Rabu, 29 Juli 2009

Ekonomi Islam dan Syahadat


Apa hubungan syahadat dengan Ekonomi Islam? Sepintas rasanya terlalu jauh, atau bahkan terkesan mengada-ada. Ah ngga juga. Bukankah Ekonomi Islam telah melabelkan ekonomi dengan nilai Islam, dimana syahadat merupakan pintu gerbang dari Islam.

Syahadat itu sejatinya adalah janji, ikrar atau sumpah. Ia merupakan persaksian pada keberadaan, keesaan dan kekuasaan Tuhan. Sehingga syahadat berfungsi sebagai milestone penyerahan diri/jiwa manusia kepada kehendak Tuhan. Dengan begitu, persaksian tersebut (syahadat) memposisikan manusia pada orbit yang dinilai oleh Tuhan, manusia masuk pada pusaran kasih sayang Tuhan.

Karena tanpa syahadat manusia bukan siapa-siapa, manusia menjadi makhluk tanpa nilai. Bersandar pada syahadat, setiap tindakan manusia akan mendapat nilai dari Tuhan, baik yang buruk maupun yang baik. Namun dengan syahadat manusia berpotensi untuk mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Tuhan jikapun ternyata keburukan masih menghiasi hidupnya. Sementara tanpa syahadat, manusia berada dalam lingkaran pengingkaran Tuhan, perbuatan baik atau buruk yang dilakukannya tidak akan mendapatkan kredit poin apa-apa, karena memang posisi dan statusnya tidak layak dinilai. Statusnya yang tidak bersyahadat merupakan kegelapan yang menelan semua aktifitasnya.

Bagi seorang muslim ekonomi Islam sebenarnya menjadi bagian dari pembuktian syahadat. Dengan ekonomi Islam manusia membuktikan ketundukannya pada Tuhan melalui aktifitas ekonomi. Dalam ekonomi Islam ketundukan manusia pada kehendak dan anjuran Tuhan terlihat dan terlaksana. Kepatuhan untuk tidak menyentuh riba, membayarkan zakat, berinfak, sedekah atau wakaf, tidak makan barang yang diharamkan, tidak berbisnis dengan cara yang curang, menjadi simbol-simbol pengejawantahan syahadat.

Memahami hubungan ini (hubungan ekonomi Islam dan syahadat), sepatutnya memunculkan semangat militansi yang lebih tinggi dan loyalitas yang lebih dalam terhadap perjuangan ekonomi Islam. Jadi, kepada para pemerhati ekonomi Syariah dan pejuang-pejuangnya, saya ingin mengajak untuk mendapatkan semangat militansi itu. Perjuangan ekonomi Islam ini adalah salah-satu rangkaian perjuangan selanjutnya dari perjuangan pertama yang kita lakukan di Islam ini, yaitu bersyahadat.

Perbankan Syariah Indonesia Layak Menjadi Tauladan


Kekaguman kita pada perkembangan industri perbankan syariah negara lain sejauh ini lebih pada kekaguman besarnya industri mereka. Padahal besarnya angka industri itu tidak menjelaskan apa-apa atau belum definitif merepresentasikan prestasi apa-apa. Besarnya volume industri akan memberikan makna jika operasional teknis perbankan syariah memberikan kemanfaatan yang nyata. Dengan karakteristik produk perbankan syariah yang mimicry dengan konvensional (sehingga impact makronya pun serupa dengan konvensional), maka hakikatnya kekaguman kita pada perkembangan perbankan syariah pada negara lain itu sangat tidak beralasan.

Artinya, yang menjadi kepatutan adalah kekaguman itu dialamatkan pada perkembangan industri perbankan syariah yang membawa perbaikan ekonomi dan sosial. Industri yang semakin menguatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitasnya, yang menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dhuafa untuk terlibat aktif dalam ekonomi, yang menumbuhkan budaya perbankan yang sehat dan amanah, yang mengembangkan kelaziman bisnis dan kerjasama baru dalam bingkai ukhuwwah yang saling menguntungkan serta menghantarkan pada kesadaran atas usaha-usaha positif yang menjaga kelestarian alam, keseimbangan/keharmonian sosial dan mendorong kemandirian ummat. Adakah industri perbankan syariah di dunia ini yang berindikasi seperti itu?

Industri perbankan syariah masih berada dalam kurungan kepentingan profit semata. Paradigma bisnis masih menggunakan indikator kepuasan bukan kemanfaatan. Meskipun ada yang mengatakan bahwa pergeseran paradigma dapat distimulasi oleh ketentuan atau regulasi yang lebih berorientasi pada konsep kemanfaatan. Maksudnya orientasi industri perbankan syariah dapat digeser pada konsep kemanfaatan, dengan memberlakukan ketentuan pengukuran tingkat kesehatan berbasis kemanfaatan bank syariah baik secara ekonomi maupun secara sosial.

Dengan kecenderungan yang diinginkan ini, maka harus diakui bahwa industri perbankan syariah Indonesia merupakan industri perbankan syariah yang paling berpotensi menjelma menjadi perbankan syariah yang ideal, yaitu perbankan syariah yang tidak hanya sehat dan kuat tetapi juga bermanfaat. Sinergi “kemanfaatan” sudah ada benihnya di perbankan syariah Indonesia, sinergi itu berupa runga lingkup mekanisme perbankan syariah yang mengakui fungsi keuangan mikro dan fungsi sosial.

Dengan tingkat perkembangan yang kita miliki di Indonesia, sebenarnya kita patut berbesar hati dan mengatakan bahwa perbankan syariah Indonesia lebih layak untuk dikagumi. Dengan parameter kemanfaatan, perbankan syariah kita lebih maju dari negara lain. Lihat Malaysia, cermati Bahrain atau bahkan Inggris, perbankan syariahnya relatif hanya melayani masyarakat ekonomi menengah keatas. Bentuk produk perbankan syariah mereka menggambarkan kecenderungan itu.

Akhirnya, ingin saya katakan secara tegas di sini; hentikan penilaian kemajuan industri dari ukuran besar kecilnya volume industri, karena penilaian itu sama saja menghianati filosofi dasar ekonomi syariah. Penilaian itu serupa dengan menilai kesuksesan manusia hanya dari berlimpah hartanya, tinggi jabatannya dan banyak gelarnya. Padahal kesuksesan manusia seharusnya dilihat dari amal shalehnya atau besar kecil kemanfaatan dirinya.

