Rabu, 26 Oktober 2011

Seri Global Crisis: momentum berubah bagi Indonesia

Sudah terlalu banyak momentum yang mampu membuat ekonomi Indonesia berkembang lebih baik. Momentum itu muncul beruntun dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun ini. Seakan-akan momentum itu tidak ada habisnya memberikan privilege bagi Indonesia untuk maju, menyediakan fasilitas bagi Indonesia untuk mendapatkan semua kenyamanan ekonomi yang selama ini hanya sekedar menjadi potensi. Momentum-momentum itu memberikan jalan yang teramat lapang bagi Indonesia merealisasikan semua potensi ekonomi yang dimilikinya. Momentum untuk berubah itu disediakan sejak krisis multidimensi (ekonomi, politik dan hukum) pada tahun 1998 sampai dengan krisis utang Eropa – Amerika yang melesukan ekonomi global pada tahun 2011.

Nah, tak ada salahnya, kita cermati peluang-peluang apa saja yang telah disediakan oleh momentum-momentum itu. Momentum ketika krisis moneter 1998 memberikan “anugerah” bagi ekonomi Indonesia dengan berkembangnya sektor riil mikro-kecil ekonomi sekaligus menghambat menggelembungnya sektor moneter ke tingkat yang lebih membahayakan masa depan ekonomi nasional. Krisis monumental itu pada satu sisi memang men-downgrade taraf perekonomian negeri ini, tetapi boleh jadi pada sisi yang lain krisis itu mempersiapkan atau memperkuat pondasi ekonomi untuk membangun lebih cepat dan lebih tinggi.

Krisis 1998 itu mempertahankan karakter tradisional sektor keuangan Indonesia, dan ternyata itu sangat bermanfaat menambah daya tahan ekonomi tanah air dari kontaminasi krisis-krisis keuangan setelahnya, khususnya krisis keuangan 2008. Sektor riil yang menguat khususnya di sektor mikro kecil membuat ekonomi nasional tetap bergairah membangun pada tahun-tahun selanjutnya. Terlebih lagi diperkirakan rombongan PHK akibat banyaknya lembaga keuangan dan korporasi besar kolaps, berbondong-bondong berwiraswasta di dektor mikro-kecil. Maka terbangunlah sektor mikro-kecil Indonesia yang pelakunya lebih beredukasi baik (well educated players).

Selain transmisi perubahan murni ekonomi yang bisa dilihat dan diidentifikasi keuntungan-keuntungannya, namun akan sangat arogan jika tidak juga mengakui dukungan bagi ekonomi Indonesia yang berasal dari perubahan rezim politik tanah air. Karena memang “prestasi” monumental dari krisis moneter 1998 adalah runtuhnya rezim politik dictatorial yang telah berusia 32 tahun! Runtuhnya rezim politik itu berkorelasi pula dengan tumbuhnya atmosfer ekonomi Indonesia yang relative lebih sehat.

Momentum selanjutnya adalah ketika dunia politik Indonesia pada tahun 2004 mulai tertata secara mapan dengan platform baru yang bernama demokrasi. Lingkungan baru politik dengan pengalaman kelam rezim politik sebelumnya memberikan semangat baru untuk membenahi semua lini kehidupan berbangsa, termasuk ekonomi di dalamnya. Dengan kemapanan politik baru, budaya berekonomi (diharapkan) dijalankan secara lebih professional, bersih dan efisien. Dalam beberapa hal, ekonomi nasional memang mengalami perubahan, meski kanker korupsi, birokrasi kotor dan rumit serta infrastruktur yang miskin masih menjadi PR yang perlu terus diperbaiki.

Tahun 2008 momentum itu datang kembali, krisis keuangan global yang dimulai di industri keuangan Amerika dan menjalar ke Eropa yang kemudian men-downgrade kinerja ekonomi di banyak Negara di dunia, ternyata menjadi ajang pembuktian ketahanan ekonomi Indonesia. Ketika itu Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang perekonomiannya mampu tetap tumbuh positif. Bahkan tidak cukup hanya positif, tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh pada level yang cukup tinggi dibandingkan negara kawasan atau dunia sekalipun. Momentum ini memberikan Indonesia reputasi yang cukup baik di dunia internasional. Setidaknya Indonesia dikenal keunggulan ekonominya. Indonesia mulai banyak disebut-sebut secara positif di banyak forum-forum ekonomi internasional. Implikasinya peringkat credit rating Indonesia tentu bergerak membaik.

Dan yang mutakhir, momentum itu berupa krisis utang yang melanda Amerika dan Eropa sejak awal 2011. Meski krisis ini masih merupakan kelanjutan krisis keuangan di industri keuangan mereka tahun 2008, krisis kali ini berepisentrum berbeda dengan tahun 2008. Kali ini yang menjadi sumber masalah adalah utang pemerintah yang begitu besar, boleh jadi memang akibat jor-joran mem-back up lembaga-lembaga keuangan mereka yang harus ditolong dari kebangkrutan massif pada krisis lalu. Dan kini harga mahal harus ditanggung negara. Bahkan saat ini krisis ini semakin sensitive karena rakyat mulai sadar bahwa akibat prilaku utang Negara, maka “kenyamanan” rakyat terganggu akibat budget kesejahteraan untuk mereka (dari pajak-pajak yang juga mereka harus bayar) harus dimakan oleh keperluan bail-out institusi keuangan raksasa yang berada diujung tanduk kebangkrutan.

