Jumat, 27 Juli 2007

HOMO ISLAMICUS

Kamis, 26 Juli 2007

Intermezzo dalam Lamunan (2)

"lamunku akan hidup “

ingin kuanyam warna bianglala menjadi sekeranjang bunga ikhlas dan sabar pada ketika rindu tiba,
kutanam bibit kembang harapan di lembah hati dan sukma meski tanpa tahu hadirnya waktu untuk memetiknya,...
kukulum segala rasa cobaan dan nikmat dengan terus memaksa kata syukur sebagai imbalannya

kucinta semua ruang,
semua waktu dan
semua peristiwa
walau rasa tak sama inginnya

kuselami makna, kuurai benang-benang jalan dunia
tetapi tak kutemui sesuatu apa

duduk aku di sudut ruang akal dan emosi
mencoba melamunkan belaian dan tamparan Tuhan selama ini…

(19 nov '99)

Rabu, 25 Juli 2007

Iman & Kepuasan (2)


Dari mana iman itu datang? Dari kefrustrasian? Pelarian? Apologi terhadap sesuatu yang tidak memiliki jawaban? atau memang berasal dari sebuah proses pencarian atas inti kehidupan?


Iman dalam Islam melalui lisan Nabi yang diyakini sebagai buah dari inspirasi ilahi, adalah keyakinan pada 6 elemen utama, yaitu keyakinan pada Tuhan, Malaikat, Kitab-Nya, Nabi, Hari Akhir & Qadha - Qadar. Keyakinan pada keenam elemen ini sepintas terkesan ringan, namun pada hakikatnya memiliki implikasi yang sangat mendalam. Keyakinan pada Tuhan tentu memiliki konsekwensi pada kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan meliputi semua lingkungan atau bahkan diri manusia itu sendiri. Dan ruang lingkup kekuasaan tersebut mensyaratkan keyakinan pada Malaikat (dengan segala implikasinya pada corak dan kefitrahan mekanisme alam yang menjadi tugas malaikat), Nabi (dengan segala bentuk contoh berkehidupan yang melekat pada diri Nabi dan sebagai medium penyampai kalimat-kalimat Tuhan), Kitab (dengan segala kemutlakannya sebagai medium hukum-hukum Tuhan), Hari Akhir (dengan segala kepastiannya sebagai ukuran kesuksesan hidup dan penentu kebahagiaan abadi setelahnya) dan Qadha - Qadar (dengan segala konsekwensinya sebagai sebuah ketentuan Tuhan yang menuntut keikhlasan manusia dalam menerimanya sekaligus menjadi alat penguji bagi keimanan itu sendiri).


Pengetahuan terhadap keyakinan pada 6 elemen utama tersebut bukan berasal dari proses perenungan, atau sebuah kesimpulan analisa yang bersandarkan pada metode-metode ilmiyah. pengetahuan itu langsung dari Tuhan melalui medium-medium penyampai seperti Nabi, Malaikat atau Kitab-Nya. Dengan demikian, pengetahuan keimanan pada tingkat filosofi dalam Islam sangat-sangat bergantuk pada penerimaan hati terhadap logika-logika keimanan. Peran akal belum begitu dominan untuk menerima logika-logika ini. Jadi kebersihan hati kemudian menjadi begitu penting untuk dapat menerima logika-logika keimanan tersebut. Oleh sebab itu, terlihat jelas manusia yang terjaga prilakunya dalam kebaikan, akan memiliki potensi yang lebih besar untuk dapat menerima logika-logika keimanan. wallahu a'lam bishawab

Kebutuhan, Keinginan dan Faktor Produksi


Kebutuhan Versus Keinginan

Aktivitas ekonomi memang berawal dari kebutuhan fisik manusia untuk dapat terus hidup (survive) di dunia ini. Segala keperluan untuk bertahan hidup akan sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan untuk hidup itu tidak dapat dipenuhi sendiri dan kehidupan manusia memang tidak bersifat individual tapi social (kolektif), maka terjadilah interaksi pemenuhan keperluan hidup diantara para manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga muncullah pasar sebagai wadah interaksi ekonomi ini.

Pemenuhan keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup itu berawal dari pemenuhan keperluan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun perlu dipahami bahwa teori Maslow ini jelas merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistic-materialistik.

Sementara dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup dari seseorang atau individu boleh jadi memang seperti yang Maslow gambarkan, tapi perlu dijelaskan lebih detil bahwa pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika memang secara kolektif keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang aman. Artinya masyarakat luas (umat) sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga tidak akan ada implikasi negatif yang nanti muncul akibat pemenuhan kebutuhan dasar kolektif tadi yang belum sempurna terwujud. Jadi diperlukan peran suatu otoritas atau negara dalam memastikan itu semua. Seperti yang nanti dijelaskan dalam bab selanjutnya, bahwa memang ada beberapa mekanisme dalam sistem ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.

Selain itu perlu dipahami juga bahwa parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Atau dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin (pahala) dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.[1] Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)

Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.

Umer Chapra (2000) mencoba menjelaskan maksud Imam Al Ghazali dalam mendefinisikan fungsi syariah dalam Islam. Al Ghazali mendefinisikan bahwa fungsi Syariah adalah untuk mensejahterakan seluruh manusia melalui perlindungan agama, diri manusia, akal, keturunan dan harta. Chapra menyimpulkan bahwa dengan memasukkan jiwa manusia, akal dan keturunan di dalam model-model ekonomi, adalah mungkin untuk menciptakan kepuasan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia.

Dari pembahasan keperluan hidup manusia dan tahapannya tadi, sebenarnya juga penting untuk di bahas apa perbedaan kebutuhan dan keinginan yang dalam perekonomian Islam mendapat perhatian tidak kurang besarnya. Karena kedua motif tadi akan dengan signifikan membedakan corak atau karakteristik aktivitas ekonomi.

Islam memiliki nilai moral yang begitu ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktivitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan prilaku ekonomi Islam, dominasi motif “kebutuhan” (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam ini, bukan keinginan. Apa perbedaan dan konsekwensinya?

Kebutuhan (needs) lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan)[2] manusia atas segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi kebutuhan. Contoh sederhana dalam menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam konsumsi manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin akan cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.

Memang diakui bahwa perbedaan keinginan dan kebutuhan begitu relative diantara satu manusia dengan manusia lain. Salah satu factor yang cukup menentukan dalam membedakan keduanya adalah menilai keduanya menggunakan perspektif kolektifitas (kebersamaan atau kejama’ahan). Dan inilah yang sebenarnya parameter umum yang harus digunakan dalam menilai sebuah kemanfaatan dari sesuatu termasuk mengidentifikasi perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Dengan kebersamaan kita dapat menilai seperti apa keadaan lingkungan manusia di sekitar kita, sehingga dengan sangat mudah kita dapat menentukan apakah tindakan kita itu mencerminkan kebutuhan atau keinginan.

Namun perlu juga diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam ini sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga dapat saja pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Jadi parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan ini (sekali lagi) tidak statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.

Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa prilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu manusia, ada nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk prilaku ekonomi mereka. Dan nilai tersebut adalah Islam itu sendiri, yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi berkaitan dengan variabel keinginan dan kebutuhan ini, Islam sebenarnya cenderung mendorong keinginan pelaku ekonomi sama dengan kebutuhannya. Dengan segala nilai dan norma yang ada dalam akidah dan akhlak Islam peleburan atau asimilasi keinginan dan kebutuhan dimungkinkan untuk terjadi.

Peleburan keinginan dengan kebutuhan dalam diri manusia Islam terjadi melalui pemahaman dan pengamalan akidah dan akhlak yang baik (Islamic norms). Sehingga
ketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim (homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang orisinil yang bersumber dari Islam. Dan secara simultan otomatis ekonomi tentu akan mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah eksis saat ini.
[1] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Intermedia, Jakarta 1997. pp. 387-409.
[2] Meskipun kata kamauan ini juga kurang tepat untuk menggambarkan desire.

Selasa, 24 Juli 2007

Iman & Kepuasan


Apa hubungan iman dan ekonomi? boleh jadi ini kunci ekonomi dalam Islam. Bahkan tingkat perbedaan konsep ekonomi Islam dengan konsep-konsep lain ditentukan seberapa besar tingkat keimanan kolektif pelaku yang mengakomodasi aplikasi ekonomi Islam.
Keimanan pada dasarnya mencerminkan kepatuhan manusia pada nilai-nilai dan ketentuan Islam. Keimanan akan membentuk corak inisiatif, motif, preferensi dan mekanisme pelaksanaan prinsip-prinsip berekonomi secara Islam. Keimananlah yang menentukan seperti apa seseorang memperlakukan pendapatannya. Keimanan juga yang membentuk preferensi konsumsi, produksi, investasi atau prilaku sosial.
Dengan begitu, keimanan juga akan membentuk besaran-besaran ekonomi yang ada dalam perekonomian. Korelasi positif yang terjadi antara besaran ekonomi tersebut dengan keimanan kemudian menjadi besaran yang dapat dijadikan ukuran atau standard pencapaian ekonomi, sehingga ekonomi sebagai alat pencapaian kesejahteraan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, selaras dengan aktifitas-aktifitas ibadah lain yang telah lazim dikenal dalam agama (Islam). atau dengan makna lain, bahwa ekonomi pada level itu tidak lagi bisa dibedakan dengan agama, karena memang ekonomi adalah salah satu piranti praktis dari agama. Wallahu a'lam bishawab.