Indonesia Harus Menjadi Tauladan Industri Keuangan Syariah Dunia


IMF baru saja mengeluarkan review Dewan Eksekutif IMF yang memuji ketahanan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi semester pertama yang positif dan relatif tinggi dibandingkan negara-negara serantau dan negara setingkat. Dengan inflasi yang relatif stabil dan kontraksi pasar finansial yang juga sudah memulih, Indonesia memang layak mendapatkan pujian untuk kinerja perekonomiannya. Dan rasanya semua pihak sepakat dengan kredit poin positif ini.

Hanya saja yang menjadi perdebatan menggelitik adalah, apakah performa itu buah kinerja pemerintah atau memang hasil dari kondisi dasar ekonomi domestik dan mekanisme pasar alami dalam perekonomian nasional. Artinya kinerja ekonomi boleh jadi lebih merupakan hasil kerja keras sektor swasta daripada hasil kebijakan dan diskresi sektor pemerintah.

Harus diakui, imbas guncangan krisis ekonomi 1997-1998 telah merubah topografi ekonomi Indonesia. Sektor riil dibanjiri pelaku UMK dan aktifitas ekonomi informal yang kemudian membuat sektor ekonomi domestik menjadi lebih dinamis dan dominan. Sementara sektor keuangan menjadi lebih ramping dan berhati-hati dalam produk-produk treasury. Sementara perkembangan sektor riil domestik membuat perbankan nasional lebih terekspos oleh portfolio kredit pada usaha yang berorientasi domestik. Sehingga hasilnya, guncangan eksternal sektor keuangan akibat krisis keuangan global menjadi minimal impact-nya pada industri keuangan domestik.

Pelajaran yang berharga dari kondisi tersebut adalah ketahanan dan ketangguhan fundamental ekonomi Indonesia akibat bergerak dan membesarnya sektor riil instead of sektor keuangan. Selain itu eksposur perbankan yang miskin terhadap produk derivatif pada sektor treasury-nya yang dicerminkan oleh angka LDR yang meningkat (derasnya kucuran kredit pada sektor riil), sedikit banyak menambah kuat stabilitas perekonomian nasional.

Berdasarkan analisis sederhana itu, terdapat dua solusi relevan yang harus diperhatikan perekonomian Indonesia dalam mempertahankan dan meningkatkan ketahanan ekonomi mereka, yaitu; pertama, meningkatkan keterlibatan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan volume ekonomi, penguatan sektor riil dan efisiensi alokasi sumber daya; kedua, pada sistem keuangan nasional perlu didorong signifikansi peran industri keuangan syariah dimana kualitas industri keuangan syariah juga dijaga esensi mekanismenya (sharia compliance).

Ketika hakikat aktifitas keuangan syariah tidak menemukan aplikasi yang tepat, maka perkembangan keuangan syariah hanya akan bermodal pada sentimen positif berdasarkan persepsi bahwa keuangan syariah sebagai alternatif produk keuangan konvensional yang pamornya meredup. Jika hal ini yang terjadi, pada akhirnya keuangan syariah akan berakhir pada “kehancuran” yang sama seperti apa yang dialami oleh keuangan konvensional.

Dengan demikian, sangat krusial mengidentifikasi esensi mekanisme keuangan syariah dan kemudian mengaplikasikannya dalam tataran teknis berupa produk-produk keuangan serta mekanisme kebijakan, ketentuan termasuk pengawasannya (lihat tulisan saya sebelumnya tentang Produk Kamuflase dalam Perbankan Syariah).

Sofistikasi, inovasi dan diversifikasi produk keuangan syariah baik yang ada di perbankan, pasar modal, asuransi dan pegadaian sepatutnya tidak menciptakan whirlpool baru bagi uang beredar. Karena hal itu hakikatnya akan memperbesar kolam uang yang menganggur dan pada akhirnya membuat sektor riil semakin tidak “bergizi”. Sofistikasi, inovasi dan diversifikasi produk keuangan syariah seharusnya semakin membuat pintu akses modal bagi proyek-proyek riil semakin menganga, sehingga saluran “nutrisi” berupa modal bagi sektor riil semakin deras mengalir dan membesarkan volume ekonomi.

Melihat perkembangan sistem keuangan syariah nasional terkini, berdasarkan perkembangan produk, infrastruktur, sharia governance, regulasi dan kecenderungan pemikiran, Indonesia berpeluang menjadi tauladan bagi pengembangan industri keuangan syariah di dunia internasional. Hal ini harus dipertahankan, dikembangkan dan dieksplorasi terus. Salah satu tahapan yang juga harus dilewati adalah Indonesia menjadi tauladan dalam pendidikan ekonomi/keuangan/perbankan syariah dunia. Indonesia harus menjadi pelurus kecenderungan yang “membengkok” khususnya dalam pemikiran keuangan/perbankan di dunia. Indonesia harus menjadi pelopor dalam pembelajaran ekonomi/keuangan/perbankan syariah yang benar/ideal. Oleh sebab itu upaya mewujudkan universitas atau perguruan tinggi nasional sebagai pusat pembelajaran ekonomi/keuangan/perbankan syariah di dunia harus segera dilakukan.

Kelebihan bentuk sistem dan struktur ekonomi syariah indonesia, dimana sektor riil lekat dengan sektor finansialnya, harus menjadi modal dasar yang baik dalam membangus pusat pembelajaran itu. Indonesia berpeluang menawarkan mainstream baru dalam perkembangan ekonomi syariah yang tidak dimiliki nagara lain. Perkembangan sistem social sector dan microfinance menjadi kelebihan berharga yang dimiliki Indonesia. Dengan demikian, hampir tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak mampu menjadi pelopor dan tauladan.

Rabu, 22 Juli 2009

SERUAN KADER DAKWAH


Kepada para kader dakwah di medan mana pun anda, keprihatinan kita melihat kondisi kader yang berselisih ketika kerikil di jalan dakwah tidak juga semakin sedikit, seharusnya semakin melecut semangat untuk meningkatkan kapasitas dan berjuang lebih keras. Panji-panji dakwah boleh saja berbeda warna dan slogan-slogannya, tetapi seruan kita tetaplah satu, Islam.

Kesatuan itulah modal kita untuk mengukuhkan kebersamaan. Nilai-nilai Islam sudah sepatutnya dikedepankan dalam pergaulan sesama kader dakwah. Bahkan merekalah yang paling berhak mendapatkan pelayanan pergaulan dengan nilai itu dibandingkan siapapun. Prasangka baik, lisan yang lembut dan terpelihara, perlakuan yang santun dan bersahaja adalah hak mereka dari kita sesama kader.

Jika semua hak sudah kita tunaikan, kita berharap cemoohan dan fitnah pada kader dakwah betul-betul hanya berasal dari mereka yang memiliki hati yang bermasalah. Mereka yang kenyamanan dan kenikmatan dunianya terganggu oleh dakwah. Kalau sudah seperti itu, bersabarlah, karena itulah medan dakwah menjadi lebih berarti.

