Jumat, 30 Oktober 2009

Frustasi


Frustrasi terkadang muncul ketika melihat keseharian banyak orang di luar sana, nampak tidak ada sentuhan nilai-nilai ekonomi Islam dalam aktivitas ekonomi mereka. Gaya hidup yang menuntut orang menampilkan kemampanan ekonomi membuat semuanya terlihat asyik dengan dunianya masing-masing.

Pada saat-saat tertentu, akupun seringkali sangat tertarik untuk ikut dalam irama hidup seperti itu. Dengan dalih; sedikit ingin menikmati apa yang sebenarnya mampu aku nikmati, aku ingin merasakan apa yang mereka dengan suka-ria rasakan dan nikmati.

Sekali lagi perjuangan, pengorbanan dan kesabaran, semakin dalam maknanya aku rasakan, ketika semua peristiwa yang ada disekitarku tak pernah melayani idealismeku. Fenomena dunia semakin hari, semakin memposisikan hipotesaku tentang ekonomi Islam sekedar menjadi mimpi dan angan-angan, argumen-argumen kebajikan yang aku coba yakinkan pada orang lain sekedar menjadi seruan-seruan yang hanya manis untuk didengar, bukan untuk diikuti dan diamalkan.

Ya frustasi, kata yang paling tepat menggambarkan perasaan hampa saat ini.

Kamis, 29 Oktober 2009

salam :-)

tidak jarang saya suka mengecek clustermaps blog ini, ingin tahu saja saudara-saudara yang ikut membaca blog ini dari mana saja. dan yang menarik bagi saya ada saudara dari Norwegia yang aktif membaca blog kami ini. apakah di Norwegia banyak student Indonesia? saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya.

selain itu tentu saya juga ingin menyapa teman-teman di malaysia, US dan Brunei, sebagai teman-teman yang paling banyak berkunjung. semoga silaturahim ini tetap terjaga. dan budaya saling menasehati semakin lazim diantara kita.

Salam Kenal
Ali Sakti

Rabu, 28 Oktober 2009

In Memoriam Munti binti Bani

Duh pemimpinku yang baik, apa yang membuat dirimu dan semua orang yang mengaku pemimpin harus berhenti dari kesibukan untuk sekedar rapat mendiskusikan permasalahan manusia yang kau pimpin? Yang aku lihat waktu dan energimu habis untuk mengurusi jeritan orang-orang kaya yang panik hanya karena kekayaannya berkurang. Atau kalian ikut pusing karena “sekedar” persoalan rekayasa politik, hukum dan kekuasaan diantara pejabat-pejabatmu. Atau bikin sibuk semua orang karena gajimu kurang.

Padahal, sekali lagi Tuhan ingatkan kembali, bahwa rakyatmu pada kasta ekonomi terendah telah terjepit pada persoalan yang sederhana tapi tak kunjung kau rapatkan, yaitu masalah sesuap nasi. Hanya karena sesuap nasi, ada seorang ibu yang harus meninggalkan anak dan suaminya merantau ke negeri orang hanya untuk menjadi pembantu, yang akhirnya kita saksikan setiap tahunnya selalu ada mereka yang disiksa sampai cacat atau bahkan mati.

Juga karena sesuap nasi, ada orang tua yang tega menjual anaknya, kakak beradik yang saling bunuh berebut lahan parkir, suami yang rela memelacurkan istrinya. Duh pemimpinku, letih rasanya melihat ini semua di depan mata...

pertanyaan pagi ini...

Pertanyaan pagi ini: Sedang ada dimana hati kita saat ini?; ditengah rimba kebimbangankah, atau masih mantap ada dijalan kebaikan? jikapun sedang bimbang, bersyukurlah karena fitrah kebaikan masih ada di hati. sehingga keburukan tidak begitu mudah menguasai hati dan jiwa. keburukan harus berperang dengan fitrah baik yang disebut dengan bimbang. lihatlah diluar sana, sudah terlalu banyak manusia yang merasa mantap ada di jalan keburukan... mari saling menasehati... mari saling berdoa... karena jika kita sendiri... kehancuran sudah nyata ada di ubun-ubun kita...

Selasa, 27 Oktober 2009

Seruan pada Pemuda: Shaleh atau Menyesal


Semangat yang tinggi, jiwa yang bersih, idealisme yang murni dan fisik yang kuat, merupakan kelebihan yang dimiliki pemuda. Mereka memiliki semua kriteria untuk tampil menjadi penggerak kebaikan. Sejarah telah memberikan pelajaran, bahwa perubahan-perubahan wajah peradaban selalunya dilakukan oleh pemuda.

Itu mengapa saya ingin mengikuti “pemimpi-pemimpi” terdahulu, yaitu menyeru kepada para pemuda dimana saja mereka ada, pada zaman kapan saja, bahwa anda dinanti untuk mengukir sejarah. Pengukiran sejarah akan menjadi sangat luar biasa jika anda, pemuda, melakukannya dengan pena-pena kebaikan, dengan pahat-pahat kebenaran.

Bangunan peradaban yang ingin dibangun haruslah bangunan yang kuat dan bersih, oleh sebab itu ia membutuhkan pekerja-pekerja yang bersih, pejuang-pejuang yang tangguh, merekalah pemuda-pemuda yang kuat lahir dan bathinnya.

Oleh karena itu, sangat penting bagi anda, pemuda, untuk memutuskan posisi anda saat ini, menentukan arah melangkah dan memulai jalan hidup yang akan menentukan status keduniaan anda juga setelah kematian.

Mari hadapkan wajah pada arah yang benar. Arah yang tidak ada penyesalan diujung jalannya. Yaitu menghadapkan wajah pada kebaikan dan kebenaran Tuhan, Islam. Jadikan Islam sebagai pedoman melangkah, referensi utama untuk semua aksi, dan tujuan tunggal dari semua kesibukan dunia.

Pemuda, jadilah pejuang Islam dimanapun anda berada. Jadilah punggawanya yang sejati, agar alam raya kembali menikmati haknya, yaitu dipimpin oleh manusia-manusia bersih, khalifah-khalifah di muka bumi. Harapan ini diletakkan di pundak-pundak anda, pemuda.

Mari, putuskan jalan hidup anda. Jalan dihadapan anda hanya dua; jalan menuju keshalehan yang total atau ketidakmenentuan yang berujung pada kehancuran dan penyesalan.

Senin, 26 Oktober 2009

Orientasi dan Disorientasi Hidup


Duhai diri, tahukah kamu, seringkali dinamika dunia mengaburkan arah dan fokus hidup. Atau keakraban pada kemegahan membuat konsentrasi pelaksanaan visi hidup menjadi terganggu. Bahkan tidak jarang kesibukan yang mengatasnamakan misi kehidupan memutuskan kaitan misi dengan visi dan tujuannya. Tidak heran akhirnya banyak orang ditengah proses kehidupannya kemudian kehilangan arah, orientasi atau bahkan kesadaran.

Oleh sebab itu, mempertanyakan kembali pada diri, apa fungsi hidup ini? Kalau sudah sukses dapatkan semua kemudahan hidup, lantas apa? Kalau sudah dapatkan pengakuan, status sosial tertinggi dan kehormatan, lantas apa? atau sekedar bertanya; siapkah saya dengan kematian? Siap dengan konsekwensi setelahnya? Bagaimana jika saat ini malaikat pencabut nyawa, Izrail sudah ada di hadapan kita?

Bukankah hidup sepatutnya tidak menjadi rutinitas yang monoton? Ritual-ritual yang tak memiliki nilai terlebih makna? Prosesi-prosesi yang tak ada padanya arah dan arti? Hidup seharusnya menjadi waktu-waktu yang bermakna dan berarti. Semuanya berjalan dengan alasan yang kuat, arah visi yang jelas, misi yang terukur dan konsisten dilakukan. Namun memang pada akhirnya dibutuhkan kesabaran yang dalam juga luas.

Saya menuliskan ini, sekedar ingin menasehati diri sendiri, karena kehampaan mulai muncul kembali. Emosi dan situasi ini boleh jadi karena ketidakberdayaan jiwa untuk mengambil keputusan akibat kekuatan tarik menarik antara kemalasan dan semangat.

Tetapi bagi siapa saja diluar sana yang mungkin memiliki kondisi yang sama, semoga Allah mudahkan segala urusannya. Karena cinta Allah dan kasih sayang-Nya adalah sandaran terakhir yang diharapkan teranugerah kepada kita, ketika ketidakberdayaan sudah menguasai jiwa.

Pertanyaan-pertanyaan diatas pada sisi lain mungkin saja berguna untuk memulai “mutaba’ah” kehidupan kita yang telah puluhan tahun berjalan ini. mencoba mengaudit sejauh mana kita telah melangkah atau bahkan tersesat.

Saya pun tidak bosan-bosan mengingatkan cara-cara audit diri ini:

1. Sudahkah pujian-pujian pagi kita persembahkan pada Allah SWT? Agar orientasi selalu disadarkan arahnya.

2. Sudahkan ada salam yang keluar dari lisan untuk menyapa manusia? Agar diri tahu betul fungsi keberadaannya, yaitu membahagiakan manusia lain sekalipun hanya dengan doa.

3. Senyumkah yang memulai kehidupan kita hari ini? Agar optimisme dan prasangka baik menjadi modal menjalani siang, sore dan malam.