Tetapi diyakini sekali lagi kondisi ini kemungkinan besar tidak berpengaruh signifikan bagi perekonomian nasional, setidak-tidaknya dalam jangka pendek. Memang kondisinya sangat tidak pasti, dengan lemahnya kondisi keuangan Eropa dan Amerika berikut reputasi (rating) industri yang tidak menunjukkan perbaikan, diprediksikan para pemilik modal akan mengalihkan perhatiannya ke pasar emerging market (termasuk Indonesia di dalamnya). Namun diperkirakan juga, jika kondisi ini berlangsung relative lama, negara-negara Eropa dan Amerika akan mengambil kebijakan yang cenderung “memaksa” para pemodalnya menarik dana-dananya di dunia internasional untuk memperkuat likuiditas domestic mereka. Jika itu terjadi negara emerging market harus memastikan situasi itu tidak mengganggu perekonomian mereka.

Momentum demi momentum sepertinya selalu tergelar untuk Indonesia, tetapi sayang momentum itu tidak termanfaatkan secara maksimal. Momentum tadi tidak dimanfaatkan dengan baik untuk merubah kondisi ekonomi nasional secara signifikan. Atau kalaupun perubahan kearah positif itu mulai terjadi setidak-tidaknya Indonesia tidak mampu mengakselerasi lebih cepat perubahan itu. Padahal lambatnya berubah membutuhkan biaya yang tidak kalah banyak.

Pada sisi yang lain, alih-alih ingin berubah, ternyata dibeberapa urusan, masalah Indonesia menjadi semakin rumit dan runyam. Misalnya dengan atmosfer baru perpolitikan dan perekonomian Indonesia ternyata kita harus berhadapan dengan generasi-generasi baru (muda) koruptor-koruptor Indonesia. Pembangunan terhambat oleh munculnya petualang-petualang politik baru yang mencari makan di dunia politik, padahal dunia itu tersedia untuk para anak bangsa yang ikhlas mewakafkan dirinya untuk melayani rakyat. Semoga Tuhan tidak bosan, secepatnya Beliau memberikan momentum berikutnya, yang dapat menyapu bersih manusia-manusia seperti itu dari Indonesia. Atau setidaknya ada momentum yang mampu mengetuk hati mereka untuk sadar atas kesalahannya, dan kemudian bersemangat membangung negeri ini dan bangsanya.

Dari sisi pandang keinsyafan sebagai hamba Tuhan, tidak dapat dikesampingkan, bahwa momentum-momentum yang tersedia itu, hakikatnya adalah kasih saying Tuhan kepada bangsa ini, kehendak Tuhan agar bangsa ini mendapatkan kebaikan-kebaikan. Jika memang penyikapan Indonesia sebagai komunitas hamba Tuhan baik, boleh jadi secara bangsa kita dikehendaki oleh Tuhan untuk menjadi bangsa yang besar secara ekonomi. Tetapi harapannya besarnya ekonomi Indonesia tidak mengulang kebesaran-kebesaran ekonomi bangsa yang sudah-sudah di zaman modern ini. Tetapi besarnya ekonomi Indonesia memberikan sesuatu yang berbeda. Lebih kurang sesuatu yang berbeda itu adalah bentuk ekonomi yang lebih baik, tidak hanya fisik tetapi juga prilaku dan interaksi manusia di dalamnya. Ekonomi makmur yang ditopang oleh prilaku ekonomi yang luhur dari manusia-manusianya dan keadilan system ekonominya.

Mampukah Indonesia mewujudkan itu? Melihat momentum yang terus datang bertubi-tubi, sebenarnya pertanyaan yang tepat bukan lagi mampu atau tidak mampu, tetapi mau atau tidak mau. Oleh sebab itu, ini seruan kepada saya sendiri dan anda yang telah lama bermimpi wujudnya Indonesia yang makmur di penghujung zaman: jika kita tidak mampu mengajak mereka diluar sana untuk menjadi baik dan memperbaiki negeri ini, kita pastikan diri kitalah yang akan menjadi generasi pembawa dan pewujud kebaikan itu! Bismillah.

Senin, 24 Oktober 2011

letih..

satu waktu aku serasa ingin men-summary alam semesta
mendapatkan jawaban dari semua rahasia yang ada
mengumpulkan semua hikmah yang tersedia
dan memperoleh kabar-kabar gembira untuk masa lalu dan masa depan
lalu menapaki perjalanan hidup tanpa malas dan kebingungan

Rabu, 19 Oktober 2011

Seri Global Crisis: OccupyWallstreet; we are the 99 per cent!