Namun pada mereka yang selalu menatap curiga, bergaul dengan segudang prasangka, saya ingin perjelas apa itu dakwah dan apa yang menggerakkan kami:

Visi kami adalah syurga, misi kami adalah amar ma’ruf nahi munkar, langkah kami adalah amal dan do’a, semangat kami adalah berlomba berbuat baik, harapan kami adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain, dan seruan kami hanya Islam.

Senin, 20 Juli 2009

Bagaimana jika ini Ramadhan yang terakhir…




Seandainya Ramadhan ini adalah Ramadhan yang terakhir,tentu kita ingin menjadikan Ramadhan ini sebagai Ramadhan yang terbaik dan terindah yang pernah kita jalani. Kita ingin menjadikan Ramadhan terakhir itu sebagai Ramadhan yang paling sempurna dari semua Ramadhan yang kita punya. Sempurnanya tidak hanya pada masa Ramadhan itu saja, tetapi kesempurnaanya kita pastikan sejak proses persiapan menghadapinya, sejak masa penantiannya, sejak Sya’ban bulan sebelumnya.

Dengan demikian, kita juga ingin pastikan bahwa masa persiapan pada bulan Sya’ban menjadi masa persiapan Ramadhan yang terbaik yang pernah kita lakukan. Dengan begitu Sya’ban menjadi bulan kerinduan yang kita habiskan dengan usaha-usaha kesiapan menuju Ramadhan. Kesiapan hati, raga, motivasi, kesungguhan, harta dan tentu perencanaan yang matang.

Kesiapan hati dan raga adalah kesiapan secara sadar bahwa Ramadhan akan menjadi bulan yang dapat mengembalikan kesucian mereka (hati dan raga), sehingga hati dan raga harus siap dengan keikhlasan dan kesabaran yang cukup. Atau bahkan kekuatan yang lebih baik menghadapi prosesi-prosesi ibadah yang memang kita akan lebihkan baik dari kuantitas maupun kualitas.

Kesiapan motivasi disertai kesungguhan menjadi factor yang vital dalam persiapan. Motivasi yang besar dan kesungguhan yang terjaga akan menentukan konsistensi stamina dan konsentrasi menjalankan semua ibadah yang telah direncanakan. Sementara itu, kesiapan harta dan perencanaan yang matang akan semakin membuat pelaksanaan ibadah menjadi lebih mudah, terukur dan sistematis.

Ketika Ramadhan tiba, setiap waktunya kita ingin nikmati detik demi detik. Bahkan bagi sementara orang detik-detik menjelang terbenamnya matahari terakhir bulan Sya’ban sebagai tanda masuknya Ramadhan ingin mereka nikmati dimasjid. Menyambut Ramadhan dalam keadaan suci ditempat yang suci, ketika lisan basah dengan dzikir dan hati penuh dengan keinsyafan.

Ramadhan menjadi bulan privasi seoarang hamba dengan Pencipta-nya. Oleh karena itu, tak ada masa yang lebih pantas untuk lebih bersusah payah beribadah kecuali pada bulan itu. Persembahkan apa-apa yang terbaik dari diri kita untuk Sang Penguasa Alam Semesta, Dzat yang kasih saying-Nya seluas alam ciptaan-Nya. Kita berikan doa pengharapan pada pagi, tak berhenti lisan dan hati untuk selalu memberikan dzikir hingga petang, dan malam mendapatkan doa-doa permohonan ampun hingga pagi kembali menjelang.

Akhirnya setelah Ramadhan kita akan menjadi manusia “baru” lahir dan bathin, menjadi manusia yang berhati dan beraga lebih baik, yang siap untuk kerja-kerja ibadah yang lebih banyak dan berkualitas. Kita menjadi manusia yang lebih bermotivasi dan bersungguh-sungguh menjaga kelaziman ibadah yang memang sudah lebih baik. Dan jika memang ini adalah Ramadhan yang terakhir, semoga ia menjadi Ramadhan yang terbaik dan yang terindah dari Ramadhan-Ramadhan yang pernah kita jalani. Semoga.

Keistimewaan dan Kebanggaan

Keistimewaan pertama yang kita dapatkan dari Allah, adalah keistimewaan dipilihnya kita terlahir ke dunia dari kurang lebih 4 miliar calon manusia. Keistimewaan kedua, Allah takdirkan kita lahir di pentas dunia sebagai manusia! Bukan batu atau gunung, bukan hewan atau tumbuhan, bahkan bukan pula malaikat atau syetan. Sampai disini, sepatutnya semua manusia menginsyafi keistimewaan dirinya ini. Semua manusia diberikan anugerah terbesar dari Allah, yaitu untuk menjadi makhluk Allah yang paling mulia di muka bumi, yang memimpin alam semesta, sehingga malaikat dan syetan pun diperintahkan untuk sujud pada manusia.

Sampai disitu saja keistimewaan kita? Tidak! Diantara kita ada yang diberikan kasih sayang Allah dengan ditunjukkan pada kebenaran dan jalan keselamatan Islam. Ya keistimewaan itu adalah menjadi muslimnya kita. Keistimewaan ini didapatkan baik melalui usaha yang sadar maupun atas petunjuk Allah yang Maha Adil, Maha Pengasih, Pemurah dan Menyayang.

Selanjutnya, keistimewaan memasuki fase “mandiri”, dimana setelah level keistimewaan sebagai muslim, dibutuhkan usaha pribadi untuk masuk pada level keistimewaan yang lebih tinggi, yaitu keistimewaan menjadi seorang muslim yang beriman. Keistimewaan ini mensyaratkan keilmuan yang baik, keteguhan dan konsistensi pada jalan yang benar. Dengan begitu ia menjadi manusia istimewa karena usaha-usaha ibadahnya yang selalu terjaga dan terpelihara.

Setelah itu keistimewaan puncak yang dapat dimiliki oleh manusia adalah keistimewaan menjadi penyampai risalah Tuhan, menjadi pemimpin alam semesta (khalifah), menjadi penyeru kepada sesama manusia, menyerukan perbuatan baik dan menghindari keburukan. Manusia istimewa yang menjadi pelopor dan penggerak kebaikan, menjadi manusia yang aktif berjuang sekaligus berkorban. Untuk itu manusia ini membutuhkan semua potensi kemanusiaannya secara maksimal. Manusia istimewa ini membutuhkan kesabaran puncak, keikhlasan puncak, ketabahan puncak dan tentu kerja-kerja puncak.

