Kamis, 29 Desember 2011

Namanya juga amal shaleh bukan hasil shaleh


Beramal shaleh untuk mendapatkan dan menumpuk pahala? Apa seperti itu kelazimannya? Bagaimana kalau beramal shaleh tidak untuk pahala, tidak ada korelasi dan motivasi pahala. Tetapi beramal shaleh untuk menggugurkan dosa. Kenapa? Banyak alasannya. Pertama, karena saya, anda, kita semua pasti punya dosa. Kedua, belum tentu amal itu bersih dan layak diganjar pahala. Ketiga, mitigasi risiko fitrah kemanusiaan yang selalu salah, sehingga boleh jadi penambahan dosa jauh lebih besar dari penambahan pahala. Menarik? Ya terserah konsep berfikir dan kenyamanan hati pada konsep itu.

Yang pasti saya sedang memiliki banyak waktu untuk merenungkan konsep-konsep hidup, dan bagaimana melaksanakannya. Saat ini saya sedang terpaku, berfikir dan berdiskusi dengan diri sendiri tentang hakikat amal-amal kebaikan. Misalnya lintasan fikiran seperti ini: ngotot dengan proses, bukan ngotot dengan hasil. Namanya juga “amal shaleh” bukan “hasil shaleh”. Jadi konsentrasi saja dengan amalnya, dengan prosesnya, dan tak perlu habiskan energi untuk kesal karena hasilnya.

Aneh ya, waktu dihabiskan dengan renungan-renungan seperti ini. Tapi setidaknya untuk saya, kesimpulan-kesimpulan renungan itu membuat saya mampu mengendalikan diri, tidak larut pada satu sikap yang menurut saya sia-sia. Bersumber dari renungan-renungan semacam ini, rasa kecewa dan sedih saya lebih memiliki korelasi kuat dengan proses amal, bukan dengan hasilnya. Saya akan lebih kecewa dan sedih jika saya gagal melaksanakan setiap kesempatan amal shaleh atau tidak mampu maksimal di dalam prosesnya, dibandingkan dengan kecewa karena hasil yang tidak sesuai harapan. Meski saya masih harus terus belajar untuk membiasakan diri dengan kelaziman ini.

Saya masih terus berusaha untuk meyakinkan diri, baik hati maupun akal sehat saya, bahwa hasil itu lebih bergantung pada kehendak Tuhan. Bahkan kita mampu melaksanakan amal shaleh saja itu atas izin Tuhan, ya bergantung pada kehendak Tuhan juga. Jadi sebenarnya yang eksis di muka bumi ini hanya kehendak Tuhan saja. Selebihnya hanya debu atau lebih remeh dari itu.

Rabu, 28 Desember 2011

Termenung di penghujung waktu











Termenung di penghujung waktu
Melihat jejak yang sudah tertoreh menjadi sejarah
Merenungkan semburatnya di langit hakikat dan makna
Apakah ia berbentuk dosa atau mungkin pahala

semakin jauh melihat kebelakang
semakin banyak istighfar yang harus dilisankan
dan ketika melihat kedepan, jauh lagi kedepan
ternyata tetap istghfar yang harus dilisankan

amal yang shaleh itu.. (2)

Sahabat Ali Bin Abi Thalib r.a pernah mengungkapkan kalimat kurang lebih seperti ini; tanyalah aku sebelum aku tidak ada diantara kalian. Kalimat beliau ini saya yakin dilisankan tidak dengan motivasi takabur apalagi narsis, tetapi lebih berlatar belakang membantu kesulitan orang lain, beliau ingin membantu memecahkan masalah orang lain, disamping memang Sahabat Ali merupakan salah satu sahabat paling cerdas, penuh dengan ilmu. Konon Rasulullah SAW saja pernah berkata kurang lebih menunjukkan keutamaan Sahabat Ali Bin Abi Thalib, kata Nabi Aku ini gudangnya ilmu dan Ali merupakan kuncinya.

Saya bukannya ingin mengajak anda semua menjadi seperti Sahabat Ali Bin Abi Thalib, tidak semua orang memiliki bentuk dan tingkat kecerdasan yang sama. Saya juga tidak ingin mengatakan kalau saya Ali yang seperti itu, saya Ali yang lain. Yang saya ingin adalah mengambil pelajaran dan juga mungkin berguna untuk anda, yaitu pelajaran untuk dapat selalu menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Keberadaan kita mampu menyemangati orang lain, membantu meringankan atau bahkan menyelesaikan masalah mereka.

Jangan sampai keberadaan dan ketiadaan kita tidak menambah atau mengurangi value added bagi manusia lain, atau naudzubillah, keberadaan kita malah menambah beban orang lain dan ketiadaan kita malah meringankan hidup mereka.

Berkacalah pada waktu masa lalu, pada sejarah-sejarah yang telah ditoreskan dalam buku-bukunya. Manusia-manusia mulia sebelum kita, kemuliaannya direfleksikan oleh kemanfaatan dirinya bagi manusia disekitarmereka. Sementara pada diri mereka sendiri, mereka tidak peduli berapa kemanfaatan yang sudah mereka berikan, tidak ada limit, tidak juga ada batasan marginal utility-nya; dimana semakin banyak kemanfaatan yang sudah dia lakukan maka semakin sedikit yang ia ingin korbankan untuk bisa melakukan lebih banyak kemanfaatan. Manusia mulia itu sangat rakus mengambil semua kesempatan untuk memberikan kemanfaatan, tidak ada semangat yang menurun apalagi sampai diminishing return.

Seperti yang pernah diungkap oleh Almarhum Sheik Tarbiyah Ustadz Rahmat Abdullah, orang-orang mulia itu tidak pernah menghitung-hitung kebaikan yang sudah dilakukan bagi manusia lain, tetapi menghitung-hitung keburukan yang telah dilakukannya pada orang lain. Mereka juga tidak menghitung-hitung keburukan orang lain yang dilakukan pada dirinya, tetapi menghitung-hitung kebaikan orang lain yang diberikan padanya.

Namun yang menjadi pertanyaan saya, apa yang mampu membuat mereka memiliki semangat tiada habisnya, motivasi yang terjaga ketinggiannya, dan sumber-sumber amal shaleh selalu kaya? Seperti yang pernah juga saya tuangkan dalam tulisan sebelum ini, boleh jadi kekuatan itu datang dari rasa cinta yang teramat besar pada Tuhan dan harapan yang tak terhingga pada janji-janji-Nya, sehingga waktu tidak bisa mengurangi apalagi membunuh semangat dan motivasi mereka. Disamping itu, memang dengan kasih sayang-Nya (yang terkadang sangat misterius), Tuhan memberikan kesempatan tiada batas bagi mereka untuk melakukan kebaikan-kebaikan, menyebarkan kemanfaatan-kemanfaatan. Mungkinkah kita memiliki itu semua? Mampu mencintai Tuhan diatas semua yang ada di muka bumi dan mampu mendapatkan cinta dan kasih sayang Tuhan, sehingga didepan kita telah terhampar kebaikan-kebaikan yang ringan untuk kita sebarkan.

Senin, 26 Desember 2011

Logika Dunia

Satu ketika saya pernah memiliki kesimpulan penting tentang hidup saya, bahwa saya sudah mampu memahami rahasia dunia, saya mengetahui logika-logika dunia, sehingga saya mampu membaca hikmah-hikmah dari peristiwa-peristiwa didalamnya, sehingga mampu mengetahui respon apa yang sepatutnya dilakukan. Tetapi kini pemahaman saya semakin dalam, karena meski saya mampu memahami logika dunia tetapi seringkali saya belum mampu menyikapinya dengan tepat. Saya masih belum bisa merubah pemahaman itu menjadi kekuatan ikhlas untuk menyikapi peristiwa-peristiwa dunia, khususnya yang berkaitan dengan diri dan harapan saya. Singkatnya, saya tahu sikap apa yang harus diambil, tetapi tidak mampu melakukannya.

Begitu beratkah? Berat tidaknya itu relative. Seberapa berat sih kelopak mata, tetapi ketika mengantuk, kelopak seremeh itu bebannya begitu berat. Begitu juga, sikap-sikap benar yang patut dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu dalam hidup, boleh jadi ia seremeh kelopak mata itu, tetapi ketika nafsu dan ujian tengah meninggi, maka sikap-sikap benar itu menjadi begitu sulit untuk dilakukan. Mungkin itu sebabnya banyak manusia baik tidak cukup mampu menjaga kebaikannya sepanjang waktu.

Ada yang mengatakan memahami rahasia dan logika dunia sama dengan memahami rahasia diri dan hati. Karena semua yang terjadi di hamparan dunia akan menjadi kesan yang dicerna dalam akal, dan kemudian hatilah yang memutuskan untuk bersikap seperti apa. Hubungan antara akal dan hati begitu eratnya. Informasi yang masuk pada keduanya begitu beragam, baik secara intensitas dan kedalaman maupun secara kualitas dan kuantitas. Oleh sebab itu, penyikapan yang keluar dari hati juga sangat bergantung pada kualitas hati dalam memproses semua informasi yang ada.

Dengan demikian, menjadi sangat penting melakukan usaha-usaha meningkatkan kualitas hati, membersihkan hati dari berbagai jenis kotoran. Karena pada tahapan selanjutnya, kebersihan hati inilah yang akan menentukan apakah akal akan selalu konsisten dengan kewarasan yang benar. Dengan hati yang tidak begitu baik, sulit menjaga agar akal selalu sehat dalam mencerna berbagai logika. Apalagi ketika factor eksternal diluar diri tidak lagi menggunakan rasionalitas yang benar.

Manusia memang begitu rumit, tetapi ia memiliki potensi untuk menyederhanakan diri dan semua yang melekat pada dirinya. Tuhan sudah menyediakan dunia dengan segala fasilitas yang cukup, juga dengan hukum-hukum peristiwa dan kejadian yang tetap. Manusia tinggal menjalaninya, menggunakan semua kemampuan yang juga telah dibekalkan dalam dirinya. Tetapi mengapa dunia terlihat begitu berat? Lihat saja berita-berita dunia, kemiskinan, pengangguran, kerusuhan, peperangan, konflik politik, kesenjangan dan krisis ekonomi. mungkinkah semua masalah itu bermula dari hati?