Komunitas anti kemapanan Kapitalisme menemukan momentum, gerakan sosial anti kesenjangan pun menemukan momentum, maka berkumpullah mereka dalam satu kampanye yang sama yaitu OccupyWallstreet, dengan slogan yang kini menjadi teriakan di jalan-jalan “we are the 99 per cent!”

Perlawanan terhadap kapitalisme mengalami diversifikasi bentuk. Dahulu perlawanannya berupa sentimen pemikiran terutama dari kalangan akademisi sosialis-marxist dan kritisi kualitatif dari para aktifis sosial-budaya, kini perlawanannya begitu definitif, tajam dan agresif, yaitu perlawanan jalanan. Perlawanan jenis ini paling ditakuti oleh pihak status quo pada sektor apapun. Perlawanan jalanan merupakan bentuk perlawanan damai yang telah terbukti efektifnya oleh sejarah di banyak peradaban.



Gerakan perlawanan terhadap kapitalisme yang populer saat ini adalah gerakan yang ada di bawah payung kampanye OccupyWallstreet. Gerakan ini memprotes corporate influence on democracy, a growing disparity in wealth, and the absence of legal repercussions behind the recent global financial crisis (lihat OccupyWallstreet.org). Gerakan ini dimulai oleh lembaga Adbusters, yaitu the Canadian-based group Adbusters Media Foundation. Mereka dikenal melalui iklan layanan masyarakat mereka mengenai anti-consumerist di majalah Adbusters. Gerakan ini dimulai di Zuccotti Park di Wall Street – New York. Dan sampai sekarang gerakan dengan jumlah yang mencapai ribuan orang terus memadati Zuccotti Park. Beruntung taman ini bukanlah properti publik melainkan property swasta, sehingga polisi tidak memiliki kewenangan mengusir demonstran dari tempat ini.

Inisiator gerakan ini mengakui bahwa gerakan ini terinspirasi oleh gerakan rakyat di timur tengah, yang biasa dikenal dengan istilah Arab Spring. Oleh sebab itu, disalah satu media maya, mereka menulis slogan “From Tahrir Square to Times Square”. Kedua gerakan menyusuhkan substansi yang sama, yaitu penolakan segala bentuk intimidasi, baik intimidasi politik maupun intimidasi ekonomi.

Mereka menyuarakan dzalimnya kalangan korporasi terhadap kehidupan mereka. Dengan kekuasaan uang yang mereka punya kemampuan mengontrol penuh kebijakan ekonomi publik, menentukan arah hukum dan politik, atau mempengaruhi secara signifikan jalannya demokrasi. Sehingga esensinya kekuatan pemerintah sebenarnya ada di tangan para CEO korporasi besar.

Oleh karena itu mereka juga muncul dengan slogan ikonik; “we are the 99 per cent”. Dengan slogan ini mereka yang ada di barisan ini ingin menyampaikan beberapa pesan krusial kepada masyarakat, kepada pemerintah dan utamanya kepada pihak korporasi besar yang mereka posisikan sebagai “public enemy number one”. Slogan ini menggambarkan bahwa mayoritas (99%) rakyat ternyata menikmati kue pendapatan yang sangat-sangat kecil sementara minoritas kaya (1%) menguasai kue pendapatan begitu besarnya (tahun 2007 mereka menguasai 23,5% dari total pendapatan US), sehingga ketimpangan atau kesenjangan ekonomi (khususnya Amerika)tergolong besar (lihat GINI Ratio).



Pesan mereka kepada masyarakat luas, bahwa merekalah yang mayoritas, merekalah yang sepatutnya berkuasa untuk menentukan nasib dan kebebasan mereka dalam ekonomi, merekalah sepatutnya menikmati kue pendapatan dengan porsi yang adil. Sementara kepada pemerintah mereka menuntut agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mayoritas rakyatnya melalui kebijakan-kebijakan yang lebih adil.

Sedangkan kepada korporasi besar khususnya lembaga keuangan, seruannya adalah mereka tidak bisa begitu saja mengabaikan rakyat dengan terus mencetak profit yang begitu tinggi mengandalkan limpahan uang yang mereka punya (generate profit out of nothing) dan menikmati suapan bailout dari pemerintah yang diambil dari pajak yang rakyat bayar untuk menopang keterpurukan perusahaan mereka akibat keserakahan yang mereka sendiri lakukan.

Disisi pemerintah, perkembangan ini semakin membuat runyam suasana. Alih-aling menjaga dan memelihara kepercayaan semua pihak terhadap kondisi keuangan dalam negeri, situasi saat ini malah men-downgrade kepercayaan publik baik domestik maupun internasional. Kondisi semakin kacau bukan hanya di episentrum pergerakan ini yaitu di Amerika Serikat, tetapi menular dan meluas di negara-negara lain, bukan hanya di Eropa tetapi juga hampir disambut diseluruh belahan benua. Sejak pertengahan Oktober 2011 ini pergerakan sejenis telah merebak di kota-kota utama dunia, seperti London, Birmingham, Auckland, Sydney, Hong Kong, Taipei, Tokyo, Paris, Madrid, Berlin, Hamburg, Leipzig, Frankfurt, Zurich,Rome.



