keuangan mikro, dimana keuangan mikro Indonesia menurut beliau menjadi industri bahkan sistem yang mapan di tanah air tercinta kita ini dibandingkan negara-negara lain di dunia. Oleh sebab itu, obsesi beliau ingin menyusun model Indonesia agar dapat direplikasi di dunia Internasional.

Saat ini lembaga keuangan mikro Indonesia telah mencapai belasan atau bahkan puluhan ribu unit (belum terdapat angka yang pasti). Khusus untuk keuangan mikro syariah lembaganya telah mencapai 134 BPRS, lebih dari 3200 BMT, 4000-an BRI unit (sharia office channeling), 500-an Lembaga Dana Sosial Islam (BAZ/LAZ). Jumlah ini belum termasuk koperasi syariah, baik yang telah terdaftar resmi maupun yang belum.

Dengan besarnya industri dan pengalaman yang cukup lama, membuat sektor keuangan mikro nasional cukup memiliki kemampuan dalam berkontribusi atau bahkan membentuk wajah perekonomian tanah air. Industri keuangan mikro syariah ini terbentuk dan berkembang, tentu sebagai respon dari kondisi dunia usaha Indonesia yang strukturnya didominasi oleh usaha jenis mikro dan kecil.

Sebegitu unggulkah Indonesia? Pertanyaan ini khusus untuk kita para pelaku dan pemerhati keuangan syariah tanah air. Saya yakin, anda semua punya jawaban yang kurang lebih sama dengan saya; ngga unggul-unggul amat kok. Buktinya kita tidak merasa bahwa keuangan mikro menjadi primadona industri dengan kampanye dan persepsi yang baik di tanah air.

Mari kita bedah satu-persatu setiap elemen di dalamnya:

1. Sumber Daya Manusia: sudah menjadi pengetahuan dan pemakluman bersama bahwa kualitas sumber daya keuangan mikro ada di bawah rata-rata profesional sektor keuangan yang lain. SDM keuangan mikro rata-rata baru setingkat lulusan SMA/SMK, kalaupun ada yang S1 mereka adalah yang biasanya memang belum terserap dalam dunia kerja “formal” lainnya. Orientasi angkatan kerja masih tertuju pada sektor-sektor yang mapan. Sementara keuangan mikro masih diposisikan sebagai industri marjinal, jangankan pada skala industri umum nasional dalam lingkungan industri keuangan saja ia berada pada kasta terendah. Kerja di lembaga keuangan mikro dipastikan tidak pernah menjadi cita-cita dari para pelajar atau mahasiswa. Bahkan kebanyakan motivasi berdirinya lembaga tersebut sekedar ingin membantu karyawan kecil, masyarakat tak mampu atau sekedar sebagai tempat latihan keahlian dan organisasi dan menyalurkan waktu luang. Tidak heran para pekerja atau SDM-nya tidak terlalu serius terdidik.


2. Lembaga Keuangan Mikro: lembaga keuangan mikro umumnya tidak mapan secara kelembagaan. Landasan hukum lembaganya masih belum jelas, ada yang berbentuk PT, CV, koperasi, lembaga dana daerah atau bahkan sama sekali tidak berbadan hukum, ia sekedar organisasi kemasyarakatan yang muncul atas inisiatif masyarakat lokal terbatas. Dengan demikian formalitas lembaga keuangan mikro sampai saat ini menjadi kelemahan yang sangat mendasar.


3. Regulator: industri keuangan mikro nasional yang telah besar hingga puluhan ribu lembaga ini ternyata harus dihadapkan pada realita simpang siurnya lembaga pengatur. Ketidaksatuan pada regulatornya, membuat lembaga keuangan mikro sulit untuk konsisten pada misinya karena masing-masing jenis lembaga keuangan mikro (PT, CV, Koperasi dan lain-lain) harus berhadapan dengan ketentuan yang berbeda-beda mengingat regulatornya berbeda-beda pula. Untuk BPR/BPRS regulatornya Bank Indonesia, Koperasi/BMT regulatornya Kementerian Koperasi dan UMKM, sementara untuk BAZ/LAZ regulatornya Departemen Agama/BAZNAS. Kebanyakan regulator yang ada saat ini masih belum berfungsi secara baik, baik fungsi perizinan, pengaturan maupun pengawasan. Kelemahan ini membuat industri bergerak tanpa arah, sehingga kebijakan pengembangan lebih dipegang oleh pasar keuangan mikro itu sendiri.


4. Infrastruktur: lembaga-lembaga atau standard pelengkap seperti lembaga pemeringkat dan standard akuntansi bagi keuangan mikro masih sangat terbatas (jika tidak ingin dikatakan tidak ada). Selain itu lembaga perlindungan nasabah seperti lembaga penjamin simpanan dan pusat informasi pasar mikro-kecil juga masih belum tersedia. Khsusus untuk lembaga bank (BPR/BPRS) standar akuntansi yang masih mengikut standar akuntansi lembaga keuangan besar dimana standar tersebut lebih diperuntukkan bagi unit usaha atau perusahaan-perusahaan besar, mereka masih menghadapi kendala karena karakteristik nasabah mereka (unit usaha mikro-kecil) berbeda. Oleh sebab itu, mendesak disusunnya standar skuntansi khusus bagi nasabah mikro-kecil sekaligus standar penilaian kesehatan pembiayaannya.


5. Preferensi Masyarakat Usaha Mikro-Kecil: hampir semua lembaga keuangan mikro menghadapi masalah pada kapasitas funding, akibat preferensi masyarakat usaha mikro-kecil yang lebih cenderung mencari pembiayaan/kredit ke lembaga keuangan mikro tetapi menyimpan dananya di lembaga keuangan yang lebih besar. Itu mengapa saat ini lembaga keuangan mikro harus mencari-cari outlet untuk memenuhi kebutuhan funding mereka, baik dari dana murah linkage lembaga keuangan besar, dana pemerintah daerah, donor, APEX, dana sosial maupun dana CSR perusahaan besar. Memang saat ini solusi yang diyakini paling tepat adalah penyediaan fasilitas pada sisi funding dan sistem pembayaran yang membuat nasabah merasa nyaman dengan kebutuhan-kebutuhan keuangan disisi tersebut. Misalnya penyediaan fasilitas ATM berbasis teknologi murah. Tetapi pengembangan-pengembangan tersebut membutuhkan dukungan pemerintah baik dana, keahlian, teknologi maupun peraturan yang mampu mengintegrasikan industri keuangan mikro agar lebih rapi.


Meskipun begitu kelemahan yang ada dalam sistem keuangan mikro Indonesia sepertinya “impas” ditutupi oleh kelebihan-kelebihan mereka dalam berkontribusi menghidupkan ekonomi rakyat pada skala yang luar biasa luas. Bahkan prestasi yang juga tidak kalah sensasionalnya adalah berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan perekonomian tanah air di periode-periode krisis (krisis keuangan asia 1998 dan krisis keuangan global 2008) melalui perannya menjaga nafas aktivitas UMKM tanah air. Beberapa kelebihan yang menonjol lembaga keuangan mikro adalah:


1. Kemudahan akses dana akibat sederhannya prosedur pembiayaan/kredit.
2. Daya jangkau yang mampu mengakomodasi golongan masyarakat terbawah (poorest of the poor).
3. Melakukan pendekatan dan pembinaan nasabah sehingga interaksi saling percaya para pihak relatif terbentuk.
4. Mengenal betul pasar dan pelaku bisnis mikro-kecil sehingga lembaga keuangan mikro pantas untuk disebut sebagai community bank.


Dengan kelebihan itu keuangan mikro indonesia betul-betul memiliki peran yang cukup krusial dalam menjaga kehidupan UMKM, dimana UMKM nasional memiliki kontribusi yang begitu penting dalam perekonomian tanah air. UMKM merupakan struktur usaha dominan (98%), dan mampu menyerap lebih dari 80% tenaga kerja yang ada, serta memberikan kontribusi GDP yang cukup besar 40-50%. Jika seperti itu, bukankah sangat beralasan pemerintah dengan segala kewenangan dan kepentingannya mengambil inisiatif membenahi sektor keuangan mikro, yang sebenarnya sektor ini telah berkembang dan menuju pada pemapanan diri.

Beberapa hal yang perlu dibenahi adalah:


1. Kualitas SDM: memasukkan materi keuangan mikro di sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi serta penyediaan fasilitas berupa literatur dan tenaga pengajar menjadi sebuah pembenahan yang wajib. Pusat-pusat pelatihan berikut program-program up-grading harusnya menjadi inisiatif pemerintah bukan hanya menjadi kepentingan praktisi industri.


2. Undang-Undang Keuangan Mikro: penyediaan landasan hukum positif pada dasarnya akan membenahi tiga masalah sekaligus, yaitu (i) kemapanan lembaga; (ii) kejelasan regulator; dan (iii) kelengkapan infrastruktur. Dengan UU yang komprehensif kepastian bentuk hukum lembaga keuangan mikro akan lebih jelas, apakah ia merupakan sejenis bank, lembaga sosial atau ditetapkan sebagai lembaga tersendiri (genre baru). Selain itu dengan UU, regulator keuangan mikro sepatutnya telah definitif dilakukan oleh satu lembaga khusus, sehingga mampu menentukan arah kebijakan pengembangan dan menjaga irama pengembangannya. Selanjutnya UU diharapkan memberikan amanah kepada pihak-pihak terkait untuk melengkapi fasilitas struktur industri keuangan syariah agar industri keuangan syariah mampu menjadi industri yang kuat dan sehat, berkembang secara efisien dan efektif, serta mampu memberikan kemanfaatan bagi dunia usaha mikro-kecil dengan optimal.


3. Technical Assistant: pemerintah sebaiknya mampu menyediakan fasilitas dana dan IT murah bagi penyediaan pelayanan yang lebih optimal dan lengkap pada lembaga keuangan mikro. Penyediaan akses likuiditas bagi kinerja pembiayaan lembaga keuangan mikro menjadi sebuah kebutuhan mendesak saat ini. Disamping itu integrasi industri keuangan mikro akan membuat pelayanan keuangan mikro mampu menjangkau seluas mungkin masyarakat dengan segala tingkatan kondisi ekonomi mereka. Selama ini setiap jenis lembaga keuangan mikro perlahan-lahan membentuk captive market-nya sendiri-sendiri, tetapi jangkauan masing-masing lembaga terbatas pada lokasi-lokasi tertentu. Misalnya BPR/BPRS lebih pada usaha kecil formal urban, Koperasi/BMT lebih tertuju pada usaha mikro informal urban-rural, sedangkan lembaga dana sosial lebih pada golongan masyarakat poorest of the poor (community development). Oleh sebab itu, apabila ia difasilitasi dan dibenahi (terutama peran dari pemerintah), maka keuangan mikro mampu beroparasi dengan lebih mapan dan saling bahu membahu pada skala nasional dan pada semua sektor ekonomi.


Dengan pembenahan yang ada diharapkan industri keuangan mikro akan menjadi lebih mapan dan lebih prestise, sehingga perkembangan selanjutnya akan membuat ia menjadi industri yang diminati secara formal, menjadi cita-cita pencari kerja, betul-betul menjadi wajah ekonomi bangsa yang diandalkan peran dan keunggulannya. Wallahu a’lam.