"Intermezzo Dalam Lamunan" (1)

" lamunanku pada harap "
Ketika cinta belum sanggup mewujudkan rasanya
Ketika malam belum indah bersama bintangnya
Ketika sayang masing mencari-cari tujuannya
Ketika siang belum nampak hangatnya

Bukan hati yang mencinta
Tapi sukma yang meminta
Hari berganti dengan minggu
Tapi tak kunjung tiba yang kutunggu

Bukit tetap setinggi bukit
Gunung terus berujud gunung
Hingga sang Maha menunjukkan Maha-Nya
Hingga kuasa-Nya di atas segala kuasa

28th March 2000

Senin, 23 Juli 2007

Preferensi 2

CAPITALISM BEHAVIOR

Jeremy Bentham (1748-1823)
• Rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing pain
• Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah;
– kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number).
– tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik.

Adam Smith (1776)
• Capitalism is based upon individual self interest and the pursuit of monetary gain
• Humans are largely ruled by sentiments, feelings and passions. Theology is not a source of guaranteed truth (spencer j. pack on smith’s view)
• The capitalist economy is not the result of total conscious planning
• Similarly, the moral education and socialization of a human is not the result of total conscious planning. It is the result of the constant feedback of society to the actions of the individual

F.Y Edgeworth (1881)
• Egoism merupakan nilai yang konsisten dalam diri setiap manusia yang mempengaruhi setiap keputusan-keputusan hidup, termasuk keputusan ekonomi

KESIMPULAN
Self-Interest = Egoism = Utilitarianism = Individualism = Materialism = Rationalism = CAPITALISM

CAPITALISTS ON CAPITALISM

Roy Culpeper (1999)
• “It is the system that is at fault rather than particular actors--or, as Robert Wade put it metaphorically, widespread accidents are caused by the "design of the road network" rather than the "bad habits of certain drivers." In the Briefing paper I wrote for the North-South Institute in June 1998, I characterized the problem as "systemic instability." This instability has been brought on by the relentless drive by certain governments--led by the US and its G-7 groupies--and pressures from the financial industry itself, to liberalize the financial sector and capital-account transactions around the world.”

Spencer J. Pack (1999)
• The system of capitalism has brought long-term increases in the wealth of advanced capitalist countries

Barberton dan Lane (1999)
• “The credit and capital markets have grown too rapidly, with too little transparency and accountability. Prepare for an explosion that will rock the western financial system to its foundations.”

Lord Josiah Stamp (1937)
• “The modern banking system manufactures money out of nothing. The process is perhaps the most astounding piece of sleight of hand that was ever invented. Banking was coinceived in inequity and born in sin. Bankers own the earth; take it away from them, bt leave them with the power to create credit, and with the stroke of a pen they will create enough money to buy it back again. If you want to be slaves of the bankers, and pay the cost of your own slavery, then let the banks create money.”

Preferensi 1



Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Apa sebenarnya yang menggerakkan keinginan? Makan ini? Beli itu? Beri ini? Ambil itu? adakah jaringan tubuh dalam badan kita yang berfungsi untuk memproduksi semua jenis inisiatif/motif? Sesederhana itulah kita kemudian akan mengenali dunia ekonomi ini, mengetahui pergerakan mekanismenya, memprediksi segala kecenderungannya, dan yang terpenting adalah mengendalikan diri sendiri. Yang maknanya mengendalikan ekonomi pada puncak aktifitasnya. sesederhana itu?

Rahasia Alam




Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Mengidentifikasi rahasia alam termasuk rahasia manusia merupakan sebuah pencarian yang tak pernah berhenti. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, pencarian itu dimaksudkan untuk memudahkan proses hidup, yang begitu banyak ruang gelap menyesatkan. Rahasia alam laksana cahaya penerang jalan, rahasia manusia ibarat panduan bertindak, yang membuat hati tidak harus bertarung dengan nafsu, nurani tidak harus bergumul dengan gejolak jiwa, kefitrahan tidak harus berjibaku dengan ketidaksabaran pada dunia. Dan ekonomi adalah alat memperoleh rahasia itu. Rahasia yang bisa menentramkan pilihan-pilihan ekonomi, yang bisa memudahkan pengambilan keputusan-keputusan ekonomi. Rahasia itu membuat jelas apa sebenarnya konsumsi, produksi atau sekedar apa yang harus masuk ke perut.

Terkadang rahasia itu sudah begitu jelas di depan hati dan akal, tetapi ia seperti tak dikenali oleh kehendak, sehingga gerak kehidupan masih bukan pada gerak yang sepatutnya. Keletihan juga bisa membuat mata dan akal tidak lagi dipercaya, atau bahkan tidak dipedulikan fungsinya untuk mengidentifikasi rahasia-rahasia itu. Saat itulah membuat dunia menjadi gelap, bukan dunia yang seharusnya di hidupi, bukan alam yang sepatutnya dinikmati. Kita ada di dunia yang satu tetapi bukan di sisi yang seharusnya.

Bank Indonesia, 23 Juli 2007, 17:30 WIB







Senin, 16 Juli 2007

Kamis, 12 Juli 2007

Sang Maha


Semua gerak, semua amal, semua lisan berawal dari niat karena Dia, dilakukan dengan cara-cara Dia, dan ditujukan hanya untuk mengagungkan Dia. Dia adalah dasar dan Dia pula yang menjadi akhir. Dialah puncak segalanya. Dialah ruang dan waktu kehidupan manusia. Dialah penentu zaman dan peradaban, bankitnya, hidupnya dan matinya. Dialah Sang Maha.

Selasa, 10 Juli 2007

Keseimbangan Umum Ekonomi Islam

Keseimbangan Umum Ekonomi Islam

Karena nilai – nilai moral akidah dan akhlak serta ketentuan – ketentuan hukum syariah tidak memperkenankan praktek – praktek ekonomi yang mengandung riba, maisir dan spekulasi, maka muara aktifitas ekonomi secara makro lebih dideskripsikan oleh mekanisme di pasar barang dan jasa. Moneter dalam definisi konvensional tidak sejalan dengan nilai dan ketentuan hukum syariah Islam, sehingga keberadaannya menjadi tidak ada dalam perekonomian yang menganut perspektif Islam. Dengan begitu dapat juga dikatakan bahwa perekonomian Islam tidak memiliki konsep keseimbangan umum riil dan moneter dua sektoral (dual sector – konsep IS–LM). Konsep keseimbangan umum dalam Islam lebih sebagai sebuah keseimbangan satu sektoral (single sector), dimana keseimbangan umumnya identik dengan keseimbangan pasar riil (barang dan jasa). Sehingga segala jenis aktifitas ekonomi akan tergambar dalam interaksi permintaan dan penawaran pada pasar barang dan jasa[1].

Dengan pertimbangan bahwa aktivitas ekonomi riil didukung secara signifikan oleh sector investasi dan penyediaan uang, maka kedua sector ini yang kemudian secara simultan dimasukkan dalam menjelaskan keseimbangan umum ekonomi (dalam perspektif Islam). Sector investasi menjadi sector pendukung aktifitas ekonomi riil yang begitu dominan perannya dalam corak perekonomian kontemporer saat ini. Aktifitas ekonomi yang begitu rumit dengan ruang lingkup yang cukup luas membuat sector investasi menjadi suatu aktifitas yang penting dalam perekonomian. Sementara itu, perekonomian tentu tidak akan lengkap jika tidak membahas keterkaitannya dengan penyediaan uang sebagai medium of transaction. Urgensi dari keberadaan uang telah menjadi sebuah keharusan bagi sistem ekonomi. Namun dalam Islam Uang tidak berperan lebih besar kecuali sebagai alat pembayaran atau alat penyimpan nilai (kekayaan).

C.3.1. Aktifitas Investasi
Jika sector moneter yang selama ini lazim dikenal dalam perekonomian tidak ingin dihilangkan dalam wacana ekonomi Islam, maka sector investasi dapat saja diidentikkan dengan sector moneter. Namun identifikasi sector investasi menjadi moneter haruslah dengan pemahaman bahwa definisi moneter disini tidak merujuk pada definisi yang digunakan oleh konvensional. Sector moneter (investasi) disini terbatas pada penyediaan modal atau projek – projek investasi yang mendukung terselenggaranya aktifitas riil di pasar. Secara definisi penjelasan tentang investasi telah dijabarkan dalam bab sebelumnya tentang prilaku ekonomi.