4. Sudahkan kita sedekah pagi ini? Agar pada waktunya nanti kita dapatkan belas kasihan Allah

Wallahu a’lam

Sabtu, 24 Oktober 2009

Validitas Ekonomi Islam sebagai Ilmu

Beberapa catatan dari diskusi klasik tentang validitas ekonomi Islam sebagai ilmu atau sciences:


1. Ekonomi Islam pada dasarnya relative tidak memiliki kepentingan untuk diakui sebagai science (mengikuti definisi yang dimiliki dunia ilmu pengetahuan) modern, karena:


a. Induk ilmu ekonomi Islam adalah Islam itu sendiri, Islam sebagai sebuah pedoman hidup manusia, kebenaran mutlak dari Tuhan, agama yang menyelaraskan manusia dengan alam dalam pengabdiannya kepada Tuhan.


b. Ekonomi Islam harus tunduk pada kaidah Islam yang baku, berlaku pada semua ruang dan waktu dunia


c. Ekonomi Islam konsisten dengan prinsip unity of science, dimana ekonomi memiliki benang merah yang sama dengan disiplin ilmu lain terkait dengan tujuan (penghambaan kepada Tuhan), kaidah dan prinsip (tidak bertentangan dengan hukum-hukum Tuhan, selaras dengan kemampuan manusia.


d. Ilmu akan memiliki keabsahannya ketika ilmu telah mampu menghantarkan manusia semakin dekat dengan Tuhan, bukan sebaliknya, dimana ilmu semakin membuat pemiliknya takabur dan sombong


2. Penafsiran manusia terhadap Islam hanyalah sebuah upaya untuk menerjemahkan atau mengejawantahkan Islam dalam semua aspek kehidupan manusia. Dan ekonomi Islam merupakan perwujudan dari salah satu upaya itu. Upaya manusia dalam menafsirkan sepatutnya tidak kemudian membuat Islam, dalam hal ini Ekonomi Islam, menjadi hilang keabsahannya. Karena tentu saja penafsiran akan mengikuti kaidah-kaidah baku yang diyakini menjaga kesakralan Islam sebagai ajaran, kehendak dan kebenaran Tuhan


3. Karakteristik ekonomi Islam yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan dunia tetapi juga kepentingan akhirat, membuat ekonomi Islam memiliki ruang lingkup dan pondasi keilmuan yang unik dan relative lebih kompleks/luas.


4. Ukuran-ukuran utility, happiness atau welfare ekonomi modern, banyak coba disepadankan dengan nilai/value added yang dibawa ekonomi Islam hingga Ekonomi Islam dinilai merupakan bagian atau cabang dari ilmu ekonomi modern yang telah ada, atau ekonomi Islam sering dihakimi sekedar menjadi upaya sia-sia, karena pada hakekatnya upaya itu hanya reinventing the wheel. Ukuran utility, happiness dan welfare dalam Islam memiliki beberapa karakteristik yang tidak dimiliki oleh ekonomi modern:


a. Ruang lingkup atau kepentingan akhirat (hereafter), sehingga utility, happiness dan welfare harus mengacu pada definisi yang tepat/betul sesuai dengan ukuran-ukuran Islam dimana akhirat memiliki peran yang sangat krusial.


b. Keyakinan bahwa dunia hanyalah sementara dan menjadi tempat transit membuat ukuran-ukuran utility, happiness dan welfare memiliki kedalaman makna yang tidak sama dengan ukuran ekonomi modern.


Utility, happiness dan welfare tidak menjadi tujuan akhir dari usaha-usaha ekonomi, mengingat ekonomi telah dikurung dalam ruang keduniaan saja. Misalnya utility sepatutnya menjadi ukuran kepantasan untuk mendapatkan kebahagiaan yang abadi setelah mati. Atau happiness dan welfare hanya akan memiliki makna ketika ditujukan pada kondisi kehidupan setelah mati. Sehingga dunia diposisikan bukan sebagai tempat penikmatan, tetapi tempat usaha untuk melayakkan diri pada anugerah bahagia setelah mati. Dengan kata lain, didunia ekonomi tidak focus pada posisi penikmatan tetapi lebih concern dengan proses-proses usaha.


5. Ukuran-ukuran sciences dalam Islam seharusnya mempertimbangkan tujuan keilmuan yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebagai agama, dimana unsure akidah, akhlak dan syariah menjadi tiga elemen mutlak yang harus terangkum dalam keilmuan Islam.


6. Scientific methodology yang selama ini menjadi filter tunggal untuk menyaring segala pengetahuan agar dinobatkan sebagai science, menjadi tidak fair untuk dijadikan alat mengukur tingkat scientific ekonomi Islam, ketika landasan, filosofi dan logika dalam membangun scientific methodology itu tidak sesuai dengan Islam. Scientific methodology relative lebih sesuai dengan keilmuan alam bukan ilmu tentang prilaku manusia. Prilaku manusia sangat tergantung pada paradigma berfikir, keyakinan dan karakter dasar/alami manusia. Contohnya, prilaku manusia terdidik berbeda dengan manusia tak terdidik, manusia beriman tidak sama dengan manusia yang tidak beriman, sehingga sebuah bentuk pengujian tertentu terhadap prilaku manusia akan memberikan hasil yang berbeda, jika model pengujian tertentu itu ditujukan pada dua kelompok manusia yang memiliki karakter berbeda.

Rabu, 21 Oktober 2009

Bangsa yang sedang Mewujudkan Takdirnya


Indonesia memasuki era baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik, hukum, pendidikan, budaya dan terlebih lagi ekonomi sedang berproses dalam atmosfer yang berbeda. Setidaknya semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara itu sedang bergerak dengan nafas optimisme.

Perubahan sudah terlebih dulu terjadi dalam ranah politik. Rezim diktatorial telah berganti dengan era reformasi, era perubahan yang menggelinding dengan semangat kebebasan dan keadilan. Perubahan itu menempatkan semua warga dan elemen bangsa berada dalam satu posisi yang setara, memiliki kesempatan, hak dan kewajiban yang sama dari dan untuk negara.

Semangat itu, ternyata tergambar pula pada prestasi ekonomi Indonesia. Di penghujung dekade pertama abad baru 21 ini dunia diguncang dengan terpaan krisis keuangan yang memporak-porandakan banyak struktur, infrastruktur sekaligus kinerja ekonomi negara-negara dunia, dari negara miskin, berkembang sampai negara-negara maju terkemuka. Tetapi Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang masih mampu maju dan bertumbuh, bukan saja mampu mempertahankan angka pertumbuhan yang positif tetapi juga mampu menjaganya pada tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi.

Silakan baca artikel yang penuh dengan semangat positif, yang ditulis oleh CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO Pengamat Ekonomi (Koran Seputar Indonesia)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di antara Rusia,India & China

MORGAN Stanley adalah salah satu bank investasi terkemuka di Amerika Serikat (AS). Meskipun didera krisis keuangan beberapa waktu yang lalu sehingga harus ditolong oleh Pemerintah AS, kemampuan Morgan Stanley dalam melakukan analisis tidaklah surut.

Itulah sebabnya apa yang dikatakan perusahaan tersebut tentang suatu negara senantiasa menarik perhatian para investor. Kredibilitasnya mirip dengan Goldman Sach yang telah berhasil melambungkan negara-negara BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) menjadi suatu kelompok elite negara berkembang saat ini. Dengan latar belakang tersebut, apa yang dikemukakan Morgan Stanley dalam publikasinya yang membahas Indonesia tanggal 12 Juni 2009 lalu memicu perhatian yang besar.

Dalam publikasi yang berjudul Adding another “I” to the BRIC story? itu, Indonesia mulai dikategorikan setara dengan negaranegara BRIC. Publikasi itu melihat kemiripan Indonesia dengan India sebagai suatu perekonomian yang berbasis penduduk yang besar. Itulah sebabnya Morgan Stanley menyatakan perlu menambah ?cerita? tentang Indonesia, di samping India, dalam akronim BRIC tersebut. Pernyataan dari Morgan Stanley tersebut tentu didasarkan pada berbagai fakta yang berkembang. Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia dikategorikan berupa jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang melimpah.

Namun dalam beberapa tahun terakhir sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berasal dari biaya modal yang semakin murah. Sumber pertumbuhan yang lain berupa reformasi kebijakan yang pada akhirnya akan lebih memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk berkembang lebih baik. Terlebih lagi dengan tetap positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa krisis global ini, perhatian dari berbagai investor di seluruh dunia tertuju kepada Indonesia.

Sampai dengan 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia digambarkan dalam grafik mereka mulai melampaui Brasil (yang memang relatif rendah selama bertahun-tahun) dan Rusia sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di antara Rusia dan India (dan China). Grafik tersebut akan menjadi lebih menarik lagi jika memasukkan data terakhir tahun 2009 di mana Brasil bahkan mengalami pertumbuhan negatif.

Persepsi dan Prospek Perekonomian Indonesia

Publikasi Morgan Stanley tentang Indonesia tersebut pada akhirnya memperkuat persepsi yang sudah berkembang sampai hari ini tentang prospek perekonomian Indonesia.Persepsi tersebut antara lain terbangun oleh studi yang dilakukan Goldman Sach (N-11: Not just an acronym) pada 2007 yang menempatkan Indonesia dalam kedudukan yang sangat terhormat di antara negara-negara berpenduduk besar yang memiliki prospek ekonomi besar dan tergabung dalam N-11 (Next Eleven) tersebut.

Persepsi tersebut semakin diperkuat oleh studi Pricewaterhouse Coopers (The World in 2050 yang diperdalam dengan Banking in 2050) yang kembali menempatkan Indonesia dalam jajaran perekonomian elite di percaturan perekonomian global. Dengan berkembangnya persepsi semacam itu, minat para investor untuk melakukan investasi di Indonesia menjadi semakin berkembang. Selain bank-bank Inggris yang secara berturut-turut melakukan akuisisi di Indonesia beberapa waktu terakhir,perbankan Indonesia memperoleh perhatian investor yang semakin besar dari seluruh penjuru dunia.

Sampai hari ini masih saja terdengar minat yang serius dari investor maupun bankir asing untuk melakukan akuisisi perbankan di Indonesia. Demikian juga di berbagai sektor ekonomi lain,minat tersebut mirip dengan apa yang timbul setelah maraknya perhatian orang pada negara-negara BRIC.Perkembangan inilah yang akhirnya akan melahirkan self fulfilling prophecy karena minat investor tersebut akhirnya akan mampu merealisasi prediksi Morgan Stanley tentang prospek pertumbuhan Indonesia di tahun 2011 dan sesudahnya.