Senin, 28 September 2009

Menghidupkan Sunnah Membangkitkan Ekonomi Islam (2)


Melanjutkan diskusi saya tentang menghidupkan sunnah untuk membangkitkan ekonomi Islam. Aplikasi sunnah disini tidak hanya dimaksudkan pada sekedar laku-laku fisih (amaliyah jasadiyah). Idealnya menghidupkan sunnah dilakukan dengan diawali oleh laku-laku emosi (amaliyah ruhiyah). Artinya seseorang yang mengamalkan sunnah-sunnah Nabi juga memiliki spirit, rasa emosi atau ruhiyah maknawiyah yang sama yang dimiliki oleh Nabi.

Seseorang yang disiplin dengan sedekahnya tidak sebatas hanya menjalankan dan meniru prilaku Nabi, tetapi dalam jiwa dan hatinya ia memang teramat ingin meringankan beban saudaranya yang lain, ingin melihat manusia lain bahagia karena masalahnya telah diringankan. Begitu juga orang yang ingin menjalankan gaya hidup sederhana seperti yang dicontohkan oleh Nabi, Sahabat dan para Salafushaleh, sepatutnya memiliki kualitas ruhiyah seperti mereka yang dicontoh.

Nilai-nilai ketawadhuan, kezuhudan dan qana’ah telah meresap dengan sempurna dalam jiwa-jiwa mereka. Sehingga ritual-ritual sunnah akan dikerjakan dengan sepenuh hati dan rasa. Laku-laku fisik sunnah tidak menjadi beban yang akhirnya membuat mereka menyerah menekuninya dalam kurun waktu yang teramat singkat.

Jika nilai-nilai tawadhu, zuhud dan qana’ah tidak dimiliki, maka ritual sunnah yang dilakukan menjadi sekedar amalan-amalan artificial, yaitu amalan yang tidak memiliki ruh, karakter atau bahkan makna. Amalan-amalan seperti ini bukanlah menghidupkan sunnah, tetapi hanya sekedar semangat tanpa tenaga.

Dengan amalan seperti ini, pada prakteknya, ekonomi Islam hanya akan menjadi simbol-simbol saja, ritual tanpa manfaat yang jelas, sistem tanpa kualitas yang memadai. Apalagi usia laku-laku fisiknya hanya sebentar karena ia tidak memiliki cukup energi untuk berlangsung secara berkesinambungan. Bahkan praktek ekonomi Islam rentan diselewengkan mengikuti kepentingan pelakunya berkedok ibadah-ibadah Islam dalam berekonomi.

Oleh sebab itu, tarbiyah jasadiyah (pendidikan/pembinaan fisik/praktek) berupa praktek-praktek ekonomi secara Islami harus diikuti dengan tarbiyah ruhiyah (pendidikan/pembinaan jiwa/emosi). Pemahaman yang tepat dan betul pada konsep-konsep ketuhanan (ketauhidan/akidah) dan konsep-konsep pergaulan (akhlak), akan membentuk kualitas yang lebih baik bagi terciptanya sebuah sistem ekonomi.

Menghidupkan Sunnah, Membangkitkan Ekonomi Islam


Ekonomi Islam bukan sekedar bicara tentang kepatuhan pada hukum-hukum Tuhan, membayar zakat, menghindari riba dan menjauhi judi, tetapi juga meliputi prilaku-prilaku terpuji yang diinspirasi moral Islam.

Kepatuhan pada hukum-hukum syariat pada dasarnya bersifat memaksa, sehingga pelaksanaan ekonomi Islam pada aspek ini cenderung sebuah keniscayaan sistem. Tetapi kualitas aplikasi juga ditentukan warna lingkungan ekonomi, dimana kepatuhan nilai-nilai akidah dan akhlak Islam menjadi unsur yang paling krusial.

Berbeda dengan pelaksanaan hukum Islam dalam ekonomi, pelaksanaan nilai-nilai akidah dan akhlak lebih cenderung ditentukan oleh willingness dari pribadi-pribadi sebagai pelaku ekonomi. Oleh sebab itu pemahaman terhadap akidah dan akhlak menjadi begitu penting.

Dan cara yang paling sederhana untuk menjalankan perekonomian Islam melalui pembenahan akidah dan akhlak adalah menghidupkan sunnsh-sunnah Nabi dalam berekonomi. Menyuburkan sedekah, perhatian dengan keluarga dan tetangga, memelihara anak yatim dan care dengan kelompok masyarakat tak mampu, atau berbudaya hidup sederhana (hemat tidak bermegah-megahan), menjadi sebagaian kecil yang mampu meningkatkan kualitas aplikasi ekonomi Islam.

Mari hidupkan Sunnah!

G-20: Pengakuan Ketidakmampuan atau Pertunjukkan Arogansi Negara Maju


Banyak nuansa positif yang dituliskan oleh media tentang pengalihan “penguasa” ekonomi dunia dari G-8 ke G-20, baik dari wartawan, pengamat maupun pakar ekonomi. Pengakuan G-20 sebagai lembaga yang yang mengganti fungsi dan kerja-kerja G-8 dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dunia dianggap sebagai langkah nyata yang positif dari pembangunan tatanan dunia baru (new order).

Langkah mengajak negara-negara berkembang yang berpotensi menjadi raksasa dunia seperti China, India, Indonesia dan Brazil, menjadi sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri oleh negara maju (lama) Amerika dan Eropa. Pemunculan G-20 menjadi sebuah revolusi nyata dari perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi dunia. Oleh sebab itu, penyesuaian perubahan ini akan tergambar dari voting powers yang ada pada beberapa lembaga ekonomi/keuangan dunia seperti IMF dan World Bank.

Namun apa esensi sekaligus lesson learn dari peristiwa bersejarah ini? Menggunakan perspektif ekonomi Islam, sebaiknya peristiwa ini memberikan gambaran yang lebih vulgar dan menjadi evidence dari analisis-analisis proyeksi ekonomi Islam. Analisis ekonomi Islam terhadap current condition/system dari perekonomian dunia, mayoritas mengungkapkan kesalahan atau bahkan kekacauan yang sifatnya mendasar dari sistem ekonomi modern, sehingga diprediksikan cepat atau lambat perekonomian dunia akan menderita sangat parah (severe).

Derita ekonomi dunia akan dirasakan dalam dua bentuk; kekacauan kinerja sistem ekonomi (akibat kesalahan sistem) dan kerusakan moral sosial yang berimbas pada memarahnya mekanisme ekonomi yang ada (akibat keserakahan pelaku/moral). Derita tersebut, perlahan tapi pasti telah menjadi wajah perekonomian dunia. Hampir tak ada zona ekonomi di bumi ini yang tidak merasakan kekacauan ekonomi. Bahkan peristiwa terakhir menunjukkan bahwa negara maju sekalipun tidak imun terhadap krisis ekonomi.

Krisis keuangan sejak 2008 yang melanda negara maju, memorak-porandakan tatanan ekonomi mereka, bahkan telah mematahkan mitos ketahanan negara adidaya ekonomi. Mengingat negara maju menjadi pasar mayoritas negara-negara berkembang, maka mau tidak mau negara berkembang pun ikut pusing dalam kerja-kerja pemulihan ekonomi/keuangan dunia.

Tetapi disamping fakta diatas, krisis keuangan mutakhir ternyata memberikan fakta yang lebih, yaitu daya survival dari beberapa negara berkembang dalam menghadapi krisis yang ada, terutama China, India, Indonesia dan Brazil. Kekuatan sumberdaya dan perekonomian domestik mereka mampu menjaga kelanjutan pembangunan ekonomi yang direfleksikan positifnya pertumbuhan ekonomi mereka. Dan akhirnya mereka perlahan-lahan merubah kutub gravitasi ekonomi dari barat ke timur. Beberapa perusahaan besar yang telah menyadari ini, melakukan penyesuaian berupa pengalihan kantor pusat dari wilayah negara maju Eropa-Amerika (barat) ke Asia (timur).

Amerika dan Eropa seolah-olah tidak mau kehilangan muka dalam mempertahankan hegemoni ekonomi dunia karena menyadari dan melihat pergeseran episentrum ekonomi dari barat ke Timur. Akhirnya mereka dengan cover new world economic order, merangkul calon negara-negara raksasa ekonomi dalam lingkaran eksklusif mereka, dalam rangka menentukan arah kebijakan perekonomian dunia. Negara-negara berkembang tersebut tentu saja menyambut dengan baik ajakan itu, selain meningkatkan prestise mereka, ajakan ini juga didalihkan menjadi ajang penyeimbangan kekuatan ekonomi menuju tatanan ekonomi yang lebih adil.

Namun bagi negara maju Eropa-Amerika revitalisasi G-20 dengan mengambil alih fungsi G-8, menunjukkan wajah apa? Arogansi kah atau tanda menyerah pada kondisi krisis? Krisis ekonomi/keuangan yang sedemikian parahnya memaksa mereka harus membagi risiko krisis dan membutuhkan bantuan (baik dana maupun pasar) untuk survive. Oleh sebab itu mereka mengajak negara berkembang yang berpotensi membantu kesulitan mereka, yaitu negara-negara bermodal besar seperti negara Saudi Arabia dan China serta negara-negara yang memiliki pasar raksasa seperti India, Indonesia dan Brazil (negara berpopulasi besar selain China).

Selain itu, ternyata pengalihan G-8 ke G-20 ternyata menunjukkan sebuah bentuk arogansi negara-negara maju yang mencoba menutupi ketidakmampuan mereka dengan cover G-20, dimana esensinya mereka tidak ingin kehilangan kontrol atas arah kebijakan perekonomian dunia. Artinya G-20 hakikatnya adalah upaya mempertahankan hegemoni ekonomi mereka atas dunia. Padahal, boleh jadi perekonomian mereka sebenarnya sdah ada di tepi jurang kehancuran.

Berdasarkan analisa ini, sebaiknya negara-negara berkembang raksasa patut waspada. Mereka tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Arah kebijakan ekonomi mereka harus konsisten dengan kepentingan dan kebutuhan ekonomi domestik mereka. Jangan menghabiskan energi yang hakikatnya hanya menolong ekonomi Eropa-Amerika tanpa ada imbas pada akselerasi perekonomian domestik negara-negara berkembang. Momentum saat ini adalah momentum yang tepat untuk meraksasa dan memakmurkan masing-masing negara berkembang, menetapkan blueprint baru bagi perekonomian dunia, atau meredefinisi bentuk negara maju yang sesungguhnya.

Dan yang pasti, inilah momentum negara-negara muslim terkemuka untuk menampilkan kepercayaan diri menawarkan perekonomian Islam bagi new world economic order.

Konsep Pensiun dalam Islam (2)


Melanjutkan penjelasan saya tentang konsep pensiun sebelumnya, bahwa pensiun lebih terdefinisi pada kerja-kerja nafkah bukan kerja-kerja kebaikan yang memang sepatutnya menjadi kerja-kerja utama kehidupan manusia. Pensiun menjadi suatu keniscayaan karena ia dipaksa oleh kelaziman dalam kerja nafkah yang memang dibatasi oleh waktu.