Perumusan model aktifitas investasi, baik pada sisi permintaan maupun sisi penawaran, merujuk pada nilai – nilai moral Islam yang diyakini mempengaruhi prilaku ekonomi seseorang serta segala ketentuan hukum syariah yang memang menjadi pedoman dalam berprilaku dan berinteraksi secara Islam. Dengan asumsi bahwa yang menjadi objek dalam aktifitas investasi adalah projek – projek investasi, maka aktifitas permintaan dan penawaran investasi akan menentukan besar – kecilnya tingkat ekspektasi keuntungan di pasar investasi. Secara visual pasar investasi dapat digambarkan oleh kurva pasar investasi dibawah ini.

Kurva 7.4.
Pasar Investasi


Er
I
Id = Io + h(Er)
Is = Ip + Ig + Iso
Ere

Penawaran investasi yang komponennya terdiri dari investasi swasta (Ip), investasi pemerintah (Ig) dan investasi sosial (Iso), memiliki kurva yang vertikal karena diasumsikan bahwa inisiasi projek investasi dilakukan bukan atas dasar besar – kecilnya keuntungan ekspektasi (expected return – Er). Penawaran atau inisiasi projek investasi pada investasi swasta dilakukan sepanjang Er tidak negatif. Dengan kata lain, projek investasi akan tetap dilakukan berapapun tingkat ekspektasi keuntungan. Bahkan boleh jadi seorang pelaku bisnis akan tetap berinvestasi meskipun tahu ekspektasi keuntungannya adalah 0, karena motivasi dia adalah memberikan kemashlahatan/kerja bagi mereka yang membutuhkan[2]. Sementara itu investasi pemerintah dan sosial cenderung tidak ada kaitannya dengan ekspektasi keuntungan, karena motivasi pemerintah dan sosial masing – masing adalah penyediaan infrastruktur bagi publik dan kemanfaatan bagi manusia lain (yang sifatnya sukarela).

Pada sisi permintaan investasi, keikutsertaannya kelompok pemilik modal tergantung pada keberadaan usaha yang telah ada dipasar, dimana mereka menempatkan sebagian modalnya (uang) pada usaha yang ada, sehingga besar – kecil jumlah investasi atau penanaman modal mereka pada projek investasi tergantung pada besar – kecil ekspektasi keuntungan yang ada. Semakin besar ekspektasi keuntungan, maka akan semakin besar permintaan terhadap projek investasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika ekspektasi keuntungan kecil, maka permintaan projek investasi pun akan turun. Seberapa besar penurunan permintaan investasi sangat tergantung pada tingkat sensitifitas permintaan tersebut terhadap pergerakan naik – turunnya ekspektasi keuntungan.

Dalam sebuah pasar yang terintegrasi dengan sifat informasi pasar yang cair (symetric information), tingkat ekspektasi keuntungan sebagai hasil dari interaksi permintaan dan penawaran investasi akan mencerminkan juga aktifitas sektor riil di pasar puncak yaitu pasar barang dan jasa. Dalam mekanisme ekonomi modern yang aktifitasnya begitu rumit dengan ruang lingkup yang hampir – hampir tidak memiliki batas wilayah dan pelaku, pasar investasi ini menjadi satu sektor ekonomi yang dominan dalam sebuah perekonomian. Oleh sebab itu, peran pasar investasi menjadi cukup signifikan untuk menjelaskan mekanisme keseimbangan umum ekonomi di pasar puncak barang dan jasa.

C.3.2. Aktifitas Uang Beredar
Membahas ekonomi tentu tidak akan lengkap jika tidak mendiskusikan tentang uang. Tidak hanya pada sistem ekonomi konvensional, dalam sistem ekonomi Islam uang juga memiliki peran yang penting. Namun yang membedakan pada kedua sistem ini adalah, perspektif terhadap peran atau fungsi uang dalam aktifitas ekonomi. Sistem konvensional memandang uang tidak sekedar hanya sebagai alat bantu transaksi ekonomi, uang bahkan dapat menjadi objek transaksi ekonomi itu sendiri. Dengan demikian konsekwensi perspektif ini membuat perekonomian menjadi meluas ruang lingkup aktifitasnya, ia tidak hanya terbatas pada transaksi – transaksi produktif penciptaan barang dan jasa, tetapi juga mencakup segala transaksi – transaksi keuangan berikut transaksi – transaksi turunannya[3].

Sementara itu sistem ekonomi Islam membatasi fungsi uang sebagai alat bantu transaksi – transaksi produktif barang dan jasa. Uang itu sendiri tidak diperkenankan menjadi kommoditi yang kemudian memiliki pasarnya yang khas. Dengan demikian, pembahasan terkait dengan uang akan terfokus pada masalah penyediaan uang beredar dalam rangka mendukung aktifitas ekonomi riil.

Kurva 7.5.
Keseimbangan Uang Beredar


Er
M
Md = kY - g(Er)
Ms = Mo
Ere
Penyediaan uang beredar pada dasarnya identik dengan jumlah pencetakan uang, dimana jumlah pencetakannya merupakan wewenang negara; oleh bank sentral (central bank) ataupun otoritas moneter (monetary agency). Dengan begitu, jumlah penyediaan uang beredar bersifat autonomous, atau dengan kata lain penawaran uang (money supply – Ms) dalam pasar jumlahnya tergantung kebijakan negara melalui lembaga berwenang. Oleh sebab itu penggambaran kurva penawaran uang (Ms) dalam keseimbangan uang beredar berbentuk garis vertikal, jika dihubungkan antara ekspektasi keuntungan (Er) dengan jumlah uang beredar. Kurva penawaran uang yang vertikal bermakna, bahwa berapapun tingkat Er sejumlah Ms harus (tetap) tersedia. Dengan kata lain penyediaan uang beredar (Ms) tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya ekspektasi keuntungan (Er).
Ms = Mo

Dimana:
Ms = Penawaran uang
Mo = Jumlah uang yang diciptakan (autonomous)

Sementara itu, jika dihubungkan dengan ekspektasi keuntungan (expected return – Er), maka permintaan uang (Md) memiliki hubungan yang negatif terhadap Er. Maknanya semakin tinggi tingkat Er, maka semakin rendah preferensi untuk memegang uang tunai. Seberapa besar permintaan uang tersebut tergantung besarnya sensitifitas permintaan uang terhadap pergerakan Er (g). Disamping itu permintaan uang juga ditentukan oleh besar pendapatan (Y). Semakin besar pendapatan, maka akan semakin tinggi juga permintaan uang.

Md = kY – g(Er)

Dimana:
Md = Permintaan uang
Y = Pendapatan
k = Sensitifitas perubahan Md akibat perubahan Y
g = Sensitifitas perubahan Md akibat perubahan Er
Er = Ekspektasi keuntungan

Jika diasumsikan bahwa pergerakan Y merupakan refleksi dinamika atau pergerakan aktifitas ekonomi riil, maka pergerakan permintaan uang akan mencerminkan dinamika ekonomi riil. Dan pada gilirannya pergerakan inilah yang kemudian direspon oleh kebijakan penciptaan uang (Ms). Dari kurva keseimbangan uang beredar ini dapat disimpulkan juga bahwa aktifitas penciptaan uang (Ms) hanyalah sebuah kebijakan yang sifatnya responsif menyikapi perkembangan aktifitas ekonomi riil, dimana aktifitas ekonomi riil digambarkan oleh pergerakan kurva permintaan uang (Md).

Selanjutnya interaksi penawaran dan permintaan uang akan membentuk tingkat ekspektasi keuntungan yang diyakini pergerakannya sama dan identik dengan apa yang ada di pasar investasi. Pergerakan ekspektasi keuntungan baik di pasar investasi maupun di ”pasar” uang beredar[4], pada dasarnya mencerminkan pergerakan harga di sektor riil. Dimana jika harga bergerak naik misalnya akibat kenaikan permintaan, maka secara otomatis pasar menerima informasi bahwa total penerimaan (keuntungan – revenue) naik, hal ini membuat ekspektasi keuntungan akan naik. Respon berupa peningkatan penawaran akibat kenaikan harga (karena revenue di pasar meninggi) yang kemudian membuat harga kembali ke tingkat semula (keseimbangan – equilibrium price) dicerminkan juga oleh peningkatan penawaran investasi dan peningkatan permintaan uang.
Kurva 7.6.
Keseimbangan Umum Ekonomi

P
Pe
Q
er
er
I
M
ere
ere
D1
D2
S1
S2
Is1
Is2
Id1
Id2
Ms1
Ms2
Md1
Md2
∆Q = ∆I = ∆M


Hubungan ketiga jenis pasar tersebut; pasar barang dan jasa, pasar investasi dan pasar uang beredar dapat digambarkan dalam kurva keseimbangan. Selanjutnya kurva keseimbangan inilah yang oleh penulis ditawarkan sebagai sebuah konsep keseimbangan umum (general equilibrium) dalam ekonomi yang mengakomodasi Islam sebagai nilai dan hukum aplikasinya. Dari konsep keseimbangan umum ini, terlihat ide besar dari perekonomian secara makro, bahwa dinamika pasar puncak yaitu barang dan jasa berkorelasi positif dengan dinamika yang ada di pasar investasi dan pasar uang beredar. Secara lebih spesifik dengan asumsi – asumsi yang berlaku dalam aplikasi ekonomi Islam, kesimpulan yang dapat juga dikemukakan pada kondisi keseimbangan umum adalah bahwa peningkatan volume transaksi barang dan jasa disektor riil sama dengan peningkatan volume investasi di pasar investasi dan peningkatan uang beredar yang ada di pasar uang beredar (∆Q = ∆I = ∆M). Kesimpulan ini mendukung keyakinan teori ekonomi Islam yang menyebutkan bahwa uang tercipta di pasar uang beredar ketika barang dan jasa juga tercipta di pasar riil. Dinamika penciptaan uang tidak berdiri sendiri layaknya yang terjadi di sistem ekonomi konvensional.