Perhatikan komentar Perdana Menteri Yunani George Papandreou yang mendukung gerakan protes OccupyWallstreet, "We fight for changing the global economic system, like many anti-Wall Street citizens who rightly protest against the inequalities and injustices of the system."

Dibalik perkembangan situasi Amerika dan Eropa yang jauh dari kondisi membaik, mengintip juga potensi kekacauan yang lain, seperti social unrest dan kerusuhan anti migran. Beberapa tahun yang lalu tidak pernah terbayangkan potensi ini dapat terjadi di bumi negara-negara maju itu, tetapi kini, rasanya semua imajinasi menakutkan itu dapat terjadi kapan saja atau mungkin tinggal menunggu waktu.

Dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi; US lebih dari 9,1%, UK 7,8%, Prancis 9,6%, Yunani 12,9%, Italia 8,6%, Irlandia 12,6%, Portugal 11,2% dan Spanyol 20,4%, dan tingkat utang luar negeri dibandingkan dengan GDP (debt service ratio) mereka yang kini berjejer rapih mendekati angka rata-rata 100%, kecemasan pada meluasnya krisis utang menjadi krisis ekonomi dan krisis politik menjadi sangat-sangat mungkin. Masih ingat kerusuhan yang terjadi di London dan beberapa kota besar di Inggris yang baru lalu?



Ingat krisis keuangan kali ini episentrumnya bukan lagi ada di pasar (swasta) tetapi ada di pemerintah (utang pemerintah). Wajar jika pakar ekonomi manapun sedikit menahan nafas mencermati apa yang terjadi di daratan Eropa dan Amerika. Kegagalan di kedua raksasa ekonomi dunia ini tentu diyakini akan menyeret ekonomi global masuk dalam musim krisis yang sangat panjang.

Namun jika krisis ini sebagai biaya yang harus ditanggung oleh rakyat mereka untu mendapatkan sistem dan kehidupan yang lebih adil (lebih baik), mungkin mereka yang saat ini ada di jalan-jalan meneriakkan slogan-slogan perjuangan keadilan ekonomi di bawah bendera OccupyWallstreet tidak akan keberatan. (bersambung)

Selasa, 18 Oktober 2011

FATWA SHOPPING

Pernah saya ungkapkan dalam beberapa tulisan sebelumnya, bahwa pada pengelolaan syariah (sharia governance), pihak-pihak terkait harus pula mampu menjawab kecenderungan pragmatis dari industri dimana otoritas fatwa pada semua tingkatan, baik yang bersifat sentralisasi maupun desentralisasi (baik untuk kasus Indonesia atau negara lain), melakukan fatwa shopping. Tindakan fatwa shopping adalah tindakan mengambil atau tepatnya memilih fatwa yang sesuai dengan kebutuhan industri dari berbagai dalil yang tersedia.

Isu fatwa shopping ini mengemuka ditengah kekecewaan banyak pakar ekonomi Islam melihat perkembangan dan kecenderungan aplikasi ekonomi Islam khususnya di sektor industri keuangan syariah. Produk-produk yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga keuangan syariah komersil ternyata mayoritas memiliki nature seperti produk konvensional. Sehingga pada implikasinya terlihat industri keuangan syariah berprilaku jauh dari cita-cita, semangat atau substansi ekonomi Islam.

Secara sederhana ekonomi Islam berkarakter ekonomi produktif, dan aplikasi keuangan syariah sepatutnya erat kaitannya dengan aktifitas ekonomi produktif (riil) tersebut. Namun dengan alasan sofistikasi dan rekayasa produk mengikut selera masyarakat pengguna (nasabah), maka keluarlah produk-produk yang esensinya mimicry dengan konvensional, tidak memiliki karakter orisinil keuangan syariah. terhadap kecenderungan ini, telah diidentifikasi salah satu penyebabnya adalah lemahnya mekanisme filter syariah dalam keluarnya produk-produk baru keuangan syariah.

Kelemahan pada proses mekanisme filter tersebut terefleksi pada kecenderungan praktek fatwa shopping yang ditengarai saat ini banyak dilakukan oleh otoritas fatwa. Karena berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal, otoritas fatwa memberikan keputusan fatwa atas produk keuangan syariah terkesan sekedar melayani keinginan praktisi industri. Padahal diharapkan otoritas fatwa berperan sebagai Guard of the System atau Guard of the Sharia. Salah satu tanda proses pengeluaran fatwa produk keuangan syariah dilakukan dengan cara fatwa shopping adalah fatwa berdasar pada pendapat yang sangat minoritas sekali.