Dalam studi Morgan Stanley tersebut, PDB Indonesia yang dalam tahun 2008 dinyatakan sebesar USD509 miliar diprediksi akan mencapai antara USD700 sampai USD800 miliar pada 2013. Prediksi ini mendasarkan diri pada pertumbuhan ekonomi riil sebesar antara 6-7 persen mulai tahun 2011 ke atas.Sebagaimana prediksi dari Goldman Sach yang meleset cukup jauh hanya dalam waktu dua tahun (Goldman Sach memprediksi PDB Indonesia 2010 sebesar USD419 miliar dalam studi N-11: Not just an acronym, padahal pada 2008 sudah mencapai USD509 miliar), bukan tidak mungkin prediksi Morgan Stanley juga akan meleset.

Hal ini terutama berkaitan dengan deviasi yang cukup besar antara pertumbuhan PDB riil dengan PDB nominal yang dikonversikan dalam mata uang dolar AS.Sebagai contoh, dalam tahun 2008, PDB nominal Indonesia tumbuh dengan 25,4 persen,sementara PDB riil tumbuh dengan 6,1 persen. Bahkan setelah dikonversi dengan kurs yang sedikit melemah, pertumbuhan PDB Indonesia dalam dolar menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB riil.

Dengan melihat perkembangan tersebut, PDB nominal yang diprediksi Morgan Stanley sebesar USD700-800 miliar tahun 2013 memiliki kemungkinan akan terlampaui. Ini berarti bahwa PDB nominal Indonesia memiliki kemungkinan akan mencapai antara USD800-1.000 tahun 2013 sehingga memungkinkan Indonesia untuk mencapai pendapatan per kapita sekitar USD5.000 pada saat kita semua memasuki era ASEAN Economic Community tahun 2015.Tingkat pendapatan yang sedemikian akan menempatkan kekuatan ekonomi Indonesia sekitar delapan kali dari kekuatan ekonomi Malaysia saat ini.

Prospek semacam itu akan menjadi lebih cepat terealisasi dengan dukungan perbankan yang lebih besar. Publikasi dari Morgan Stanley tersebut juga memperlihatkan tingkat penetrasi perbankan di Indonesia yang diukur dengan rasio kredit perbankan terhadap PDB termasuk sangat rendah dibandingkan dengan negaranegara BRIC dan dengan negaranegara di kawasan Asia Tenggara.

Optimisme terhadap perekonomian Indonesia sudah berkembang secara luas di luar negeri. Rasanya kita pantas berharap bahwa optimisme yang sama juga akan semakin berkembang di negara kita sehingga pada ujungnya kesejahteraan masyarakat dapat terus berkembang. (*)

Kamis, 15 Oktober 2009

Diskusi Tentang Time Value of Money

2009/10/12 ali sakti
punten sebelumnya Akang dan Teteh di Milis, khususnya para Dosen IESP yang tercinta, menarik membahas apa yang sudah didiskusikan dalam milis ini terkait dengan time value of money. berikut urun rembuk saya. mohon maaf jika ada salah tafsir dan kurang berkenan.

Saya ingin membahas teori ini jauh pada dasar filosofinya, pada asumsi-asumsi yang menjadi pondasi mengapa time value of money itu ada. Oleh sebab itu, saya akan membahasnya melalui teori prilaku ekonomi. Karena boleh jadi perbedaan time value of money dalam perspektif Islam bukan semata-mata pada aplikasi lapangan tetapi jauh pada asumsi dasar prilaku ekonomi.

Berkaitan dengan uang (harta), dalam ekonomi Islam pertanyaan yang krusial pada hakikatnya bukanlah “berapa” atau “kapan”. Tetapi yang lebih penting adalah pertanyaan “untuk apa”. Pertanyaan pertama (berapa dan kapan), seakan-akan sudah berasumsi bahwa manusia semua memiliki preferensi yang sama, bahwa manusia konsisten dengan prinsip atau rasionalitas ekonomi “maximizing pleasure minimizing pain” (jeremy bentham, 1748-1823).

Jika manusia hanya bersandar pada kefitrahannya saja maka tidak heran jika preferensi mereka terhadap uang akan menjadi seperti apa yang telah dinyatakan dalam penjelasan time value of money. Dan hal ini sebenarnya telah dijelaskan oleh Tuhan melalui firman-Nya dan Nabi melalui sabda Beliau.

“Dan sesungguhnya kecintaan kepada kebaikan (harta) manusia itu amat sangat”. (Al Aadiyaat: 8)

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir”. (Al Ma’arij: 19-21)

“Andaikata manusia manusia itu telah mempunyai harta benda sebanyak dua lembah, mereka masih ingin untuk mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh melainkan hanya tanah (maut). Dan Allah menerima tobat orang yang tobat kepada-Nya”. (HR. Muslim)

Sementara dalam ekonomi Islam, dengan mempertimbangkan akidah dan akhlak bukan hanya sekedar syariat (hukum), berapapun harta (uang) itu dan apapun bentuknya, hal itu tidak menjadi penting, karena yang menjadi konsep seseorang memegang harta sepatutnya adalah seberapa manfaat harta itu. Konsep kemanfaatan menjadi begitu krusial dalam ekonomi Islam. Konsep ini bersandar pada akhlak Islam yang menyebutkan:

“sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”. (Al Hadits)

“harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang-orang shaleh”. (Al Hadits)

Konsep Islam dalam ekonomi bukanlah konsep individual, dimana kepuasan atau kenikmatan maksimal menjadi orientasi ekonomi (kepuasan atau kenikmatan individual ini pun sifatnya materialistik). Islam lebih mengusung konsep kolektif, dimana orientasi kepuasan tertuju pada kepuasan bersama. Kepuasannya juga tidak hanya terbatas pada fisik.

Berdasarkan sandaran akhlak di atas, seseorang pelaku ekonomi Islam (homo islamicus) juga akan puas jika dapat meringankan beban orang lain dengan hartanya, atau setidaknya tidak dinilai oleh Tuhan sebagai manusia yang tidak beriman karena mengabaikan manusia disekitarnya hingga kelaparan.

“tidak beriman seseorang jika ia bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan”. (Al Hadits)

Dalam ekonomi islam tidak terdapat asumsi bahwa sejumlah uang akan memberikan fixed income karena memang ekonomi Islam tidak memiliki konsep fixed pre-determined return yang dimiliki oleh keuangan konvensional melalui konsep bunga (interest based economy). Dengan konsep pemastian keuntungan atas sejumlah uang tentu seseorang akan cenderung memegang uang saat ini dibandingkan nanti, karena telah ada keuntungan yang pasti yang ia bisa dapatkan dari memegang uang itu saat ini. Atau jika ia memegang uang itu nanti tentu harus ada kompensasi terhadap keuntungan yang seharusnya ia dapatkan.

Dalam Islam uang bukanlah komoditi, ia sekedar alat menilai barang/jasa (cermin dari suatu aset) atau alat transaksi. Treatment terhadap uang dan prilaku yang melingkupinya sangat tergantung pada kondisi manusia yang memegangnya. Baik kondisi akidahnya, akhlaknya, ataupun kondisi keluasan pengetahuan dia pada hukum Islam.

Berdasarkan sandaran akhlak ekonomi di atas, preferensi seseorang terhadap memegang uang yang dikaitkan dengan waktu menjadi tidak relevan. Preferensi memegang uang sepatutnya dikaitkan dengan kemanfaatan uang tadi.

Dalam ekonomi konvensional keputusan investasi lazimnya ditentukan dari perbandingan risk-free interest dengan ekspektasi keuntungan pada suatu projek investasi, dimana time value of money menjadi konsep sentral dalam kasus investasi ini. Tetapi berdasarkan akhlak ekonomi Islam, secara ekstrem seorang pelaku tetap akan berinvestasi meskipun tidak ada return (misalnya BEP), alasannya karena dengan investasi itu ia telah memberikan kemanfaatan bagi orang yang menganggur sehingga ia dapat bekerja dan menghidupi keluarganya.

Namun begitu, teori time value of money dapat saja menjadi relevan dalam konsep ekonomi atau keuangan Islam, ketika definisi time value-nya melingkupi unsur-unsur metafisik yang menjadi keyakinan dalam nilai-nilai akidah dan akhlak Islam. Tetapi redefinisi ini tetap saja membutuhkan perubahan mendasar dari asumsi-asumsi ekonominya. wallahu a’lam.

Arief Anshory Yusuf
Kang Ali dkk,
Bagaimana kalau kita sederhanakan saja lah. Yang dimaksud itu begini hipothesis-nya atau teori-nya: "People will prefer current consumption over future consumption with the same amount" or" if people have alternative of consuming X now, he will only choose consumption in the future unless the consumption is (1+R)X where R is his/her rate o ftime preference".
Ini inti dari konsep time preference, dan ini esensi dari istilah "time value of money" atau "economic value of time" dalam economics. What do you guys think? is it compatible with Syari'a or not?

ali sakti
Kang Arief
kalau akang tanya pada saya, apa saya mau terima pemberian uang itu, tentu saya terima-terima aja uang mau sekarang atau nanti, masa rezeki di tolak :) tapi kalo uangnya dalam akad utang ntar dulu deh, lagi ga mau ngutang neh.... hehehehe... tapi jangan jadikan jawaban saya sebagai parameter kevalidan time value of money dalam Islam :)

ada satu cerita klasik yang sedikit-banyak punya makna menyikapi isu time value of money ini, cerita tentang kehidupan sahabat Nabi bernama Umair. Beliau pada masa Umar bin Khattab ditunjuk sebagai Gubernur. beliau menjadi Gubernur begitu jujur dan sederhana. Kondisi sebelum dan sesudah menjadi Gubernur relatif sama, beliau miskin terhadap harta.

pada masa pensiun, Umar bin Khattab ingin memberikan hadiah sebagai rasa prihatin dan penghargaan Beliau kepada Umair, berupa sekantung uang dinar dan beberapa lembar kain. begitu Umair menerima dua barang pemberian itu, Beliau langsung bergegas menemui Umar, dan dihadapan pemimpinnya itu Umair berkata;