Pada perspektif lain, konsep keseimbangan umum ini juga menggambarkan ide berbeda dalam menggambarkan sebuah keseimbangan umum ekonomi, dimana keseimbangan umum puncak ada di pasar barang dan jasa. Hal ini seakan ingin menegaskan bahwa segala aktifitas ekonomi baik interaksi yang ada di pasar maupun kebijakan-kebijakan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian pada akhirnya harus tergambar dalam pasar riil yaitu pasar barang dan jasa. Disini juga terlihat bahwa ide pemadanan dua pasar; riil (barang dan jasa) dan moneter (keuangan), tidak berlaku dalam ekonomi Islam, karena memang pasar keuangan tidak eksis akibat mekanisme bunga (interest rate) tidak ada dalam ekonomi. Kalaupun ada mekanisme investasi sebagai ”padanan” dari pasar keuangan konvensional, ia tidak kemudian sejajar dalam artian berdiri sendiri (seperti yang diyakini oleh konvensional) dengan pasar riil. Keberadaan pasar investasi merupakan konsekwensi saja dalam perkembangan aktifitas ekonomi riil. Begitu juga posisi pasar uang beredar. Pasar ini hanyalah menggambarkan bagaimana dan seberapa besar sepatutnya sejumlah uang disediakan dalam rangka mendukung aktifitas ekonomi riil.

Sebagai sebuah konsep yang baru, konsep keseimbangan umum ini memang membutuhkan kajian lanjutan yang lebih mendalam untuk mendapatkan satu model keseimbangan umum ekonomi yang mapan dan valid. Namun sebagai sebuah langkah awal, konsep keseimbangan ini mampu memberikan penjelasan apa yang (sepatutnya) terjadi dalam perekonomian menggunakan perspektif Islam.
[1] Lihat sub bahasan pasar dan mekanismenya pada bab ini.
[2] Lihat penjelasan detilnya dalam bab sebelumnya mengenai pasar investasi.
[3] Secara detil pembahasan ini dapat dilihat dalam bab sebelumnya tentang sistem keuangan Islam.
[4] Quotation pada kata pasar bermakna bahwa pasar uang beredar ini sebenarnya tidak mencerminkan pasar pada konteks yang sebenarnya, karena disini hanya menggambarkan interaksi permintaan uang yang mencerminkan dinamika ekonomi riil dengan penawaran uang yang notabene bersifat kebijakan dari pemerintah.

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah : 11)


A. Pendahuluan
Sudah menjadi coretan sejarah, bahwa Islam sebagai sebuah nilai sekaligus sistem kehidupan pernah menghantarkan manusia pada satu periode kehidupan yang sejahtera, baik lahir maupun batin, baik materi maupun rohani. Islam memiliki sumber hukum dan pengetahuan yang sama sejak dahulu hingga kini, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Namun bagaimana mungkin peradaban ummat Islam bisa terpuruk saat ini? Atau bagaimana Islam dapat masuk pada semua sisi kehidupan manusia, mengatur dan menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan sehingga mereka sejahtera pada masa lalu? Padahal Qur’an dan Sunnah lembaran-lembarannya tak pernah bertambah dan berkurang sejak dulu hingga kini, atau dengan kata lain sejak dulu kita masih menggunakan sumber hukum dan pengetahuan yang sama kuantitas dan kualitasnya.

Sejak beberapa dekade lalu telah diidentifikasi kelemahan ummat Islam di masa kini. Rendahnya keimanan pada Allah SWT atau jauhnya ummat Islam dari kitab suci mereka yang tergambar dari kurangnya pemahaman mereka pada Qur’an dan Sunnah, ditengarai menjadi sumber kekacauan ummat Islam saat ini. Jauhnya jarak antara ummat dengan Islam, boleh jadi akibat kelalaian yang dimotivasi oleh nafsu syahwat dan keserakahan mereka sendiri, seperti pemimpin ummat yang cenderung hidup bermewah-mewah, tidak menjadikan Islam sebagai rujukan hukum atas setiap aktifitas hidup dan kehidupan, jalinan ukhuwah yang semakin tergerus egoisme pribadi dan lain sebagainya.

Namun disamping itu tidak kecil juga faktor eksternal diluar ummat Islam menyebabkan kecenderungan keterpurukan ini terjadi. Dominasi peradaban non-Islam yang saat ini diakui wujud boleh jadi menjadi faktor dominan dari kemunduran ummat Islam. Peradaban non-Islam atau konvensional memiliki pengaruh menyeluruh bagi kehidupan ummat Islam. Peradaban konvensional baik secara paradigma dan metoda maupun secara kultur memberikan referensi baru bagi ummat Islam. Terlebih lagi ternyata peradaban konvensional secara sadar menjaga dominasi peradaban mereka atas Islam, baik itu dimotivasi oleh idiologi atau keyakinan mereka (Nasrani dan Yahudi) ataupun oleh ego materialism mereka. Pengaruh dan motivasi diatas kemudian menjadi sistem yang saling menguatkan, menjadi bola salju yang kemudian menenggelamkan nilai-nilai Islam untuk muncul dikenali dan dijadikan referensi oleh ummatnya.

Cara yang terbaik untuk keluar dari kondisi terpuruk ini adalah menyadarkan kembali ummat akan keutamaan Islam dan keutamaan mereka sendiri bagi alam semesta ini. Keutamaan mereka adalah mereka pewaris tunggal nilai-nilai kebenaran yang bernama Islam. Nilai-nilai Tuhan yang sepatutnya dijalankan diatas dunia ini sehingga alam dan segala isinya sejahtera dan mensejahterakan.

Fakta-fakta kehidupan saat ini sepatutnya menjadi bekal dalam menyadarkan ummat Islam. Keterpurukan ummat manusia saat ini sepatutnya menjadi cermin atau pelajaran bagi mereka dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Lihatlah fakta tentang kehidupan manusia yang semakin individualistik, materialistik dan konsumeristik. Sehingga paradok-paradok kehidupan semakin jelas didepan mata kita. Katanya peradaban manusia kini ada pada masa keemasannya, namun kenyataanya data-data sosial manusia semakin menunjukkan peradaban ini semakin tidak beradab. Lihat saja angka kemiskinan, kekurangan gizi, kelaparan, konflik sosial, kriminalitas dan pengangguaran yang semakin tinggi padahal barang-barang mewah selalu habis di pasar, gedung-gedung mewah semakin menjamur dan menjulang tinggi, angka konsumsi semakin besar. Ternyata akar permasalahannya adalah moral atau keimanan pada Tuhan. Kekacauan sosial sepatutnya dientaskan bukan diawali oleh subsidi-subsidi yang bersifat sementara. Namun harus dimulai dengan menyadarkan hakikat hidup dan kehidupan manusia, urgensi mengetahui kekuasaan dan kehendak Tuhan atas manusia. Dan media yang mampu menghantarkan manusia pada pemahaman tersebut adalah ilmu pengetahuan yang benar. Ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya segala informasi (knowledge) yang memudahkan atau berguna bagi manusia dalam menjalani hidupnya serta nilai (value) moral yang menjaga prilaku hidupnya

Ilmu pengetahuan (science) dalam Islam memiliki definisi yang kental dengan nuansa spiritualitas, karena memang Islam sudah memandang setiap sisi kehidupan adalah aktifitas ibadah bagi manusia. Setiap elemen hidup dan alam berikut proses interaksinya sepatutnya mengikuti sistem keteraturan (kebenaran) yang telah digariskan sang pencipta. Dengan demikian setiap informasi yang berkaitan dengan hal tersebut yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan, merefleksikan kebenaran dan keagungan Tuhan. Sehingga setiap manusia yang semakin memiliki dan memahami ilmu pengetahuan sepatutnya semakin mengenal dan dekan dengan sang pencipta. Dengan begitu ilmu pengetahuan lebih dekat didefinisikan sebagai segala informasi yang mendekatkan pada Tuhan.