Waktu membuat manusia digerogoti oleh usia, tenaga semakin berkurang, fikir semakin tidak tajam, daya ingat semakin luntur dan mobilitas semakin rendah. Kondisi ini membuat manusia harus mengalah untuk tidak selalu ada dalam pusaran dunia kerja (nafkah). Namun, yang disayangkan adalah kondisi sunset ini diseiringkan dengan kerja-kerja kebaikan (amal shaleh). Kerja amal shaleh pun juga semakin meredup. Semakin tua seseorang, mereka semakin konsentrasi dengan keluarganya, cucunya atau bahkan semakin asyik dengan semua urusan dirinya sendiri.

Yang menyedihkan adalah seiring dengan berhentinya mereka dari dunia kerja, mereka semakin pikun dan tidak lagi mengenal lingkungannya atau bahkan dirinya (pikun). Ketuaan akhirnya menjadi pembenaran bagi mayoritas manusia untuk menikmati dunia dengan segala fasilitasnya. Justifikasi ini sebagai kompensasi dari kesibukan yang telah mereka lakukan pada masa produktif, dimana waktu kerja menyita waktu mereka dengan kesibukan-kesibukan karir, bisnis dan lain-lain.

Dan masa tua akhirnya menjadi tempat yang pas untuk relaksasi secara total. Bahkan ada yang berpendapat bahwa masa tualah yang paling optimal untuk berkonsentrasi beribadah kepada Tuhan, karena waktu luang untuk Tuhan begitu lapang.

Konsep hidup seperti ini secara sadar atau tidak telah menjadi konsep banyak orang, baik ia muslim maupun tidak. Terlepas dari mana konsep ini bermula, saya berkeyakinan konsep ini akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kekeliruan hidup dan kehidupan. Konsep hidup ini sedikit-banyak memiliki kontribusi pada kemandulan ummat Islam saat ini. Konsep hidup seperti ini menjadi elemen penting bagi berkembangnya penyakin akhir zaman yaitu WAHN (cinta dunia dan takut mati).

Konsep hidup ini memang membuat banyak manusia semakin akrab dengan kemegahan dunia dan nilai-nilai hedonisme-nya. Kemegahan dan nilai-nilai hedonisme ini kemudian membentuk keyakinan, filosofi dan paradigma hidup manusia. Disamping itu (dikhawatirkan) keyakinan, filosofi dan paradigma seperti itu rentan terhadap godaan kemaksiatan, sehingga besar potensi kemaksiatan semakin menjadi kelaziman sehari-hari. Dan inilah yang membentuk dan membesarkan rasa ketakutan pada jiwa mereka terhadap kematian. Karena kematianlah yang akan menginterupsi kenyamanan, kemegahan dunia dalam bingkai kemaksiatan.

Dalam diskusi ekonomi Islam, pembahasan ini menjadi sangat krusial. Pembebasan manusia dari hiruk pikuk dunia dan fokus pada tujuan akhirat (ibadah) dengan kerja-kerja kebaikannya, merupakan hal yang mendasar agar aplikasi ekonomi Islam terjaga kemurniannya dan meningkat kualitasnya.

Kembali pada perbincangan konsep pensiun, maka konsep pensiun yang sejati adalah konsep pensiun yang hanya terbatas pada kerja-kerja mencari nafkah yang memang terbatasi oleh usia kerja. Namun kerja-kerja kebaikan sepatutnya tidak mengenal konsep pensiun. Boleh jadi momentum berhenti dari kerja nafkah menjadi saat untuk memaksimalkan kerja kebaikan pada tingkat akselerasi puncak sampai kematian menghentikannya.

Bagi mereka yang menganut konsep pensiun pada semua jenis kerja, sangat tidak mungkin mendapatkan kerja-kerja kebaikan pada tingkat kuantitas dan kualitas yang tinggi, mengingat permulaan kerja itu boleh jadi dilakukan baru setelah berhenti dari kerja nafkahnya.

Pada dasarnya kerja kebaikan diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama kerja kebaikan yang bersifat ibadah pada Tuhan dan yang kedua adalah kerja kebaikan berupa amal shaleh kepada sesama manusia atau makhluk hidup lainnya. Kedua kerja kebaikan ini idealnya telah dilatih dan kemudian konsisten dilaksanakan oleh pribadi muslim yang baik. Pelaksanaannya semakin meningkat baik kuantitas dan kualitas seiring dengan bertambahnya usia. Dan kemudian sampai pada puncaknya ketika individu muslim memasuki hari tuanya yang penuh dengan kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan, pengalaman dan keluangan waktu.

Menggunakan paradigma konvensional tentang pensiun yang tidak hanya meliputi kerja-kerja nafkah tetapi juga kerja lainnya, maka sangat tidak mungkin puncak kerja kebaikan akan sampai pada tingkat potensinya. Hal ini mengingat kerja-kerja kebaikan relatif “baru” akan dimulai begitu kerja nafkah mereka sudah mereda. Kita lihat kecenderungan ini telah nampak pada masyarakat pekerja kita saat ini. selepas pensiun dari kerja nafkahnya barulah mereka memulai untuk menekuni shalat, mulai belajar membaca Al Qur’an, mengakrabi do’a-do’a, mulai mengenal amal-amal shaleh. semua itu dilakukan dengan tertatih-tatih dengan akselerasi yang juga cenderung kekurangan energi.

Bagaimana mungkin mereka bisa mencapai kuantitas dan kualitas shalat yang optimal ketika mereka tidak terbiasa dengan ritual shalat dengan berbagai jenis dan kuantitasnya. Contoh sederhana saja shalat malam, bagaimana mungkin mereka akan mendapatkan kualitas yang tertinggi jika kebisaan dan kebiasaan mereka tidak lakukan sejak dulu-dulu. Begitu juga dengan amalan shaleh yang lain.

Pemahaman pada konsep pensiun yang salah telah membuat manusia muslim memiliki kualitas yang jauh dari potensi mereka. Oleh sebab itu, pemahaman yang benar, menyeluruh dan mendalam tentang konsep hidup Islam menjadi sangat krusial dimiliki oleh setiap individual Islam saat ini. Dan ini yang membuat saya memberikan perhatian lebih pada pembangunan akidah dan akhlak Islam, karena pengaruh dahsyatnya bukan hanya sangat berguna pada pengembangan ekonomi Islam, tetapi juga pada pembangunan semua aspek peradaban manusia; hukum, politik dan budaya.

Kamis, 24 September 2009

Ekonomi Islam dan Perjuangannya


Saudara-saudaraku pemerhati dan pejuang ekonomi Islam, keimanan ternyata kualitasnya menginspirasi kualitas kontribusi dan komitmen kita dalam pembumian praktek-praktek ekonomi Islam. Keimanan sedikit banyak memberikan perspektif lebih dalam melihat hakikat sebuah perjuangan. Dan keimanan pula yang membuat hati akan lebih rela untuk berkorban dalam kerangka perjuangan itu.

Telah banyak pertanyaan yang dihadapkan pada saya terkait realita produk keuangan syariah yang relatif “mahal” dibandingkan produk konvensional. Atau kemudahan-kemudahan lain yang belum tersedia dalam industri keuangan syariah. Bagaimana menyikapi ini?

Terlepas dari berbagai jawaban yang telah saya tuliskan dan ungkapkan dalam berbagai kesempatan, tentang latar belakang mengapa persepsi diatas muncul atau fakta yang sebenarnya ada di lapangan, kali ini saya ingin menyampaikan perspektif yang lain, yang saya harapkan saudara-saudara lihat dari kacamata keimanan.

Slogan yang selalu diteriakkan setiap pejuang adalah “setiap perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan”. Dan slogan ini sepatutnya bukan hanya sebatas slogan tapi sebaiknya kita rasakan realitasnya atau kita nikmati “manisnya”. Ustadz saya dulu pernah bilang, kemanisan iman itu hanya dapat dirasakan ketika ujian dan cobaan dari Allah sedang berlangsung atas diri kita.

Nah, perjuangan pembumian ekonomi Islam ini ternyata memiliki kemanisan-kemanisan tersendiri yang harus kita nikmati. Prinsip dan nilai moral harusnya menjadi modal kita dalam menikmati “kemanisan” itu. Apa saja bentuk kemanisan itu (atau mungkin kita masih bilang itu “pengorbanan” atau “kepahitan”)? Beberapa praktek keseharian bisa kita jadikan cermin, diantaranya:

1. Jika memang membeli rumah melalui bank syariah masih relatif mahal dibandingkan bank konvensional, padahal kalau melalui bank konvensional mungkin kita mampu membeli rumah yang sudah kita idamkan, bersabarlah karena ini ujian komitmen kita. Boleh jadi mengontrak rumah lebih baik bagi kita di sisi Allah daripada harus bersinggungan dengan riba untuk sekian tahun.


2. Jika memang kartu kredit membuat kita berpotensi bersinggungan dengan riba, paksakanlah diri kita untuk tidak akrab dengannya. Jika memang tanpa kartu kredit kita tidak mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan dalam berbelanja dan berinteraksi ekonomi, bersabarlah karena apalah artinya semua kemudahan itu jika ia hanya topeng kemaksiatan yang telah digolongkan sebagai dosa besar ini.



3. Jika memang kartu ATM atau Debit bank syariah masih memiliki keterbatasan di sana-sini, bersabarlah karena masa perjuangan awal memang lazimnya membutuhkan lebih banyak pengorbanan.



Saudara-saudaraku, bukankah mereka yang berjuang sekaligus berkorban dalam mencegah kemaksiatan dan menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, dimana manusia lain tidak peduli atau bahkan melakukan kemaksiatan dan mematikan sunnah, mereka akan mendapatkan pahala sederajad dengan pahala 100 mati syahid?

Mari masuk dalam barisan pejuang yang rela berkorban apa saja. Lihatlah semua ini dengan kaca mata keimanan. Singkirkan jauh-jauh hitung-hitungan untung dan rugi, mudah dan sulit, nyaman dan tidak nyaman. Kekecewaan, ketidaknyamanan, kesabaran kita semua akan dibalas Allah dengan syurga. Tugas kita selain memakmurkan ekonomi Islam ini adalah terus meningkatkan keimanan karena boleh jadi setelah kita lulus dari ujian dan cobaan yang satu, akan ada ujian dan cobaan lain yang menyambut di medan perjuangan ini. Bismillah.

Keimanan dan Kualitas Ekonomi


Melanjutkan tulisan saya sebelumnya, sesungguhnya ekonomi Islam bukan melulu tuntutan syariah secara hukum, tetapi juga menjadi kebutuhan dari akidah dan akhlak Islam dari pribadi-pribadi (muslim). Artinya ekonomi Islam berupa industri-industri dan tata kelola sistem muncul dari tuntutan keimanan segolongan masyarakat yang akidah dan akhlak Islam semakin mengkristal dalam keyakinan dan prilaku mereka.

Menarik bukan? Industri yang muncul karena iman! Tata kelola ekonomi yang muncul karena iman! Who knows, nanti juga akan muncul (berangsur-angsur) tata kelola hukum karena iman, tata kelola politik karena iman atau muncul tatanan peradaban baru karena iman.