"Wahai pemimpinku, terima kasih atas perhatian dan penghargaanmu, tetapi ini aku kembalikan pemberianmu berupa uang, karena mungkin masih banyak orang yang membutuhkan. sementara untuk keluargaku, aku masih memiliki sekian banyak gandum yang dapat memenuhi kebutuhan keluargaku 2-3 hari kedepan. sedangkan pemberianmu berupa kain aku terima, karena hampir-hampir saja istriku dirumah telanjang karena kekurangan pakaian."
punten kang kalo jawabannya rada ga nyambung :-)

Ari Tjahjawandita
Berarti Umair mendapat tawaran transfer payment dari Umar bin Khattab.
Kalau tawaran ini ditolak, dan kemudian diberikan kpd org yg lbh
membutuhkan, dampaknya apa terhadap perekonomian? ;-)

ali sakti
dampak sederhannya:
1. uang tadi tidak tertahan di tangan umair, karena ia masih punya persediaan makanan (asumsi ia akan konsumsi jika ia membutuhkan saja)
2. uang akan relatif terealisasi menjadi konsumsi (demand) jika ditangan orang lebih membutuhkan (fakir)

gitu kali kang Ari :-)

Harlan Isjwara
Bolehkah kita ambil kesimpulan, bahwa untuk seorang Islam yang baik,
menerima uang sekarang atau tahun depan tidak ada bedanya, selama memang
dia belum membutuhkan uang itu ? Jika dia butuh sekarang, dia akan memilih
menerima sekarang. Jika dia tidak butuh, hidup sudah "cukup" - walaupun
tidak "kaya", maka dia akan menolak uang itu. Atau, dia menerima, untuk diteruskan
kepada orang lain yang menurutnya lebih membutuhkan

Arief Anshory Yusuf
Betul Pak Harlan, tapi ini tidak hanya berlaku buat orang Islam saja. In general semua orang juga begitu. Jadi tidak eksklusif untuk Islam. Ini umum saja. Dalam resource economics misalnya, dikenal bahwa rate of time preference itu cenderung lebih tinggi untuk orang miskin, jadi dia akan mengeksploitasi SDA disekitarnya lebih cepat. Menurut saya tidak tepat kalau ini diklaim oleh satu agama.

Menurut saya, semua orang beragama, Islam atau bukan, punya pilihan itu, konsumsi sendiri atau di-share ke orang lain. Dikonsumsi sendiri kan juga tidak haram, jadi semuanya autonomous choice. Range of spectrum-nya dari di keep sendiri sampai di-share semua ke orang lain, itu keputusan masing-masing, dan masing-masing orang Islam bisa berbeda-beda. Sama persis orang bukan Islam juga range of spectrumnya. Tidak benar misalnya kalau A dan B sama kayanya karena A Islam dan B bukan A akan share lebih banyak ke orang lain. That is counter-reality, any argument that has no empirical truth should be abandoned.

One more thing: Economics is a science that study the 'reality' of human behaviour, not the utopia of an ideal one. Otherwise, it won't have any practical policy use. What we study includes almost all aspect of behaviour including altruism, that is a 'reality', and economists do study this, among others Ibu Armida is an expert on intra-household transfers, one form of altruism known in economics. It is sometimes disappointing seeing people criticizing economics with a minimum knowledge of economics itself, because what they are criticizing are already established in economics decades ago. Look at Nobel-prize winning contribution in economics. I understand that it is hard to grasp the vast amount of economics knowledge simply based on knowledge from S1 in economics, but if we do a little bit of more research it will reveal itself. We should avoid being what I called 'ignorant' to our own discipline.

ali sakti
1. mungkin seperti itu Pak harlan :); intinya adalah ada nilai-nilai (akidah dan akhlak) dan hukum (syariah) yang kemudian mempengaruhi Economic Behavior dalam perspektif Islam. prilaku ekonomi tidak diserahkan utuh kepada kefitrahan manusia (silakan lihat penjelasan pada posting saya yang pertama). jadi membandingkan dua respon dari satu isu (time preference) pada contoh yang disodorkan Kang Arief menjadi tidak relevan jika tidak mempertimbangkan asumsi-asumsi dasar prilaku ekonominya.

2. mungkin sekarang arah dan subjek diskusi sudah beralih ya kang Arief :) dari time value of money ke isu filosofi keilmuan. untuk ini saya tidak memiliki banyak pengetahuan. tetapi sebagai urun rembuk, saya kira klaim keilmuan (yang sifatnya mengarah pada primordialisme dan fanatisme buta) bukanlah isu dalam pengembangan sebuah disiplin ilmu. dalam hal ekonomi Islam, Islam menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan keilmuan ekonomi, dimana prinsip-prinsip sistem dan nilai-nilai prilaku telah digariskan Tuhan melalui Qur'an dan Hadits. contohnya, seorang pakar ekonomi di dunia ini tidak ada yang pernah mengklaim ide "prohibition of riba & maysir" (pelarangan bunga dan spekulasi) atau "zakat system" sebagai ide dia, tetapi sumber ide itu langsung dari Tuhan yang menentukan, karena telah ada dalam firmannya di Qur'an. dari situlah kemudian berkembang aplikasi-aplikasi sistem yang bebas riba & maysir, sehingga saat ini aplikasi itu sudah merubah wajah sistem dimana telah ada industri keuangan syariah. begitu juga prilaku-prilaku ekonomi yang diinspirasi oleh akhlak-akhlak Islam, seperti zuhud, qana'ah atau ukhuwah (altruism?). intinya munculnya prilaku dan terselenggaranya sistem ekonomi itu tidak bisa dilepaskan pada kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Islam, sehingga ekonomi Islam pada hakikatnya sebuah representasi dari kepatuhan pada ketentuan-ketentuan Tuhan. sehingga akhirnya nanti bagi seorang muslim, aplikasi ekonomi Islam tidak bedanya dengan shalat, puasa atau berhaji. berekonomi dalam Islam menjadi seperti berislam dalam ekonomi. makanya jangan terkejut jika logika ini juga mengemuka pada sektor non-ekonomi. akan ada konsep politik Islam, hukum, budaya dan lain-lain. karena memang Islam diposisikan sebagai sumber atau pedoman puncak dari semua aspek kehidupan manusia. inilah konsep unity of science yang diusung oleh Islam.

3. Nah, jika ternyata dalam proses mengembangnya ternyata ekonomi Islam (atau disiplin ilmu apapun) beririsan (menemukan kesamaan) dengan pemikiran lainnya, tentu itu sebuah kewajaran dan perlu disikapi dengan bijak. karena memang dalam Islam setidaknya sumber keilmuan itu diyakini bersumber dari 2 sources, yaitu; revelation (firman Tuhan) dan observation (observasi manusia pada alam dan lingkungan). dalam Islam logikanya mungkin seperti ini; manusia tidak bisa dibiarkan sendirian mengeksplorasi fikirannya dalam meramu sistem yang akan digunakan untuk mengatur dirinya, sementara dirinya mengakui ada kelemahan (keyakinan ini juga ditunjang oleh informasi dari Tuhan bahwa manusia itu, pelupa, bodoh, suka mengeluh, kikir dan lain-lain; lihat posting saya yang pertama). oleh sebab itu manusia membutuhkan guidance, dan revelation-lah yang berfungsi menjadi referensi utama. tetapi tidak dibantah bahwa fikiran-fikiran manusia dapat pula mencapai kebenaran (hikmah dan wisdom), namun kebenarannya tentu tidak absolut.

4. utopia atau ideal saya pikir juga bukan isu disini, karena pada dalam Islam hakikatnya manusia berusaha untuk mencapai keshalehan puncak sesuai dengan kemampuannya, sehingga pada dasarnya manusia sepatutnya terus berusaha menuju kondisi yang diinginkan oleh Tuhan (ini definisi dari "ideal" yang mungkin pas). tetapi dalam aplikasi menuju ideal itu ada kondisi minimal yang sudah digariskan oleh Islam, seperti yang telah saya jelaskan, misalnya prohibition of riba, maysir atau implementation of zakah.

waduh maaf Kang kalau kepanjangan.... punten pisan...

Arief Anshory Yusuf
Tanggapan untuk No. 2
Saya, sebagai ekonom, melihat fenomena ini dari sisi berbeda. Ada
ternyat prilaku-prilaku yang seperti Kang Ali sebutkan diatas dan ini
prilaku yang valid untuk diteliti. Buat saya fenomena diatas adalah
objek observasi saja untuk dikaji. Bukan apa-apa, karena memang
economics dimata saya adalah studi yang mengobservasi prilaku. Saya
bukan ahli yang lain-lain misalnya ethics.
Kalau saya melangkah lebih jauh dan menganggap bahwa nilai-nilai yang
dianut oleh orang-orang yang saya observasi harus diberlakukan secara
universal, maka saya bukan scientist, tapi 'aktivitis'.

Tanggapan untuk No. 3
Sepertinya Saya memang sedang membicarakan hal yang berbeda dengan apa
yang Kang Ali bicarakan. Saya membicarakan economics sebagai sebuah
disiplin ilmu (positive science), bukan etik atau agama (bimbingan
jalan hidup, spiritualitas). Ya jadi berbeda persepsinya. Susah untuk
nyambung kalau buat saya. kayanya kita memang beda hobi saja hahaha.
Perbedaan juga fitrah kan?


Tanggapan untuk No. 4
Setuju saja. Ini cita-cita semua orang dan mari kita upayakan kearah
sana. Pesan saya, dengan atas nama apapun, kita jangan sampai
terpeleset menyalahkan konsep-konsep economics yang sudah established
tanpa memahami dulu dengan baik apa maksudnya, serta jangan juga tidak
rela untuk disalahkan kalau konsep yang berbaju Islam memang tidak
tepat dan relevan. Kita perlu belajar dari economics yang perkembangan
nya sampai sekarang menjadi sebuah established science itu disebabkan
pengusungan metode-metode ilmiah yang open for debate and discussion.