B. Agama dan Ilmu
Bagaimana dengan isu bebas nilainya sebuah ilmu? Bagaimana Islam memandang hal ini? Berdasarkan Al Qur’an, sebagai rujukan pertama dan utama dalam melihat segala hal, Islam memandang ilmu dari awal tidak bisa atau bahkan tidak boleh bebas dari nilai. Alasan pertama, dapat dilihat pada kalimat pertama dari wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Tuhan, yaitu kewajiban manusia untuk berilmu.

”Bacalah, dengan menyebut nama Rabb yang menciptakan. (QS. Al Alaq: 1)”

Dalam Islam Tuhan mewajibkan manusia untuk berilmu. Dari ayat yang diatas, jelas sekali perintah kewajiban itu. Bahkan urgensi memiliki ilmu ini ditempatkan Tuhan pada kalimat pertama-Nya pada manusia. Dan hal ini bukanlah tanpa makna. Ini menunjukkan signifikansi ilmu dalam mengetahui dan menjalankan ketentuan atau kebenaran Tuhan. Selain itu yang juga tidak kalah penting adalah dimana Tuhan menyatukan perintah berilmu (bacalah) dengan berpedoman atau bersandar pada Rabb yang menciptakan. Mengapa Tuhan menggunakan kata ”Rabb” dan kata keterangan ”Khalaq” (yang menciptakan)? Pertama, Rabb bermakna Dzat yang mengajarkan (segala hal), sehingga penggunaan kata Rabb sebenarnya merupakan penegasan posisi Tuhan bahwa Dialah yang (berperan) memberikan ilmu kepada manusia. Segala ilmu itu dari Tuhan, maka sudah sepatutnyalah si penerima ilmu terus mengingat siapa yang memberikan keutamaan (ilmu) itu pada mereka, sehingga mereka menjadi makhluk yang utama dari segala makhluk ciptaan-Nya di dunia ini.

Bahkan beberapa ayat dari Al Qur’an & As Sunnah menerangkan keutamaan-keutamaan manusia yang berilmu, seperti Allah SWT akan angkat derajat manusia yang berilmu dibandingkan dengan manusia yang tidak berlimu atau Rasulullah yang menyatakan keutamaan seorang yang ahli ilmu atas ahli ibadah. Bahkan karena ilmu itu pulalah manusia menjadi makhluk yang mulia dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan sebelumnya. Hal ini tergambar jelas pada sejarah kemanusiaan manusia, yaitu ketika malaikat dan iblis diperintahkan sujud kepada Adam a.s.

Penggunaan kata Rabb juga mengindikasikan bahwa ilmu dan spiritualitas (agama) bukanlah entitas yang berbeda. Selain itu sudah diingatkan dalam ayat tersebut, bahwa setiap pencarian dan usaha memahami ilmu haruslah tidak lepas dari pengakuan keberadaan Tuhan sebagai Pengajar, sebagai sumber ilmu. Kedua, penggunaan kata Khalaq yang bermakna ”yang menciptakan” pada dasarnya semakin menegaskan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu di alam semesta yang notabene Tuhan ciptakan. Manusia adalah salah satu partikel atau unsur di alam semesta yang juga Tuhan ciptakan, sehingga lumrah jika manusia patuh dan tunduk pada kuasa Tuhan seperti tunduknya benda-benda alam kepada ketentuan Tuhan. Terlebih lagi informasi tentang segala sesuatu di alam semesta ini yang kita kenal dengan pengetahuan, ada karena Tuhan menciptakan alam semesta tersebut. Dengan demikian ketika manusia berusaha mengetahui segala informasi tentang segala sesuatu yang tercipta sepatutnya merujuk saja pada Dzat yang menciptakan.

Alasan kedua, Islam mengenal dua sumber ilmu, pertama yang berasal dari observasi manusia (pengalaman) terhadap alam dan segala hal yang ada didalamnya termasuk prilaku manusia. Kedua berasal dari wahyu atau informasi langsung dari Tuhan (revelations). Sumber pertama (observations) pada dasarnya adalah menangkap atau mengidentifikasi kebenaran Tuhan yang tertuang dalam mekanisme alam raya yang Tuhan ciptakan. Hal ini lazim dikenal sebagai hukum alam atau hukum Tuhan yang tersirat. Gaya gravitasi, momentum, sifat air, udara, tanah, api dan semua dzat di alam berikut siklus dan reaksi kimia dari dzat tersebut, merupakan bagian dari hukum tadi yang bersifat kekal dan pasti. Informasi itulah kemudian yang tertuang dalam berbagai teori-teori eksakta semacam matematika, fisika, kimia, biologi dan berbagai teori eksakta turunannya.

“Dan di antara kamu ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (QS. Al Hajj: 8)

Sementara itu sumber ilmu kedua (revelations), selain mengabarkan hukum-hukum alam, pada hakikatnya ia menjadi pedoman atau rujukan dari seperti apa sepatutnya prilaku manusia. Karena pada dasarnya manusia merupakan elemen penting dalam kehidupan. Alam akan berjalan dalam fungsi dan porsi semestinya yang akan menyediakan segala fasilitas hidup bagi manusia ketika manusia dapat sejalan mengikuti petunjuk Tuhan dalam prilakunya. Sumber ilmu inilah yang memberikan rambu-rambu prilaku, pada sesama manusia, hewan tumbuhan dan lingkungan sekitar. Dalam hubungan sesama manusia, Al Qur’an menjelaskan seperti apa sebaiknya berakhlak dengan orang tua, saudara, tetangga, orang fakir-miskin, orang non-Islam dan kerabat lainnya atau bertindak terkait dengan jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, memutuskan perkara; menghukum dan mengadili serta bernegara[1].

Dalam konteks ibadah (worship), menjalankan ketentuan Tuhan yang tertuang dalam kalimat-kalimat wahyu, merupakan syarat dari kesejahteraan abadi yang manusia ingin dapatkan pada hari setelah kematiannya[2]. Oleh sebab itu wahyu kemudian menjadi sumber informasi bagi mereka yang meyakini hal tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wahyu kemudian menjadi sumber ilmu yang mempengaruhi prilaku hidup dan kehidupan manusia.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa dua sumber ilmu tadi menjelaskan satu hal yang sama yaitu kebenaran Tuhan. Ketika keduanya sesuai dengan apa yang seharusnya, maka keharmonian antara mekanisme alam dan prilaku manusia akan menghasilkan kesejahteraan, baik bagi alam maupun bagi manusia itu sendiri.

Dari penjelasan diatas setidaknya semakin jelas posisi ilmu dalam Islam, bahwa ilmu dan Islam (agama) tidak dapat dipisah-pisahkan, apalagi sampai dibenturkan dan diperbandingkan hingga salah satunya dapat membantah yang lainnya. Dalam perspektif Islam, ilmu adalah agama dan agama adalah ilmu. Keduanya pada hakikatnya terangkum dalam satu ungkapan yaitu kebenaran Tuhan. Dengan demikian manusia yang berilmu berarti mahfum akan kebenaran Tuhan. Semakin manusia berilmu sepatutnya semakin dekan ia dengan Tuhan.

Kalau begitu, apa parameter dari ilmu? Berdasarkan pengelompokan sumber ilmu, telah diketahui ada dua sumber ilmu yaitu observation dan revelation. Yang pertama terhimpun di dalamnya hasil-hasil observasi yang menjelaskan hukum-hukum alam. Yang kedua terhimpun didalamnya segala ketentuan atau pedoman bagi manusia untuk berprilaku dalam hidup dan kehidupannya. Maka berdasarkan sumber dan fungsinya tersebut, diidentifikasi ada dua karakter keilmuan, pertama ilmu eksakta (alam) dan yang kedua ilmu sosial (prilaku manusia). Ilmu eksakta memiliki parameter yang sudah baku dan pasti, seperti gaya gravitasi (magnet) yang dibuktikan dengan benda-benda yang selalu jatuh mendekati bumi. Hukum-hukum eksakta akan berlaku abadi pada semua ruang dan waktu, layaknya kebenaran Tuhan yang abadi dan pasti. Karena karakternya yang tetap dan pasti itu, ilmu jenis ini selalunya dijelaskan dan memiliki parameter yang bersifat empiris atau kuantitatif.