Krisis Adalah Hasil Kejahatan Ilmu


Saya masih ingin bicara tentang penjahat ilmu. Jika teroris merugikan karena alasan selalu menimbulkan korban jiwa, maka penjahat ilmu (khususnya ekonomi) mungkin diklasifikasikan sama, karena mereka juga menimbulkan korban. Bahkan korban dari penjahat ilmu bukan hanya 1 atau 2 manusia yang tewas, tetapi sangat masif akibatnya; dari kemiskinan, kelaparan, gelandangan, kriminalitas sampai dengan kerusuhan sosial. Kemiskinan tidak dapat disebut kemiskikan jika hanya 1 atau 2 yang miskin, begitu juga kelaparan, gelandangan, kriminalitas apalagi kerusuhan sosial.

Bayangkan jika ilmu ekonomi yang dihasilkan para intelektual diformulasikan hanya untuk segelintir orang-orang kaya. Ilmu yang tidak mempertimbangkan kebaikan dan kebenaran sistem, yang tidak memelihara prinsip-prinsip keadilan pada mekanismenya, yang tidak menjadikan hasil pencapaiannya sebagai cermin untuk pengembangan selanjutnya, maka pada dasarnya akan mengancam kelangsungan sistem itu sendiri. Dan ketika kebijakan-kebijakan ekonomi diambil dengan menggunakan formulasi ilmu seperti ini, terbayang berapa lagi angka kemiskinan dan kerusakan ekonomi lainnya akan bertambah dari kebijakan tersebut.

Pengguna ilmu harusnya peduli dengan hal-hal seperti ini. pengguna tidak boleh seenaknya menggunakan ilmu tanpa melihat dan mempertimbangkan hasil-hasil yang berasal dari aplikasi ilmu tadi. Pengguna ilmu khususnya regulator ekonomi harus sensitif dengan implikasi penggunaan ilmu pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil mereka. Ketika regulator meningkatkan suku bunga atau mengenakan pajak (baik tinggi maupun rendah) atau menambah utang luar negeri, lebih baik regulator menimbang-nimbang berapa banyak rakyat yang akan semakin miskin, berapa dari mereka yang semakin frustrasi dengan kondisi itu, daripada mempertimbangkan berapa banyak pengusaha kaya akan semakin kaya atau berapa banyak pungli yang akan semakin dinikmati birokrat-birokrat mereka.

Seringkali saya berfikir, faktor apa yang menyebabkan intelektual modern “keukeuh” dengan keyakinan ilmu konvensional, misalnya di disiplin ilmu ekonomi, yakin dengan konsep bunga dan spekulasi serta basis pelaku homo-economicus-nya, meski berkali-kali, bukan hanya sekali-dua kali tetapi ratusan kali ekonomi dirusak oleh krisis-krisis akibat ketimpangan ekonomi dan freud disebabkan oleh systemic driven karena faktor – faktor tadi (interest-speculative base economy dan greedy). Perbaikan ekonomi yang dilakukan menyikapi krisis tadi kesannya hanya riasan saja, kebijakan mengatasi krisis tidak menyentuh akar masalah. Alih-alih menghindari krisis, ilmu ekonomi malah memasukkan krisis dalam kewajaran teori. Kesalahan ilmu berupa krisis dikamuflasekan dalam teori business cycle.

Tidak keliru memang ketika ada yang mengatakan lebih berbahaya intelektual yang jahat dari pada mereka yang awam. Kejahatan mereka yang dikategorikan intelek memiliki keluasan dan kedalaman implikasi yang lebih besar. Oleh sebab itu, menjadi penting kebenaran dan keshahihan ilmu. Ilmu yang benar bukan hanya berimplikasi pada bentuk dan mekanisme sistem yang dihasilkan ilmu tadi tetapi juga membentuk prilaku manusia yang lebih baik. Misalnya ilmu ekonomi yang benar bukan hanya membentuk sistem ekonomi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dengan mengakomodasi semua segmen ekonomi dengan baik, tetapi juga membentuk prilaku manusia-manusia ekonomi menjadi lebih bersahaja, sehingga tercipta suasana interaksi ekonomi yang lebih baik. Bukan hanya interaksi di wilayah komersil tetapi juga sosial, bukan hanya melulu interaksi antara penjual dan pembeli tetapi juga interaksi yang hangat antara si kaya dan si miskin.

Sayangnya, ketika ilmu ekonomi coba untuk dikoreksi menggunakan ekonomi Islam, diskursusnya lebih banyak dan dominan diwilayah aplikasi sistem, minim sekali pada wilayah prilaku ekonomi. Implikasinya, perbaikan sistem meski lambat terus terjadi. Sementara itu hampir tidak ada yang berubah pada prilaku ekonomi. Ya perjuangan masih panjang.

Kamis, 22 Desember 2011

satu lagi tentang perjuangan

beberapa kali saya menghadiri beberapa forum seminar atau training, dan saat-saat diskusi kerap kali muncul pertanyaan-pertanyaan yang serupa, yaitu pertanyaan mengapa kinerja bank syariah belum begini belum begitu. dulu ketika bersentuhan awal dengan pengetahuan ini, sayapun begitu. namun saat ini sudah banyak hikmah dan kepahaman yang saya dapatkan, hingga akhirnya selain semangat berbuat, muncul pula kemakluman atas kondisi yang ada pada setiap tahapan perkembangan bank syariah.

pertanyaan senada itu, pada satu sisi merefleksikan betapa besar harapan banyak orang pada setiap wajihah-wajihah (projek) dakwah untuk mampu merubah kondisi ummat menjadi lebih baik, meski tanpa mempedulikan jenis dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh wajihah dakwah tersebut. bank syariah sebagai lembaga keuangan syariah merupakan buah dari rangkaian perjuangan dakwah Islam di tanah air. tidak heran akhirnya banyak sekali harapan di panggulkan pada pundak lembaga ini. oleh sebab itu, kepada anda para punggawanya, jangan sia-siakan harapan ummat ini.

tetapi pada sisi yang lain saya kasihan melihat bank syariah atau lembaga syariah lainnya, karena kata syariah atau Islam melekat pada nama lembaga mereka, maka jadilah mereka dipersepsikan sebagai lembaga yang sempurna, lembaga yang mampu menyelesaikan semua jenis masalah ummat, pada tingkat apapun, dalam bentuk apapun.

sehingga sedikit maklumlah kalau ada yang suka menuntut bank syariah menyelesaikan masalah kelaparan, anak yatim-piatu, kemiskinan, pengangguran, atau mungkin premanisme. bahkan sempat ada laporan di beberapa kantor bank syariah, warga sekitar meminta pegawai bank syariah untuk menjadi imam/khatib tarawih di masjid atau mushalla mereka.

betapa banyak yang harus dilakukan dalam dakwah ini, tidak heran Imam Hasan Al Banna sampai mengatakan kewajiban dakwah lebih banyak dari waktu yang kita miliki. itu mengapa waktu beliau habis untuk mencetak pejuang-pejuang dakwah dibandingkan mencetak buku-buku dakwah. beliau berharap beban dan kewajiban dakwah banyak yang mengusung dan memikulnya, sehingga satu persatu masalah ummat diurus, ditata dan diselesaikan.

oleh karenanya, saya serukan pada diri saya sendiri dan anda yang diberikan anugerah oleh Allah ada di medan perjuangan bank-bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. mari terus berjuang, perbaharui selalu semangat dan niat dengan harapan-harapan pada janji-janji Tuhan, segarkan selalu motivasi dengan fantasi-fantasi syurga, dan berikan kerja-kerja tulus yang maksimal dengan prosesi yang bersih. setelah itu sempurnakan semuanya dengan doa agar Tuhan menerima semua upaya dan memberikan hasil yang terbaik pada kita.

lihatlah, betapa banyak pekerja yang berhenti dari kerjanya tetapi toh bangunan dakwah akhirnya tetap berdiri, banyak pejuang yang lari dari medan perjuangan tetapi toh wilayah dakwah semakin meluas. musuh perjuangan bukan hanya tipu muslihat musuh, tetapi kekurang-sabaran, kejenuhan dan kemalasan boleh jadi menjadi pembunuh nomor satu dari perjuangan.

sudah banyak pejuang ekonomi, keuangan dan perbankan syariah terjebak pada pragmatisme dan akhirnya mundur dengan teratur dari medan-medan perjuangannya. tetapi lihatlah, lebih banyak lagi generasi baru pejuang yang tercipta, sehingga bangunan muamalah ini terus mewujud dan membesar, panji-panji Islam semakin meninggi dan berkibar.

percayalah ketika semua ini sudah selesai, akan sangat manis membicarakan semua perjuangan itu di taman-taman syurga, dibawah pohon rindang ditepi sungai madu dan susu, dibelakang istana-istana kita.. semoga Tuhan sayangi kita sampai akhir cerita hidup ini.

bagaimana mungkin dua prilaku itu ada dalam satu jiwa?

seperti apa sebenarnya kita memandang dan menempatkan ekonomi itu? sekedar sebagai ilmu alat yang dapat kita gunakan sewaktu-waktu untuk keperluan atau tujuan tertentu? adakah hubungan ilmu ekonomi itu dengan urusan kita dengan Tuhan? memiliki tempatkah ilmu ini dalam prosesi-prosesi ibadah? atau ia memang diisolasi dari urusan-urusan spiritual?

jika memang ekonomi tidak ada urusannya dengan hal-hal itu, terbayang pada benak saya, mungkin akan ada manusia yang memiliki keanehan dalam kepribadian gandanya, at least pada prilaku sosial dan prilaku ekonominya. pada satu sisi ia begitu bersahaja, dermawan dan santun. tetapi disisi yang lain dia akan ganas menghalalkan segala cara untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. ya aneh..

bagaimana mungkin dua prilaku itu ada dalam satu jiwa?

inilah alasan saya tidak bisa memisahkan materi-materi ahamiyatusysyahadatain (urgensi syahadat), ma'rifatullah (mengenal Allah), ma'rifaturrasul (mengenal Rasul), ma'rifatul Islam (mengenal Islam), ma'rifatul insan (mengenal manusia) dari materi-materi economic behavior, marginal utility, theory of consumption and production. saya harus akui, materi-materi ketauhidan telah sangat membantu saya memahami teori prilaku ekonomi dalam Islam.

hingga akhirnya saya berkesimpulan tidak ada batas antara ekonomi dan Islam. berprilaku ekonomi sama dengan berprilaku dalam Islam. harapan-harapan ekonomi adalah harapan-harapan saya dalam payung Islam. begitulah selanjutnya, sampai tujuan ekonomi dan tujuan Islam bertemu pada satu sasaran, yaitu Syurga.