Terlepas dari kelemahan pada faktor internal atau eksternal otoritas fatwa, fatwa shopping dimungkinkan terjadi karena beberapa hal seperti: (i) keberagaman pemikiran syariah yang begitu bervariasi sehingga dalil-dalil yang ada menyediakan semua pilihan hukum atas transaksi tertentu; (ii) sharia governance system belum begitu disiplin seperti belum ada pemisahan yang jelas antara otoritas fatwa dengan praktisi industry tidak ada standard tertentu atas kualitas anggota otoritas fatwa; (iii) belum tersedia prosedur yang standard dengan parameter yang jelas dan terukur menggunakan berbagai perspektif dalam pengambilan keputusan fatwa; (iv) dominannya hegemoni pasar (preferensi praktisi industri dan nasabah) atas perkembangan industri; (v) lemahnya institusi kontrol atau penyeimbang yang berperan memberikan evaluasi dan otokritik terhadap apa yang saat ini sedang berkembang dan dikembangkan.

Tindakan fatwa shopping ternyata bukan hanya menjadi kekhawatiran di tanah air tetapi juga telah menjadi isu dalam dunia internasional. Awareness terhadap fatwa shopping sebenarnya telah lama mengemuka seiring dengan perkembangan industri keuangan syariah yang sangat pesat tanpa mampu diimbangi oleh penyediaan SDM syariah yang memadai.

Dr. Sayd Farook, Head of Global Islamic Capital Market dari Thomson Reuters – UK, mengangkat isu ini dalam training tentang sharia governance. Dr. Farook mengungkapkan kegelisahannya melihat kelemahan yang ada di sharia governance saat ini. Fakta-fakta yang diungkapkan Dr. Farook begitu menarik, seperti Top 50 Scholars dunia mengokupasi sekitar 834 lembaga keuangan syariah internasional sebagai otoritas fatwanya, beberapa scholars menjadi sharia adviser (juga memiliki tugas mengeluarkan fatwa) di lebih 30 institusi, bahkan ada yang sampai lebih dari 80 institusi! Sampai-sampai di negera asalnya satu scholar dapat dikatakan menguasai sekitar 40% sampai 80% fatwa powers dari industri nasionalnya.

Sangat tidak sehat. Isu conflict of interest, profesionalisme, risiko konsentrasi pada satu pemikiran dan obyektifitas fatwa tentu wajar mengemuka dalam kondisi seperti itu. Bagaimana dengan Indonesia? PR yang paling utama saat ini dalam pembenahan sharia governance industri keuangan syariah Indonesia adalah pemisahan yang jelas antara pengawas syariah di lembaga keuangan syariah dengan otoritas fatwa. Cepat atau lambat hal ini menjadi syarat utama dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang sehat. Wallahu a’lam.

Senin, 17 Oktober 2011

Modus Operandi Ekonomi Islam

Beberapa waktu lalu ketika saya mengajar satu kelas di Paramadina, saya terbawa pada eksplorasi fikiran tentang dua tiang utama ekonomi Islam; kewajiban zakat dan pelarangan bunga. Untuk kesekian kalinya renungan dan dialektika fikiran saya tertuju pada dua instrument utama ekonomi Islam ini. Dua instrument ini tak habis-habisnya memberikan hikmah atas posisinya dalam sebuah perekonomian.

Kewajiban zakat memastikan kehidupan sisi demand ekonomi, sementara pelarangan riba memelihara respon yang sehat dari sisi supply atas setiap aksi demand dalam ekonomi. Keduanya melakukan kerja kolaborasi yang menghasilkan sinergi prima bagi ekonomi, dan ini menggambarkan kombinasi yang indah dari dua instrument utama dari dua sektor yang berbeda.

Hal ini menegaskan bahwa ekonomi produktif menjadi misi utama ekonomi Islam. Karena dua instrument ini bertemu dalam pasar (ekonomi) untuk memastikan sekaligus menjaga aktifitas produktif ekonomi selalu ada. Ketika perekonomian lesu dan menekan demand pasar untuk terus berkurang, maka zakat akan menjaga agar tingkat demand tidak sampai membuat pasar gagal (market failure). Zakat akan memastikan tingkat demand minimum selalu terjaga, yaitu dimana ketika ekonomi selalu memastikan adanya tingkat permintaan pada kebutuhan dasar.

Selain itu, untuk menjaga aktifitas produktif terus terpelihara, maka instrument pelarangan riba akan “memaksa” arah arus modal bermuara pada aktifitas produksi. Dimana pada saat yang sama kecenderungan yang di-drive oleh instrument (prinsip) pelarangan riba akan merespon setiap demand yang ada di pasar. Dan respon tersebut tentu dengan porsi yang memadai untuk membentuk tingkat keseimbangan pasar yang optimal, dimana interaksi itu diharapkan mampu meredam ancaman inflasi. Dengan begitu terlihat bahwa peran dari prinsip pelarangan riba lebih berada pada sektor penawaran dari ekonomi.

Berdasarkan logika diatas, baik implementasi zakat maupun pelarangan riba, substansinya adalah ingin menjaga ekonomi tetap berjalan. Proses produksi dan konsumsi (termasuk proses distribusi didalamnya) dalam ekonomi dapat terus terjaga pada tingkat yang memadai (atau mungkin dapat dikatakan pada tingkat minimum).