Bagaimana dengan ilmu sosial? Ukuran ilmu ini diantaranya adalah keseimbangan, keadilan, keharmonisan dan kemanfaatan atau kemaslahatan yang dihasilkan dari prilaku manusia yang merujuk pada ilmu sosial tadi. Dalam Islam ilmu sosial berawal dari pengetahuan tentang dan pengakuan akan Tuhan (tauhid) yang kemudian menjadi pedoman (akidah) pada tindakan-tindakan manusia selanjutnya. Selanjutnya setelah akidah adalah pengetahuan tentang kefitrahan atau hakikat manusia seperti hakikat penciptaannya, tujuan hidupnya, sifat dan kecenderungannya serta nilai-nilai yang Tuhan inginkan ada dalam setiap diri manusia (akhlak). Dan terakhir pengetahuan tentang ketentuan atau hukum-hukum berprilaku (syariah), baik ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya (hukum ibadah) maupun ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia (hukum muamalah). Dari pondasi pengetahuan inilah muncul cabang-cabang ilmu sosial seperti ekonomi, politik, hukum dan lain-lain. Namun sekali lagi semua cabang ilmu turunan itu ada dalam satu konsep keilmuan yaitu kebenaran Tuhan (Islamic Methodology; prinsip Unity of God, Unity of Creation, Unity of Truth & Knowledge, Unity of Life, Unity of Humanity & Complimentary Nature of Rvelation and Reason)[3]. Dan tentu berakhir pada satu muara yaitu pengakuan keagungan Tuhan. Berbeda dengan ilmu eksakta penjelasan ilmu jenis ini lazimnya bersifat kualitatif.

Dalam dunia konvensional, dikotomi atau pertentangan agama dan ilmu berawal dari ketidakpuasan para kaum intelektual terhadap dominasi gereja atas setiap sisi aktivitas kehidupan di Eropa. Dan sudah menjadi pengetahuan sejarah bahwa ketika perkembangan ilmu bertentangan dengan doktrin-doktrin gereja, maka gereja tidak segan-segan menuduh atau bahkan menghakimi para kaum intelektual sebagai pendosa. Dan tidak jarang hukuman yang diberikan adalah hukuman mati. Masa-masa pertentangan ini akhirnya dimenangkan oleh kaum intelektual yang ditandai dengan munculnya gerakan pencerahan (enlightment) atau yang biasa dikenal di tanah Eropa sebagai gerakan reneisance atau aufklarung. Selain menempatkan ilmu pengetahuan yang mengandalkan kreatifitas intelejensi sebagai rujukan dominan dalam kehidupan manusia, efek dari kemenangan pertarungan intelektual dan gereja juga berupa sikap antipati (jika tidak ingin dikatakan alergi) pada agama. Akhirnya wilayah agama dipersempit hanya pada masalah keyakinan dan peribadatan tanpa pernah menyentuh wilayah lain. Dari sinilah kemudian gerakan sekularisme muncul dan berkembang, dan ilmu pengetahuan dipercaya atau selalu dipelihara untuk bebas nilai (bebas dari kepentingan agama?).

Kekhawatiran atau lebih tepat disebut ketakutan pada kembalinya dominasi gereja atau agama atas ilmu pengetahuan yang dimaknakan sebagai intimidasi pihak gereja terhadap kaum intelektual, membuat sekularisme menjadi acuan yang sakral bagi pengembangan setiap sisi kehidupan manusia. Implikasi ini jelas terlihat dalam perkembangan sistem hukum, politik atau bahkan budaya ummat manusia setelah reneisance. Terlebih lagi ketika peradaban yang dibangun Eropa – Amerika (barat) kini mendominasi dunia, otomatis paham sekularisme kemudian menjadi inspirasi atau bahkan panduan utama dalam berkehidupan.

Dari sudut pandang yang lain, paradigma barat berikut prinsip – prinsip rasionalitas yang bersifat humanistik ternyata memiliki pengaruh kausalitas dua arah. Pada satu sisi prilaku individu yang membentuk peradaban mereka merujuk pada paradigma dan prinsip berkehidupan yang individualistic – materialism. Namun pada sisi yang lain peradaban tersebut dijadikan bukti dan alasan – alasan rasional bahwa paradigma dan prinsip berkehidupan mereka sangat kuat landasannya. Pada akhirnya kebenaran yang dianut oleh keduanya; paradigma/prinsip dan peradaban, adalah kebenaran yang tidak memiliki landasan yang valid. Kebenaran sekaligus parameternya selalu bergeser mengikuti pergeseran kelaziman prilaku dan kecenderungan manusia menurut zamannya. Kebenaran menjadi tidak mutlak atau sekedar mendekati mutlak. Sehingga puncaknya peradaban manusia akan menafikan keberadaan Tuhan sebagai prima kausa yang memiliki hak dijadikan tolak ukur sebuah parameter kebenaran.

Penafikan agama ini juga disinggung oleh Bryan S. Turner, dalam bukunya Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat[4]. Turner mengungkapkan bahwa terkikisnya keyakinan pada Tuhan yang direpresentasikan agama bukan hanya terjadi akibat telaah kritis rasional ilmiah kontemporer yang dilakukan oleh mereka yang disebut intelektual, tetapi juga oleh prilaku sehari – hari dari manusia yang kemudian memunculkan keyakinan – keyakinan baru yang membuat keyakinan pada Tuhan menjadi tidak relevan atau bahkan mustahil. Bahkan interaksi keseharian melalui gaya hidup, interaksi budaya atau bahkan proses multikulturalisasi yang terhasilkan lewat proses globalisasi budaya dan segenap aspek kehidupan, membuat faktor telaah kritis rasional intelektual menjadi tidak dominan dalam menggeser agama sebagai variabel penting kehidupan.

Dengan demikian, kebenaran universal yang digembar – gemborkan barat baik berbentuk isu hak asasi manusia (HAM) maupun globalisasi, pada dasarnya merupakan kecenderungan manusia mendewakan keinginan – keinginan untuk memaksimalkan kepuasan mereka. Kebenaran universal pada semua sisi aplikasi kehidupan dan segala bentuk turunannya seperti ilmu pengetahuan, interaksi pergaulan (budaya), infrastruktur serta suprastruktur kemasyarakatan, sebenarnya bersifat tidak universal. Kebenaran universal itu sekedar faham lokal barat yang ingin (dipaksakan) ditancapkan pada segenap ruang dan waktu peradaban manusia karena keserakahan, atau akibat dari kekhawatiran akan ketertindasan mereka pada masa lampau.

Padahal, sekali lagi, kebenaran universal sepatutnya merepresentasikan keharmonisan, keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan manusia pada makna yang sebenarnya. Dan kebenaran universal berikut parameter kebenaran tidak mungkin secara utuh diproduksi oleh manusia. Karena in-nature manusia tidak bebas dari kontaminasi kepentingan individual mereka berupa nafsu dan preferensi buruk. Dengan demikian, sangat bijak jika kebenaran universal berikut parameternya diberikan pada Tuhan sebagai entitas sempurna.

C. Agama dan Ekonomi
Layaknya penjelasan hubungan antara agama dan ilmu, ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara otomatis tidak dapat dipisahkan dengan agama. Terlebih lagi Al Qur’an & As Sunnah sebagai sumber hukum dari semua perkara, memberikan porsi yang cukup besar dalam membahas berbagai hal berkaitan dengan ekonomi. Bahkan prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan Islam sebagai agama. Misalnya saja mekanisme zakat, zakat dalam Islam merupakan salah satu rukun atau pilar utama agama, dimana urgensi zakat dapat dipersamakan dengan empat pilar utama lainnya yaitu dua kalimat syahadat, shalat lima waktu, puasa ramadhan dan haji. Mengabaikan zakat sama saja dengan mengamputasi Islam sebagai agama, karena zakat menjadi salah satu rukunnya.

Demikian sebaliknya, dalam ekonomi zakat menjadi pilar penting agar mekanisme atau proses ekonomi dapat terus berlangsung. Zakat pada dasarnya menjaga agar daya beli masyarakat khususnya golongan bawah (mustahik) selalu ada. Atau zakat memberikan kesempatan pada masyarakat yang tidak memiliki akses pada ekonomi, sehingga semua elemen masyarakat dapat terlibat aktif dalam aktifitas ekonomi. Dengan kata lain, zakat adalah satu instrumen ekonomi yang menjaga agar tingkat minimum permintaan yang dibutuhkan oleh pasar agar pasar dapat berjalan dapat selalu terpelihara. Zakat juga secara tidak langsung mampu menekan atau bahkan menghindarkan masyarakat dari masalah-masalah sosial lainnya, seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan konflik sosial.

Berdasarkan alasan ini, sukar untuk mendikotomikan agama dan ekonomi dalam Islam, karena memang ekonomi menjadi salah satu sistem berkehidupan yang diatur oleh agama, agar harmonisasi, keseimbangan dan kesejahteraan dapat dicapai dan terjaga keberlangsungannya. Terlebih lagi diyakini bahwa Islam merupakan nilai atau sistem komprehensif yang mampu mengatur secara baik semua aktifitas hidup dan kehidupan manusia.[5]

Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, dalam dunia konvensional nafas sekularisme pun berhembus dalam pembahasan ekonomi. Pemisahan agama dari disiplin ilmu ekonomi sudah tentu menjadi prasyarat sekularisme. Pemikiran dari para pakar ilmu sosial setelah periode reneisance menggambarkan kondisi dikotomi ini. Pemisahan bukan hanya terjadi antara ekonomi dangan agama, bahkan terjadi pada ekonomi dengan segala bentuk nilai moral, entah itu yang berasal dari nilai-nilai ilahiyyah ataupun dari pemikiran manusia.