Saya masih ingat 15-an tahun yang lalu kami harus berjuang untuk sekedar menjalankan perintah Tuhan yaitu menutup aurat secara baik. Seragam sekolah kami sesuaikan dengan ketentuan Islam. Tetapi harus berjuang karena terbentur dengan ketentuan sekolah, kepentingan lain, atau hambatan psikologis lainnya. Namun kini, perjuangan keimanan itu sudah memberikan buah, bahkan keimanan pada hal itu telah memunculkan fenomena baru; industri baju muslim yang besarnya diluar dugaan.

Keimananlah yang paling berjasa memunculkan industri baju muslim, begitu juga setelahnya, keimanan pula yang paling berjasa memunculkan industri perbankan syariah, asuransi syariah dan praktek keuangan syariah lainnya. Sekali lagi keimanan!

Dan bukan tidak mungkin keimanan akan merubah wajah sektor ekonomi lainnya atau bahkan sektor non-ekonomi. Misalnya, keimanan diharapkan menjadi inisiator perubahan prilaku kerja yang koruptif menjadi kerja dengan penuh kejujuran dan disiplin. Nanti kita berharap akan lihat penegak-penegak hukum yang jujur, politisi-politisi yang amanah, atau pelayan-pelayan masyarakat yang tulus.

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya upaya-upaya menghidupkan dan meningkatkan keimanan menjadi perhatian yang tak kalah penting dari kerja-kerja pemberantasan kemiskinan. Keimanan selayaknya menjadi indikator kesuksesan ekonomi, hukum dan politik. Karena memang variabel keimanan menjadi variabel independen yang paling krusial bagi pencapaian target dan kualitas bagi ekonomi, hukum dan politik.

Intinya, kualitas hidup akan semakin baik jika manusia dalam kehidupannya betul-betul tidak pernah melepaskan diri dari penghambaan pada Tuhan, baik itu pada ekonomi, hukum , politik atau aspek hidup lainnya. Keimanan merefleksikan ikatan manusia dan Tuhan.

Islamic Finance News: Fresh Fields to Conquer

Dear Ali Sakti,

The action this week has been in the US. It began with a one-day United Nations summit on climate change in New York, followed by the UN General Assembly. As this issue is being published, the two-day meeting of leaders of the Group of 20 developing and developed economies is underway in Pittsburgh, Philadelphia. Remaining on the sidelines was a brief, no-way-forward summit on the Middle East.

While officialdom was clinging to the center stage, the private sector also made waves in the US this week. The gist of the news is that firms are beginning to see climate change as a barrier to profit. Companies are showing increased willingness to disclose the extent to which they are contributing to global warming and what they are doing to keep it from harming their business.

A growing number of firms, including those in the financial sector, have already set emissions reduction targets because they view global warming as a threat to their bottom lines. Their concerns include a potential shortage of raw materials and supply chain disruptions because of severe weather.

For instance, 95% of Levi Strauss’ offerings are made from cotton. Climate-related water shortages threaten cotton supplies, to say nothing of the tornadoes and floods that could threaten the company's cut-and-sew operations in Bangladesh, Cambodia, Vietnam and other countries. Companies that depend heavily on the goodwill of both consumers and their employees are also sensitive to the issue.

This is a real economy issue. Hence, it ought to be the natural playground of Islamic finance. While the lead has been set by companies in the US, opportunities are spawning for Islamic finance practitioners to create new markets and demonstrate innovativeness as well as creativity by riding on this civic conscious drive. For industrialists, how about coming up with financing facilities for carbon emission reduction schemes? In the emerging economies, how about micro financing and other programs to enable cotton farmers, for example, improve their yield and strengthen their economic position?

Ceres, a Boston-based network of investors, environmental organizations and public interest groups, has petitioned the Securities and Exchange Commission to require companies to report climate change risks as part of their regular financial disclosures. "It is such a material risk that it needs to be moved from off the balance sheets into the formal disclosure that needs to be made," said Ceres president Mindy Lubber. "To build our economy, we need to be looking at all the risks and opportunities related to climate and water and other limited resources that we use to fuel our economy."

Islamic finance practitioners should also be looking at these risks and opportunities and exploring ways to create Shariah-based products that have solid standing in terms of firmly entrenched ethics, values and principles.

US corporations are striving to convince lawmakers that capping greenhouse gas emissions and providing money so that vulnerable countries can adapt to climate change makes economic sense. Those active in Islamic finance could join forces with their conventional finance counterparts to likewise drive home this point to their government leaders so that the next time, meetings such as this week’s turn out to be truly meaningful.


Best regards,
IFN team

Kekuatan Asumsi Ekonomi Islam


Apa yang menjadi kekuatan sentral sistem ekonomi Islam jika dibandingkan dengan sistem ekonomi modern yang ada saat ini? pertanyaan ini mungkin sedikit klise dan sedikit bernuansa narsis, tetapi sangan penting dipahami jawabannya. Karena jawabannya menentukan diferensiasi yang paling jelas di antara keduanya.

Saya secara pribadi berpendapat bahwa kekuatan sentrak sistem keuangan Islam terletak pada asumsi dasar prilaku ekonomi-nya. Dan prilaku ekonomi yang ideal dalam sistem ekonomi ini adalah prilaku ekonomi yang secara tepat menampilkan nilai-nilai akidah ketauhidan yang bersih, menampilkan akhlak Islam yang luhur dan terpuji serta kesungguhan dan konsisten dengan prinsip-prinsip syariah Islam.

Semakin dominan Islam terjelma dalam prilaku ekonomi serta semakin masif prilaku itu dalam sebuah perekonomian, maka akan semakin terlihat jelas keunggulan dan kekuatan sistem ekonomi Islam.

Prilaku yang betul-betul dilandasi oleh keyakinan bahwa harta adalah amanah Tuhan, bahwa harta adalah alat untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, bahwa penilaian kesuksesan hanya ada setelah kematian, tentu akan merubah wajah ekonomi modern saat ini. nilai-nilai pergaulan yang mengedepankan materialisme akan digantikan dengan nilai-nilai kemanfaatan dan semangat perlombaan kebajikan. Pribadi-pribadi individual akan digeser oleh pribadi-pribadi sosial yang semakin menguatkan kekolektifan dan kebersamaan.

Dari fenomena-fenomena seperti inilah teori ekonomi Islam akan semakin terbangun dan dikuatkan. Teori-teori ekonomi akan berlandaskan pada asumsi-asumsi ekonomi yang berbeda. Terlebih lagi syariat Islam melengkapi dengan memberikan pedoman spesifik yang cukup khas dalam setiap aspek interaksi ekonomi.

Oleh sebab itu, menjadi tugas kita bersama mewujudkan asumsi-asumsi ekonomi itu, mewujudkan prilaku ekonomi yang penuh dengan nilai-nilai Islam yang suci dan mulia. Mari kita mulai, mulai dari yang kecil, rutinkan infak dan sedekah, agar zakat dan wakaf menjadi ringan bagi kita, agar kelak harta berapapun jumlahnya hanya seonggok harta yang tak bermanfaat kecuali ia memberikan “kehidupan” bagi manusia yang mengenalnya.

Mari mulakan kampanye gaya hidup sederhana bagi diri sendiri dan berfoya-foya pada amal shaleh. Perhatikan pakaianmu, makan dan minummu, rumahmu, pastikan semua hanya melayani kebutuhanmu, bukan nafsumu.

Asumsi dasar ekonomi ini akan tertanam pada manusia melalui pendidikan yang tepat, pembinaan yang tertata dan terkelola dengan baik. Oleh sebab itu, peran para alim ulama, cerdik pandai dalam menanamkan akidah dan akhlak menjadi cukup vital bagi kesuksesan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem yang ingin diaplikasikan.

Memahamkan kepada manusia tentang Islam, tentang Tuhan, perangkat-perangkat agama seperti Nabi, Kitab dan Akhirat serta hakikat kemanusiaan menjadi pembuka bagi terbangunnya pondasi kuat sistem ekonomi Islam. Ya keyakinan pada Islam harus dibangun segera.

Kepada siapa saja pemerhati dan pecinta amal ekonomi Islam, segera cari majelis-majelis akidah dan akhlak dan tekun membenamkan Islam pada diri dan jiwamu. Majelis-majelis itu bukan hanya menjadi majelis ilmu yang semakin meluhurkan budi pekerti dan meluaskan keilmuan, tetapi juga menjadi majelis yang merapatkan shaf bagi gerakan kebajikan. Majelis-majelis itu akan menyatukan langkah dan memasifkan prilaku ekonomi Islam. Kaji bersama, amalkan bersama!

Jika hal ini dapat tercipta, maka kita semua bukan hanya akan melihat sebuah bangunan baru ekonomi tetapi juga generasi baru peradaban. Karena memang bangunan ekonomi itu dibangun oleh prilaku-prilaku baru dari generasi yang baru.

Sekali lagi, mari hidupkan dan panuhi majelis-majelis ilmu dan ukhuwah. Jangan biarkan diri kita menjadi pejuang-pejuang kesepian, yang harum namanya tetapi tak mampu merubah apa-apa. Yang mampu merubah adalah sebuah amal bersama...

Mari Berhitung...

Mari berhitung-hitung dosa yang sudah kita lakukan sepanjang jalan hidup ini.




  1. Dosa kepada Allah, karena menempatkan-Nya hanya sekedar tempat mengadu dan berkeluh kesah atau bahkan tak pernah mengakui keberadaan dan kebesarannya di hati dan jiwa.


  2. Dosa kepada diri sendiri yang kita lakukan ketika kita sendirian.


  3. Dosa kepada anak-anak kita, karena sering memarahinya tanpa alasan yang jelas atau sekedar tidak mampu menahan emosi karena belitan masalah-masalah lain.


  4. Dosa kepada istri, kesetiaan dan kesabarannya harus kita balas dengan senym kecut dan sindiran-sindiran atau perintah-perintah yang seenaknya.


  5. Dosa kepada orang tua, rasanya semua sisi pergaulan kita dengan mereka meninggalkan jejak dosa yang terlalu banyak untuk dilisankan disini.


  6. Dosa kepada mertua, karena tidak memberikan hormat selayaknya orang tua sendiri atau prilaku lainnya yang menyakitkan.


  7. Dosa kepada adik, karena tidak memberikan contoh atau membantu ketika mereka membutuhkan.


  8. Dosa kepada kakak, karena tidak menjadi adik yang baik selama ini.


  9. Dosa kepada keluarga dan kerabat, karena telah sekian lama tidak mempu membantu dan menjadi beban serta merusak nama baik keluarga.


  10. Dosa kepada kawan dan sahabat, karena tidak memberikan nasehat atau bantuan atau mengajak pada kebaikan yang mampu mengekalkan persahabatan.


  11. Dosa kepada tetangga, karena tak ada hari tanpa pergunjingan tentang mereka dari lisan-lisan kita, atau sekedar tak pernah mau tahu kalau mereka itu tetangga.