Rabu, 21 Desember 2011

Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang

mungkin ini masanya mengisi hati dengan banyak nasehat, dengan kalimat-kalimat yang bertutur kebaikan dan kebenaran, kalimat yang diterima dengan kelapangan meski susunan kata nasehat itu begitu menyakitkan maknanya. saya atau anda mungkin juga akan memasuki suasana kosong dan hampa, dimana tidak ada penghiburan yang lebih pantas kecuali nasehat.

dibawah ini seingat saya disarikan dari nasehat Tuhan dalam Hadits Qudsi, tetapi dituturkan kembali oleh Emha Ainun Nadjib dengan kalimat sederhana tetapi begitu mengena. sudah kesekian puluh kalinya nasehat di bawah ini saya baca dan baca kembali, tetapi selalu saja ada sesuatu yang berbeda tertinggal dalam benak dan hati. mungkin anda juga begitu. mari baca kembali..

Sampai-Sampai Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang

Aku heran kepada orang yang percaya terhadap pastinya maut,
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.

Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.

Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.

Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.

Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.

Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.

Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain
tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.

Aku heran kepada orang yang sadar bahwa aku memperhatikan tingkah lakunya
kapan dan dimanapun saja tetapi tetap saja ia durhaka.

Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian
tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.

EMHA Ainun Najib, Isyarat Zaman (1) “Allah Merasa Heran”

Istighfar dan Hamdallah

Sebenarnya saya tidak ingin menulis renungan ini di blog, tetapi setelah difikir kembali, mungkin juga ada manfaatnya pada waktu-waktu nanti, untuk cermin diri dan alat ukur sejauh mana kemunafikan diri saya pribadi.

Baru tadi ada seorang adik SMA bertanya atau mungkin lebih tepatnya konsultasi pada saya melalui SMS. Tidak tahu dari mana dia dapatkan no HP saya. Beliau bertanya bagaimana mengatasi rasa gugup yang selalu muncul ketika menghadapi masalah besar.

Dengan rasa yang berat saya menjawab kurang lebih seperti ini; kalau masalah itu muncul karena ulah kita, jangan lupa istighfar, tapi kalau bukan mungkin Tuhan sedang memperhatikan dan sayang kepada kita, jangan lupa hamdallah. Gugup itu datang dari rasa khawatir. Nah kalau sudah punya istighfar dan hamdallah, kenapa harus gugup?

Ya Allah, tidak jarang Tuhan menasehatiku dari lidahku sendiri...

Minggu, 18 Desember 2011

Penjahat Perang Vs Penjahat Ilmu

Baru saja saya membaca berita penarikan penuh tentara US dari bumi Irak. Mereka meninggalkan tanah Irak yang porak-poranda, meninggalkannya setelah ratusan ribu korban rakyat Irak berjatuhan, mereka tidak mungkin disebut membangun Irak, mereka menghancurkan negeri itu selama lebih dari 9 tahun. Saya pikir cukup layak jika mereka digelari penjahat perang.

Tetapi baru saja saya berfikir, jikalau seorang atau sekelompok orang memberikan buah fikirannya tentang konsep ekonomi, namun ternyata buah fikiran itu telah membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin papa, apakah layak juga mereka digelari penjahat ilmu.

Buah fikirannya lebih dilandasi oleh syahwatnya daripada ketundukannya pada sumber pengetahuan dunia. Akibat buah fikiran seperti itu, prilaku manusia semakin jauh dari bersahaja, manusia menjadi lebih serakah, menjadi sangat individualistik-materialistik, dan akhirnya menciptakan kekacauan sistem kehidupan. Korban yang ditinggalkan bukanlah korban-korban tewas karena peluru yang bersarang di tubuhnya, tetapi korbannya berupa kemiskinan, pengangguran, kelaparan, kesenjangan dan konflik-konflik sosial. Sekali lagi, layakkah mereka yang mengaku intelektual itu digelari PENJAHAT ILMU?

Fenomena Turki, Krisis Eropa, Arab Spring dan Kebangkitan Islam


Sebelum berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri International Conference on Sharia Governance, di bandara Soekarno-Hatta, saya tertarik membeli Majalah Time edisi November 28, 2011. Yang membuat saya tertarik adalah covernya yang memajang foto gagah Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan (dalam bahasa arab mungkin nama beliau menjadi Rasyid Thoyib Irwan). PM Turki ini sukses membuat dirinya dan kinerja ekonomi negerinya menjadi perbincangan hangat di banyak forum ekonomi dan politik di seluruh dunia. Penasaran saya bertambah pada majalah ini setelah melihat beberapa artikel yang menjadi bahasan dalam majalah Time tersebut. Salah satunya adalah Euro Crisis: A Critical New Phase.

Fenomena Turki
Dalam 8 tahun masa kepemimpinan PM Erdogan, Turki berhasil meningkatkan taraf ekonominya sampai 3 kali lipat; pendapatan perkapita negara itu mampu meningkat dari USD 3,492 menjadi USD 10,079 atau naik 288%. Dengan pencapaian ini PM Erdogan dan partainya dapat membuktikan banyak hal pada sikap skeptic pemimpin-pemimpin dunia khususnya regional Eropa dan Timur Tengah ketika Erdogan dan partainya AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) pertama kali memenangi pemilihan umum pada 8 tahun lalu. Partai yang beraliran islam moderat ini mampu membuktikan bahwa partai Islam dapat hidup berdampingan dengan konstitusi sekuler negara Turki, bahkan dengan gemilang mempersembahkan pembangunan ekonomi yang mengagumkan, pembangunan yang notabene tidak pernah sekalipun dicapai oleh rezim sekuler sebelumnya sejak rezim sekuler Altaturk (Kemal Al Taturk) berkuasa awal abad 20.

Selain itu, Erdogan mampu menjawab keangkuhan Eropa yang mengulur-ulur proposal Turki untuk bergabung dalam masyarakat ekonomi Eropa karena alasan keterbelakangan ekonomi, demokrasi dan HAM, dengan jawaban yang begitu cantik. Erdogan bahkan bukan hanya mampu menjawab, tetapi berhasil menjaga Turki untuk tampil mengagumkan secara ekonomi di tengah kondisi negara-negara Eropa yang cenderung bangkrut secara massif. Prestasi Turki ini memperlihatkan situasi yang unik kalau tak ingin dikatakan lucu, dulu Eropa menuding-nuding kondisi tradisional ekonomi Turki, namun kini mereka tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada performa ekonomi Turki. Sementara itu, kondisi negeri mereka di Eropa butuh bantuan keroyokan utang untuk tetap hidup dari negeri kaya dan lembaga-lembaga keuangan dunia. Kasihan ya.

Meski begitu, Turki sendiri dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan kejayaan bangsanya, pilihan strategi dan motivasi pembangunan ekonomi serta bentuk diplomasi luar negeri Turki pada dasarnya tidak terfokus pada concern dan kemauan negara-negara Eropa. Turki sepertinya memiliki gaya dan skenarionya sendiri, alih-alih berbaik-baik dengan Eropa demi satu tempat keanggotaan di European Union, Turki lebih mengambil gaya diplomasi terbuka dengan memainkan peran yang lebih kuat di wilayah Timur-Tengah dan tetangga di utara, negara-negara pecahan Uni Soviet yang memiliki kesamaan akar budaya dan bahasa. Dengan diplomasi luar negeri yang aktif dan semakin kuat diwilayah regional didukung dengan performa ekonomi dalam negeri yang mengagumkan (terlebih ditengah kecenderungan krisis kawasan tetangganya Eropa), Turki telah berhasil memposisikan diri (atau mungkin juga diposisikan oleh beberapa negara) menjadi role model bagi negara-negara emerging market sekaligus bagi negara-negara muslim. Dengan kondisi dan posisinya seperti itu, tentu Turki semakin kuat secara politik dan ekonomi dalam interaksi global. Perannya semakin diperhitungkan dalam dinamika politik-ekonomi, bukan hanya di dua wilayah strategis; Timur-Tengah dan Eropa, tetapi juga pada tingkat global.

Dan kini yang sebenarnya layak menjadi pertanyaan adalah, “masih berminatkah Turki menjadi anggota European Union saat ini?”. Ditengah kondisi Eropa yang babak belur dihantam krisis utang ditambah terungkapnya berbagai bentuk freud dan rugi pada berbagai perusahaan keuangannya, serta perkiraan bahwa kondisi “mandeg” ekonomi ini akan berlangsung lama, tentu tidak ada nilai tambah apapun bagi Turki untuk “ngotot” bergabung dalam komunitas Eropa. Kondisi Eropa saat ini secara jangka panjang juga akan menurunkan persepsi global terhadap reputasi baik kawasan ini. Reputasi itulah yang telah lama dinikmati Eropa berupa rating kredit yang sempurna dari berbagai lembaga rating dunia. Namun akhirnya privilege itu juga yang akhirnya menyeret kinerja keuangan fiskalnya berantakan. Mereka fikir dengan credit rating yang bagus mereka bisa dapatkan uang (utang) berapapun dengan mudah dan seenaknya belanja apa dan berapa saja. Akhirnya mereka terlena dengan itu semua, mereka melupakan besarnya kemampuan pendapatan mereka, dan ketika krisis keuangan menghantam industri keuangan mereka tahun 2008, mau tidak mau utang-utang yang selama ini mereka nikmati harus dibelanjakan untuk bailout perusahaan keuangan. Selanjutnya mereka harus menumpuk utang semakin besar, dan kini tumpukan utang itu semakin kuat menarik Eropa menuju kebangkrutan. Memang banyak analisis detil lebih rumit lainnya yang menjadi alasan shahih atas kondisi Eropa saat ini, namun jika ingin menyederhanakan apa yang sebenarnya terjadi, mungkin tidak salah memaparkan kronologi singkat seperti diatas tadi.