Uniknya Tuhan menetapkan kedua prinsip ini; zakat dan pelarangan riba sifatnya wajib dengan tingkat pengenaan sangsi (dosa) ada pada grade yang maksimum jika ada pelanggaran, sehingga dapat dipahami betapa krusialnya kedua instrument ini bagi berjalannya ekonomi. Dilain pihak kita juga melihat betapa Islam memandang bahwa ekonomi sangat penting untuk diproteksi dengan prinsip-prinsip yang sifatnya wajib, dalam rangka menjaga kepentingan manusia. Yaitu kepentingan mereka terpenuhi kebutuhan dasarnya dalam ekonomi, agar mereka mampu tetap menjalankan kewajiban utamanya sebagai hamba Tuhan, yakni beribadah, baik wajib maupun sunnah.

Dengan demikian, berdasarkan pemahaman modus operandi prinsip-prinsip ekonomi Islam ini, kita akhirnya mampu pula menyadari bahwa lesson learn dari ini semua adalah begitu sayangnya Tuhan pada kita sampai-sampai perlindungan-Nya begitu rapih dan tertib, begitu utuh dan menyeluruh.

Nah, jika dicermati lebih jauh, instrument-instrumen atau prinsip-prinsip Islam lainnya yang bersifat sukarela seperti instrument infak, sedekah, wakaf, hadiah dan lain sebagainya hadir serta dianjurkan dalam rangka mempertinggi kualitas berekonomi. Apalagi jika ditambah dengan dukungan kehalusan budi pekerti, moral prilaku dan akhlak islami, ekonomi dalam bingkai Islam akan semakin Indah untuk dinikmati. Wallahu a’lam.

Seri Global Crisis: ramalan itu akhirnya terbukti?

Di kalangan ekonom Islam tercatat beberapa pakar yang melihat bahaya bunga termasuk debt culture sebagai motor perekonomian, seperti Muslehuddin (1974), Qureshi (1979), Kahf (dalam Khurshid, 1981), Siddiqi (1981), Chapra (1985 dan 1996), Allais (1993), Choudry dan Mirakhor (1997).[1] Sementara itu beberapa ekonom konvensional menyoroti bagaimana bunga memiliki andil yang sangat besa pada masalah perangkap hutang (debt trap) yang sudah membelenggu dunia, tidak hanya negara-negara ketiga tapi juga negara-negara maju. Ekonom-ekonom tersebut diantaranya; Rowbotham (1998)[2], Barberton dan Lane (1999)[3], Jeanne (2000)[4], Hahnel (2000)[5].



Barberton dan Lane berpendapat bahwa sistem finansial barat sejak awal 1970-an sudah sangat tergantung dengan utang (debt addiction). Ekspansi besar dari public debt tidak dapat selalu diasosiasikan dengan peningkatan pada kinerja ekonomi. Karena peningkatan utang tidak diikuti dengan peningkatan economic returns pada tahun-tahun setelahnya. Barberton dan Lane bahkan memprediksikan sebuah kisis yang akan memukul sistem keuangan barat.

“The credit and capital markets have grown too rapidly, with too little transparency and accountability. Prepare for an explosion that will rock the western financial system to its foundations.”



Sementara itu mantan direktur Bank of England, Lord Josiah Stamp, dalam pernyataannya (puluhan tahun yang lalu) di bawah ini menggambarkan bagaimana kekuasaan sebuah bank menggunakan bunga sebagai senjatanya.

“The modern banking system manufactures money out of nothing. The process is perhaps the most astounding piece of sleight of hand that was ever invented. Banking was conceived in inequity and born in sin. Bankers own the earth; take it away from them, but leave them with the power to create credit, and with the stroke of a pen they will create enough money to buy it back again. If you want to be slaves of the bankers, and pay the cost of your own slavery, then let the banks create money.”[6]


[2] Michael Rowbotham, “Excerpts from The Grip of death: A Study of Moden Money, Debt Slavery and Destructive Economics, Jon Carpente Publishing, Oxford, 1998.
[3] Peter Barberton & Allen Lane, “Excerpts from Debt and Delusion,” The Pinguin Press, 1999.
[4] Olivier Jeanne. “Foreign Currency Debt and The Global Financial Architecture, “ European Economic Review, No. 44, 2000, pp. 719-727.
[5] Robin Hahnel, “Capitalist Globalism In Crisis: Pat One: Boom and Bust,” www.zmag.og.
[6] Lord J. Stamp, Public Addess in Central Hall, Westminster, 1937.

Tulisan di atas ini saya cuplik dari buku saya Bab 6 tentang Riba dan Implikasinya dalam perekonomian. Tidak bermaksud mengatakan bahwa tulisan saya cukup relevan atau ingin menunjuk bahwa diri saya benar, tetapi sekedar ingin mengungkapkan keterkejutan, kalau betul inilah saat dimana gempa sekaligus tsunami maha dahsyat mengguncang ekonomi Eropa dan Amerika, saya tidak menyangka secepat ini.