Kang Ali,
Saya sudah sangat spesifik:
Ketika saya bilang bahwa alpha adalah share dari income untuk dibagikan ke fakir miskin dan saya bilang alpha itu nilainya antara 0 dan 1 untuk setiap orang Islam menurut saya tidak melanggar kefitrahaan manusia. Salah-nya dimana ya?
Dan saya juga bilang bahwa kalau ada hipotesis bahwa alpha orang Islam lebih besar dari alpha non Islam adalah tidak tepat, salah-nya dimana juga, kang Ali?

oh ya satu lagi, apakah Kang Ali bisa mengelaborasi ini, saya belum menangkap maksudnya:
"jadi membandingkan dua respon dari satu isu (time preference) pada contoh yang disodorkan Kang Arief menjadi tidak relevan jika tidak mempertimbangkan asumsi-asumsi dasar prilaku ekonominya."

ali sakti
:) hehehehe... fikir saya ndak salah kok kang...
mungkin akan lebih pas pergerakan/fluktuasi/variasi nilai alpha (0< a <1) bukan ditentukan oleh Islam, tetapi ditentukan oleh keimanan/keshalehan (seperti yang coba disimpulkan oleh Pak Harlan) seorang Islam pada prinsip dan nilai-nilai Islam.

jadi sangat dimungkinkan seorang Islam alphanya 0, karena ia tidak meyakini atau tidak mempedulikan nilai-nilai Islam, ia hanya memaksimalkan incomenya untuk dirinya sendiri... namun jika zakat sudah menjadi sebuah kewajiban dalam sistem, maka share kepada orang miskin tidak ditentukan oleh keimanan, karena zakat sifatnya memaksa/wajib (kepada semua orang mampu Islam, baik ia beriman atau tidak).

nah jika kita akomodasi zakat ini, maka alpha akan memiliki nilai minimum, misalnya sebesar 2,5% (0.025) dari incomenya (ini juga dengan asumsi income-nya sampai batas nishab/jumlah minimal terkena kewajiban zakat).

punten kalo malah membingungkan Kang :-)

Arief Anshory Yusuf
ah persis, good correction. untuk sebagian besar orang Islam yang mampu berlaku 0.025< alpha <1. dan berapa alpha? ini pertanyaan empiris, menarik untuk diketahui mean(alpha) dan bagaimana dia didistribusikan. tapi intinya dia empirical questions. Dan kembali alpha yang positive tidak 'unique' milik nilai/agama tertentu.

ali sakti
memang besar kecilnya alpha sangat sempit kalau dihubungkan dengan dengan nilai/agama tertentu, JIKA informasi tentang alpha hanya sebatas definisi share dari income untuk orang miskin. tetapi sah-sah saja rasanya jika ada yang menyebut alpha sebagai keunikan Islam jika ia mempertimbangkan motivasi, nilai-nilai penggerak dan praktek Islam :-)

hipotesanya kang, semakin tinggi keimanan dan keshalehan seseorang maka alpha boleh jadi akan mendekati 1 :")...

nah cerita yang pas untuk hipotesa ini adalah prilaku Sahabat Nabi yang bernama Salman Al Farisi, beliau menjadi Gubernur daerah Madain dengan gaji 5000 dirham. tetapi setiap gajian ia tidak mengambil gajinya, semua gajinya ia hibahkan kepada kas negara untuk fakir miskin. sementara untuk hidup bersama istrinya ia hanya menggunakan uang 3 dirham yang sudah menjadi bekalnya sejak berangkat dari Madinah ke Madain. 3 dirham itu ia gunakan untuk 3 keperluan; 1 dirham untuk makan, 1 dirham untuk infak dan 1 dirham terakhir untuk beli pelepah kurma kering yang dianyam oleh istrinya menjadi tikar dan dijual ke pasar seharga 3 dirham. selanjutnya dari hasil penjualan tikar itu Salman membelanjakannya seperti prilaku belanja sebelumnya... begitu seterusnya...

bisa ga ditulis begini Kang:

income M Salman = 5003 dirham
konsumsi C = (a + b) M, dimana (a) share untuk konsumsi pokok pribadi dan (b) share untuk amal shaleh dan nilai (b) itu alphanya kali ya? dimana nilainya (b) = 5001/5003 = 0,9996 atau 99,96%

secara sederhana (sederhana banget neh) mengukur keimanan dan keshalehan bisa menggunakan fluktuasi nilai variabel a & b. untuk kasus Salman diatas, salman bisa dinilai sangat shaleh, karena memaksimalkan potensi amal shalehnya (amal shaleh subject to income).

jika salman sedikit ingin berkonsumsi lebih banyak bagi dirinya sendiri boleh jadi ia akan meningkatkan (a) yang berarti akan menurunkan konsumsi amal shalehnya.

eh jadi panjang ceritanya yah....

Arief Anshory Yusuf
sebagai tambahan, karena tadi Kang Ali bilang 0.025 itu wajib. Maka saat ini alpha terbesar didunia adalah Belgia yaitu 0.6. Ini adalah income tax rate. Uang-nya dibagikan untuk kemaslahatan rakyatnya, social-security, infrastructure, melindungi rakyat yang kurang beruntung dlsb. Berikut link dari datanya: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Income_Taxes_By_Country.svg
Any other society higher than Belgia? Let me know.

ali sakti
60% wow! :-) cakep banget ya... hehehehe... kalo yang wajib aja dah segitu, yang sukarelanya mungkin jadi ga terdorong kali ya atau malah sebaliknya hehehe... gimana angka migrasinya, denger-denger fenomena migrasi karena tekanan pajak tinggi terjadi di negara eropa Kang... anyway... 60% tinggi banget ye....

Arief Anshory Yusuf
Itulah menurut saya di societal system yang lain juga banyak Salman Al Farisi - Salman Al Farisi yang lain. Cuman Di Belgia mungkin namanye Albert atau Johansen. Atau di Austalia (yang saya juga familiar) semua orang senang-senang aja alpha-nya tinggi dengan membayar pajak. Tidak ada orang tunawisma, pendidikan gratis. Maling yang dimotivasi rasa lapar sudah gak ada sama sekali. Alpha-nya lebih tinggi dari income tax banyak juga. Cuman rasanya tidak akan efektif kalau kita mau mengurangi kesenjangan dengan cara menjadikan semua orang menjadi Salman Al Farisi. Ada cara yang lebih jitu, lihat aja negara-negara yang bisa memakmurkan rakyatnya saat ini.

ali sakti
... mungkin begitu Kang, tetapi akan sangat berlebihan jika menyamakan sistem berdasarkan "kemiripan-kemiripan" dibawah itu saja, atau berdasarkan metode pemadanan-pemadanan sederhana dengan mengabaikan filosofi dasar, paradigma, prinsip, nilai-nilai, struktur, mekanisme, dan semua unsur sistem lainnya...

Arief Anshory Yusuf
"kemiripan-kemiripan" yang mana yang Kang Ali maksud?
Point saya satu saja: alpha yang besar tadi itu bukan monopoli Islam.

ali sakti
kemiripan alpha itu kang :-)
karena kalau mau detil (maaf jadi panjang lagi)

karakteristik alpha dalam Islam mungkin diklasifikasikan menjadi 2;
1. zakat yang sifatnya wajib/memaksa yang dilakukan oleh negara --> seperti tax di belgia itu ya Kang
2. infak, sedekah, wakaf, hadiah, hibah dll yang sifatnya voluntary --> digerakkan oleh keimanan

jika kita gunakan persamaan konsumsi pada posting saya sebelumnya, dimana:

C = (a + b) M, dengan memasukkan zakat (Z) maka persamaannya menjadi:
Md = M - Z --> C = (a + b) Md, b sebagai alpha yang bersifat voluntary yang digerakkan oleh keimanan tentu akan menjadi keunikan tersendiri...

Arief Anshory Yusuf
kemiripian alpha? pernyataan saya yang mana ya yang mengenai kemiripan alpha? saya bilang tidak tepat kalau besarnya alpha ditentukan oleh apakah dia Islam atau bukan. alpha yang besar is not unique to Islamic value.

mengenai fungsi konsumsi, barangkali yang dimaksud C = (a-b) Md. b adalah 'marginal propensity for charity'. Besarnya b tentunya adalah 'empirical question'. besarnya b ditentukan oleh banyak faktor, dia bisa juga dipengaruhi oleh M nonlinearly, semaking kaya orang semakin tinggi propensity for Charity-nya, kalau mau memasukan keimanan, ya boleh-boleh saja. Ukuran-nya misalnya bisa frequensi shalat tapi juga bisa frequensi ke gereja atu sinagog. cuman faktor Agama-nya apa menurut saya 'out of question'. Dalam economics pengaruh spiritualitas atau agama juga sudah banyak dibahas dalam empirical literature of economics with 'mixed' results.

ali sakti
punten Kang, mungkin dibaca lagi Kang (khususnya posting saya yang paling pertama sekali, karena itu asumsi dasar dari logika yang terbangun setelahnya), saya khawatir kali ini, betul-betul kita sedang bicara sesuatu yang berbeda :-) anyway... terima kasing banget atas sharingnya...

Arief Anshory Yusuf
Saya baca kok, tetep gak ngerti.

ali sakti
:-)... maaf ya kang

Arief Anshory Yusuf
saya baca kok, mungkin karena Kang Ali tidak secara ekplisit menjelaskan bahwa amal dan konsumsi barang dan jasa itu diagregatkan ya jadi C. Bisa jelaskan ngga apa yang dimaksud dengan C oleh Kang Ali?

Menurut saya persamaan C = (a + b)M dimana a + b = 1 tidak mengandung aspek behavour whatsoever representasinya ini artinya kan C = M?

ali sakti
Persamaan C = (a+b) M merupakan model yang menggambarkan prilaku Salman al Farisi dan mungkin lebih tepat disebut persamaan spending daripada konsumsi, dimana konsumsinya memiliki dua motivasi; amal shaleh (b) dan kebutuhan pokok (a). Persamaan ini dapat saja menggambarkan prilaku berdasarkan intensi mengalokasikan pendapatannya pada amal shaleh atau kebutuhan pribadi.