Dengan keistimewaan-keistimewaan ini, sudah sepantasnya kita berusaha menjadi manusia paling teristimewa yang bangga dengan kondisi itu, dan kemudian memberikan yang terbaik bagi Allah, alam semesta dan diri sendiri, sesuai dengan kadar keistimewaan kita masing-masing.

Cermatilah, keistimewaan yang semakin tinggi, semakin memerlukan usaha aktif manusia, membutuhkan inisiatif, motivasi, kesungguhan dan kemampuan. Manusia yang memberikan inisiatif yang lebih dominan, motivasi yang lebih besar, kesungguhan yang lebih kuat dan kemampuan yang lebih baik, serta kerja yang lebih banyak (bukan manusia yang memberikan hasil kerja yang lebih banyak, karena ukurannya proses bukan hasil), akan menjadi manusia yang paling istimewa dihadapan Allah SWT.

BERDAMPAKLAH

Judul di atas memang terinspirasi oleh kampanye salah satu TV berita internasional yang mengajak semua lapisan penduduk dunia untuk berkontribusi atau mengambil peran dalam pelestarian lingkungan dan perbaikan komunitas. Kampanye ini menarik, terlebih lagi jika kita melihat dari kacamata wajib kita yaitu Islam.

“Berdampaklah” dalam Islam bermakna pengokohan eksistensi diri berdasarkan “jejak-jejak” tingkah laku kita, ia juga berarti ajakan untuk berkontribusi pada kebaikan, pada lingkungan, pada manusia lain. Mari bertanya pada jiwa, apa dampakmu pada keluarga, tetangga, masyarakat, lingkungan, sejarah, agama, atau alam raya. Apakah dampakmu senyum, lega, bahagia? Atau malah membuat dunia semakin sempit, karena dampakmu adalah marah, kecewa atau kekacauan?

Kontribusi untuk berdampak dapat dalam berbagai bentuk; berdampak melalui harta kita, ilmu, tenaga, waktu atau sekedar melalui senyum. Jadi pada dasarnya semua manusia punya kesempatan yang sama untuk berdampak.

Atau kita sama sekali tidak memiliki dampak apa-apa pada siapa-siapa. Kalau sudah seperti ini berhati-hatilah, karena boleh jadi maknanya kita tidak eksis dalam kehidupan dan sejarah

Jadi sudah berdampakkah kita? Telah berdampakkah harta anda? Sudahkah harta anda telah memuliakan diri dan kehidupan anda dimata Allah.

Kamis, 16 Juli 2009

Kemanfaatan Bank Syariah


Salah satu ukuran “kesehatan” bank syariah adalah seberapa besar kemanfaatan bank syariah bagi masyarakat, baik masyarakat nasabah maupun masyarakat non-nasabah khususnya masyarakat tidak mampu di sekitar bank tersebut. Kemanfaatan bank syariah secara sederhana dapat dilihat dari jumlah rekening yang mencerminkan jumlah nasabah yang memperoleh manfaat jasa perbankan. Sementara itu, kemanfaatan bank syariah bagi masyarakat non-nasabah dapat dilihat dari distribusi dana kebajikan yang merefleksikan fungsi sosial bank syariah.

Dari perspektif kemanfaatan ini, maka sangat relevan mempertanyakan sejauh mana fungsi sosial bank syariah selama ini. Untuk optimalisasi, sebaiknya pelaksanaan fungsi sosial dilakukan bekerjasama dengan lembaga sosial khusus, sehingga program sosial tersebut tidak terkontaminasi oleh kepentingan promosi dan peningkatan reputasi bank syariah menggunakan dana-dana sosial tersebut.

Kontaminasi ini lazim terjadi dalam program sosial perusahaan konvensional. Ketentuan CSR yang menjadi kampanye global dari perusahaan-perusahaan besar termasuk indonesia tidak lagi konsisten dengan tujuan awalnya. Pada aspek ketentuan, CSR telah berubah pula menjadi semacam pajak dalam bentuk lain yang dipandang oleh perusahaan sebagai beban, dan bahkan sudah dapat begitu saja masuk dalam komponen biaya produksi yang berakhir pada peningkatan harga produk. Sementara itu, penggunaan dana CSR atau sosial tidak fokus pada kebutuhan mendesak masyarakat tak mampu, tetapi lebih dimotivasi dan diinspirasi oleh kebutuhan reputasi dan promosi perusahaan.

Belajar dari kecenderungan itu, fungsi sosial bank syariah sebaiknya tidak melakukan kesalahan yang sama. Elemen dana sosial yang berasal dari zakat, sedikit banyak akan menjadi kontrol bagi penentuan program sosial bank syariah yang tidak terkontamisasi oleh kepentingan perusahaan. Karena dana tersebut telah baku dan definitif penggunaannya, yaitu hanya terbatas pada 8 golongan mustahik. Dan kerjasama dengan lembaga sosial akan menjaga konsistensi pada kebutuhan mendesak masyarakat tak mampu.

Rabu, 15 Juli 2009

How the United States Government is doing business.

Pada pagi beberapa hari yang lalu saya terima email ringan yang sangat menarik. Dan saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membagi kepada semua yang saya kenal karena, cerita email itu sangat ringan sekali menjelaskan salah satu wajah perekonomian modern kita saat ini. Saya harapkan anda juga bisa menikmati. So, selamat menikmati:

Begini ceritanya:

It is the month of August, on the shores of the Black Sea.

It is raining, and the little town looks totally deserted. It is tough times, everybody is in debt, and everybody lives on credit.

Suddenly, a rich tourist comes to town. He enters the only hotel, lays a 100 Euro note on the reception counter, and goes to inspect the rooms upstairs in order to pick one.
The hotel proprietor takes the 100 Euro note and runs to pay his debt to the butcher.

The Butcher takes the 100 Euro note, and runs to pay his debt to the pig grower.

The pig grower takes the 100 Euro note, and runs to pay his debt to the supplier of his feed and fuel.

The supplier of feed and fuel takes the 100 Euro note and runs to pay his debt to the town's prostitute that in these hard times, gave her "services" on credit.

The hooker runs to the hotel, and pays off her debt with the 100 Euro note to the hotel proprietor to pay for the rooms that she rented when she brought her clients there.

The hotel proprietor then lays the 100 Euro note back on the counter so that the rich tourist will not suspect anything.

At that moment, the rich tourist comes down after inspecting the rooms, and takes his 100 Euro note, after saying that he did not like any of the rooms, and leaves town.

No one earned anything. However, the whole town is now without debt, and looks to the future with a lot of optimism.

And that, ladies and gentlemen, is how the United States Government is doing business.