Sekali lagi, seperti ajakan-ajakan saya sebelumnya, mari cermati dan tonton drama paling mahal di abad milenium ini, thriller yang sangat menegangkan dari episod ekonomi raksasa nan digdaya dari Eropa dan Amerika.

Lihat saja masa sudah bergerak dan telah menunjuk jari pada bank-bank dan bursa sebagai musuh publik paling utama, sebagai tertuduh biang kerok dari keterpurukan ekonomi mereka, duh ga sabar saya ingin melihat ending ini semua...

selamat menikmati..

Rabu, 12 Oktober 2011

Islamic Finance Country Index

Sejenak intermezzo memberikan informasi ringan yang mungkin mampu menyemangati kita semua pemerhati atau bahkan pejuang ekonomi Islam di Indonesia.

Berdasarkan Islamic Finance Country Index dari Global Islamic Finance Report tahun 2011 yang dikeluarkan oleh BMB Islamic – lembaga konsultan bisnis dan manajemen terkemuka yang berbasis di London, industri keuangan syariah Indonesia menduduki posisi ke-4 di dunia setelah Iran, Malaysia dan Arab Saudi.

Posisi Indonesia berada diatas negara-negara yang selama dikenal terkemuka dalam pengembangan keuangan syariah, seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Pakistan, Bahrain dan Inggris.



Penilaian ini menggunakan ukuran-ukuran tertentu dengan bobot yang bervariasi, seperti jumlah lembaga keuangan syariah, rezim pengaturan syariah, besarnya volume industri, edukasi dan budaya serta kelengkapan regulasi dan infrastruktur.

Senin, 10 Oktober 2011

Apa khabar Ramadhan?


Apa khabar Ramadhan? Sudah satu bulan lebih Ramadhan berlalu, apa yang masih tersisa? Atau mungkin sudah tidak ada sama sekali jejaknya, sekalipun itu sekedar ingatan atau memori. Jika pada Ramadhan shalat fardhu begitu disiplinnya dijaga berikut prosesi jamaahnya di masjid, apakah kini masih seperti itu? Bila ketika Ramadhan sedekah menjadi ritual rutin pagi dan sore, apakah saat ini ia masih menjadi rutinitas pada dua sudut hari itu?

Selain itu, bagaimana dengan tilawah Qur’an, masih lajukah halaman per-halamannya dibuka dan dibaca? Atau mungkin sudah terhenti kelajuannya sejak hari terakhir Ramadhan lalu. Lalu bagaimana hafalan-hafalannya, bertambah banyakkah baris-baris Qur’an mengendap di memori? Atau bahkan boleh jadi baris-baris itu semakin menghilang seiring semakin akrabnya kita dengan dunia di luar Ramadhan.

Jika semua pertanyaan diatas itu, dijawab dengan kalimat; yah seperti itulah adanya.., maka saya cukupkan pertanyaannya sampai disitu saja. Saya malu untuk melanjutkan pertanyaan pada kabar ritual lain; bagaimana tarawih-tahajud, bagaimana puasa sunnah, bagaimana dhuha, bagaimana ma’tsurat dzikir pagi dan petang, bagaimana kejujuran dan menjaga diri, apa kabar Ramadhan.

Renungan ini muncul, ketika di masjid kami mulai lagi membahas program-program dakwah selanjutnya menghadapi bulan dzulhijah ini. Diatas itu, pertanyaan-pertanyaannya mungkin bukan untuk anda, tetapi lebih tertuju untuk saya. Ikatan bathin dengan Ramadhan ketika saya ada di dalamnya, ternyata tidak begitu kuat. Sehingga selepas bulan itu berlalu begitu mudahnya saya keluar dari pengaruhnya. Sampai-sampai tidak ada yang tersisa.

Tapi bukankah tidak ada yang perlu disuntuki dari situasi diri seperti ini. Karena respon yang paling pantas dari kondisi ini adalah perbaikan atau koreksi diri. Respon yang tepat hanyalah menghidupkan kembali semangat Ramadhan, mendirikan kembali ritual-ritualnya, prosesi ibadah dan rutinitas amal shalehnya. Mari hidupkan kembali Ramadhan.

Senin, 03 Oktober 2011

Belajar Kebijakan Ekonomi dari Zakat

Ada satu pelajaran baik yang saya dapat dari Ustad Prof. Sanusi Uweis, ketika beliau menyampaikan khutbah Idul Fitri lalu di Masjid Istiqamah Balikpapan. Beliau menasehati pemimpin-pemimpin masyarakat pada semua tingkatan, kalau mengelola ummat itu seperti aturan dalam mengelola zakat.