Senin, 12 Oktober 2009

Seri Akhlak Ekonomi Islam: Time Value of Good Deeds

Seorang kawan yang sekaligus pakar ekonomi mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan time value of money adalah: "People will prefer current consumption over future consumption with the same amount" or" if people have alternative of consuming X now, he will only choose consumption in the future unless the consumption is (1+R)X where R is his/her rate o ftime preference". Ini inti dari konsep time preference, dan ini esensi dari istilah "time value of money" atau "economic value of time" dalam economics.

Sebelumnya saya ditanya apakah ada konsep itu dalam Islam. Jawaban saya kurang lebih seperti apa yang saya tulis sebelum tulisan ini (Seri Akhlak Ekonomi Islam: Time Value of Money). Kawan saya kemudian mencoba menyederhanakan konsep time value of money dengan mengungkapkan definisi seperti yang tertera di atas, dan menanyakan kembali apakah ada konsep itu di ekonomi Islam, saya cuma bilang kalau saya ditraktir makan saat ini atau nanti ya sama saja, asal lagi lapar J.

Tetapi esensi definisi yang diungkapkan oleh kawan di atas itu, terkesan terlalu menyederhanakan, karena tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya. Manusia mandiri tanpa akhlak, tanpa nilai dan norma agama yang dapat menentukan prilaku ekonominya. Oleh sebab itu, terlintas dalam benak saya, kalau definisi itu mungkin tepat dalam Islam jika konsepnya diganti menjadi time value of good deeds.

Dengan begitu, saya akan sangat lega jika statement diatas berubah menjadi "People will prefer current good deeds over future good deeds with the same volume" J. Dan kepuasan saya ditutup dengan ingatan pada cerita kesederhanaan seorang sahabat Nabi.

Ada satu cerita klasik yang sedikit-banyak punya makna menyikapi isu time value of money, cerita tentang kehidupan sahabat Nabi bernama Umair. Beliau pada masa Umar bin Khattab ditunjuk sebagai Gubernur. beliau menjadi Gubernur begitu jujur dan sederhana. Kondisi sebelum dan sesudah menjadi Gubernur relatif sama, beliau miskin terhadap harta.

pada masa pensiun, Umar bin Khattab ingin memberikan hadiah sebagai rasa prihatin dan penghargaan Beliau kepada Umair, berupa sekantung uang dinar dan beberapa lembar kain. begitu Umair menerima dua barang pemberian itu, Beliau langsung bergegas menemui Umar, dan dihadapan pemimpinnya itu Umair berkata;

"Wahai pemimpinku, terima kasih atas perhatian dan penghargaanmu, tetapi ini aku kembalikan pemberianmu berupa uang, karena mungkin masih banyak orang yang membutuhkan. sementara untuk keluargaku, aku masih memiliki sekian banyak gandum yang dapat memenuhi kebutuhan keluargaku 2-3 hari kedepan. sedangkan pemberianmu berupa kain aku terima, karena hampir-hampir saja istriku dirumah telanjang karena kekurangan pakaian."

Minggu, 11 Oktober 2009

Seri Akhlak Ekonomi Islam: Time Value of Money

Pertanyaan apakah ada time value of money dalam Islam, selalu ditanyakan banyak pihak dari pakar hingga praktisi. Karena jawaban dari pertanyaan ini akan menggambarkan bagaimana sikap (treatment) ekonomi Islam dalam menentukan parameter-parameter keputusan investasi. Jawaban inipun boleh jadi akan menjadi salah satu tolak ukur untuk mendeferensiasi ekonomi Islam dengan ekonomi modern saat ini, khususnya di sektor keuangan.

Time value of money pada dasarnya merepresentasikan time preference seseorang (pelaku ekonomi) dalam memegang uang. Berdasarkan teori ini, seorang pelaku ekonomi sudah diasumsikan akan lebih cenderung memegang uang saat ini daripada masa yang akan datang. dengan menggunakan asumsi konvensional, bahwa preferensi manusia hanya digerakkan oleh dirinya sendiri (human nature), maka tentu tidak ada yang salah dalam teori time value of money ini.

Hanya yang menjadi pertanyaan apakah ekonomi Islam memiliki konsep yang sama terhadap isu ini? di dalam teori ekonomi Islam harus diakui bahwa manusia memiliki kebutuhan sesuai kefitrahan yang ada pada dirinya. Tetapi cara memenuhi kebutuhan itu, ia tidak bebas melakukan hal apa saja yang ia mau. Karena ia dibatasi oleh hukum (syariat) dan nilai-nilai yang diyakininya (akidah dan akhlak).

Saya ingin membahas teori ini jauh pada dasar filosofinya, pada asumsi-asumsi yang menjadi pondasi mengapa time value of money itu ada. Oleh sebab itu, saya akan membahasnya melalui teori prilaku ekonomi. Karena boleh jadi perbedaan time value of money dalam perspektif Islam bukan semata-mata pada aplikasi lapangan tetapi jauh pada asumsi dasar prilaku ekonomi.

Berkaitan dengan uang (harta), dalam ekonomi Islam pertanyaan yang krusial pada hakikatnya bukanlah “berapa” atau “kapan”. Tetapi yang lebih penting adalah pertanyaan “untuk apa”. Pertanyaan pertama (berapa dan kapan), seakan-akan sudah berasumsi bahwa manusia semua memiliki preferensi yang sama, bahwa manusia konsisten dengan prinsip atau rasionalitas ekonomi “maximizing pleasure minimizing pain” (jeremy bentham, 1748-1823).

Jika manusia hanya bersandar pada kefitrahannya saja maka tidak heran jika preferensi mereka terhadap uang akan menjadi seperti apa yang telah dinyatakan dalam penjelasan time value of money. Dan hal ini sebenarnya telah dijelaskan oleh Tuhan melalui firman-Nya dan Nabi melalui sabda Beliau.

“Dan sesungguhnya kecintaan kepada kebaikan (harta) manusia itu amat sangat”. (Al Aadiyaat: 8)
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir”. (Al Ma’arij: 19-21)
“Andaikata manusia manusia itu telah mempunyai harta benda sebanyak dua lembah, mereka masih ingin untuk mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh melainkan hanya tanah (maut). Dan Allah menerima tobat orang yang tobat kepada-Nya”. (HR. Muslim)

Sementara dalam ekonomi Islam, dengan mempertimbangkan akidah dan akhlak bukan hanya sekedar syariat (hukum), berapapun harta (uang) itu dan apapun bentuknya, hal itu tidak menjadi penting, karena yang menjadi konsep seseorang memegang harta sepatutnya adalah seberapa manfaat harta itu. Konsep kemanfaatan menjadi begitu krusial dalam ekonomi Islam. Konsep ini bersandar pada akhlak Islam yang menyebutkan:

“sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”. (Al Hadits)
“harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang-orang shaleh”. (Al Hadits)

Konsep Islam dalam ekonomi bukanlah konsep individual, dimana kepuasan atau kenikmatan maksimal menjadi orientasi ekonomi (kepuasan atau kenikmatan individual ini pun sifatnya materialistik). Islam lebih mengusung konsep kolektif, dimana orientasi kepuasan tertuju pada kepuasan bersama. Kepuasannya juga tidak hanya terbatas pada fisik.

Berdasarkan sandaran akhlak di atas, seseorang pelaku ekonomi Islam (homo islamicus) juga akan puas jika dapat meringankan beban orang lain dengan hartanya, atau setidaknya tidak dinilai oleh Tuhan sebagai manusia yang tidak beriman karena mengabaikan manusia disekitarnya hingga kelaparan.

“tidak beriman seseorang jika ia bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan”. (Al Hadits)

Dalam ekonomi islam tidak terdapat asumsi bahwa sejumlah uang akan memberikan fixed income karena memang ekonomi Islam tidak memiliki konsep fixed pre-determined return yang dimiliki oleh keuangan konvensional melalui konsep bunga (interest based economy). Dengan konsep pemastian keuntungan atas sejumlah uang tentu seseorang akan cenderung memegang uang saat ini dibandingkan nanti, karena telah ada keuntungan yang pasti yang ia bisa dapatkan dari memegang uang itu saat ini. Atau jika ia memegang uang itu nanti tentu harus ada kompensasi terhadap keuntungan yang seharusnya ia dapatkan.

Dalam Islam uang bukanlah komoditi, ia sekedar alat menilai barang/jasa (cermin dari suatu aset) atau alat transaksi. Treatment terhadap uang dan prilaku yang melingkupinya sangat tergantung pada kondisi manusia yang memegangnya. Baik kondisi akidahnya, akhlaknya, ataupun kondisi keluasan pengetahuan dia pada hukum Islam.

Berdasarkan sandaran akhlak ekonomi di atas, preferensi seseorang terhadap memegang uang yang dikaitkan dengan waktu menjadi tidak relevan. Preferensi memegang uang sepatutnya dikaitkan dengan kemanfaatan uang tadi.

Dalam ekonomi konvensional keputusan investasi lazimnya ditentukan dari perbandingan risk-free interest dengan ekspektasi keuntungan pada suatu projek investasi, dimana time value of money menjadi konsep sentral dalam kasus investasi ini. Tetapi berdasarkan akhlak ekonomi Islam, secara ekstrem seorang pelaku tetap akan berinvestasi meskipun tidak ada return (misalnya BEP), alasannya karena dengan investasi itu ia telah memberikan kemanfaatan bagi orang yang menganggur sehingga ia dapat bekerja dan menghidupi keluarganya.

Namun begitu, teori time value of money dapat saja menjadi relevan dalam konsep ekonomi atau keuangan Islam, ketika definisi time value-nya melingkupi unsur-unsur metafisik yang menjadi keyakinan dalam nilai-nilai akidah dan akhlak Islam. Tetapi redefinisi ini tetap saja membutuhkan perubahan mendasar dari asumsi-asumsi ekonominya. wallahu a’lam.

Rabu, 07 Oktober 2009

Amal Dakwah di Pelosok Padang Pariaman


Sebagai simpatisan partai dakwah, saya cukup berbangga hati karena selama 4 hari wara-wiri di pedesaan Kabupaten Padang Pariaman, kantor-kantor PKS sebagai markazud dakwah baik di tingkat DPRa, DPC maupun DPD, aktif dan berfungsi sebagai posko penggalangan bantuan dan pelayanan social.