Produk Kamuflase dalam Perbankan Syariah




Banyak pakar diluar negeri yang sudah apriori dengan operasional perbankan syariah, salah satu sebab yang membuat mereka seperti itu adalah referensi mereka terhadap produk-produk bank syariah ternyata pada produk-produk seperti commodity murabaha/tawarruq, bay’ al inah, bay’ al dayn, atau bay’ bithaman ajil. Pakar-pakar tersebut mayoritas memahami disiplin ekonomi dan keuangan, ketika mereka melihat apa yang menjadi produk bank syariah seperti produk-produk tadi, tidak heran mereka mengatakan perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan konvensional. Karena produk-produk itu hakikatnya produk-produk kredit.

Mengapa sampai produk-produk seperti itu muncul? Saya sendiri punya argumentasi sederhana, saya melihat kasalahannya terletak pada kekeliruan mendefinisikan sektor riil (underlying transaction). Para bankir yang melakukan inovasi produk (product engineering) melakukan rekayasa produk keuangan melalui kamuflase jual-beli, mengingat pengetahuan mereka tentang apa yang boleh dalam syariat adalah transaksi yang ada underlying-nya, dapat berupa jual-beli atau bagi-hasil. Karena transaksi untuk bagi hasil relatif berisiko dan “sukar” untuk direkayasa, maka tidak heran rekayasa produk lebih banyak terjadi pada produk-produk jual-beli.

Rekayasa produk bank syariah yang berbasis jual beli akhirnya terfokus pada pemenuhan rukun akad saja, yaitu adanya underlying transaction. Akhirnya underlying trannsaction tidak berfungsi sebagai hakikat atau tujuan transaksi tetapi sekedar menjadi justifikasi atas hakikat atau tujuan sebenarnya dari transaksi itu yaitu transaksi untuk mendapatkan sejumlah uang (credit transaction). Disamping itu, kelemahan pada sharia aspect khsususnya pada proses perumusan fatwa atau sharia audit membuka peluang berkembangnya rekayasa produk yang hakikatnya hanya produk kamuflase.

Dr. Muhammad Obaidullah, seorang peneliti IRTI-IDB yang juga mantan pelaku pasar keuangan, dalam beberapa artikel dan penjelasannya di beberapa seminar seringkali mengungkapkan keprihatinan beliau tentang kecenderungan ini. Beliau mengatakan bagaimana Islamic scholars lebih mengedepankan pandangan hukumnya dalam mengeluarkan fatwa atau menilai boleh tidaknya sebuah operasi keuangan atau produk, sehingga penilaiannya sebatas mencari kesesuaian operasi keuangan atau produk-produk itu dengan rukun-rukun akad yang relatif baku.

Yang luput dari penilaian seperti ini adalah hakikat operasi yang sebenarnya dapat terlihat pada implikasi operasi atau produk tersebut pada perekonomian. oleh sebab itu, pemahaman operasional produk dan transmisi ekonomi untuk mengetahui implikasi tadi menjadi penting dalam proses perumusan fatwa atau sharia audit.

Definisi sektor riil yang tadi sempat saya singgung sepatutnya konsisten dengan definisi aktifitas atau proses penciptaan barang dan jasa. Sehingga transaksi keuangan syariah khususnya di perbankan syariah yang akhirnya tidak mengakibatkan terjadinya proses penciptaan barang dan jasa, dimana barang dan jasa menjadi fokus transaksi, maka patut diduga transaksi keuangan tersebut hanya transaksi kamuflase.

Pemahaman ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ibnu Farabi, ketika beliau mengatakan jika keuntungan muncul dari transaksi yang tidak mengandung ‘iwad (saya mencoba memahami ‘iwad ini dengan definisi equal counter value-nya ibnu taiymiah), maka keuntungan transaksi tersebut mengandung riba. Beliau menjelaskan bahwa elemen ‘iwad itu ada tiga, yaitu Ghurmy (ownership risk), Ihktiar (value added) dan Dhaman (liability). Dengan kata lain, keuntungan yang muncul harus diiringi dengan munculnya penciptaan/pengadaan barang atau jasa melalui proses ghurmy, ikhtiar dan dhaman.

Jadi transaksi yang sesuai dengan syariah bukan sekedar ada barang yang diperjual belikan, tetapi harus menempatkan barang yang diperjual belikan itu sebagai fokus utama transaksi, bukan hanya justifikasi. Pemahaman inilah yang kemudian membuat definisi sektor riil atau transaksi riil menjadi lebih utuh dan tepat.

Selain itu, karakteristik utama dari produk-produk rekayasa yang bersifat kamuflase di atas adalah produk yang terdiri atas beberapa akad, dimana produk seperti ini rentan sekali melanggar ketentuan syariah karena akad-akad tersebut saling bergantung (bersyarat). Contohnya produk commodity murabaha untuk pendanaan yang terdiri atas akad; (i) mudharabah muqayada; (ii) spot murabaha ; dan (iii) deferred murabaha. Atau produk bay’ al inah yang terdiri atas; (i) spot murabaha ; dan (ii) deferred murabaha.

Penjelasan ini juga bermaksud menunjukkan bahwa kepentingan sharia compliance hakikatnya sama dengan kepentingan prudential regulation atau tujuan final kebijakan moneter yaitu stabilitas sistem menuju pada pertumbuhan ekonomi yang sustainable. Hal ini juga semakin menegaskan karakteristik alami dari disiplin ilmu Islam khususnya dalam keuangan Islam, yaitu kesatuan hakikat dan tujuan. Tidak ada dikotomi kepentingan dalam aspek-aspek ekonomi dan keuangan. Hanya permasalahan umum saat ini adalah bagaimana mendekatkan aplikasi dan teori

Harapannya industri perbankan syariah Indonesia melalui Bank Indonesia bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional mencoba konsisten dengan hakikat transaksi, dimana selanjutnya diyakini akan memelihara hakikat aktifitas ekonomi Islam, yaitu aktifitas produktif yang selalu melekat pada sektor riil (aktifitas ekonomi riil) dan berkontribusi penuh pada pertumbuhan ekonomi.

Perbankan Syariah & Produk Pembiayaannya


Atas pertimbangan keterdesakan kondisi akibat dominasi nasabah floating customer dalam perbankan syariah nasional dan kebijakan moneter yang masih cenderung merugikan (bahkan dapat mengancam) pertumbuhan perbankan syariah nasional serta kebutuhan pengelolaan likuiditas, maka sangat dimaklumi munculnya produk/instrumen treasury dalam perbankan syariah Indonesia. Kemunculan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syariah (SIMA), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan yang terakhir SUKUK (SBSN) dapat dikelompokkan pada produk treasury yang dapat dimanfaatkan bank syariah dalam mengelola likuiditas mereka.