  12. Dosa kepada ummat, karena telah sekian lama kita hanya asyik dengan diri kita sendiri.


  13. Dosa ... dosa... dosa... mungkin tak cukup tulisan menggambarkan banyaknya dosa kita ini...


Bagaimana jika kita hitung dosa di atas itu berdasarkan pelakunya, mungkin akan kita sadari lagi, bahwa dosa kita memang sudah tak dapat dihitung-hitung, misalnya:





  1. Dosa mata kita kepada; Allah, diri sendiri, anak, istri, orang tua, mertua, adik, kakak dan seterusnya.


  2. Dosa lisan kita kepada;...


  3. Dosa tangan kita kepada;...


  4. Dosa masing-masing anggota tubuh kita pada masing-masing manusia yang kita kenal atau semua penghuni alam semesta...


Apakah semua itu sudah kita mintakan pegampunannya dari Tuhan, meminta maaf kepada mereka yang merasakan mudharatnya kita, dan kemudian tunjukkan dengan amal-amal kebajikan sebagai bentuk kesungguhan dari taubat dan permohonan maaf kita, sehingga langit menyirami hati kita dengan kesejukan dan ketentraman. Dengan begitu semua penghuni langit bershalawat merdu atas diri kita, dan penghuni bumi pun semakin rela dengan kehadiran kita di tengah-tengah mereka.

Duhai diri, boleh jadi tak ada pahala yang mampu menghapusnya kecuali hanya kasih sayang-Nya...

ketentraman dan semangat masjid...

setiap kali ingin melangkah ke rumah-Mu, berat rasanya beban di hati. tetapi setiap kali pulang dari rumah-Mu selalu ada ketentraman dan semangat baru....

Rabu, 23 September 2009

Ramadhan Kareem, Eid Mubarak


Assalamu’alaikum Wr.Wb.

“Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan Syuhada, tapi para Nabi dan Syuhada iri kepada mereka.” Ketika ditanya oleh para sahabat siapa mereka, Rasulullah menjawab, “mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah dan saling berkunjung karena Allah.” (HR Tirmidzi).

Bapak-Ibu, Saudaraku Yang dikasihi Allah,

Semoga email ini sampai kepada Bapak-Ibu ibarat kunjungan yang dimaksudkan oleh Sunnah Nabi. Dan dikunjungan ini kami hanya ingin memohon dibukakan pintu maaf atas kesalahan, kekhilafan dan kealpaan kami selama itu. Semoga kita semua sampai di penghujung Ramadhan dengan gelar yang tertinggi, yaitu manusia yang dirahmati, manusia yang diampuni dosanya dan manusia yang akan bebas dari api neraka. Ramadhan Kareem, Eid Mubarak.


Ali Sakti

Minggu, 13 September 2009

Pesta Pora Hedonisme Ramadhan

Tersenyum aku disela renungan ringan i’tikafku, aku membayangkan jika kegilaan dunia ini berhasil menyeret kesantunan agama masuk dalam arus gegap gempita hedonisme, bayangkan jika prosesi peribadahan ternyata menjadi kemasan-kemasan industri.

Bayangannya jadi mengusikku untuk tersenyum. Bayangannya jadi seperti ini; para ustadz tidak sekedar tokoh tauladan yang memberikan tuntunan, tetapi sudah menjadi selebriti sebagai ikon tontonan, haji bukan hanya ibadah wajib bagi mereka yang mampu, tetapi sudah menjadi destinasi wisata dan simbol status sosial, Ramadhan tidak sekedar menjadi bulan untuk pembersihan jiwa dan perbaikan kualitas ibadah, tetapi menjadi periode menjustifikasi prilaku malas pada siang dan foya-foya pada malamnya.

Bagaimana dengan i’tikaf? Aku membayangkan suatu saat nanti mungkin masjid akan juga menjadi bagian dalam hiruk-pikuk industrialisasi, dimana masjid memiliki space dan rate tersendiri bagi orang kaya yang ingin beri’tikaf. Duh Allah yang Maha Suci, memang kemuliaan-Mu tidak akan pernah berkurang sedikitpun jikalau semua makhlukmu bermaksiat dihadapan-Mu tetapi aku tidak rela melihat Engkau diperlakukan seperti itu. Semua prosesi pengabdian dan peribadahan kepada-Mu sekedar produk-produk dagangan dengan kemasan-kemasan spiritual.

Satu Doa yang Menembus Langit


Malam ini sambil menatap langit bersih di atas sana, aku berbisik dalam benakku, “aku hanya berharap dari ribuan bait doa yang kulantunkan dari lisanku sejak awal Ramadhan, ada satu doa yang mampu menembus langit sampai ke Aras dan haribaan Allahku yang Maha Penyayang, bait doa pengampunan... aku tidak butuh yang lain, aku hanya butuh pengampunan...

Kamis, 10 September 2009

Lailatul Qadar Hunter




menikmati malam dengan kantuknya, sesekali badan terhentak-hentak hingga tak sadar mushaf Qur'an terjatuh dari genggaman. kalimat yang keluar dari lisan tidak lain hanya dzikir, doa dan bacaan-bacaan Qur'an. badanpun berdiri hanya untuk shalat dan hajat-hajat syariat. berjibaku raga dan jiwa untuk memastikan malam "dilahap" tanpa sisa. inilah kerja keras seorang pemburu malam seribu bulan...

I'TIKAF TIME!!!


SAATNYA BERKHALWAT DENGAN ALLAH SWT! MALAM INI DAN 9 MALAM SETELAH INI ADALAH MALAM UNTUK ALLAH! MALAM INI DAN MALAM-MALAM SELANJUTNYA ADALAH SAAT MEMASUKI BILIK-BILIK PRIBADI PERENUNGAN DAN PERMOHONAN.. HANYA ANTARA KITA DAN ALLAH!!!

Selasa, 08 September 2009

Ekonomi Islam: Logika Langit & Logika Bumi

Pernahkah terfikirkan oleh kita bahwa rezeki yang terbatas merupakan kesengajaan Allah bagi kita sebagai sebuah tanda kasih sayang-Nya yang teramat dalam. Bahwa karir tidak pernah setinggi orang lain, rumah tidak pernah semegah tetangga sebelah, juga merupakan simbol kasih sayang yang teramat mulia dari Tuhan.

Tuhan seakan ingin mengatakan; Aku tidak ingin perhatianmu terbagi pada kekayaanmu, pada kesibukan karirmu, pada kemegahan rumahmu, atau apa saja yang bisa menjadi “saingan”-Ku. Tuhan ingin keutuhan konsentrasimu pada Tuhan dan jalan-jalan menuju pada-Nya.

Ya, kasih sayang Tuhan sebenarnya selalu bersama kita, tetapi ironisnya kita selalunya meronta dari “pelukan” kasih sayang itu. Lebih percaya dengan nafsu yang selalu lapar terhadap kenikmatan-kenikmatan.

Nah, unsur penting dalam ekonomi Islam salah satunya adalah keyakinan pada kasih sayang Tuhan ini. keyakinan bahwa Allah-lah yang berkuasa menentukan hasil dari semua upaya keras kita dalam kerja-kerja ekonomi. Dengan keyakinan ini maka logika-logika ekonomi modern sebagai rasionalitasnya boleh jadi tidak lagi relevan.

Dengan keyakinan ini, logika-logika yang berlaku adalah kombinasi logika langit dan logika bumi. Kita tahu bahwa bekerja akan membuka pintu rizki, tetapi keyakinan pada logika itu juga diikuti oleh logika langit yang mengatakan bahwa sedekah akan membuka pintu rizki berlipat ganda.

Dengan demikian, sepatutnya logika kesuksesan ekonomi juga mengkombinasi dua jenis logika ini; logika langit dan logika bumi.

Orang Kaya dan Orang Miskin yang Mulia


Membaca opini pembaca dalam Detik.Com tentang pengemis, menarik bagi saya untuk ikut merenungkan dan berkomentar tentang fenomena itu. Mengemis idealnya merupakan sebuah keterdesakan dari suatu kondisi ekonomi yang tidak kondusif. Mengemis sangat tidak pantas menjadi sebuah pilihan kerja atau bahkan menjadi sebuah profesi yang kemudian memiliki ruang tersendiri dalam industri.

Namun memang harus diakui bahwa sektor sosial akhir-akhir ini sedikit demi sedikit blended dalam sektor komersil, dimana sektor sosial perlahan menjadi sub-sektor dalam perekonomian. lihat saja bagaimana belas kasihan masyarakat akhirnya menemukan produk-produknya di pasar sosial; pengemis, gelandangan, tuna wisma dan lain sebagainya.

Alih-alih dihindari, mengemis bahkan menjadi sebuah profesi (kalau tidak mau disebut sebuah karir) yang menjanjikan penghasilan dengan tingkat produktifitas yang relatif tinggi. Rasio cost-benefit-nya boleh jadi cukup tinggi. Pasarnya pun kini berkembang, dari kemasan mengemis yang semakin “berkualitas” dan bervariasi, sampai pasar yang memiliki musim tertentu seperti hari-hari keagamaan; Ramadhan, Hari Raya, Jum’atan dan lain-lain. Akhirnya mengemis layaknya industri bendera dengan agustusannya atau industri spanduk dengan pemilunya.

Bagaimana sebenarnya kedudukan mengemis ini dalam Islam? Sebuah kewajarankah? Atau memang ia tidak boleh ada? Banyaknya dalil-dalil Qur’an dan Sunnah yang menyampaikan kehinaan orang yang selalu menadahkan tangan menghiba untuk kelangsungan hidupnya, seakan telah menjawab pertanyaan diatas. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena orang yang papa boleh jadi bukan karena hasil kemalasan, tetapi betul-betul sebuah keterdesakan dimana dia tidak memiliki pilihan.

Mereka yang terlahir tidak memiliki sanak-famili atau mereka yang hari tuanya tidak memiliki siapa-siapa tentu kemiskinan menjadi keniscayaan baginya. Dan sektor sosial Islam dengan Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf-nya ada untuk golongan seperti ini. Sampai-sampai Nabi “mengancam”, tidak beriman mereka yang bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan.

Penjagaan manusia dari masalah ekonomi pada dasarnya adalah upaya pemeliharaan fungsi manusia agar terjaga kewajibannya sebagai hamba Tuhan, yaitu beribadah kepada-Nya. Sahabat Nabi Umar bin Khatab mengatakan; “aku sebagai pemimpin negara bertugas untuk menjaga semua warga terpenuhi kebutuhan dasarnya. Akan aku gunakan zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, jika tidak cukup akan aku gunakan harta fay’ (harta/penerimaan negara selain zakat), jika tidak cukup maka akan aku pungut pajak (nawaib) dari para orang kaya, jikapun itu tidak cukup akan aku kumpulkan semua harta di negara ini dan kubagikan kepada semua warga sama rata.”

Sementara itu bagi mereka yang masih memiliki tenaga dan upaya sepatutnya diberikan peluang atau kesempatan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Negaralah yang memiliki kewajiban itu. Dalam Islam distribusi zakat pada para orang fakir miskin (mustahik) selalu diikuti dengan program memperkerjakan mereka, seperti menjadi guru yang mengajarkan baca tulis, membuat saluran irigasi dan lain-lain.

Namun yang tidak kalah penting dari upaya-upaya teknis ekonomi itu adalah upaya mengajarkan akidah dan akhlak Islam yang mulia bagi semua warga baik mereka yang kaya maupun yang miskin. Nilai-nilai akidah dan akhlak Islam akan membuat proses sektor sosial akan berjalan lebih lancar tanpa perlu negara secara dominan berperan.

Dengan nilai akidah dan akhlak Islam diharapkan orang-orang kaya tahu tanggung jawabnya sebagai manusia yang ingin mulia di mata Allah, yang juga selalu memberikan kemanfaatan dan hak mereka yang kekurangan. Dengan akidah dan akhlak Islam, manusia-manusia kaya yang terbentuk adalah manusia-manusia yang zuhud dengan harta kekayaannya.