Krisis Eropa
Turki tidak perlu merasa kehilangan apalagi rugi. Bahkan boleh dikatakan langkah yang diambil Turki sudah tepat. Eropa mungkin sekali akan menjadi masa lalu, reputasinya dan kemegahannya hanya akan menjadi kenangan. Boleh jadi Eropa hanya akan menjadi pusat-pusat budaya untuk nostalgia, tetapi tidak untuk menjadi pemimpin peradaban dunia. Kondisi Eropa yang terus memburuk saat ini sangat memungkinkan mewujudnya kondisi masa depan Eropa seperti itu. Kepemimpinan ekonomi Eropa perlahan terlihat akan bergeser, motor baru ekonomi dunia seperti Asia dan Timur-Tengah nampaknya akan menggantikan posisi itu. Pembangunan megah ekonomi Timur-Tengah dan Asia ditambah berseminya demokrasi di kawasan itu, pasti akan menjadi gravitasi untuk menjadikan negara-negara tersebut sebagai pusat-pusat budaya dan pendidikan baru dunia. Mungkin analisis ini terlalu premature, tetapi pantas dilakukan, setidaknya untuk mendorong langkah antisipasi dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

Perlu dicermati lebih mendalam, efek dari kondisi ekonomi yang memburuk di Eropa dan Amerika Serikat boleh jadi memberikan pengaruh signifikan bukan hanya pada dimensi (sektor) ekonomi tetapi juga pada dimensi yang lebih luas, khususnya politik, keamanan, sosial dan budaya. Kebangkrutan ekonomi yang menghantui Eropa dan Amerika tentu akan menyita perhatian pemimpin Negara-negara maju itu, dikhawatirkan perhatian dominan ke masalah ekonomi domestic membuat perhatian mereka pada percaturan politik, keamanan, social dan budaya menjadi minim. Hal ini tentu diperkirakan akan membuat kekosongan pengendalian atas arah perjalanan sektor non-ekonomi dunia. Padahal disektor ekonomi sendiri kekosongan pengendalian arah ekonomi dunia juga dapat saja terjadi mengingat negara-negara maju juga cenderung lebih focus perhatiannya pada kepentingan domestic ekonomi mereka. Tendensi kearah itu sudah terlihat dari dinamika European Union yang gagal mengambil kesepakatan bersama untuk tindakan bersama atas kondisi krisis yang mengancam mereka. Sikap saling curiga dan perbedaan pendapat dari pertemuan EU diperkirakan merefleksikan sikap individualis masing-masing pemimpin Negara Eropa yang cenderung memproteksi kepentingan ekonomi domestic mereka. Usulan-usulan yang diajukan untuk mengatasi krisis, tidak bebas dari tuduhan sebagai usulan untuk kepentingan ekonomi domestic negara pengusul. Kondisi ini tentu akan menjauhkan Negara-negara Eropa dari cita-cita unifikasi komunitas mereka, yaitu menciptakan komunitas yang memiliki stabilitas pembangunan kuat dengan tingkat kesejahteraan terkemuka di dunia.

Kekosongan pengendalian serupa akan terjadi di tingkat politik dan keamanan. Kebangkrutan ekonomi Eropa dan Amerika dapat menggeser dominasi mereka pada peta politik dunia. Hal ini tentu akan menyulitkan membaca logika-logika politik mengingat logikanya menjadi begitu beragam di dunia. Politik dunia yang cenderung tidak lagi dikendalikan penuh oleh Eropa dan Amerika Serikat akan mendorong munculnya egoism politik dari negera-negara kuat ekonomi lain di luar kawasan itu. Sehingga membuat kepentingan dan tarikan politik dunia menjadi begitu beragam, dan hal ini tentu akan mempengaruhi kelajuan interaksi positif sektor lain (non-politik) baik pada bentuk interaksi bilateral maupun multilateral pada skala regional juga global. Disamping itu, kondisi kekosongan pengendalian keamanan akibat pengetatan budget pada Negara-negara adidaya militer Eropa dan Amerika akan meningkatkan risiko keamanan dunia. Dan situasi ini tentu akan memncing munculnya konflik yang lebih tajam baik secara bilateral maupun multilateral. Sementara itu kebangkrutan ekonomi Eropa dan Amerika tentu akan menurunkan belanja dan bantuan-bantuan social yang selama ini dominan dilakukan negara-negara donor dari kawasan krisis tersebut.

Kecenderungan ini tentu akan mempengaruhi program-program sektor social, khususnya pemberdayaan masyarakat marjinal (dhuafa) serta pelestarian lingkungan alam. Berdasarkan satu data, lebih dari 50% dana social yang didistribusikan di dunia khususnya untuk Negara-negara berkembang dan miskin, diberikan oleh negara-negara Eropa. Kesulitan keuangan negara-negara Eropa akibat krisis utang, mendorong mereka untuk menghentikan kucuran dana social yang biasa mereka berikan. Pertanyaannya adalah, “apakah pergeseran episentrum motor pembangunan ekonomi dunia dengan serta merta dapat menggeser negara donor dari Eropa-Amerika Serikat ke negara emerging market?” Sulit sekali menjawab pertanyaan ini dengan jawaban “ya”. Jika jawaban yang kuat itu “tidak”, maka dikhawatirkan implikasinya adalah memburuknya pembangunan masyarakat atau komunitas marginal yang ada khususnya di negara-negara miskin, mengingat program-program pemberdayaan tersebut dominan dibiayai oleh dana social dari donator di Eropa-Amerika Serikat. Padahal jika ingin mengandalkan peran negara-negara emerging market, salah-satu kesulitannya adalah budaya birokrasi yang efisien dan keberpihakan regulasi masih belum terbangun.

Pada tingkat mikro dunia usaha, ketiadaan pengendalian pada tatanan keuangan dunia akan menimbulkan instabilitas dan ketidakpastian atmosfer bisnis. Risiko dan biaya bisnis akan meningkat akibat munculnya ketidakberagaman regulasi ekonomi dan bisnis (regional dan internasional), karena tiap negara memiliki alasan kuat untuk menyesuaikan kebijakan dan regulasi mereka dalam rangka memproteksi kepentingan ekonomi nasional mereka masing-masing ditengah krisis dan ketidakmenentuan.

Bayangkan, jika kekosongan pengendalian secara menyeluruh pada semua dimensi kehidupan di dunia terjadi dalam waktu yang relative lama, dimana setiap negara tidak lagi mengikuti etika dan kelaziman interaksi yang sepatutnya dalam bingkai mutualisme karena saling curiga dan mempertahankan kepentingan negaranya masing-masing, tentu akan menimbulkan kekacauan interaksi multilateral (global). Dengan demikian ruang ringkup kekacauan ekonomi di Eropa dan Amerika tentu akan meluas dan membesar skala efeknya. Akhirnya, dunia dapat kehilangan factor perekat dalam menjalankan tata karma global. Sanggup membayangkan kekacauan multidimensi pada tingkat global?

Arab Spring dan Kebangkitan Islam
Ketidakmenentuan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat yang mungkin akan merubah peta kekuatan ekonomi atau bahkan politik dunia, ternyata diikuti dengan perubahan politik secara dramatis di kawasan kaya sumber daya alam yaitu Timur-Tengah. Satu persatu negara Timur-Tengah terbebas dari pemimpin-pemimpin tirannya, dan kemudian memunculkan rezim baru yang lebih demokratis. Demokrasi di wilayah ini diyakini akan semakin meningkatkan performa ekonomi mereka yang memanfaatkansumber daya alam yang memang kaya. Kondisi ini tentu akan semakin menguatkan Timur-Tengah sebagai salah satu episentrum baru pembangunan ekonomi dunia. Kebangkitan politik Timur-Tengah yang dikenal dengan istilah Arab Spring memunculkan harapan baru bagi masyarakat Timur-Tengah untuk dapat menikmati potensi ekonomi mereka. Pada sisi politik Arab Spring juga memberikan pengaruh yang signifikan pada pergeseran peta kekuatan politik dan pertahanan di kawasan Timur-Tengah. Ketidak mampuan back-up Eropa dan Amerika Serikat kepada Israel akibat dilumpuhkan oleh kebangkrutan ekonominya masing-masing, akan membuat Israel terisolasi di kawasan tersebut. Mengingat demokrasi yang muncul dari Arab Spring tentu akan menyalurkan kemarahan masyarakat Arab terhadap Israel selama puluhan tahun yang berhasil diredam oleh tiran-tiran mereka.

Dalam konteks peradaban, kondisi ini tentu tidak bisa dipisahkan dari wacana kebangkitan Islam. Perlu di perhatikan dengan seksama, Arab Spring sejauh ini telah memunculkan rezim baru yang dominan berasal dari gerakan-gerakan Islam. Demokrasi Tunisia dimenangkan oleh Partai Islam Moderat Annahdah sedangkan Demokrasi Mesir memunculkan Partai Kebebasan dan Keadilan yang menjadi sayap politik organisasi Islam Moderat Ikhwanul Muslimin. Sementara negara-negara Arab lainnya memiliki kecenderungan yang sama. Sebelumnya Turki dengan Partai Islam Moderatnya, Partai Keadilan dan Pembangunan berhasil menjadi rezim baru yang dicintai rakyat Turki. Fenomena ini tentu menjadi inspirasi masyarakat Arab untuk memilih rezim baru bagi negeri mereka masing-masing. Sehingga masalah Palestina yang selama ini menjadi momok ketidakpedulian Arab, tinggal menunggu waktu gilirannya untuk diselesaikan. Partai Islam Moderat yang akan menjadi nahkoda baru di negara-negara Arab diyakini akan menempatkan Palestina sebagai agenda prioritas dalam rangka mewujudkan stabilitas politik kawasan. Oleh karenanya, Israel sadar dan sudah memproyeksikan posisi mereka yang sulit pada waktu-waktu kedepan. Israel bukan hanya akan menghadapi tekanan politik di kawasan Timur-Tengah, tetapi juga menghadapi kendornya dukungan sekutu loyalist mereka Eropa dan Amerika Serikat. Memburuknya situasi ekonomi Eropa dan Amerika serta semakin berseminya demokrasi politik Arab, diperkirakan akan memakan korban secara politik, dan tentu korban utamanya adalah Israel.