Kemunculan produk ini harus disikapi dengan hati-hati atau bahkan mungkin harus dibatasi jumlahnya. Dan fungsi produk/instrumen tersebut harus dijaga fungsinya untuk sekedar membantu bank dalam pengelolaan likuiditas mereka. Jangan sampai produk/instrumen itu berubah menjadi alternatif produk pembiayaan bank syariah. Karena jika itu terjadi, tentu produk/instrumen tersebut akan menjadi variabel negatif bagi pertumbuhan pembiayaan bank syariah ke sektor riil. Dengan perhitungan risiko dan besar kecilnya return, produk/instrumen “treasury” itu akan memunculkan fenomena trade-off dengan produk pembiayaan bank syariah.

Fenomena itu jelas wujud dalam operasional perbankan konvensional, dimana produk treasurynya bahkan cenderung menjadi referensi pricing dalam produk kreditnya. Dengan karakteristik mudah, cepat dan relatif berisiko rendah, maka produk treasury disamping produk jasa seperti SBI dan produk-produk derivatif menjadi pilihan utama dalam meraih profit bagi bank-bank konvensional. Padahal aktifitas disektor treasury konvensional tersebut relatif berkorelasi negatif pada pertumbuhan ekonomi, karena sifat produk tersebut adalah transaksi aset finansial yang tidak terikat pada transaksi sektor riil dalam perekonomian.

Oleh sebab itu, belajar dari hal tersebut karakteristik transaksi perbankan syariah yang terikat erat dengan transaksi sektor riil harus tetap dijaga melalui produk-produknya. Sehingga upaya penjagaan produk-produk yang berkarakteristik berkontribusi penuh pada sektor riil menjadi sangat penting. Dengan begitu proses-proses produk engineering atau sofistikasi produk perbankan syariah harus menjadi hal yang perlu diperhatikan.

Secara garis besar klasifikasi produk pembiayaan atau produk yang dapat mendatangkan profit yang ada dalam ruang lingkup operasional bank adalah sebagai berikut:

1. Produk pembiayaan berbasis bagi hasil (musyarakah, mudharabah) dan jual beli (murabahah, istisna, salam, ijarah, rahn) harus terus dikembangkan karena secara langsung berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

2. Produk jasa (kafalah, wakalah, hawalah) juga dapat terus dikembangkan meskipun kontribusinya tidak langsung pada perekonomian, tetapi produk ini sifatnya memperlancar aktifitas ekonomi riil.

3. Produk “treasury” (SBIS, SIMA dan SBSN) perlu dibatasi dan dijaga fungsinya hanya sebagai produk pengelolaan likuiditas, bukan produk pendulang profit. Khusus produk SBSN untuk memiliki kontribusi yang positif dan maksimal pada sektor ekonomi riil sebaiknya lebih berbentuk project base daripada berbentu asset base seperti yang umumnya dipraktekkan banyak institusi keuangan syariah.

4. Produk pembiayaan yang kamuflase syariah (commodity murabahah atau tawarruq, bay’ al inah, bay' al dayn, bay’ bithaman ajil) harus dilarang, karena sesungguhnya hakikat transaksinya adalah transaksi kredit yang tidak ada kaitan atau kontribusinya pada aktifitas ekonomi riil atau pertumbuhan ekonomi.

Wallahu a’alam

Selasa, 14 Juli 2009

Quo Vadis Kampanye Dinar




Isu dinar yang berkembang terakhir ini akhirnya hanya mengerucut pada aktfitas investasi menggunakan dinar. Jika dianalisa dan direnungkan lebih dalam aktifitas seperti itu, sekedar investasi dalam bentuk emas, cuma untuk kasus ini dibungkus dengan Dinar yang kental sentimen atau semangat keislaman, kejayaan Islam dengan simbol dinar yang dipromosikan untuk aktifitas ini. Jadi kalau mau jujur, kecenderungan terakhir tentang dinar sebenarnya sudah terdistorsi dari semangat awal untuk menjadikan dinar sebagai alat transaksi. Aktifitas investasi dalam bentuk dinar sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Aktifitas investasi ini sama dengan aktifitas investasi yang selama ini sudah ada yaitu investasi dalam bentuk emas, dimana keuntungannya berasal dari selisih harga jual dan harga beli.

Nah kalau sudah seperti itu, analisa selanjutnya yang jadi lebih menarik bagi saya, karena investasi dalam bentuk emas sama saja dengan menyisihkan harta, dimana aktifitas yang relatif masif akan membuat “pengerutan” potensi volume transaksi riil ekonomi di perekonomian. Jadi dari perspektif makro-ekonomi, investasi dalam bentuk emas harus disikapi berhati-hati dan membutuhkan kepekaan yang lebih. Ketika uang berubah menjadi emas, maka emas relatif given atau idle (menganggur), padahal ia punya potensi menghidupkan pasar jika bentuknya lebih likuid.

Implikasi dari aktifitas investasi masif dalam bentuk emas:
1. Mengurangi volume transaksi di pasar
2. Volume transaksi yang tertekan tentu akan menekan sektor penawaran
3. Penawaran yang tertekan akan menyebabkan kecenderungan inflasi (supply-demand law)
4. Penawaran yang tertekan juga tentu mempengaruhi employment level
5. Tekanan pada volume transaksi dan penawaran tentu akan juga menekan output total ekonomi.

Dari implikasi ini jelas bahwa investasi dalam bentuk emas yang berlebihan similar dengan prilaku hoarding (Ihtikar). Implikasi dari aktifitas ini akan berefek negatif bagi perekonomian.

Dengan demikian, saya secara pribadi ingin mengajak untuk mengembalikan “misi” awal dari kampanye dinar, yaitu menjadikannya sebagai alat tukar dalam perekonomian. Tetapi dalam “marhalah dakwah” ekonomi Islam, skala prioritas dakwah dinar(sebagai alat tukar) itu dibawah dakwah prohibition of riba/maysir. Bahkan berdasarkan fakta sejarah dan teori, boleh dikatakan, pre-requisite dari optimalisasi/efektifitas pemberlakuan dinar adalah lingkungan ekonomi yang bebas riba dan maysir (bunga dan spekulasi).