Kebanggaan itu tidak sampai disitu, diperjalanan menyebarkan bantuan kami selalu berpapasan dengan rombongan atau sukarelawan PKS. Dan yang mengagumkan mereka bukan hanya berasal dari wilayah Padang Pariaman tetapi dari daerah Sumatera Barat lainnya atau bahkan dari provinsi tetangga. Di desa Padang Sagu Kecamatan Patamuan Kabupaten Padang Pariaman berdiri posko yang didirikan sukarelawan PKS dari DPW Sumatera Selatan.

Pada lain kesempatan saya jumpai beberapa anggota Kepanduan PKS dari Duri Provinsi Riau di satu Masjid di Jalan Raya penghubung antara Kota Padang dan Kota Pariaman. Kami berkenalan dan ngobrol singkat. Setelah itu saya titipkan dana zakat pribadi saya untuk disalurkan dalam rangka penyaluran bantuan social mereka.

Kerja para sukarelawan PKS local dan luar Sumbar terkoordinasi melalui P2B (Pos Penanggunalangan Bencana) PKS yang memang sudah eksis di tiap daerah. Budaya ukhuwwah dalam interaksi kader di PKS membuat koordinasi kerja-kerja dakwah social seperti penanggulangan bencana ini menjadi relative lancar.

Saat beristirahat selepas menghabiskan amunisi bahan pokok, saya berjumpa dengan rombongan DPP PKS Jakarta yang didampingi oleh teman-teman DPW Sumbar di sebuah rumah makan di daerah Sicincin. Dalam rombongan saya lihat Ust. Tifatul Sembiring, Presiden PKS sedang lesehan menyantap makan malam. Alhamdulillah, setidaknya pemimpin memberikan contoh bagaimana sepatutnya bersegera beramal shaleh dalam kerja-kerja partai dakwah ini. Beliau sampai ke pelosok di daerah pusat gempa, semoga ini menggambarkan kerja-kerja dan militansi kader di bawahnya. Sebagai simpatisan, ini sebuah kebanggaan tersendiri.

Kebanggaan semakin bertambah ketika melihat tidak ada satupun partai politik yang melakukan kerja-kerja social yang sama. Kerja social PKS memang hakikatnya adalah kerja dakwah yang mencerminkan filosofi dasarnya, paradigma berkembangnya, dan langkah-langkah implementasi misinya. Tersenyum saya ketika melihat spanduk cukup besar di pertigaan jalan di daerah Kecamatan Patamuan yang bertuliskan “KEMANA PARTAIKU.”

Hal ini semakin menegaskan bahwa PKS adalah partai dakwah, dimana motivasi terbesarnya adalah ibadah, prinsip kerjanya adalah amar ma’ruf nahi munkar (mengajak berbuat baik dan menolak kemunkaran), dan semangatnya adalah fastabiqul khairat (berlomba untuk berbuat baik) melalui kerja-kerja islahul ummah (perbaikan masyarakat) menuju terwujudnya khairu ummah (ummat yang terbaik).

Semoga kader-kader dakwah selalu mendapat ramat dan kasih sayang Allah SWT, untuk selalu berada di jalan dakwah ini, selalu berada di garis terdepan dalam kerja-kerja kebaikan dalam rangka mewujudkan jama’ah syurga di muka bumi ini. Terima kasih.

Pesan Dari Langit pada Gempa di Bumi


Ternyata di daerah kabupaten Padang Pariaman terdapat beberapa pondok pesantren, tetapi saat saya bersama Tim MMBI melewati pesantren tersebut, tidak terlihat kegiatan yang berarti. Mungkin kebanyakan santri dan guru sedang libur. Rata-rata pesantren itu tidak mengalami kerusakan yang berarti (sepanjang penglihatan kami dari jalan).

Jalan-jalan yang kami lewati, baik jalan kabupaten, kecamatan hingga pedalaman desa, masih cukup mulus aspalnya untuk dilewati. Tetapi memang beberapa sekolah; SD, SMP dan SMA mengalami kerusakan yang bervariatif, dari ringan hingga ambruk sama sekali.

Kami mendengar cerita tentang desa di Tandikek yang terbenam oleh longsor, dimana penduduknya ketika itu sedang mengadakan pesta perkawinan yang menampilkan dangdut organ tunggal. Sementara cerita-cerita istimewa bagaimana selamatnya beberapa penduduk, semakin membuat variasi yang sangat kaya dari peristiwa bencana gempa ini.

Penasaran saya untuk bisa menyimpulkan pesan utama dari langit, yang dapat dijadikan pelajaran bagi kami yang menyaksikan semua ini.

Boleh jadi ini sebuah ujian ukhuwwah bagi siapa saja sebagai warga bangsa yang menyaksikan peristiwa pilu ini. Tergerakkah hati kita untuk membantu sesuai dengan kemampuan, sekalipun itu hanya sebait do’a. Tetapi mungkin juga ini merupakan cobaan ketabahan bagi mereka-mereka di daerah Sumbar yang mengalami guncangan dahsyat dari bumi.

Hasil daru ujian dan cobaan itu sudah mulai muncul. Mereka yang hanya bisa mengelus dada jauh di luar Sumbar kini sibuk kembali dengan hiruk-pikuk kesehariannya. Berita gempa sekedar menjadi variasi berita dari sekian berita yang ada di televisi mereka. Atau sibuk membincangkan hubungan angka dari detik-detik terjadinya gempa dengan ayat-ayat suci, seperti layaknya dukun yang menghubungkan sebuah peristiwa dengan angka-angka lotre. Duh tidak tega saya melihat ayat-ayat suciku ditafsirkan dengan cara-cara seperti itu.

Di Sumbar sendiri tidak sedikit penduduk yang luput dari bencana itu menjadi wisatawan lokal yang melancong dari satu lokasi gempa ke lokasi lainnya. Atau para korban yang cenderung semakin egois untuk mengamankan setiap bantuan yang lewat untuk diri dan keluarganya. Atau para pemimpin-pemimpin desa, kecamatan, kabupaten atau kotamadya hingga provinsi yang sibuk dengan prosedur dan birokrasi penanggulangan bencana, yang akhirnya membuat runyam kondisi korban dan daerah bencana.

Tak lama lagi kita akan lihat para pejabat dan para selebritis yang membawa para wartawan untuk meliput kegiatan keprihatinan mereka terhadap bencana itu. Rutinitas bencana berikut skenario dari awal hingga akhir dari keadaan bencana dan peristiwa-peristiwa yang meliputinya, selalunya berulang-berulang dan berulang. Yang pasti kita semua tidak semakin dekat pada Tuhan. Sebuah pelajaran mahal yang selalu diabaikan.

Renungan Di Balik Bencana Gempa Sumbar


Ada beberapa fakta yang membuat saya berfikir lebih dalam tentang hakikat bencana ini. Beberapa pemandangan kehancuran akibat gempa dan situasi masyarakat pedesaan sekitar Padang Pariaman membuat hati saya campur aduk. Banyak fenomena lapangan yang mungkin luput dari kaca mata hati, tetapi boleh jadi menjadi informasi paling berharga yang ingin disampaikan Tuhan kepada kita semua.

Saya melihat kehancuran yang unik di daerah Tandikek, kecamatan Patamuan Kabupaten Padang Pariaman. Rumah-rumah di area kaki bukit kehancurannya 60% sampai 95%, tetapi di area puncak bukit rumah dan bangunan lain masih berdiri utuh.

Kenapa ya? Fikir saya mungkin ada hubungannya dengan pemandangan yang sangat vulgar dimana warung-warung kecil hingga di pedesaan menjual minuman-minuman keras. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan kabupaten padang pariaman. Wallahu a’lam.

Saya pun memperhatikan kebanyakan masjid di pedesaan rusak dan rubuh, sementara rumah-rumah bidan desa rata-rata masih berdiri tegak, minimal hanya mengalami retak-retak pada dinding. Ada apa ya? kawan saya berseloroh itu karena penghuninya sangat bermanfaat bagi penduduk desa.

Sedangkan masjid di pedesaan itu kebanyakan tidak “makmur”, jamaahnya sedikit. Memang masjid di desa-desa jumlahnya tidak bisa dibilang proporsional, jumlahnya jelas terlihat berlebih. Masjid (atau dikenal mushallah disana) jaraknya berdekatan sehingga satu desa memiliki beberapa masjid, bahkan saya menyaksikan ada dua masjid yang bersebelahan di suatu desa.

Di kota padang pemandangan itu juga terlihat, bagaimana Masjid besar Nurul Iman berdiri kokoh sementara di seberangnya pertokoan tiga lantai ambruk, tidak terlihat lagi lantai dasarnya. Hotel ambacang yang memiliki tiang-tiang beton yang tebal harus rubuh sementara gedung kantor BNI yang banyak kaca dan letaknya persis disebelahnya masih berdiri tegar tanpa ada kaca yang pecah.

Gedung-gedung yang amblas lantai satunya dengan menyisakan lantai di atasnya menjadi pemandangan yang menarik, karena jumlahnya cukup banyak. Istilah saya untuk gedung-gedung ini adalah”gedung yang bersujud.” Karena tidak sedikit posisi gedung itu “nungging.”
Semoga Allah buka pintu hati semua orang, sehingga bencana ini membuat banyak orang menjadi manusia yang lebih baik.
Oh iya, bagi politisi, ada spanduk khusus yang ditujukan bagi anda di pertigaan jalan daerah Patamuan, tulisan spanduk itu "KEMANA PARTAIKU?"

“Rakus”


Begitu antusias saya mengejar amal shaleh yang satu ini, bagi saya ini perlombaan (fastabiqul khairat). Fokus fikiran saya hari itu hanya satu, ingin menjadi relawan ke Sumbar. Begitu pengurus masjid Baitul Ihsan (MMBI) Bank Indonesia mengumumkan akan mengirim relawan, selepas shalat saya langsung kasak-kusuk tanya kesana kemari, apakah masih ada kesempatan saya gabung di Tim MMBI.