Dilain sisi, perkembangan Islam tidak dihambat factor eksternal seperti yang selama ini terjadi. Propaganda anti Islam dan misi-misi misionaris yang selama ini dibiayai donator Eropa dan Amerika Serikat, boleh jadi mengendur akibat desakan krisis. Berkembangnya peran Islam moderat dengan bukti-bukti keberhasilannya beberapa negara muslim pada kinerja ekonominya dan demokrasi politik, membuat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat relative tidak mendikte strategi pembangunan negeri muslim, disamping memang mereka saat ini betul-betul membutuhkan bantuan dari siapapun, berapapun dan apapun bentuknya. Negeri-negeri muslim yang kaya tentu akan menjadi teman yang baik untuk mengatasi kondisi keuangan mereka, sementara negeri muslim yang berpopulasi besar tentu sangat pas untuk menjadi pasar produk-produk mereka. Ditengah tingkat mengangguran tinggi Eropa dan Amerika Serikat sangat membutuhkan pasar bagi sektor riil mereka untuk membuka lapangan kerja. Dengan demikian, perkembangan Islam akan sangat ditentukan oleh kondisi internal negeri-negeri muslim itu sendiri. Factor yang cukup menentukan adalah meningkatnya penduduk muslim ekonomi menengah yang terdidik, berkembangnya demokrasi dan tentu berseminya kesadaran keislaman yang terus membaik di negeri-negeri muslim. Bentuk-bentuk kebangkitan yang yang mungkin lebih tepat disebut “Islam Spring” terlihat dalam bentuk internationalization ekonomi Islam, diterimanya politik Islam berdampingan dengan demokrasi modern, budaya Islam yang membangkitkan kebanggaan pada nilai dan norma Islam. Dalam situasi inilah pondasi kebangkitan politik-ekonomi Islam akan dibangun. Dan pondasi ini yang kemungkinan besar akan menjadi landasan awal dari munculnya sebuah peradaban baru Islam di akhir zaman. Shahihkah analisis ini? Mari sama-sama kita saksikan dan buktikan.

Perjuangan Ekonomi Islam di UNPAD Bandung


Forum Riset Perbankan Syariah keempat di UNPAD Bandung, Alhamdulillah terlaksana dengan baik. Keberhasilan pelaksanaan Forum Riset kali ini memiliki makna yang cukup emosional bagi saya pribadi. Karena setelah 15 tahun berselang sejak kami pertama kali memulai perjuangan Ekonomi Islam di kampus tercinta UNPAD Bandung, baru kali ini saya melihat para guru besar dan staf pengajar senior FE UNPAD hadir dalam forum yang mendiskusikan Ekonomi Islam. Tidak hanya itu, para guru besar dan staf pengajar aktif dalam perancangan acara serta ikut dalam diskusi, baik sebagai peserta maupun sebagai narasumber. Kondisi yang membedakan adalah telah berdirinya Pusat Studi Ekonomi Islam di bawah naungan Fakultas Ekonomi. disamping itu, tiga jurusan yang ada; ekonomi, manajemen dan akuntansi berlomba-lomba untuk memunculkan bentuk-bentuk pembelajaran Ekonomi Islam, baik berupa mata kuliah khusus, konsentrasi maupun program studi.

Kepada teman-teman seperjuangan yang dahulu hingga saat ini pernah berhimpun dalam keluarga Islamic Studies of Economics Group (ISEG) FE UNPAD, lihatlah pencapaian perjuangan kita sejauh ini. Meski focus setiap perjuangan bukanlah hasil, tetapi layak saja hasil-hasil yang Tuhan telah limpahkan menambah semangat kita untuk berbuat lebih banyak dan lebih keras. Dahulu kita hanya berharap forum-forum diskusi secara regular berlangsung di kampus kita ini, setelah itu kita berharap ia menjadi satu mata kuliah, selanjutnya kita ingin agar ekonomi Islam pilihan-pilihan skripsi diantara mahasiswa, kini semua itu sudah Tuhan berikan. Bahkan bukan hanya sekedar itu, kini semua jurusan memiliki staf pengajar yang yang konsentrasi pada ekonomi dan keuangan Islam, setiap jurusan menyediakan konsentrasi pembelajaran pada Ekonomi Islam, dan terakhir fakultas dalam proses pendirian program studi Ekonomi Islam.

Hasil itu semua membutuhkan waktu 15 tahun untuk perjuangan kita di ISEG, dengan intensitas, kuantitas, dan kualitas perjuangan yang telah kita lakukan. Kita memulainya dari bermodalkan semangat, dari pengetahuan yang tidak ada, dari forum-forum terbatas informal, dari komunitas yang dapat dihitung dengan jari, tetapi kini ia telah berubah menjadi silabus, menjadi kurikulum, menjadi program studi, menyebar dan menjadi perhatian semua jurusan ekonomi, menjadi concern segenap anggota civitas academica, menjadi kelas-kelas formal yang tercatat dalam indeks nilai kelulusan resmi fakultas dan dilakukan semua civitas academica FE UNPAD dari mahasiswa, dosen, guru besar dan birokrasi kampus. Dan kini mereka semua bersama-sama kita bahu-membahu mewujudkan Forum Riset ini berlangsung.

Kepada adik-adik mahasiswa yang masih terus aktif dan bersemangat, teruskan perjuangan. Kepada rekan-rekan seperjuangan yang kini entah ada di medan perjuangan yang mana, pelihara dan jaga semangat yang sudah ada dalam sejarah kehidupan kampus kita. Mari terus berusaha dengan segenap kemampuan yang telah dianugerahkan kepada kita. Dalam 15 tahun ini Tuhan sudah tunjukkan, ada atau tidak adanya kita terlibat dalam perjuangan ini, ekonomi Islam akan tetap berkembang; mewujud, membesar dan meluas. Jika ada yang hilang atau berguguran dari proses perjuangan ini, Tuhan langsung menggantikannya dengan generasi baru, pejuang baru dengan semangat dan kinerja baru. Dan akhirnya hasil demi hasil diraih, dicapai dan terus menggelinding merealisasikan takdir-takdir baiknya. Tuhan sebenarnya sudah janjikan semua hasil ini, mau ada atau tidak ada kita terlibat di dalam perjuangan mewujudkannya.

Kepada saudara-saudara seperjuangan di belahan bumi lainnya, di medan-medan perjuangan yang berbeda, tetapi memiliki mimpi yang sama, ingatlah, perjuangan tidak terikat pada waktu, ia tidak pula bergantung pada hasil dari setiap periode-periode perjuangannya. Perjuangan adalah perjuangan, ia hanya digerakkan oleh keikhlasan untuk mengabdi pada Tuhan, rasa penghambaan yang tulus tanpa syarat. Sunnah perjuangan akan berulang dan berulang, ia tidak bergantung pada satu atau sekelompok pejuang, ia hanya bergantung pada kesadaran yang selalu hadir pada setiap zaman, selalu saja ada yang memilikinya, meski yang memilikinya dapat berganti-ganti. Semoga sepenggal kisah perjuangan di UNPAD ini, menjadi inspirasi bagi anda dan tentu saja bagi pejuang di UNPAD itu sendiri.

Mari saling berdoa, semoga perjuangan ini terus terpelihara dan terus menghasilkan kebaikan-kebaikan. Kepada pejuang-pejuang kampus yang kini menjadi birokrat sekaligus pengajar di kampus tercinta, semoga kasih saying Allah SWT tercurah kepada anda semua. Semoga dari usaha anda pejuang-pejuang baru akan lahir dengan kualitas yang lebih tinggi lagi. Prof. Tati, Prof. Nen Amran, Bp. Harlan, Dr. Yunizar, Dr. Erie Febrian, Kang Irawan, Teh Alpiah Hasanah, dan semua mahasiswa ISEG, may Allah Almighty bless and keep you.

Rabu, 07 Desember 2011

Fatwa Shopping 2

Pada International Conference on Sharia Governance yang baru lalu berlangsung di Yogyakarta (3 Desember 2011), kerjasama antara UII Yogyakarta dengan ISRA Malaysia, ada hal yang menarik dan membuat saya terus memikirkannya sampai hari ini. Secara umum tidak ada yang istimewa dalam konferensi itu, meski memang topic yang dibincangkan dalam konferensi tersebut memang menarik, tetapi yang special bagi saya adalah respon Dr. Aznan Hasan terhadap presentasi saya terkait isu Fatwa Shopping. Isu fatwa shopping sengaja saya munculkan dan bahan itu saya quote dari Dr. Sayd Farook (Thomson Reuters). Dan tentang fatwa shopping sudah pernah saya elaborasi dalam satu tulisan khusus dalam blog ini.

Dr. Aznan Hasan menyayangkan isu fatwa shopping ini muncul, beliau berpendapat ulama mengeluarkan fatwa telah melalui proses yang cukup ketat dalam eksplorasi dalil dan pengetahuan syariah yang ada, begitu juga dengan kualifikasi ulama yang mengeluarkan fatwa tersebut diyakini cukup mumpuni. Panjang lebar beliau mengungkapkan “kekecewaan”-nya terhadap isu fatwa shopping yang mungkin seolah-olah telah mendakwa ulama otoritas fatwa mengkhianati amanahnya. Saya mencermati betul kalimat-kalimat beliau, dan sesekali menuliskan beberapa catatan.

Namun saat diberikan waktu untuk menyampaikan pendapat saya, entah mengapa saya tidak secara langsung menjawab apa yang menjadi perhatian Dr. Aznan tadi. Saya lebih menekankan pentingnya proses formulasi kebijakan pengembangan perbankan syariah mempertimbangkan kemanfaatan ekonomi, termasuk kebijakan dalam pengambilan fatwa, pertimbangan fatwa atau bahkan tata-kelola syariah. Mungkin pertimbangannya ketika itu, saya hanya tidak ingin memperpanjang polemic yang boleh jadi sangat sensitive, mengingat konferensi itu ingin membangun awareness pentingnya tata-kelola syariah (Sharia Governance) dalam pengembangan perbankan syariah.