Minggu, 12 Juli 2009

Seruan Ekonomi Islam pada Saya, Anda dan Kita para Pemilik Harta

  1. Jangan biarkan pesan-pesan mulia Islam dalam berekonomi hanya sekedar pesan yang hanya bermakna pada mimpi, harapan atau obsesi. Jangan biarkan teori-teorinya hanya menjadi fenomena-fenomena cerita tanpa realita. Mari wujudkan pesan-pesan mulia itu menjadi fakta yang benar-benar nyata. Kita jadikan teori-teori menjadi realita berupa data-data. Mudah saja untuk memulai, latih hati untuk semakin peka dengan keadaan sekitar kita dan kemudian perbanyak infak juga sedekah. Biasakan diri hanya berorientasi pada kebutuhan saja, karena kelebihan berapapun harta kita, ternyata mampu membuat orang lain tersenyum dalam hidupnya, atau sekedar menahan mereka untuk tidak mencuri barang satu malam untuk sesuap nasi bagi anak-anaknya.
  2. Berdampaklah pada sekeliling kita. Pesan Nabi adalah menjadi sebaik-baik manusia yaitu manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain, oleh sebab itu berdampaklah diri kita bagi manusia lain sebanyak yang kita mampu. Mudahkanlah urusan manusia lain, bantu masalah mereka, bantu dengan waktu, fikiran, tenaga dan harta yang kita punya.
  3. Berhitunglah mulai saat ini, sebanyak apa harta yang sudah kita telan untuk kita nikmati sendiri dan sebanyak apa harta yang sudah kita sisihkan untuk mereka yang membutuhkan. Bandingkanlah, berapa infakmu hari ini dengan belanja cemilanmu pagi tadi. Bandingkanlah, berapa sedekahmu tahun lalu dengan tambahan tabunganmu setiap bulan.
  4. Bersungguh-sungguhlah untuk menjadikan diri kita menjadi manusia yang shaleh, karena Nabi juga pernah berpesan, sebaik-baiknya harta adalah harta yang ada di tangan orang-orang shaleh. Kesungguhan ini tentu akan sangat indah jika ia diiringi dengan semangat tinggi mencari harta yang konsisten dengan orientasi memberikan kemanfaatan bagi orang lain.
  5. Mari ajak diri kita, orang lain atau siapa saja untuk menjadi lebih baik dengan hartanya. Dengan harta, kita dan banyak orang terhalangi dari kehinaan, sehingga dengan harta, kita usahakan neraka lebih kecil gejolak apinya, karena bahan bakar yang berasal dari manusia sudah kita kurangi dengan dakwah.

Ini pesan khusus untuk diri saya dan umumnya bagi anda, baiknya yang tengah semangat dalam kerja-kerja nafkah maupun yang sedang bingung dengan harta lebih yang anda punya.

Kamis, 02 Juli 2009

Ekonomi yang Bersahaja

Merujuk pada estimasi volume transaksi narkoba dan pelacuran dalam tulisan saya sebelumnya; Underground Economy: Sebuah Estimasi, diketahui volume transaksinya masing-masing sekitar Rp 72 triliun dan Rp 57,6 triliun.

Bayangkan, dengan dana sebesar itu berapa jembatan serupa Suramadu yang kita bisa persembahkan pada rakyat. Nilai jembatan Suramadu hanya Rp 4,7 triliun, dengan angka “foya-foya” di narkoba dan pelacuran kita bisa dapatkan 32 jembatan!!! Atau bisa mengembangkan aset perbankan syariah hampir tiga kali lipat dalam waktu hanya satu tahun!!! Cape deh...

Hebat ya, transaksinya ada, tapi ga masuk dalam perhitungan GDP tuh. Ya, ekonomi akhirnya “bocor” karena absennya syariat dan akhlak dalam sistemnya. Potensinya terbuang tanpa ada manfaat barang serambutpun.

Nah sekarang bayangkan lagi jika saja keadaannya sebaliknya, semua orang yang berduit sedikit lebih taat dengan syariat dan akhlak Islam mereka, mungkin akan kita dapatkan ekonomi yang lebih baik. Apalagi jika prilaku mereka diikuti dengan kesederhanaan dan kezuhudan yang teramat indah.

Bayangkan jika para pemain saham (meski sahamnya halal, katanya hanya saham Jakarta Islamic Index), para pemegang premi asuransi (meski juga asuransinya sudah syariah), para pemegang sukuk, para penggila hobby; bikers, modifikasi mobil, wisata kuliner, kolektor barang antik, atau backpackers yang addict menjelajah sudut-sudut negeri (walaupun uang yang dipakai semuanya berasal dari kerja-kerja yang halal), sedikit peka dengan kondisi orang-orang miskin, yatim piatu, pengangguran, dhuafa penderita penyakit, korban bencana dan lain-lainnya, mungkin kita akan saksikan atmosfer ekonomi yang jauh lebih bersahaja.

Kepekaan dan kesadaran pada hakikat hidup itu akan melahirkan kesederhanaan prilaku ekonomi. Dengan kepekaan dan kesadaran, para pemegang saham bersedia mengorbankan potensi return yang didapat karena lebih berharap pada return yang Allah janjikan; barang siapa yang mengeluarkan hartanya di jalan Allah, maka Allah akan lipat-gandakan rizkinya. Para pemegang premi asuransi pun punya prinsip yang sama, apalagi mereka sangat lebih percaya pada asuransi atau jaminan Allah. Dan percaya kalau Allah tidak akan memberikan ujian berupa bencana atau kemalangan diluar kemampuannya sebagai manusia, terlebih lagi keikhlasan dan kesabaran telah mematri jiwanya untuk siap dengan segala cobaan dan ujian, karena mereka sadar semua itu pasti akan menggugurkan dosa dan menghantarkan pada derajat kemuliaan.

Para pemegang sukuk, lebih berbahagia jika dananya langsung dimanfaatkan oleh para dhuafa, mereka yang terdesak dan terhimpit keimanannya karena kesempitan ekonomi, karena dari situ ia akan dapatkan return berupa pahala yang menjanjikan kebahagiaan yang jauh lebih hakiki dari return sukuk manapun. Para penggila hobby, sadar betul bahwa “kegilaannya” hanya akan menyita waktu mereka untuk dapat semakin dekat dengan Allah terkasih. Mereka relakan waktu dan dana mereka demi mendapat waktu untuk memperbanyak tilawah, bermal shaleh serta kerja-kerja dakwah. Mereka paham betul hobby akan semakin memfokuskan perhatian dan konsentrasinya pada kenikmatan-kenikmatan yang melenakan. Mereka sadar betul bahwa kebahagiaan hanya ada di akhirat, masa penikmatan hanya ada di sana. Dan mereka tak ingin menyesal hanya kerena hobby yang remeh seperti itu.

Wallahu a’lam bishawab.

QUO VADIS PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

Semenjak tahun 2004, industri perbankan syariah di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam kurun waktu 5 tahun, total aset industri perbankan syariah telah meningkat lebih dari 3 kali lipat atau setara dengan pertumbuhan sebesar 55,8% per tahun (rata-rata y.o.y) dari sebesar Rp 15,33 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp.49,55 triliun pada akhir tahun 2008.