Karena ekonomi merupakan bagian dari kelompok disiplin ilmu social yang banyak bicara tentang prilaku manusia, maka dalam membahas ekonomi dari sisi konvensional akan relative kurang lengkap jika tidak membahas akar teori prilaku ekonomi dalam dunia sosiologi. Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Alex Lanur[6], Jeremy Bentham (1748-1823) sebagai Bapak Utilitarianisme, cukup tegas dalam menjelaskan motivasi dan batasan berprilaku manusia (tentu saja dalam pandangan konvensional). Menurut Lanur, dasar Benthanisme adalah hedonisme psikologis yaitu bahwa setiap manusia menurut kodratnya berusaha untuk mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain).[7] Pernyataan Bentham yang sangat terkenal berkaitan dengan hal ini adalah “alam menempatkan manusia di bawah dua kekuasaan yang berdaulat, yakni rasa sakit dan kesenangan”. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; pertama, kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). Kedua, tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Pada akhirnya asumsi ini membentuk prinsip yang oleh Bentham disebut sebagai prinsip manfaat atau Prinsip Etis Terakhir (ultima principia). Selanjutnya Bentham menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi ukuran dari kesenangan ini (cara menentukan, menilai atau menghitung), yaitu meliputi intensitasnya, lamanya, pasti-tidak pastinya dan jauh dekatnya kesenangan atau rasa sakit untuk seseorang. Ternyata Bentham juga tidak membatasi prinsip manfaat pada wilayah individual tapi juga kepentingan umum, dimana faktor yang dapat menjadi ukurannya adalah faktor luasnya atau besar jumlah atau banyaknya orang yang mengalami kesenangan ataupun rasa sakit itu. Penerus pemikir Benthamisme yang paling dikenal adalah John Stuart Mill, dimana Mill mencoba untuk menjelaskan perbedaan kualitatif intrinsik pelbagai macam kesenangan.

Tidak lengkap rasanya jika membahas filosofi dasar kapitalisme tanpa menyinggung apa yang menjadi pemahaman Adam Smith (1776) tentang prinsip-prinsip dasar ekonomi kapitalis. Adam Smith sebagai Bapak ekonomi, dalam buku Spencer J. Pack[8], disebutkan berkeyakinan bahwa kapitalisme berkembang berdasarkan kepentingan pribadi pelaku ekonomi. Smith mengidentifikasi bahwa sentimen, perasaan dan nafsu adalah motivator utama manusia dalam bertindak. Bahkan Smith berkeyakinan bahwa teologi (agama,) dalam hal ini Smith merujuk pada Bible, bukanlah merupakan sumber yang terjamin kebenarannya. Oleh sebab itu menurut Smith, kapitalisme muncul dan berkembang secara dominan akibat proses respon kolektif masyarakat terhadap prilaku-prilaku individual (the constant feedback of society to the actions of the individual) bukan karena hasil dari proses sistematis yang terencana (conscious planning). Disini secara implicit Smith mengesampingkan peran dan fungsi agama (terlebih Islam) yang nyata-nyata memiliki konsep dan hukum sistematis dalam perekonomian.[9]

Pemikiran Bentham, Mill dan Smith ini kemudian diketahui sebagai nilai dasar dari ekonomi oleh para ekonom-ekonom klasik seperti Alfred Marshall dan F.Y Edgeworth. Elaborasi hal ini akan dibahas pada bab-bab selanjutnya, khususnya pada pembahasan prilaku ekonomi (economic behavior). Berdasarkan nilai dasar keilmuan sosial Barat tentang prilaku manusia, maka dapat dengan jelas dilihat bahwa Islam sebagai sebuah sistem nilai dan hukum yang menjadi inspirasi dan panduan dari semua cabang ilmu cukup berbeda dengan apa yang dikembangkan oleh Barat. Sudah cukup tegas yang berkembang dalam keilmuan Barat adalah keilmuan yang sangat bersifat materi dengan instrumen pengukurnya metode-metode empirik kuantitatif. Sementara Islam dengan nilai-nilai tauhid dan akhlak atau moral seta hukum syariah muamalah yang sangat menentukan prilaku dan praktek ekonomi, membuat ekonomi sukar untuk dipisahkan dengan agama. Karena bisa dikatakan ekonomi merupakan salah satu bagian dari agama Islam itu sendiri. Sehingga pada akhirnya yang membedakan keduanya adalah keyakinan pada unity atau dichotomy antara agama dan ilmu termasuk didalamnya ekonomi.

D. Pengajaran Ilmu
Sebagai sebuah nilai dan sistem, moral dan pengetahuan, serta teori dan aplikasi,Islam mensyaratkan proses pengajaran yang khas. Dalam pengajarannya bukan hanya fokus pada proses transfer of knowledge tetapi juga proses transfer of value. Maknanya, proses pengajaran tidak terbatas pada pencapaian individu yang menguasai pengetahuan dan keahlian (knowledge and skill), tapi juga pada pencapaian moral, akhlak atau prilaku yang terpuji.

Dengan demikian, dalam memahami Islam bukan hanya memahami pengetahuan dan nilai-nya yang benar, namun proses memahami pun sepatutnya sesuai dengan apa yang ingin disampaikan, sehingga akan maksimal proses transfer tersebut begitu juga hasil yang akan didapat. Islam sebagai sebuah nilai yang terkandung didalamnya hukum dan pengetahuan yang paling tepat untuk dijadikan rujukan bagi hidup dan kehidupan manusia, haruslah secara utuh dipahami bentuknya. Dari nilai akidah, nilai akhlak sampai pada ketentuan syariahnya. Dengan demikian, proses penyampaian Islam sebagai sebuah nilai haruslah sesuai dengan kaidah Islam itu sendiri, terlebih lagi ketika Islam memiliki panduan dalam berprilaku termasuk prilaku belajar dan mengajar. Otomatis panduan tersebut sangat mempengaruhi mekanisme pengajaran ilmu.

Saat ini sudah begitu banyak usaha untuk menemukan cara pengajaran keilmuan Islam dengan tepat yang memaksimalkan proses transfer knowledge dan value. Saat ini telah berkembang institusi pengajaran Islam dari konsep pengajaran play group, taman kanak-kanan, sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Belum termasuk sekolah-sekolah klasik yang selama ini dikenal dalam masyarakat tradisional Islam seperti pondok pesantren atau ma’had-ma’had dipelosok negeri Islam. Variasi konsep pendidikan berupa lembaga-lembaga pendidikan ternyata juga semakin diperkaya dengan keberagaman kurikulum yang diajarkan. Ada yang secara konsisten mencoba konsep institusi dan kurikulum orisinil Islam, namun mayoritas lebih mengadopsi apa yang dilakukan dan dikembangkan oleh Barat. Beberapa pakar mengkritik strategi “kompromi” yang mengikuti Barat. Mengadopsi konsepsi barat sama saja menggunakan semangat dan paradigma keilmuan barat yang pada hakikatnya berusaha selalu bebas dari unsur-unsur agama. Dengan demikian konsepsi barat secara logis bagi mereka para pakar pendidikan Islam, hanya akan memandulkan Islam sebagai objek pembelajaran. Dengan demikian, menurut mereka kembali menggali konsepsi dan kurikulum genuine Islam sepatutnya terus dilakukan dan diaplikasikan terutama oleh negara-negara muslim.

Dominasi barat dalam periode kontemporer sewajarnya tidak menjadikan pakar pendidikan muslim menjadi silau dan kemudian secara buta mencontek apa yang mereka lakukan. Secara bijak mereka harus menilai bahwa kemajuan peradaban yang dibangun oleh Barat sebenarnya secara konsisten menunjukkan tingkat ketimpangan antara moral dan pembangunan fisik ekonomi. Lihat saja bagaimana angka kriminalitas yang tidak semakin menurun, kesenjangan sosial yang jurangnya semakin dalam, kemiskinan semakin menggurita, padahal pada ketika yang sama fasilitas-fasilitas mewah semakin bertebaran, produk-produk mewah habis diburu pembeli, tempat-tempat perbelanjaan yang memanjakan hasrat konsumtif golongan berduit tumbuh bak jamur di musim hujan. Apa yang salah dari semua itu? Tentu saja yang bertama kali diidentifikasi adalah prilaku para pelakunya, namun pada akhirnya yang kemudian menjadi perhatian adalah sistem pendidikan berikut perangkat dan elemen yang terkandung dalam sistem tersebut. Dan tentu saja sistem pendidikan Islam diharapkan (atau dapat juga dikatakan diharapkan) mampu menjadi obat mujarab awal dari semua langkah pembangunan peradaban.

E. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pembahasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya telah memiliki wilayah dan ruang eksklusif tersendiri yang dilakukan oleh para pemikir Islam dan beberapa golongan pemikir non-muslim pemerhati perkembangan keilmuan di dunia ini. Sehingga mungkin akan terkesan tidak bermakna jika kemudian penulis mencoba mengangkat isu ini dalam sub-bab pada buku ini. Namun maksud penulis bukanlah untuk secara komprehensif memberikan pengetahuan tentang latar belakang, proses islamisasi, strategi dan lain sebagainya yang menjadi ruang lingkup bidang keilmuan ini, namun hanya sekedar ingin memberikan wawasan tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan terkait dengan disiplin Ekonomi Islam. Namun harus diakui bahwa disiplin ekonomi Islam merupakan buah atau hasil dari diskusi panjang tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Sehingga dalam situasi tertentu pemahaman tentang Islamisasi ilmu pengetahuan ini sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi Islam sebagai ilmu.

Terdapat tiga arus besar pemikiran yang masing-masing memiliki konsepsi sekaligus strategi implementasi Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun yang perlu digaris-bawahi adalah ketiganya memiliki kesamaan bahwa urgensi penyesuaian pengembangan berikut proses pembelajaran ilmu dalam Islam memiliki karakter dan sasaran yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Barat. Ketiga arus besar pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut diusung masing-masing oleh Ismail Raji Al faruqi, Ziauddin Sardar dan Syed Muhammad Naquib Al Attas. Ketiganya pada dasarnya berbeda dalam strategi mewujudkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Secara sederhana Al Faruqi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang saat ini tengah berkembang tidak semuanya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, Faruqi menyarankan proses Islamisasi adalah melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Jika semua aspek ilmu tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka otomatis ilmu tersebut dapat dipakai dan dikembangkan lebih lanjut. Namun jika ada beberapa unsur dalam suatu ilmu tertentu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sebaiknya dilakukan proses penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Metode ini oleh Louay Safi dianggap sebagai metode integrasi antara teori dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler (yang saat ini tengah eksis)[10]

Karya Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan yang banyak menjadi referensi para pemikir adalah Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, yang diterbitkan oleh The International Institute of Islamic Thought (1989). Karya Faruqi ini banyak menjadi rujukan pakar lain dalam memahami dan mengembangkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena konsep Faruqi dinilai sangat aplikatif dibandingkan dengan konsep Al Attas dan Sardar. Konsep Faruqi secara teknis tidak menafikan ilmu pengetahuan yang saat ini sedang eksis yaitu keilmuan sekuler, yang dilakukan hanyalah pemilihan dan pemilahan apa yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Implementasi dari pemikiran Faruqi ini terwujud dengan berdirinya International Islamic University (IIU) di Kuala Lumpur Malaysia dan Islamabad Pakistan.

Sedangkan Ziauddin Sardar berkeyakinan bahwa proses Islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses yang memulai pengembangan semua cabang ilmu dari awal sekali. Pengembangan dengan strategi ini akan menghindari kontaminasi dari pemikiran Barat yang memang memiliki paradigma dan semangat yang berbeda dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelum ini bahwa sekularisme menjadi semangat atau bahkan panduan bagi pakar-pakar ilmu Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma yang memelihara jarak antara agama dan ilmu menjadi sangat tidak relevan untuk kemudian diikuti oleh pakar ilmu Islam. Dan ini dinilai Sardar cukup vital dalam menentukan strategi pengembangan ilmu. Oleh sebab itulah Sardar merekomendasikan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang telah ada. Dibandingkan dengan dua pemikiran lainnya yaitu Faruqi dan Al Attas, pemikiran Sardar ini hingga kini kurang mendapat sambutan karena kesulitan implementasinya.

Sementara itu Syed Muhammad Naquib Al Attas memiliki alasan yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Sardar, namun dengan implementasi yang berbeda. Al Attas berpendapat proses Islamisasi haruslah menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik keilmuan Islam yang ada. Perbedaan yang cukup mendasar antara struktur keilmuan Islam dan Barat membuat Al Attas berkeyakinan bahwa proses yang diusulkan oleh Faruqi menjadi sangat tidak relevan. Tetapi juga tidak setuju dengan apa yang direkomendasikan oleh Sardar. Al Attas secara sederhana mengusulkan proses pembelajarannya adalah melanjutkan apa yang telah diakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Beliau berpendapat bahwa dominasi intelektual Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran yang tidak tepat serta tidak didukung oleh kurikulum yang benar akan menghasilkan output yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam dalam mengeluarkan ummat Islam dari keterpurukannya saat ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara pemikiran Al Attas dan Faruqi, salah satunya terletak pada strategi implementasi. Al Attas cenderung memilih strategi Islamisasi dengan islamisasi nilai-nilai individual manusia. Sementara Faruqi relatif lebih mengutamakan strategi yang bermula pada prilaku kolektif. Oleh sebab itu titik tekan ini menentukan perbedaan selanjutnya pada turunan-turunan pemikiran lainnya. Karya monumental Al Attas yang menggambarkan gagasan besar Islamisasi ilmu pengetahuan diantaranya Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Islam dan Sekularisme, Islam dan Filsafat Sains dan Konsep Pendidikan Islam. Dan gagasan besar ini Al Attas wujudkan dalam bentuk pendirian International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur Malaysia.

Dari tiga arus utama pemikiran ini, perlu dipahami bahwa ketiganya memiliki semangat yang sama dalam menampilkan Islam sebagai satu sistem hidup dan kehidupan manusia. Pada ketiganya Islam diyakini sebagai satu sistem yang relevan bagi pengaturan kehidupan manusia menuju pada kebaikan yang hakiki. Kesejahteraan, keseimbangan dan keadilan menjadi muara dari penerapan sistem yang benar, inilah ide dari keyakinan ini. Dan Islam memiliki kriteria yang shahih dan valid untuk memberikan hasil kesejahteraan, keseimbangan dan keadilan. Sementara ketiga pemikiran diatas hanyalah sekedar strategi bagaimana mengejawantahkan sistem Islam dalam kehidupan manusia. Dan strategi ini membutuhkan sikap yang bijaksana dalam aplikasinya. Perbedaan pada ketiganya tidak kemudian mengaburkan semangat yang terkandung pada ketiga pemikiran tersebut.
[1] Sehingga pada akhirnya disimpulkan tak ada sisi hidup dan kehidupan manusia yang tak diatur oleh Islam.
[2] Oleh karena itu keyakinan pada hari setelah kematian (hereafter) menjadi elemen penting dalam Islam. Ia diposisikan sebagai salah satu rukun iman.
[3] Ismail Raji Al Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, The International Institute of Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series No. 1, 3rd Edition, 1997, pp. 33 – 53.
[4] Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana Atas: Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, Ar Ruzz, Jogjakarta, 2006, pp. 342 – 343.
[5] Kalaupun ada yang meyakini bahwa ekonomi merupakan ilmu yang bebas nilai (pemikiran konvensional), perlu dipahami bahwa “value free” ini pun pada akhirnya akan dianggap sebagai sebuah nilai, apapun bentuknya (lihat Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: an Anatomy of World’s Beliefs, London, Harper Collins, 1996). Karena pada dasarnya jika seorang tidak merujuk pada agama proper, maka sebetulnya ia memeluk suatu “pengganti agama”, dan sebagai konsekwensinya ia juga memilih, memilah, menghukumi dan menilai (Paul Tillich, Christianity and the Encounter of the World Religions, NY & London, Columbia University Press, 1963)

[6] Alex Lanur, Pengantar Edisi Indonesia, On Liberty: Perihal Kebebasan, John Stuart Mill, Yayasan Obor Indonesia, 2005, pp. x – xxiv.
[7] Menurut Lanur, pendapat ini bukanlah hal yang baru karena telah juga diutarakan Epicurus (341-271 SM), Claude (Adrian) Helvetius (1715 – 1771) dan David Hartley (1705 – 1757). Namun Bentham membuat teori ini menjadi monumental.
[8] Spencer J. Pack, Smith’s Moral…
[9] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, www.blackmask.com
[10] Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, International Islamic University and International Institute of Islamic Thought, 1996, pp. 5-9.

Minggu, 08 Juli 2007

" lamunku pada keluargaku "

atas nama malam dan atas nama pagi, yang aku selalu ada dalam semestanya
atas nama Dzat Agung nan Tinggi, penguasa ruang dan waktu pada keduanya
aku minta dengan segala pinta, aku berharap dengan sejuta harap
syurga yang kumohon di balik lisan dan gerakku
kedamaian yang kusiratkan pada mantra do'a-do'aku
kuidamkan dengan segenap kesadaran dan ikhlasku....
ITU bukan hanya untukku...