Banyak ulama yang menasehati agar manusia-manusia kaya waspada terhadap keadaan kecukupan yang dimilikinya, karena risikonya jauh lebih dahsyat dari manusia yang miskin. Seorang ulama mengatakan risiko bermaksiat dari orang yang bergelimang kemegahan harta itu lebih besar dari mereka yang papa.

Sementara itu, dengan akidah dan akhlak Islam, manusia-manusia miskin memahami betul risiko dan keistimewaan kondisi tersebut. Diharapkan manusia miskin memahami risiko kefakirannya dekat dengan kekufuran, tetapi didalam kemiskinan juga memiliki keistimewaan yang tidak kalah mulianya, seperti pesan Nabi, dimana nanti di akhirat ada manusia yang utama dan pertama masuk syurga yaitu golongan orang miskin yang istiqomah dengan agamanya.

Maksudnya, diharapkan dengan nilai akidah dan akhlak Islam, manusia miskin yang tercipta adalah masyarakat msikin yang qona’ah (merasa cukup dengan rizki yang diberikan Allah baginya) dengan keadaannya. Dengan begitu manusia-manusia miskin tetap akan menjaga harga diri dan kehormatannya, dan mengemis menjadi sesuatu yang hina bagi mereka.

Akhirnya, saya memahami bahwa kondisi kaya dan miskin adalah sebuah kehendak Tuhan dimana terdapat kemuliaan pada keduanya. Dua kondisi ini menjadi peluang bagi keduanya untuk menjadi mulia dimata Allah.

Konsep Hidup: Adakah Pensiun dalam Islam?

Konsep hidup untuk masa tua yang terbungkus dalam kata pensiun, tak jarang menyesatkan kita. Kata pensiun cenderung memberikan kesan pasif, dimana manusia pensiun adalah manusia yang hari-harinya penuh dengan waktu rehat dan penikmatan-penikmatan sisa-sisa hidup.

Masa tua yang pensiun identik dengan kehidupan yang tenang, waktu canda untuk cucu, wisata ke pelosok daerah, menikmati simpanan hari tua, adalah kesan yang tak terpisahkan dengan masa pensiun. citra yang kemudian menjadi keyakinan seseorang dalam tahapan hidupnya.

Untuk yang satu ini, saya ingin katakan bahwa konsep hidup ini salah. konsep hidup Islam tidak sepatutnya seperti itu. Nabi memperlihatkan sebuah konsep hidup tua yang jauh dari kesan di atas. 13 tahun setelah usia kenabian (40 tahun) penuh dengan perjuangan mengenalkan Islam, bahkan penuh dengan perjuangan dan pengorbanan.

Artinya usia 53 tahun Beliau baru menyelesaikan satu tahap kerja dasar dakwah, yaitu membentuk pondasi Islam berupa pembentukan manusia-manusia Islam yang unggul. Menanamkan nilai-nilai akidah dan akhlak Islam, yang mampu merubah individu jahiliyah menjadi manusia mulia sepanjang sejarah kemanusiaan.

setelah itu 10 tahun atau usia 53 hingga 63 tahun kehidupan beliau diisi dengan kerja keras menyebarkan Islam, melalui dakwah yang meluas berupa pembentukan peradaban Islam, melalui berpuluh-puluh peperangan, dan berbagai bentuk pengorbanan. Lihatlah, adakah konsep pensiun yang selama ini kita kenal dalam kehidupan modern pada diri Beliau?

Kalau dalih kita mengatakan; loh kan itu Nabi. Tegaskan lagi referensi kita dengan cerita-cerita hidup sahabat-sahabat Beliau. Insya Allah, kita tidak akan temukan konsep hidup pensiun itu. Seorang Khalid bin Walid, si Pedang Allah saja sampai menangis meratapi nasibnya yang sekarat di atas pembaringan, bukan di medan perjuangan, di tengah debu medan jihad tempat kematian yang paling mulia. Tempat yang mencerminkan akhir kehidupan di puncak perjuangan hidup.

Konsep hidup inilah yang seharusnya kita kenal. Mari hidupkan kembali gaya hidup ini. dengan begitu kita akan hidupkan kembali generasi tua yang tidak lagi tersisih dari hiruk pikuk kehidupan. Tetapi generasi yang ada di puncak sistem sosial kemanusiaan, menjadi referensi kebijaksanaan (wisdom), menjadi inspirasi kebaikan, menjadi pembina generasi muda yang bersemangat dan dinamis, menjadi penjaga kelurusan akidah dan akhlak semua manusia dan peradabannya. wallahu a'lam.

Senin, 07 September 2009

Konsep Hidup: Sebuah Muhasabah Diri

Rambut-rambut putih sudah terlihat jelas dikepalaku. Staminaku pun tidak seperti dulu lagi, mudah letih dan tidak cukup mobile seperti dahulu. Beberapa kesadaran mulai muncul pada tahapan hidup saat ini, bahwa ada peralihan bentuk, intensitas dan konsentrasi dari kerja-kerja yang aku lakukan, baik kerja untuk kepentingan diriku dan keluargaku maupun kerja-kerja kebaikan yang sudah kutekuni dalam keislaman ini.

Sebuah konsep hidup. Itu yang terpikir sejak dini hari tadi. Konsep hidup harus jelas dalam Islam ini. prinsip-prinsip di dalamnya harus dipahami dengan baik, dan langkah-langkahnya juga harus diketahui, terencana, sistematis dan terukur. Dengan begitu optimalisasi hidup dan kehidupanku akan (mungkin) lebih optimal.

Dahulu aku yakin bahwa kehendak Tuhanlah yang pantas menjadi arah hidupku, sehingga aku tidak begitu percaya atau perhatian pada perencanaan hidup. Karena boleh jadi perencanaan hidup lebih didominasi oleh harapan-harapan yang lebih mengedepankan mauku bukan mau Tuhan terhadapku. Belajar dari banyak harapanku yang tidak ketemu dengan kenyataan, mendidikku untuk menyerahkan semua jalan masa depan pada Tuhan.

Tetapi kini, setelah perlahan aku tahu kemana hidup ini akan menuju dan menjadi, rasanya pembenahan hidup dan penataan langkah harus dilakukan, agar sisa hidupku menjadi lebih bermanfaat. Aku membutuhkan peta jalan berikut langkah-langkah strategis untuk menapakinya. Aku sudah tahu tujuanku, misiku dan kendaraanku, tetapi aku butuh tahu bagaimana cara menuju tujuan itu dan langkah-langkah strategis macam apa yang sesuai dengan kemampuanku. Kembali lagi, aku butuh konsep hidup.

***

Remaja
Masa ini adalah masa persimpangan jalan, harus aku akui lingkungan disekitarku sangat dominan mengarahkan aku pada banyak pilihan arah hidup. Dan Alhamdulillah, aku sudah ditakdirkan untuk mendapatkan kesadaran Islam pada masa ini. Tetapi masa-masa remaja ini pada hakikatnya adalah masa persiapan bagiku untuk membentuk diri. Semangat dan militansi remaja yang ternyata berada dalam kesibukan-kesibukan Islam, membuatku memiliki kebiasaan-kebiasaan dan kenyamanan-kenyamanan tersendiri yang sangat berguna bagi pembentukan karakterku pada tahapan hidup selanjutnya.

Mahasiswa
Tarikan menarik antara godaan gaya hidup, ujian, dinamika orang muda dengan idealisme pada masa remaja, telah membuatku terombang-ambing dalam ketidakpastian. Tidak pasti kemana karakter diri akan terbentuk, tidak jelas gaya hidup seperti apa yang aku anut, sehingga persimpangan jalan masa remaja masih terasa diawal sampai dengan pertengahan masa mahasiswaku. Aku masih bersyukur, Tuhan masih sayang padaku sehingga atas kehendak-Nya-lah, aku masih diperkenankan bertemu dengan komunitas-komunitas kebaikan dan masih ditakdirkan melakukan kerja-kerja kebaikan, meskipun disela-selanya aku masih mencuri-curi waktu untuk “berkhianat” pada kehendak Tuhan.

Diakhir-akhir masa mahasiswaku, Tuhan berikan pelajaran berharga padaku. Pelajaran berserah diri pada kehendak-Nya secara total. Pelajaran yang membuatku yakin bahwa skenario Tuhan adalah salah satu prinsip dasar dalam menjalani kehidupan. Sehingga pada masa tahapan hidup inilah aku berhenti memanjangkan angan-angan. Aku jadi mengerti nuansa emosi Emha Ainun Najib ketika melantunkan syair; “...hidupku hanyalah memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...” Hidupku adalah mau Tuhan. Tidak ada itu mauku, tidak ada itu ambisi, tidak ada itu cita-cita, karena “hidupku adalah kosong dan hampa...” menyitir kembali syair Emha.

Saat Ini: Awal Pengabdian dan Kontribusi
Dengan bekal pelajaran diakhir masa tahapan hidup mahasiswa itulah kini aku menjadi seperti ini. menjadi tidak begitu perhatian pada arah masa depan, karena aku yakin Tuhan sudah mempersiapkannya untukku. Namun ternyata kehidupan tidak berjalan pada satu bingkai saja yaitu kebaikan-kebaikan. Kehidupan juga memiliki cobaan-cobaan dan ujian atau bahkan teguran-teguran Tuhan, yang membuatku tak jarang jatuh terjerembab atau bahkan terhempas dengan sedemikian kerasnya. Kalau sudah seperti itu aku tidak punya pilihan lain kecuali menangis dalam istighfar dan meohon belas kasihan Tuhan dalam pertaubatan. Karenanya tidak jarang pula semangat hidupku sampai pada titik hampa yang membuatku frustasi dan letih.

Jika itu terjadi, aku selalu tersenyum, karena sekejap kemudian pasti Tuhan sodorkan aku “hiburan” berupa kerja-kerja kebaikan yang seakan-akan memberiku tanda bahwa aku masih dipercaya oleh-Nya untuk ada dijalan kebaikan, bersama orang-orang yang baik. Duh Allah nan Agung, jangan berikan aku pilihan-pilihan yang membingungkan, beritahu saja aku apa-apa yang harus aku kerjakan sebagai hamba-Mu, sebagai makhluk-Mu, sebagai budak-Mu.

***

Belajar dari tiga masa hidup yang telah aku lewati dan memasuki masa-masa pengabdian total sebagai seorang manusia, aku harus mulai dengan istighfar dan taubat. Aku ingin mulai dengan sesuatu yang baru yang selama ini aku tidak pernah lakukan, yaitu berencana! Merencanakan hidupku, merencanakan strategi apa yang aku harus pakai, karena kini aku sudah tahu apa fungsiku sebagai hamba Tuhan.

Aku harus punya rencana bagi diriku, bagi anak dan istriku, bagi semua amanah yang sedang aku emban dan hari-hari selanjutnya menuju pada puncak kehidupan yaitu kematian! Aku ingin menyambut kematian nanti dengan kelapangan dada, menyambutnya dengan senyum yang lega.