Pada periode 5 tahun terakhir, perbankan syariah telah pula berhasil mempertahankan kualitas aset yang cukup baik yang ditunjukkan dengan tingkat Non Performing Financing (NPF) yang masih terkendali sekitar 4-5% dan tingkat Financing to Deposit ratio (FDR) yang cukup tinggi yaitu rata-rata diatas 90%. Industri perbankan syariah telah pula mengalami pertumbuhan dalam hal kelembagaan. Pada saat ini jumlah bank syariah telah meningkat menjadi 5 Bank Umum Syariah, 25 Unit Usaha Syariah dan 134 BPR Syariah yang didukung oleh 1031 kantor ditambah 1.618 unit layanan syariah di kantor bank konvensional.

Pertumbuhan jaringan yang pesat juga membuat pertumbuhan yang cukup tinggi pada jumlah pengguna jasa perbankan syariah. berdasarkan data terakhir diketahui hingga bulan Mei 2009 pengguna jasa pembiayaan bank syariah mencapai 635.555 atau tumbuh rata-rata pertahun dalam 5 tahun terakhir sebesar 99,45%. Sementara pengguna jasa simpanan (giro, tabungan dan deposito) mencapai 4.678.374 dengan rata-rata pertahunnya tumbuh sebesar 73,42%.

Berdasarkan data bulan Desember 2008, aset perbankan syariah nasional mencapai Rp.49,55 triliun, sedangkan pembiayaan yang didistribusikan dan dana masyarakat yang terhimpun masing-masing mencapai Rp.38,19 triliun dan Rp.36,85 triliun. Sementara jaringan kantor telah mencapai 953 kantor. Selain itu sebagian besar pembiayaan tersebut dialokasikan ke UMKM dengan porsi yang cukup signifikan yaitu mencapai sekitar 70%.

Sehubungan dengan terjadinya krisis keuangan global sejak semester kedua tahun 2008, industri perbankan syariah nasional relatif terhindar dari pengaruh langsung krisis keuangan global karena relatif rendahnya eksposur investasi internasional dan transaki valuta asing. Hal ini tercermin antara lain dengan masih tingginya pertumbuhan tahunan dari aset, DPK maupun PYD industri perbankan syariah. Disamping itu, daya tahan industri perbankan syariah sedikit banyak dipengaruhi oleh karakteristiknya yang hanya bertransaksi pada aktifitas ekonomi riil dan memang pembiayaan perbankan syariah mayoritas berada di sektor UMKM.

Pencapaian industri perbankan syariah nasional yang cukup menonjol pada periode tahun 2004 s.d 2009 adalah dikeluarkannya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, dimana dengan UU tersebut industri perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat. Disamping itu, sebelumnya telah pula dikeluarkan UU No. 19 tahun 2008 tentang Sertifikat Berharga Syariah Nasional (SBSN) yang memberikan dukungan berupa dikeluarkannya instrumen SBSN yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditasnya.
Dalam aspek peningkatan kualitas sekaligus kuantitas sumberdaya mansusia industri perbankan syariah, telah dilakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti Perguruan Tinggi (PT), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO), CERTIF, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), berupa pembukaan program-program studi ekonomi/keuangan/perbankan syariah, penyusunan buku teks ekonomi Islam, penyusunan kodifikasi produk perbankan syariah, kamus istilah keuangan/perbankan syariah serta pelaksanaan program sertifikasi bagi direktur BPRS di seluruh Indonesia.

Pertanyaan yang cukup menggelitik dari perkembangan pesat industri perbankan syariah nasional saat ini adalah:

Sudah seberapa jauh kemanfaatan bank syariah dirasakan masyarakat luas? Berdasarkan data perkembangan jumlah rekening nasabah baik simpanan maupun pembiayaan mencerminkan seberapa jauh kemanfaatan bank syariah. pertumbuhan yang hampir dua kali lipat setiap tahunnya dalam kurun waktu 5 tahun menjadi prestasi tersendiri. Tetapi akan sangat melegakan jika diketahui, seberapa banyak masyarakat usaha yang terbantu usahanya, berkembang bisnisnya, terangkat status sosial dan aktifitas ibadahnya (keimanannya) karena bantuan perbankan syariah.

Sejauh mana paradigma masyarakat berubah oleh perkembangan perbankan syariah tanah air? Sejauh ini belum ada instrumen yang dapat dijadikan alat ukur seberapa jauh adanya perubahan paradigma. Masyarakat masih memandang bank syariah sebagai diversifikasi produk perbankan, karena masih dominannya floating customer bank syariah.

Sejauh mana derajad kesyariahan dan keislamian prilaku ekonomi masyarakat, menjadi perhatian program-program pengembangan industri? Mekanisme sharia governance, dimana DSN bersama BI masih melakukan kontrol atas produk-produk baru perbankan syariah sedikit banyak membantu mengawal kesyariahan operasional perbankan syariah. Meskipun pada sisi lain, perbankan syariah nasional terkesan birokratif. Tapi perlu diakui dengan karakteristik sharia governance seperti ini, jatidiri industri perbankan syariah nasional sebagai lembaga intermediari keuangan syariah masih terus terjaga, kontribusinya maksimal pada pertumbuhan ekonomi. Ditengah gencarnya inovasi produk yang similar dengan produk asing, seiring dengan semakin banyaknya bank lokal dimiliki pihak asing, mekanisme sharia governance ini sangat-sangat bermanfaat mengawal derajad kesyariahan industri. Meskipun begitu, diharapkan derajad kesyariahan juga menjadi kepentingan praktisi perbankan dengan pengetahuan, pemahaman dan skill yang mumpuni dari SDM perbankan syariah nasional. Dengan pemahaman dan kemampuan yang mumpuni, diharapkan terjadi pula pergeseran preferensi penggunaan produk dari pembiayaan berbasis jual-beli kepada produk pembiayaan berbasis bagi-hasil. Sementara itu prilaku Islami masyarakat dalam berinteraksi dengan bank syariah atau lembaga keuangan syariah pada saat ini masih sekedar berorientasi pada pencapaian profit yang halal. Budaya amanah, transparan, profesional atau bahkan militansi pada lembaga keuangan syariah masih dirasakan rendah. Harapannya seiring dengan waktu, masyarakat semakin memiliki loyalitas dan semakin memperhatikan nilai-nilai atau akhlak dalam beraktifitas memanfaatkan jasa keuangan syariah. Masyarakat sebagai nasabah tidak hanya menjatuhkan pilihan pada bank, karena faktor tinggi rendahnya return, tetapi juga karena nilai-nilai yang dianut oleh bank, atau kemanfaatan bank terhadap lingkungannya.