Namun jika saya ditanya lebih lanjut, maka akan saya katakan bahwa isu fatwa shopping itu masih cukup relevan terlebih untuk kondisi Indonesia. Ditengah kondisi kurangnya sharia scholars dan tata-kelola syariah yang belum mapan, terutama masih tumpang tindihnya keanggotaan DPS dan DSN, maka isu fatwa shopping masih sangat relevan. Isu ini sebaiknya dipandang sebagai kritisi dengan maksud menjaga fungsi fatwa authority untuk tetap in-line dengan semangat sharia khususnya pada aspek ekonomi syariah. Fatwa yang keluar harus bebas dari proses fatwa shopping, bebas dari kontaminasi motif diluar kebenaran keilmuan dan keshahihan praktik. Fatwa harus bebas dari motif melayani kepentingan dan maksud praktisi, sekedar menjadi justifikasi transaksi dan produk yang substansinya sama dengan transaksi atau produk konvensional. Wallahu a’lam.

Senin, 28 November 2011

Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pengembangan Ilmu Syariah, Hukum dan Ekonomi

Latar Belakang
Perkembangan industri keuangan syariah di dunia terlihat begitu pesat. System dan industri keuangan syariah tidak lagi menjadi isu local yang sifatnya terbatas ada diantara negara-negara muslim saja, tetapi juga telah menjadi trend global dimana negara-negara non-muslim sudah mengambil posisi dan inisiatif untuk mengadopsi serta mengembangkan system sekaligus industri keuangan syariah ini. Negara-negara yang memiliki industri keuangan terkemuka seperti Inggris, Prancis, Jepang, Hongkong dan Singapura terlihat berlomba-lomba untuk menjadikan negara mereka sebagai pusat keuangan syariah, baik di dunia maupun di kawasan regional. Bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) telah pula menyatakan bahwa pengembangan keuangan syariah telah menjadi salah satu program utama mereka.



Kondisi ini setidaknya disebabkan oleh dua factor: pertama, semakin banyaknya Negara baik muslim maupun non-muslim yang mengembangkan industri keuangan syariah dan perkembangan industri tersebut menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat tinggi, sehingga diperkirakan dalam waktu yang tidak lama industri ini akan memainkan peran yang signifikan dalam percaturan industri keuangan dunia. Kedua, krisis keuangan yang menghantam banyak Negara, tidak hanya negara-negara emerging market (1998 – 2005) tetapi juga negara-negara maju (2008 – 2011), dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini mendorong banyak pihak untuk mencari alternative system keuangan yang lebih kuat. Alternative system keuangan tersebut diharapkan bukan hanya tahan dari guncangan krisis tetapi juga mampu mencegah krisis itu terjadi.

Perkembangan Keilmuan Ekonomi-Keuangan Islam
Dengan dinamika yang ada pada aspek politik dan budaya, kebangkitan negeri-negeri muslim dari kungkungan kolonialisme menjadi faktor penentu bangkitnya kesadaran mengaplikasikan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Dan perkembangan keilmuan ekonomi-keuangan Islam mengikut perkembangan aplikasinya dilapangan. Seperti yang banyak diketahui dari sejarah, perkembangan ilmu ekonomi Islam modern berawal dari ketidakpuasan tokoh agama Mesir khususnya para Guru di universitas Al Azhar Mesir atas beroperasinya Bank Inggris menggunakan konsep riba dalam rangka pembiayaan proyek Terusan Suez. Namun pada awal tersebut diskursus keilmuannya masih terbatas pada ruang lingkup Ilmu Fikih dan Kalam. Hal ini wajar terjadi mengingat saat itu, di dunia ilmu diskursus ekonomi-keuangan Islam masih beredar dikalangan ahli hukum dan kalam (Fuqaha).



Kemudian pada dekade seanjutnya diskursus ilmu ekonomi-keuangan Islam berhasil mulai mengekstrak prinsip-prinsip umum ekonomi yang kemudian mampu memberikan gambaran lebih jelas seperti apa aplikasi dasar dari ekonomi-keuangan Islam. Pada periode ini dimulai pula inisiasi pendirian lembaga keuangan yang operasionalnya berpedoman pada prinsip-prinsip syariah (Mitghamr Local Savings Bank yang didirikan oleh organisasi Ikhwanul Muslimun di Mesir pada tahun 1963). Pada periode selanjutnya, perkembangan keilmuan ekonomi-keuangan syariah berkembang sangat pesat dan lebih kompleks. Ilmu ekonomi-keuangan Islam bukan hanya berkembang pada semua aspek ekonomi dan keuangan tetapi juga semakin dalam diskursusnya, mengingat pada periode tersebut telah muncul generasi baru ekonom muslim yang mencoba melakukan eksplorasi keilmuan menggunakan wawasan keilmuan ekonomi yang mereka miliki.

Disamping itu dukungan negara-negara muslim pada aplikasi ini semakin terlihat baik secara individual maupun kolektif. Oleh sebab itu pada periode ini muncul kesadaran diantara sekelompok negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI/OIC) untuk mendirikan Islamic Development Bank yang bertujuan membantu permasalahan pembangunan negara-negara muslim anggotanya. Dan akhirnya pada dua dekade terakhir ini, aplikasi ekonomi-keuangan Islam semakin meluas dan semakin bervariasi pula aplikasinya. Aplikasinya tidak hanya terkonsentrasi pada aplikasi lembaga perbankan syariah dan sektor moneter saja, tetapi juga sudah menyebar pada aplikasi lembaga-lembaga keuangan non-bank seperti asuransi dan pasar modal, serta aplikasi non moneter seperti zakat dan wakaf. Produk dan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pun semakin meluas dan berkembang.

Pada awal pengembangannya praktek ekonomi-keuangan Islam lebih didominasi oleh praktek perbankan dengan produk yang mayoritas menggunakan akad jual-beli (murabaha). Selanjutnya basis akad produk semakin bervariasi, misalnya pada akad ijarah, takaful dan mudharabah-musyarakah (equities). Bahkan saat ini sudah pula beredar produk Sukuk (Islamic Bonds) yang dapat digunakan bukan hanya nasabah perorangan (retail) tetapi juga lembaga keuangan dan pemerintah. Oleh karena itu, jika dilihat dari penggunanya, khusus aplikasi keuangan Islam telah menjangkau semua segmen pengguna, dari kelompok retail, high net-worth (VIP customers), lembaga keuangan syariah, lembaga non-bank, pemerintah dan lembaga lainnya. Pada periode ini ada kesan dimana perkembangan industri, khususnya industri keuangan syariah, berkembang dengan sangat cepatnya. Sementara, kecepatan tersebut tidak diimbangi dengan pembangunan sistem pendidikan yang mampu menopang perkembangan industri. Dengan kondisi seperti itu, tentu muncul masalah-masalah yang mengganggu, baik disektor industri maupun di sektor sistem pendidikan (akan dibahas pada bagian selanjutnya).

Pada perkembangan terakhirnya, industri keuangan syariah hampir meliputi semua aspek transaksi keuangan, dari jenis transaksi di perbankan, asuransi, pasar modal, dana pension, reksadana, perusahaan pembiayaan sampai dengan pegadaian. Secara kelembagaan aplikasi keuangan syariah memang dipelopori oleh berdirinya bank-bank syariah sebagai berikut:
1. Mitghamr Local Savings Bank (1963) – Shaikh Ahmad Al-Najjar
2. Tabung Hajji Malaysia (1967) – Royal Professor Tunku Abdul Aziz
3. Islamic Development Bank (1974) – Dr. Ahmed Mohamed Ali
4. Dubai Islamic Bank (1975) – Sh. Saeed Lootah

Selanjutnya perkembangan aplikasi keuangan syariah di dunia menyebar pada praktek-praktek non-bank seperti asuransi, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, reksadana dan lain sebagainya. Sementara di Indonesia sendiri aplikasi keuangan syariah dipelopori dengan berdirinya BPR Syariah pertama di Bandung yaitu BPRS Berkah Amal Sejahtera (1988) dan Bank Muamalat Indonesia Tahun 1992 (berdasarkan UU No. 7 Tentang Perbankan dan PP No.72 tentang bank bagi hasil)

Saat ini perkembangan industri keuangan dan perbankan syariah di tanah air menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Berdasarkan data akhir tahun 2010 pertumbuhan keuangan syariah nasional secara umum diprakirakan lebih dari 30%, khusus untuk pertumbuhan perbankan syariah per-September 2011 mampu tumbuh mencapai 48%. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Maris Strategies & The Bankers November 2010, industri keuangan syariah Indonesia berdasarkan besarnya aset peringkatnya naik dari peringkat 17 tahun 2009 menjadi 13 dunia tahun 2010, dimana asetnya bertambah lebih dari dua kali lipat, dari USD 3.3 miliar menjadi 7.2 miliar. Namun begitu, berdasarkan besarnya aset saat ini belum ada satupun perusahaan keuangan syariah Indonesia yang mampu menembus peringkat 25 besar dunia. Dengan karakteristik aplikasi keuangan syariah yang erat dengan aktifitas usaha produktif ekonomi (sektor riil), diyakini bahwa praktek keuangan syariah mampu berkontribusi positif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peningkatan daya tahan serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya yang mampu mengakselerasi pengembangan industri keuangan syariah termasuk perbankan syariah nasional.

Saat ini pencapaian kinerja industri keuangan syariah dan perbankan syariah Indonesia telah diakui secara internasional, bahkan berada dalam posisi yang cukup baik diantara negara-negara yang memiliki industri serupa. Berdasarkan data peringkat yang dikeluarkan oleh Global Islamic Finance Report 2011 (BMB-UK), industri keuangan syariah Indonesia menempati peringkat ke-4 di dunia.