Fungsi hidupku tetap pada penghambaan pada Tuhan, disetiap waktu dan tempat sampai kapanpun, sampai amanah untuk hidup dicabut dariku. Fungsi ini telah kupahami sejak pertama aku mulai memahami Islam. Prinsip hidup yang dominan kupegang adalah menjadi sebaik-baik manusia sesuai dengan kemampuanku, yaitu membuat manusia lain merasakan sebanyak mungkin kemanfaatanku. Mereka itu istri dan anakku, keluargaku, handai-taulan dan semua manusia yang menjadi lingkungan hidupku.

Kini kuyakini misiku kedepan disamping memaksimalkan kebaikanku adalah membentuk sebanyak mungkin manusia-manusia baik, karena dengan begitu lingkunganku akan semakin kondusif untuk menjaga diriku sendiri agar tetap berada dalam kebaikan. Karena mengandalkan keimanan dan idealismeku aku tidak sanggup menahan hujaman godaan syetan yang datang bagai hujan badai. Kalaupun aku gagal, aku coba yakinkan diriku untuk tidak pernah bosan melantunkan istighfar dan taubat.

Hartaku, tenagaku dan waktuku hanyalah untuk kebaikan. Zakatku harus secara disiplin membersihkan setiap keping harta yang diamanahkan padaku. Infak dan sedekahku harus optimal menghiasi hartaku yang telah bersih dan memperindah karakterku sebagai manusia. Setiap keping hartaku aku rencanakan dan aku upayakan memberikan manfaat bagiku, keluargaku dan lingkunganku.

Tenaga dan waktuku sebanyak-banyaknya kurencanakan untuk mengerjakan dan menyebarkan kebaikan. Khususnya membentuk dan mengajak sebanyak mungkin manusia-manusia baik. Sampai kebaikan menjadi gelombang berupa manusia baik berikut amal kebaikannya. Gelombang yang akan membersihkan dunia.

Dan aku ingin kerjakan semua itu sampai hembusan terakhir nafas kehidupanku, sehingga kematian menjadi klimaks kehidupanku. Kematianku menjadi sesuatu yang kutunggu-tunggu dan kurindu. Kematian menjadi puncak kerinduan yang mempertemukan harapan dengan kenyataannya. Tetapi agar ia menjadi sesuatu yang kutunggu, aku harus pastikan jalan menuju kesana adalah jalan yang penuh dengan kebaikan.

Ini semua adalah rencana dari manusia yang pastinya penuh dengan kelemahan. Oleh sebab itu, aku sangat bermohon pada Tuhan, berikan aku kekuatan jiwa dan hati untuk konsisten dalam kebaikan. Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit qulubana ‘Aladdiinika... ya Allah yang Maha Berkuasa berikan aku akhir yang baik... hidupku hanyalah memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...

Kamis, 03 September 2009

Looking Pretty Good Sukuk

Dear Ali Sakti,

Many reports have been published on the state of the Sukuk market since the global economic crisis, portraying a bleak future. By late last year, most market players in the industry agreed that Sukuk issuances were almost at a standstill.

Sukuk defaults have not helped to forward the Islamic bond market. However, Standard & Poor’s credit analyst Mohamed Damak said that “although the defaults influenced the slowdown of Sukuk issuances, they inadvertently provided the market with useful information on how Sukuk will behave following a default”.

In its latest report, Standard & Poor’s Rating Services revealed that new Sukuk issuances had dropped to over US$9 billion in the first seven months of the year compared with US$11.1 billion during the same period last year.

Still, the Sukuk market did show signs of recovery in April with Indonesia’s Global Sukuk of US$650 million, making it the largest dollar-denominated Sukuk outside the GCC. It was also the first benchmark for a dollar-denominated Sukuk in Asia since 2007. This sovereign Sukuk whetted investors’ appetites, judging by the oversubscription of seven times to the tune of US$3 billion. Malaysia followed suit, overtaking the most populous Muslim country when the central bank, Bank Negara Malaysia, issued its US$2.5 billion Retail Saving Sukuk, a savings investment scheme for the public. This was followed by its Terengganu Investment Authority Sukuk for US$1.4 billion.

In the Middle East, the Saudi Electricity Company’s US$1.86 billion Sukuk was three times oversubscribed, while the Central Bank of Bahrain’s Sukuk was increased to US$750 million from US$500 million and oversubscribed eight times. Investors were clearly into safe investments as all the Sukuk were sovereign issuances. Kuwait Finance Centre (Markaz) head of research M R Raghu said the timing was perfect for corporates to explore the Sukuk opportunity more closely as an option, especially with the decline in bank lending and with equity shareholders unwilling to participate in recapitalization exercises. He was confident that investors would be attracted to companies with good balance sheets.

Taking heed was Malaysia’s national oil and gas company Petroliam Nasional (Petronas) when it issued its US$1.5 billion Global Sukuk. Not only was the first corporate Sukuk of the year oversubscribed, the majority of investors were from Asia, dispelling any theory that liquidity had dried up in the region. Standard & Poor’s report supports the strong demand in Asia. It stated that Malaysia took the lead as the major country of issuance for Sukuk, accounting for about 45% of total issuances in the first seven months of 2009. Saudi Arabia contributed 22% of the Sukuk issued during the same period.

Fischer Francis Trees & Watts emerging markets and Islamic investments director Rafael Martinez Dalmau believes that the Sukuk market has taken the lead in the Islamic finance industry because nothing else can be traded as actively as a Sukuk. The absence of a Sukuk market, he says, will stifle the growth of Islamic finance in the global context of a developed market. “Governments issuing sovereign Sukuk will be the way forward,” predicts Dalmau. As the dust settles from the chaos of the global financial crisis, the Sukuk market is looking to take center stage in the Islamic finance industry. How soon it will happen, only time will tell.

Best regards,
IFN team

Rabu, 02 September 2009

SAVE OUR DEVISA!!!


negara ini negara besar, kemampuan ekonominya, kapasitas serap pasarnya, kekayaan sumberdayanya, jadi kemandirian ekonomi mutlak harus kita wujudkan!


kemandirian ekonomi bukan hanya menawarkan kesejahteraan tetapi juga akan menjaga kehormatan negara dan bangsa. kemandirian ekonomi adalah media agar Indonesia menjadi teladan bagi dunia.


dalam ekonomi hal yang paling mudah untuk dirubah untuk mendapatkan satu bangunan ekonomi tertentu adalah melalui perubahan preferensi, melalui pembentukan kecenderungan berproduksi dan konsumsi.


kepada siapa saja yang concern dengan kemandirian ini, mari sedikit care dengan ekonomi negeri ini, mari sedikit sensitif terhadap preferensi ekonomi kita, cintai produk negeri ini lebih dari yang selama ini kita miliki. tahapannya mudah saja:


  1. identifikasi kebutuhan ekonomi kita,

  2. identifikasi produk-produk dalam negeri yang bisa memenuhi kebutuhan itu,

  3. identifikasi pasar-pasar nasional-tradisional yang menyediakan barangan itu, dan

  4. kemudian disiplinlah dengan menggunakan produk dalam negeri.

silakan lihat barang yang kita kenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki, pastikan semua produk dalam negeri; kerudung, topi, minyak rambut, shampoo, sabun mandi, baju dalam, kemeja, T-shirt, dasi, pulpen, ikat pinggang, celana panjang, kaus kaki, sepatu, sendal, tas...



selanjutnya, pastikan makanan kita berasal dari makanan lokal atau makanan yang tidak harus membayar royalti bagi orang asing di luar sana. pastikan kita beli dari tempat-tempat atau pasar yang dimiliki asli indonesia...



memang tidak semua barang Indonesia mampu produksi, tetapi upaya ini tetap harus dilakukan, karena kemandirian membutuhkan ikhtiar, membutuhkan kesungguhan dan pengorbanan...



!!! lakukan sesuai dengan kemampuan... :)



Save Our Devisa Campaign

sekedar renungan pagi...

Cinta kepada agama sebenarnya refleksi dari cinta pada hidup dan kehidupan. Cinta ini untuk mempertahankan eksistensi diri yang sudah dianugerahkan Tuhan. Tuhan telah mengumpulkan materi-materi alam, dzat-dzat mati yang kemudian secara kolektif mampu mengidupkan mekanisme badan, kemudian dikombinasikan dengan tiupan ruh, yang membuat kita memiliki emosi dan rasa, memiliki budi dan cinta.

Setelah itu semua, ternyata kita tidak memberikan apa-apa pada Tuhan, bahkan ada yang tidak mengakui keberadaan-Nya. Semua sibuk dengan diri dan kepentingannya, seakan-akan dirinya adalah pusat sejarah dan alam semesta.

Sementara itu saya sendiri masih sering terpaku menyaksikan semua manusia dan segala prilaku. Meskipun tidak jarang saya larut dalam irama kehidupan yang penuh dengan kesia-siaan.

Sekedar renungan pagi...

Selasa, 01 September 2009

Commodity Murabahah dan Implikasinya dalam Perekonomian

Sofistikasi produk keuangan syariah modern saat ini khususnya di wilayah negara-negara Timur Tengah dan Malaysia, terkonsentrasi pada produk-produk seperti commodity murabaha/tawarruq, bay’ al inah atau, bay’ al dayn. Namun produk tersebut menimbulkan kontroversi dikalangan pakar khususnya para ulama dan akademisi. Berlandaskan pada maraknya penggunaan produk-produk sejenis itu, para ulama dana akademisi (pakar) fikih dan ekonomi/keuangan banyak yang berpendapat bahwa perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan konvensional. Karena menurut mereka produk-produk itu hakikatnya adalah produk-produk kredit (konvensional).

Mengapa sampai produk-produk seperti itu muncul? Sedikitnya ada dua alasan yang diyakini menjadi sebab mengapa produk-produk seperti ini mengemuka.

  1. Lembaga keuangan syariah relatif masih menghadapi pasar yang blended antara pasar yang syariah dengan pasar konvensional, dimana nasabah mengambang masih dominan. Berdasarkan kondisi ini, praktisi melihat potensi yang cukup besar ada pada pasar nasabah mengambang, sehingga inovasi produk cenderung dilakukan dengan melakukan konversi produk konvensional yang selama ini dikenal pasar. Dengan begitu, produk syariah akan cenderung fleksibel menjadi alternatif produk melayani kebutuhan nasabah. Produk syariah juga tidak memiliki kendala dalam operasional dan promosinya, mengingat produk tersebut merupakan mimicry dari konvensional.
  2. Dalam rekayasa dan inovasi produk terdapat kekeliruan dalam mendefinisikan sektor riil (underlying transaction). Para bankir yang melakukan inovasi produk (product engineering) melakukan rekayasa produk keuangan melalui kamuflase jual-beli, mengingat pengetahuan mereka tentang apa yang boleh dalam syariat adalah transaksi yang ada underlying-nya, dapat berupa jual-beli atau bagi-hasil. Karena transaksi untuk bagi hasil relatif berisiko dan “sukar” untuk direkayasa, maka tidak heran rekayasa produk lebih banyak terjadi pada produk-produk jual-beli. Rekayasa produk bank syariah yang berbasis jual beli akhirnya terfokus pada pemenuhan rukun akad saja, yaitu adanya underlying transaction. Akhirnya underlying trannsaction tidak berfungsi sebagai hakikat atau tujuan transaksi tetapi sekedar menjadi justifikasi atas hakikat atau tujuan sebenarnya dari transaksi itu, yaitu transaksi untuk mendapatkan sejumlah uang (credit transaction). Disamping itu, kelemahan pada sharia aspect khsususnya pada proses perumusan fatwa atau sharia audit membuka peluang berkembangnya rekayasa produk yang hakikatnya hanya produk kamuflase.