Pengelolaan zakat itu distribusinya mendahulukan kepentingan pemberdayaan ekonomi dimana 50% distribusi zakat ditujukan untuk golongan ekonomi tidak mampu (fakir, miskin, gharimin dan budak). Setelah itu untuk kepentingan pemberdayaan sosial-budaya tercermin dari 37,5% distribusi zakat diperuntukkan bagi muallaf, fisabilillah dan ibnussabil. Dan yang terakhir, baru ditujukan untuk kepentingan manajemen para pemimpin, terlihat dari 12,5% distribusi zakat ditujukan untuk amil zakat.

Bagaimana dengan pemimpin-pemimpin bangsa ini? pemerintah saja mengakui, hampir 80% dari dari kebanyakan APBD di daerah-daerah ternyata terserap untuk gaji pegawai.

Menarik memang analogi yang dilakukan oleh Prof. Uweis ini, apalagi jika pelajarannya juga sampai pada spesifikasi pemberdayaan ekonomi ummat yang menyasar khusus dan definitif bagi kelompok masyarakat tidak mampu. Karena zakat substansinya menjadi alat utama agar masyarakat tak mampu tetap bisa ikut dalam aktifitas ekonomi. Ekonomi sebaiknya lebih memperhatikan kelompok masyarakat tersebut. Belajar dari ilmu kimia, dimana kecepatan reaksi kimia bergantung pada unsur yang paling lambat. Sehingga perubahan ekonomi pun begitu, kecepatan perubahannya bergantung pada kelompok masyarakat yang paling lambat “jalannya”.

Dakwah dan Nafkah

Ada seorang bapak yang bertanya bagaimana hukumnya zakat dari penghasilan dia yang didapatkannya dari bekerja di bank konvensional. Saya tidak bisa tersenyum mendengar pertanyaan ini, seperti respon saya pada pertanyaan-pertanyaan lain pada satu seminar beberapa waktu lalu. Saya tahu pertanyaan ini begitu sederhananya, tetapi jawabannya membuat orang yang ditanya berpikir panjang agar jawaban tidak “mengakali” kebenaran sekaligus tidak mengecewakan penanya.

Terlebih lagi bekerja di bank (konvensional) menjadi pekerjaan mayoritas bankir di negeri ini, bahkan ada kesan dari masyarakat pekerjaan ini prestisius, bonafid dan “mentereng”. Mau tidak mau jawaban diatas tadi harus disikapi dengan sangat berhati-hati. Jawaban tidak sepatutnya mematikan semangat mencari kebenaran dan melaksanakan kebenaran, tetapi tidak pula mengaburkannya atau malah membingungkan penanya.

Dengan harap-harap Allah bantu saya dalam menemukan urutan kalimat yang baik, menemukan rangkaian kata yang juga tepat, saya menjawab seperti kurang lebih seperti ini; jika Bapak sepakat dengan saya bahwa bunga bank itu sama dengan riba, maka yang penting untuk dilakukan pertama kali tentu adalah memastikan dulu nafkah bebas dari riba baru kemudian kita membahas tentang zakat.

Ya sulit bagi saya membahas zakat diatas sesuatu yang tidak dibenarkan oleh agama. Menjadi tidak elok jika nafkah riba dianggap sebagai rizki yang patut dikeluarkan zakatnya. Zakat hanya melekat pada harta yang baik. Untuk harta yang tidak baik maka lebih utama memastikan harta itu menjadi baik lebih dahulu.

Memang ajakan-jakan dakwah tidak sesederhana mengucapkannya, praktek amalnya tentu akan lebih susah dan terkadang membingungkan. Itulah mengapa amal menjadi penyempurna ilmu. Jika pemilik ilmu menjadi pelaku amal maka berkumpullah kebaikan pada orang itu. berkumpullah padanya komitmen, karakter dan kemauan yang kuat.

Saya pernah diundang untuk memberikan ceramah subuh di sebuah masjid di kompleks perumahan karyawan sebuah bank konvensional. Tentu materi yang saya sampaikan tidak jauh dari materi tentang praktek ekonomi dan keuangan dalam Islam. Dan ketika sesi tanya jawab ada jamaah yang bertanya tentang riba, ketika itu seingat saya, saya mencoba jawab dengan bahasa semoderat dan sesantun mungkin. Akhirnya pembahasan cukup dalam pada topik riba. Padahal diawal saya dengan sengaja menghindari topik yang sensitif itu mengingat karakter jamaah.

Selepas acara respon jamaah begitu positif, banyak jamaah yang masih berkonsultasi dan pengurus masjid meminta komitmen saya untuk bersedia diundang kembali dan mengisi sesi-sesi pengajian rutin di masjid tersebut. Tetapi saya yakin akan banyak pemikiran yang harus dipertimbangkan pengurus, mengingat materi saya yang secara eksplisit “menggoyang” keabsahan kerja nafkah para jamaah di kompleks itu. Dengan segala kelemahan yang saya punya dan kelemahan yang jamaah juga punya, interaksi itu terjadi pasti atas kehendak Allah SWT. Dan setelah beberapa tahun setelah pengajian itu, saya tidak pernah mendapat undangan dari pengurus Masjid kompleks itu. semoga ada hikmah.