Berdasarkan metodologi penilaian yang dilakukan oleh BMB-UK dalam Global Islamic Finance Report 2011 ini, dapat disimpulkan bahwa tingginya peringkat industri keuangan syariah Indonesia karena jumlah lembaga perbankan yang cukup banyak, pengelolaan industri yang lebih mapan dan jumlah variasi lembaga keuangan syariah di luar perbankan yang juga melayani kebutuhan jasa keuangan syariah bagi masyarakat. Seperti yang sebelumnya di sebutkan, bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari volume asset industri keuangan syariah nasional tetapi tidak ada satupun perusahaan keuangan syariah, ternyata hal tersebut dapat disimpulkan secara positif, dimana meski size-nya kecil industri keuangan syariah Indonesia memiliki banyak jenis institusi dan tersebar luas melayani kebutuhan masyarakat banyak. Disamping itu, pengelolaan secara formal oleh pemerintah menunjukkan bahwa industri keuangan syariah nasional relatif cukup mapan dalam sebuah sistem industri.

Dengan karakteristik industri keuangan syariah yang masih baru dan struktur usaha di perekonomian Indonesia yang dominan usaha mikro-kecil, kapasitas terbatas, variasi lembaga yang banyak dan sebaran jaringan yang luas membuat industri keuangan syariah nasional yang ada saat ini dapat dikatakan optimal menjadi lembaga intermediari bagi unit usaha mikro-kecil Indonesia. Tetapi hal itu tidak kemudian bermakna indonesia tidak membutuhkan lembaga keuangan syariah yang besar. Pada perkembangan selanjutnya dalam rangka mewujudkan tingkat daya saing industri keuangan syariah nasional berdasarkan scale of economies-nya, diperlukan upaya untuk membesarkan size perusahaan-perusahaan keuangan syariah yang ada.

Perkembangan Industri Vs Perkembangan Ilmu dan SDM
Dengan demikian secara umum, baik perkembangan industri ini di lingkungan Indonesia maupun di lingkungan dunia internasional menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, terutama pada dua dekade terakhir ini. Apalagi perkembangannya sangat dibantu oleh sentimen ekonomi dunia ditengah badai krisis keuangan yang melanda seluruh belahan dunia pada dua dekade terakhir ini, dari negara-negara emerging market sampai dengan negara-negara maju. Kinerja internal industri dan lingkungan bisnis yang kondusif membuat industri ini berada dalam kondisi tumbuh sangat cepat. Namun yang disayangkan perkembangan industri itu tidak diikuti dengan perkembangan sistem pendidikan yang memadai, yang pada akhirnya diharapkan mampu menyediakan SDM bagi industri. Ketiadaan SDM yang memadai pada semua aspek, seperti SDM di tingkat praktisi, regulator, pengawas syariah, hakim, auditor dan akademisi itu sendiri, membuat langkah-langkah pengembangan bisnis keuangan syariah menjadi relatif pragmatis. Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan SDM secara instan membuat strategi pengembangan industri keuangan syariah terkesan mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariah pada aspek operasional, produk, good governance dan sharia governance.

Selain itu, ketertinggalan sektor pendidikan dalam eksplorasi ilmu ekonomi dan keuangan syariah membuat lembaga pendidikan bergantung pada pengetahuan yang menjadi dasar penerapan oleh lembaga keuangan di dunia industri. Kecenderungan ini tentu tidak tepat dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang kuat dan sehat. Dengan kecenderungan seperti itu, akademisi tidak mampu memerankan fungsinya dalam menjaga dan memelihara sektor industri agar selalu in-line dengan substansi keilmuan yang diterapkan oleh industri, karena industri sudah memainkan peranan dominan dalam mengontrol perkembangan ilmu itu sendiri. Pada dasarnya akademisi dengan pengetahuannya yang memadai sepatutnya menjadi elemen pengontrol bagi perkembangan industri, agar industri selalu berada pada track ilmu yang benar yang bermuara pada sistem keuangan yang kuat yang memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian. Pihak industri seharusnya menjadi mitra kalangan akademisi dalam memperkuat dan memperkaya ilmu, misalnya dalam memberikan masukan kelayakan praktik (practicability) dari ilmu-ilmu keuangan syariah. Oleh sebab itulah saat ini banyak sekali ketidak-puasan dari pakar ekonomi Islam dan syariah terhadap perkembangan aplikasi ekonomi dan keuangan syariah, baik di tanah air maupun di tingkat dunia internasional. Berikut ini di bawah ini beberapa kritik tersebut.



Kritik Terhadap Aplikasi Ekonomi dan Keuangan Islam

Prof. Volker Nienhaus
Dalam praktek Islamic Finance banyak ditemui structure products yang diklaim telah sharia compliance. Pada dasarnya produk-produk tersebut tidak dapat diterima secara umum, namun beberapa Sharia Board dan Sharia Scholar mengakui ke shariahan produk tersebut. Diantara produk-produk tersebut adalah: Tawarruq and Comodity Murabahah, Collateralized Debt Obligations, Short Selling, Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps.

Pada kenyataannya ketika produk-produk Islamic Finance tersebut diterapkan akan mengakibatkan terjadinya unrestricted liquidity (Tawarruq and Comodity Murabahah), speculation (Collateralized Debt Obligations dan Short Selling) dan sharia conversion (Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps), sehingga pada gilirannya tidak memberikan peningkatan wealth dan juga dapat mengakibatkan systemic anomalies dan systemic vulnerability.

Dr. Umer Chapra
“The way the Islamic financial system has progressed so far is only partly, but not fully, in harmony with the Islamic vision. It has not been able to fully come out of the straitjacket of conventional finance. The use of equity and PLS modes has been insignificant, while that of the debt-creating sales- and leasebased modes has been predominant. Moreover, even in the case of debt-creating modes, all Islamic banks and branches or windows of conventional banks do not necessarily fulfill the conditions laid down by the Shari‘ah. They try to adopt different legal stratagems (hiyal) to transfer the entire risk to the purchasers (debtors) or the lessees. The result is that the Islamic financial system, as it is being practiced, does not appear to be a genuine reflection of what it is expected to be.”

Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi
“Most of us have been busy competing with conventional economics on its own terms, demonstrating how Islam favors creation of more wealth, etc. We have had enough of that. It is time to demonstrate how modern man can live a peaceful, satisfying life by shifting to the Islamic paradigm that values human relations above material possessions”

Dr. Mohammad Obaidullah
Ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam serta menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam. Oleh sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap aktifitak ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.

Dr. Monzer Kahf
“It seems to me that the present generation of Islamic economists is exhausted and already consumed in the activities of Islamic banking and finance that the best it can do is to hand over the torch to a second generation that may carry deeper theoretical analysis and fill the gaps left by our generation.”

Kritik para pakar terkait aplikasi ekonomi dan keuangan syariah menunjukkan ketidak-puasan atas perkembangan aplikasi ekonomi dan keuangan syariah yang saat ini sedang berlangsung. Salah satu kritik yang banyak disampaikan adalah corak aplikasi keuangan syariah yang saat ini semakin identik dengan aplikasi keuangan mainstream (konvensional), sehingga dikhawatirkan keuangan syariah akan semakin jauh dari semangat dan cita-cita ekonomi Islam.

Kesimpulan dan rekomendasi

1. Perkembangan aplikasi industri ekonomi dan keuangan Islam sejak awal sejalan dengan perkembangan keilmuannya, namun dua dekade terakhir ini perkembangan industri yang sangat pesat membuat pengembangan industri dan penyediaan SDM cenderung dilakukan dengan cara-cara yang instan, dan hal ini berisiki menimbulkan banyak masalah pada berbagai aspek, khususnya reputasi dan kemanfaatan industri bagi perekonomian.

2. Perkembangan industri ekonomi dan keuangan Islam tidak diikuti dengan perkembangan sistem pendidikan yang memadai, yang pada akhirnya terdapat kondisi kelangkaan jumlah SDM yang mumpuni bagi industri.

3. Diperlukan upaya lebih besar dalam eksplorasi keilmuan ekonomi dan keuangan Islam di tingkat lembaga pendidikan.

4. Diperlukan upaya riset yang lebih masif serta mencetak SDM yang kompeten dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam.

5. Diperlukan dukungan semua pihak baik regulator, praktisi dan Kementerian Pendidikan Nasional dan Budaya serta Kementerian Agama dalam mempercepat upaya eksplorasi keilmuan ekonomi dan keuangan Islam.

Rabu, 23 November 2011

Syair


Syair dalam beberapa waktu mampu menjadi alat ukur untuk mengetahui kedalaman hati, kepekaan rasa dan kebesaran jiwa. Atau ia bisa merefleksikan tingkat dan kualitas kesadaran. Atau setidak-tidaknya, syair mampu membuat pecintanya untuk jujur tanpa harus dipaksa.

Bagi saya, syair menjadi teman untuk berakrab-akrab dengan kebijaksanaan, dengan hikmah, yang kemudian mampu mengantarkan jiwa ini ada di dekat kebenaran. Itu mengapa syair tentang jiwa menjadi kekaguman saya diantara berbagai macam bait-bait syair yang mempesona. Syair tentang keindahan Tuhan begitu juga karya-Nya pun menjadi rangkaian kata bak mutu manikam dalam dunia olah kata.

Ada syair indah dari seorang anak manusia yang bernama Rabindranath Tagore, dimana di akhir syairnya ia bersaksi tentang keagungan Tuhan pada kejadian-kejadian hidupnya, cermatilah:

“.. i received nothing i wanted, i received everything i needed, God has answered my prays..”

Pengakuan yang tak kalah tulusnya juga terekam dalam jalinan kata-kata EMHA Ainun Najib, nikmatilah:

“.. jadi berhentilah mendirikan tembok – tembok, karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung, tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku, sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada..”

Dengan semua ketulusan dan kejujuran rasa, dengan syair kita mampu mendapatkan sebuah keheningan dalam keriuhan peristiwa-peristiwa. Karena syair-syair pada hakikatnya menjaga konsentrasi dan visi hidup. Apalagi jika kita resapi syair-syair langit dari Sang Maha Penyair, lihatlah bagaimana titah sekaligus kasih sayang-Nya:

“.. wahai hambaku, kau berkeinginan, Aku pun berkeinginan. Apabila kau tidak sandarkan apa-apa yang kau inginkan pada-Ku, maka akan Aku berikan kau keletihan dan kesengsaraan. Apabila kau sandarkan apa-apa yang kau inginkan pada-Ku, maka akan Aku cukupkan apa yang engkau butuhkan. Sesungguhnya yang terjadi adalah apa yang Aku inginkan..”