Dr. Muhammad Obaidullah, seorang peneliti IRTI-IDB yang juga mantan pelaku pasar keuangan, dalam beberapa artikel dan penjelasannya di beberapa seminar seringkali mengungkapkan keprihatinan beliau tentang kecenderungan ini. Beliau mengatakan bagaimana Islamic scholars lebih mengedepankan pandangan hukumnya dalam mengeluarkan fatwa atau menilai boleh-tidaknya sebuah operasi keuangan atau produk, sehingga penilaiannya sebatas mencari kesesuaian operasi keuangan atau produk-produk itu dengan rukun-rukun akad yang relatif baku.

Yang luput dari penilaian seperti ini adalah hakikat operasi yang sebenarnya dapat terlihat pada implikasi operasi atau produk tersebut pada perekonomian. oleh sebab itu, pemahaman operasional produk dan transmisi ekonomi untuk mengetahui implikasi tadi menjadi penting dalam proses perumusan fatwa atau sharia audit.

Definisi sektor riil yang tadi sempat disinggung sepatutnya konsisten dengan definisi aktifitas atau proses penciptaan barang dan jasa. Sehingga transaksi keuangan syariah khususnya di perbankan syariah yang akhirnya tidak mengakibatkan terjadinya proses penciptaan barang dan jasa, dimana barang dan jasa menjadi fokus transaksi, maka patut diduga transaksi keuangan tersebut hanya transaksi kamuflase.

Identifikasi Riba

Riba dalam aktifitas atau transaksi ekonomi bukan hanya sekedar unsur yang melekat pada aktifitas dan transaksi, dan bisa digugurkan unsur tersebut tanpa merubah hakikat aktifitas atau transaksi. Eksistensi riba dalam suatu aktifitas ekonomi akan membentuk karakteristik tertentu dari aktifitas atau transaksi itu. Dengan kata lain, keberadaan riba dalam suatu aktifitas atau transaksi ekonomi akan memberikan implikasi yang spesifik dalam perekonomian secara umum.

Praktek-praktek teknis pada tingkat produk keuangan dan aktifitas ekonomi lainnya, ketika secara masif dilakukan, praktek-praktek tersebut akan membentuk kecenderungan yang khas dalam perekonomian. Ketika transaksi keuangan menggunakan konsep bunga (riba) maka karakteristik yang terbentuk diantaranya adalah;

(i) uang menjadi komoditi yang diperdagangkan dimana bunga menjadi harga dari sejumlah uang yang di transaksikan;

(ii) pasar keuangan menjadi pasar mandiri yang terpisah (dikotomi) dari pasar utama ekonomi yaitu pasar barang dan jasa (riil);

(iii) bunga menjadi salah satu pemicu terciptanya uang baru dalam sistem;

(iv) potensi terjadinya misalokasi sumberdaya akibat fokus transaksi lebih terkonsentrasi pada transaksi sejumlah uang;

(v) potensi terjadinya ketimpangan ekonomi akibat karakteristik yang lebih menarik pada transaksi-transaksi keuangan, dimana konsep riba menawarkan tingkat keuntungan yang tetap dan pasti.

Dengan alasan ini, pada dasarnya riba dapat diidentifikasi dengan mengenali fenomena-fenomena implikasi dari sebuah aktifitas atau transaksi ekonomi. Hal ini tentu menjadi cara alternatif dan menjadi komplemen dari fiqih sebagai alat untuk mengidentifikasi keberadaan riba dalam suatu transaksi ekonomi.

Dengan demikian, transaksi keuangan syariah akan terjaga kesyariahannya sepanjang aktifitas ekonomi cenderung tidak berimplikasi seperti lima kecenderungan di atas. Penjelasan implikasi aktifitas ekonomi di atas sebenarnya memiliki satu karakteristik kuat dari sebuah transaksi keuangan syariah, yaitu transaksi yang diikuti oleh aktifitas penciptaan barang atau jasa. Sehingga keseimbangan sektor keuangan dan sektor riil menjadi sebuah kemutlakan atau keniscayaan yang sifatnya alamiah. Sederhananya, jika ada transaksi keuangan yang tidak berimplikasi pada penciptaan barang atau jasa, maka patut diduga transaksi tersebut mengandung riba.

Konsep Riba Ibnu Arabi

Pemahaman sektor riil yang bebas riba sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ibnu Arabi, ketika beliau mengatakan jika keuntungan muncul dari transaksi yang tidak mengandung ‘iwad (penulis mencoba memahami ‘iwad ini dengan definisi equal counter value-nya ibnu taiymiah), maka keuntungan transaksi tersebut mengandung riba. Beliau menjelaskan bahwa elemen ‘iwad itu ada tiga, yaitu Ghurmy (ownership risk), Ihktiar (value added) dan Dhaman (liability). Dengan kata lain, keuntungan yang muncul harus diiringi dengan munculnya penciptaan/pengadaan barang atau jasa melalui proses ghurmy, ikhtiar dan dhaman.

Prof. Dr. Saiful Azhar Rosly dalam pembahasan ‘Iwad menyebutkan bahwa profit dalam transaksi jual beli akan dibenarkan jika barang yang ditransaksinya memiliki salah satu elemen ghurmy, ikhtiar atau dhaman. Keberadaan elemen itulah yang membenarkan seorang penjual mengenakan margin, dimana didalamnya mengandung sejumlah keuntungan yang penjual ingin dapatkan. Kondisi inilah yang secara sederhana membedakan esensi transaksi pinjam-meminjam (debt) dengan jual beli (al bay’). Mengambil profit melalui transaksi pinjam-meminjam menjadi dilarang oleh syariah karena menurut Ibnu Arabi tidak memiliki unsur ghurmy dan ikhtiar.

Prinsip yang digariskan Ibnu Arabi ini sangat berguna dalam mengidentifikasi eksistensi praktek riba dalam suatu transaksi keuangan atau ekonomi. Prinsip Ibnu Arabi ini mampu memelihara karakteristik transaksi keuangan syariah melekat dengan aktifitas produktif di sektor riil.
Berdasarkan penjelasan Ibnu Arabi, transaksi ekonomi yang sesuai dengan syariah bukan sekedar ada barang yang diperjual-belikan, tetapi harus menempatkan barang yang diperjual-belikan itu sebagai fokus utama transaksi, bukan hanya justifikasi. Pemahaman inilah yang kemudian membuat definisi sektor riil atau transaksi riil menjadi lebih utuh dan tepat.
Penjelasan ini juga bermaksud menunjukkan bahwa kepentingan sharia compliance hakikatnya sama dengan kepentingan prudential regulation atau tujuan final kebijakan moneter yaitu stabilitas sistem menuju pada pertumbuhan ekonomi yang sustainable. Hal ini juga semakin menegaskan karakteristik alami dari disiplin ilmu Islam khususnya dalam keuangan Islam, yaitu kesatuan hakikat dan tujuan. Tidak ada dikotomi kepentingan dalam aspek-aspek ekonomi dan keuangan. Hanya permasalahan umum saat ini adalah bagaimana mendekatkan aplikasi dan teori

Harapannya industri perbankan syariah Indonesia melalui Bank Indonesia bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional mencoba konsisten dengan hakikat transaksi, dimana selanjutnya diyakini akan memelihara hakikat aktifitas ekonomi Islam, yaitu aktifitas produktif yang selalu melekat pada sektor riil (aktifitas ekonomi riil) dan berkontribusi penuh pada pertumbuhan ekonomi.

Pertimbangan Aspek Makroekonomi

Karakteristik utama dari produk-produk rekayasa seperti commodity murabahah, bay’ al dayn dan bay’ al innah adalah produk yang terdiri atas beberapa akad, dimana produk seperti ini rentan sekali melanggar ketentuan syariah karena akad-akad tersebut saling bergantung (bersyarat). Contohnya produk commodity murabaha untuk pendanaan yang terdiri atas akad; (i) mudharabah muqayada; (ii) spot murabaha ; dan (iii) deferred murabaha. Atau produk bay’ al inah yang terdiri atas; (i) spot murabaha ; dan (ii) deferred murabaha.

Menggunakan alat analisis baik berdasarkan implikasi produk dalam perekonomian maupun konsep ‘iwad Ibnu Arabi, maka produk-produk lembaga keuangan syariah seperti commodity murabaha, bay’ al dayn dan bay’ al innah sesungguhnya merupakan produk rekayasa yang bersifat kamuflase dan identik dengan produk keuangan konvensional. Produk-produk tersebut pada dasarnya menggunakan barang/commodity hanya sebagai justifikasi transaksi kredit. Barang bukanlah fokus utama transaksi, tetapi ia sekedar menjadi pembenaran darii tujuan bertransaksi sejumlah uang.

Khusus produk commodity murabahah, beberapa pertimbangan akan menjadi sangat penting dalam menentukan apakah produk tersebut dapat dioperasionalkan dalam industri perbankan syariah nasional.

  1. Kepentingan stabilitas makroekonomi; produk keuangan commodity murabahah yang tidak berimplikasi pada penciptaan barang baru, tentu akan memberikan kecenderungan yang sama dengan produk-produk konvensional. Produk konvensional atau sejenisnya yang hakikatnya hanya mentransaksikan uang akan membentuk kecenderungan ketimpangan antara sektor riil dan keuangan, sehingga pada akhirnya akan berpotensi mengancam kestabilan sistem, seperti yang selama ini menjadi argumen ekonomi Islam.
  2. Kepentingan pembangunan ekonomi nasional; dengan skema commodity murabahah dimana transaksi barangnya menggunakan pasar komoditi yang terletak di luar negeri, maka kecenderungan capital outflow akan terjadi dalam perekonomian nasional jika perbankan menggunakan produk sejenis commodity murabahah. Aplikasi produk sejenis ini tentu akan menurunkan kapasitas pembiayaan bagi sektor riil domestik.

Summary

  1. Identifikasi sebuah aktifitas, transaksi atau produk keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dapat dilakukan melalui analisis pada implikasi aktifitas, transaksi atau produk tersebut terhadap perekonomian secara umum. Karakteristik umum ekonomi Islam dimana sektor keuangan selalu merefleksikan apa yang terjadi di sektor riilnya dapat dijadikan komparasi dalam menilai suatu aktifitas, transaksi atau produk keuangan sesuai dengan syariah atau tidak.
  2. Produk commodity murabahah memiliki esensi dan implikasi yang mirip dengan produk-produk konvensional. Produk ini menggunakan jual beli dan barang hanya sebagai justifikasi dari transaksi kreditnya, sehingga esensi transaksi adalah terletak pada pemenuhan kebutuhan pada sejumlah uang saja (kredit). Pada produk ini barang tidak menjadi titik perhatian transaksi.
  3. Kepentingan stabilitas ekonomi dan kemanfaatan ekonomi nasional sebaiknya menjadi pertimbangan yang cukup untuk membatasi aplikasi produk ini di dunia keuangan syariah Indonesia.