Saya telpon ketua MMBI Mas Ismail, di kantornya ternyata tidak ada di tempat, saya tanya kawan apa dia tahu cara gabung dengan Tim Relawan MMBI, ternyata tidak tahu. Akhirnya saya telpon Masjid, saya tanya bagaimana kalau saya mau ikut gabung Tim Relawan MMBI apa dimungkinkan, ternyata Mas Ismail ada di sana dan mengambil alih telepon dari pengurus MMBI. Mas Ismail jawab “dimungkinkan, seharusnya staf masjid yang berangkat tetapi digantikan oleh Mas Augus”. Saya buru-buru potong kalimat Mas Ismail, “Mas kalau perlu saya akan cuti dan membayar biaya tiket kesana.” Saya ga mau mengalah untuk yang satu ini.

Mas Ismail akhirnya meminta untuk menelepon kembali beberapa menit lagi. Sayapun meminta waktu itu untuk meminta izin pada pimpinan saya dan mengkonfirmasi beberapa jadwal narasumber pada akhir pekan. Saya cepat-cepat meminta izin dan melakukan konfirmasi. Ketika saya telepon kembali Mas Ismail di Masjid, beliau mengabarkan “insya Allah bisa Mas, karena kebetulan Mas Augus yang seharusnya berangkat, batal karena alasan teknis.” Alhamdulillah!

Sepanjang perjalanan pulang muncul renungan di benak saya. Duhai diri, bukankah sepatutnya semua potensi amal shaleh kau perlakukan seperti ini? Mengejar, ngotot dan ga mau kalah. Bukankah setiap potensi amal shaleh yang disediakan Allah dihadapanmu seharusnya kau ambil dengan rakus? Seperti seorang Ustadz yang selalu jalan di depan ketika bersama kawan-kawannya, karena berharap dirinyalah yang pertama memungut sampah yang berserak atau sekedar menyingkirkan batu di jalan.

Bukankah setiap amal shaleh yang terlantar itu adalah keistimewaan yang disediakan untuk mereka yang tahu dan sadar? Jadi tidak usah menggerutu karena tidak ada orang yang melakukan atau selalu dirimu yang melakukan itu. Tanpa sadar saya mengangguk-angguk, baik... baik... baik... Bismillah.

a true happiness...


...mari kita definisikan kembali apa itu bahagia. bahagia itu bukan saat kita dapat tersenyum dan tertawa, tetapi saat dimana kita dapat membuat orang lain tersenyum dan tertawa... (Tandikek Patamuan-Padang Pariaman)

speechless...


once upon a time in lubuk alung padang pariaman...


pictures say a thousand words...


Jumat, 02 Oktober 2009

Alhamdulillah....

Semoga Allah izinkan saya sampai ke Padang pagi besok...

Gerakan Batik Nasional


Hari ini hari bersejarah, batik telah membangkitkan semangat nasionalisme bangsa yang sudah lama jarang dirasakan bersama. Sentimen nasionalisme akibat "dilecehkan" negara jiran pada beberapa isu, membuat gerakan batik nasional sebagai respon dari pengakuan dunia, menjadi sebuah even show off yang sangat diidamkan semua warga bangsa.


Batik juga menjadi ikon pemersatu yang efisien memadukan isu nasionalisme dan pembangunan ekonomi domestik. Gerakan batik nasional telah menghidupkan industri tekstil khas nasional yang dominan diisi oleh pelaku usaha mikro-kecil. gerakan inipun kemudian membuat bola salju membangkitkan sentimen setiap daerah untuk memunculkan motif-motif dan versi batiknya masing-masing.


Batik juga menjadi simbol pemersatu bangsa, karena ia kemudian memutuskan sekat-sekat kesukuan, agama, bahasa, kelompok dan golongan. Batik menjadi gerakan masal yang diterima semua lapisan warga bangsa, sehingga semangat nasionalisme begitu genuine dan bersih muncul dipermukaan. Dan ini menjadi modal besar bagi kita untuk lebih care pada sesama warga bangsa, terlebih dalam keadaan seperti ini. Keadaan negara yang selalu ditimpa musibah dan bencana.


inilah Indonesia yang sedang bangkit! Mari teruskan! Terus berdiri, agar kita semakin tinggi dan dilihat dunia. Kita beritahu dunia bahwa Indonesia adalah negara yang pantas dipandang dan ditauladani. Atau mungkin memimpin dunia.

Kamis, 01 Oktober 2009

amal shaleh apa pagi ini...

Duhai diri dan saudara yang dikasihi Allah, amal shaleh apa yang sudah kau rencanakan pagi ini? hari ini? sudahkah kita bisa melihat dari semua peristiwa pagi dan hari ini peluang-peluang amal shaleh yang telah Allah tawarkan pada kita?

ada korban gempa di sumatera, ada pengemis di sepanjang jalan, ada saudara yang kekurangan biaya, ada sahabat yang membutuhkan nasehat, ada anak yang minta sedikit perhatian, ada istri/suami yang mengharap bisikan sayang, ada urusan ummat yang harus dimudahkan...

atau saat ini kita masih sibuk dengan semua urusan pribadi, karir, sarapan dan makan siang, utak-utik handphone, browsing internet yang ga jelas, sedang mempercantik motor atau mobil...

keluarlah dari jebakan autisme terhadap dunia, dari perangkap-perangkap hedonisme, dari epilepsi terhadap hakikat manusia dan dari gejala-gejala penyakit akhir zaman, WAHN.

Ekonomi Islam dalam Risalah Taklim: Pendahuluan

Pada pendahuluan pembahasan sistem ekonomi di buku Risalah Taklim, Imam Syahid Hasan Al Banna lebih memfokuskan pada dua urgensi, yaitu posisi sentral negara (pemerintah) sebagai jantung sebuah komunitas bangsa yang beraktifitas ekonomi dan hakikat ekonomi sebagai induk permasalahan manusia.

Menurut Al Banna, kebijakan negara yang tepat dalam mengambil paradigma pembangunan menjadi titik krusial bagi upaya-upaya pemakmuran ekonomi secara kolektif. Perspektif ini menggambarkan pemahaman bahwa ekonomi akan efektif memberikan kemanfaatan maksimal ketika negara memiliki filosofi pembangunan sesuai dengan “sumber kebenaran/pedoman hidup” yang melingkupi semua aspek kehidupan, yaitu Islam.

Tetapi pemaparan Al Banna tentang urgensi peran negara, dapat juga diinterpretasikan sebagai pembahasan awalan yang ingin memberikan gambaran abstrak dari keseluruhan pemikirannya tentang ekonomi. Karena setelah pembahasan pendahuluan, Al Banna seakan-akan mundur kebelakan dengan membahas hakikat harta dalam Islam.

Selanjutnya dalam kategori pendahuluan ini, layaknya banyak literatur konsep ekonomi, Al Banna memaparkan realitas-realitas ekonomi sebagai sebuah akibat dari aplikasi sistem yang ia yakini penuh dengan kesalahan. Al Banna cerita kemakmuran negara Mesir namun sistem ekonomi telah mengeksploitasinya melalui negara-negara impirialis.

Disamping itu, Al Banna juga memaparkan realita kesenjangan golongan masyarakat kaya dan miskin sebagai sebuah fakta hasil ketidakbecusan ekonomi saat itu, hasil dari eksploitasi bangsa asing atau refleksi ketidakmampuan negara dengan konsep ekonominya dalam membangun kemakmuran ekonomi. Fakta-fakta ini menyajikan bukti yang harusnya sudah cukup menjadi alasan pentingnya negara beralih pada konsep pembangunan ekonomi yang menuju pada kemakmuran. Negara sebaiknya tidak terjebak pada status quo, terjebak pada kenyamanan (confort zone) sistem atau terkurung dalam ketakutan akan perubahan.

Oleh sebab itu, kemudian Al Banna memberikan pemahaman pentingnya memilih ideologi yang tepat sebagai pedoman pembangunan ekonomi. Ideologi akan menjadi panduan dalam menentukan arah, kebijakan, regulasi pembangunan ekonomi, dimana selanjutnya ideologi tersebut akan mempengaruhi pembentukan lingkungan ekonomi, seperti pembinaan preferensi masyarakat, bentuk struktur bangunan ekonomi dan kelengkapan infrastruktur ekonomi . ideologi menjadi pelita penerang dan tongkat penopang untuk meniti jalan yang benar. Ideologi juga menjadi panduan yang lengkap dalam berfikir dan bertindak dalam rangka mengaplikasikan dan mengembangkan ekonomi.

Selanjutnya setelah memaparkan pentingnya sebuah ideologi, Al banna menawarkan ideologi yang diyakininya menjadi satu-satunya ideologi yang mampu memberikan kemanfaatan bagi ekonomi dan para pelakunya.

Secara umum pembahasan pendahuluan Ekonomi Islam Al Banna ini sangat general dan plain. Tetapi sangat kental nuansa kepercayaan diri pada kebenaran Islam sebagai sebuah ideologi. Hal ini menunjukkan sebuah modal ruhiyah maknawiyah yang menjadi keniscayaan dalam membangun manusia berikut sistem pengaturan hidup dan kehidupan.

Mengulang-Ulang Istighfar

Selepas shalat tadi saya tertegun, ada pertanyaan dalam benak saya; apa yang saya mau minta dalam doa? Semakin saya tertunduk saya pada Allah yang baru saja saya sembah dalam shalat.

Saya ingin minta kesehatan, khawatir seakan-akan saya sangat mencintai dunia ini

Saya ingin minta rizki, takut kalau saya tidak bersyukur dengan apa yang sudah dianugerahkan

Saya ingin minta kekuatan iman, saya tidak ingin dipandang sebagai pemalas oleh-Nya karena tak berusaha mendapatkan iman dengan dekat pada Allah

Saya ingin minta kemudahan segala urusan, saya takut dinilai berlepas tangan tidak berikhtiar pada semua urusan yang Allah sudah pilihkan

Akhirnya, lisanku hanya mengulang-ulang istighfar...