Demikianlah syair yang telah menghiasi dunia, sejarah dan manusia, dan ia sampai pada saya dengan kejujuran yang sama.

sahabat

sahabat itu seperti embun
ia datang bukan untuk membasahi
ia datang untuk menyejukkan

persahabatan bukanlah tetesan air serampangan
ia adalah tetesan air yang serentak dan seirama
persahabatan bukanlah tetesan air yang tak berarti
ia adalah hujan yang menyegarkan dan menyemangati

Selasa, 22 November 2011

Amal yang Shaleh itu..


Suatu kali saya terjebak macet di satu jalan. Setelah beberapa lama saya sadari didepan ada mobil dari arah lain yang ingin berbelok memotong antrian macet mobil pada jalur jalan yang saya ambil. Saya perhatikan beberapa mobil didepan saya tidak memberikan kesempatan mobil itu memotong, hingga giliran satu mobil di depan saya. Saya kemudian menerka-nerka apakah mobil yang persis didepan saya ini akan memberikan jalan untuk mobil yang ingin memotong itu. Entah kenapa, muncul harapan dalam hati; mudah-mudahan saya yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk melakukan amal shaleh itu. Alhamdulillah saat itu saya diberikan kesempatan itu.

Setelah peristiwa itu, setiap kali saya menghadapi situasi serupa, seringkali harapan itu muncul di hati dan fikiran saya. Hasilnya, kadang saya diberi kesempatan kadang tidak. Tetapi hikmahnya saya belajar banyak dari peristiwa itu. Setidaknya pelajaran itu; pertama, amal shaleh dapat dilakukan bukan hanya karena kemauan tetapi juga karena perkenanan Tuhan. Kedua, semangat melakukan amal shaleh tidak melulu dan tidak selalu diukur dari menikmati hasilnya, boleh jadi semangatnya berasal dari keinginan untuk memberi (bukan untuk menikmati).

Belajar dari pelajaran itu semua, ketika kita berhadapan dengan kondisi dimana para senior, atasan, tetangga, saudara kita begitu menggemaskan karena tidak mampu merubah keadaan atau tidak mau melakukan perbaikan, mungkin tidak tepat kalau kita kecewa. Mungkin yang lebih tepat kita lakukan adalah tersenyum dan kemudian berdoa mengirim harapan kepada Tuhan: ya Tuhan perkenankan saya yang melakukan perubahan itu, berikan kesempatan saya melakukan kebaikan itu.

Selanjutnya, buat anda yang membaca tulisan ini, khususnya anda yang ada di jalan perjuangan menegakkan idealisme kebaikan, pejuang amal shaleh, mungkin sudah lama jalan ini anda tempuh tetapi sepertinya ujung jalan tidak pernah tampak, sudah banyak yang diusahakan tetapi hasil tidak pernah dapat digenggam apalagi dinikmati, sudah banyak pengorbanan yang diberikan tetapi tidak satupun kemenangan bisa dirasakan. Jenuh, bosan, letih, kesan itu yang mungkin dominan ada menjadi atmosfer kehidupan perjuangan anda. Dan boleh jadi kesabaran anda mulai terusik, apalagi ketika memikirkan beratnya perjuangan karena tiada hasil yang dapat menghibur itu semakin bertambah berat karena ternyata pada saat yang sama ujian, cobaan dan godaan semakin naik intensitasnya.

Mungkin yang harus dilakukan bukan berhenti dan mencari-cari apa atau siapa yang dapat disalahkan, tetapi sekedar merubah pola berfikir dan merubah logika-logika yang selama ini kita pegang. Artinya, kelesuan, kejenuhan dan keletihan berjuang mungkin sedikit dapat ditolong dengan merubah konsep perjuangan yang kita anut. Hapus faktor “hasil” dari ukuran-ukuran hidup yang mempengaruhi semangat berjuang. Kita tidak peduli dengan hasil. Hasil itu hak Tuhan, kita tidak memiliki wewenang sedikitpun. Tetapi kalaupun itu sudah dilakukan, kejenuhan dan kelesuan masih saja memenuhi jiwa, mari berdoa, siapa tahu Tuhan kasihan pada kita, dan kita dihibur dengan takdir-takdir yang memelihara kita di jalan perjuangan ini. Mari berdoa, sebelum bisikan syetan menguatkan nafsu kita untuk tenggelam dalam diam atau bahkan bermaksiat di atas bumi-Nya.

Senin, 21 November 2011

Seri Global Crisis: Fakta-Fakta Terbaru Krisis Utang - Keuangan Negara Barat

Bank Terbesar Italia berencana melakukan PHK 5200 karyawannya.

Utang pemerintah Amerika Serikat terus meningkat menembus angka US$ 15 triliun. Angka itu setara dengan 99% dari proyeksi PDB Amerika pada tahun 2011, dan merupakan level utang yang sangat tidak sehat.

"Amerika telah melintas batas yang tidak terpikirkan, utang negara kita sekarang melebihi US$ 15 triliun. Itu lebih dari US$ 48.000 per warga," ujar Pimpinan Komite Nasional dari Republik, Reince Priebus. "Utang yang sangat besar ini telah memperlambat perekonomian kami dan merusak peringkat utang. Amerika tidak dapat menerima lagi masa 4 tahun presiden ini dan belanja serakah dari Demokrat," ujarnya.

AS memang masuk dalam ketegori negara-negara dengan jumlah utang yang besar. Masalah besarnya utang itu pula yang menyebabkan krisis mendera kawasan Eropa dan hingga kini belum ada tanda-tanda berakhir. Sebagai perbandingan dari negara yang kini terbelit krisis karena besarnya utang adalah Italia yang memiliki utang US$ 2,223 triliun atau 108% PDB untuk posisi tahun 2010 (2011 telah mencapai 120% dari PDB). Juga Yunani yang memiliki utang US$ 532,9 miliar atau 174% PDB. Sedangkan Indonesia, tercatat memiliki utang Rp 1.754,91 triliun yang setara dengan 27,3% PDB.

BNP Paribas, France’s biggest bank, was hit on Friday by a credit downgrade triggered by growing concerns about funding and liquidity for the country’s banking sector and a weakening economic outlook in peripheral European countries to which the French banks are exposed. Standard & Poor’s lowered its long-term rating on BNP by one notch to AA minus from AA.

Minggu, 20 November 2011

EUROZONE DEBT CRISIS

Seri Global Crisis: Krisis Merubah Peta Kekuatan Ekonomi Dunia

Ada suatu yang tak biasa, kalau tidak ingin dikatakan aneh, saat melihat proses penandatanganan perjanjian jual-beli 230 pesawat Boeing 737 senilai USD 21,7 miliar antara Boeing-US dengan Lion Air-Indonesia, dimana hal itu disaksikan oleh President US Barack Obama, tanpa dihadiri oleh koleganya Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Mengapa tak biasa? Pertama, tumben-tumben-nya kepala negara se-adidaya Amerika Serikat bersedia meluangkan waktu sekedar menyaksikan penandatanganan perjanjian bisnis satu perusahaan komersialnya dengan satu perusahaan komersial negara berkembang. Kedua, menjadi lebih tak biasa Presiden Obama bersedia menghadiri meski koleganya dari Indonesia tidak ikut hadir. Ketiga, kapitalisasi perjanjian ini tak seberapa jika diukur dengan volume raksasa ekonomi US, namun mampu membuat seorang kepala negara adidaya dengan ekonomi raksasanya hadir menyaksikan proses penandatanganannya.

Mungkin beberapa tahun kedepan, kita harus membiasakan diri untuk menyaksikan hal-hal yang tak biasa ini. Sudah sering terjadi dalam banyak forum ekonomi, dimana negara-negara maju memandang langkah kebijakan ekonomi Negara-negara berkembang begitu tradisionalnya, tidak canggih, kurang modern, berkutat pada permasalahan dasar ekonomi seperti masalah pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi atau mungkin masalah kerusuhan sosial. Tetapi saat-saat ini, dikotomi corak kebijakan dan bentuk interaksi ekonomi domestik untuk membedakan Negara maju dan berkembang, boleh jadi sudah tidak begitu tepat lagi. Alasannya adalah krisis yang sepertinya terus bergelayut di langit ekonomi negara-negara maju telah membuat mereka harus berhadapan dengan masalah-masalah yang dahulu identik dengan negara-negara berkembang.

Negara-negara maju semakin hari kini semakin kehilangan reputasi “negara maju”-nya. Label “negara maju” sebaliknya malah memberatkan mereka untuk bergerak dan bermanufer mengatasi krisis keuangan di dalam tubuh mereka. Lihat kondisi ekonomi Islandia, dimana krisis keuangan tahun 2008 yang mengacaukan kehidupan sosio-politik-ekonomi mereka, sehingga sepertinya kini mereka harus memulai ekonominya dari awal lagi. Lihat Yunani, krisis membuat logika-logika ekonomi menjadi tidak shahih dilakukan, sementara perkembangan politik akibat kehancuran ekonomi berjalan tak menentu dan bahkan memaksa pemerintahan Perdana Menteri George Papandreu yang berkuasa harus turun dengan terpaksa. Inisiatif politiknya berupa referendum yang diharapkan mengumpulkan semangat kebersamaan rakyat menghadapi krisis utang Negara, ternyata menghasilkan tsunami ketidak-percayaan sektor usaha, keuangan dan Negara-negara donor Eropa. Logika solusi nasionalismenya tidak dibeli oleh siapapun, baik oleh rakyatnya sendiri apalagi oleh pasar internasional.

Islandia dan Yunani mungkin dipandang sebagai negara remeh di Eropa sehingga keterpurukan ekonominya belum dinilai mengancam reputasi besar ekonomi Eropa di dunia atau mengancam kemapanan perekonomiannya di percaturan ekonomi global. Tapi kini lihat Italia, salah satu Negara eropa yang cukup besar perekonomiannya, ternyata krisis utang sudah memaksa turun Perdana Menterinya Silvio Berlusconi. Ekonomi Italia jauh dari kondisi bagus, rasio utangnya terhadap GDP (debt service ratio-DSR) masih bertengger di angka 120% dengan tingkat pengangguran 8,6%.

Jikalau masalah ini terisolasi dan dianggap masalah Italia sendiri, lihat data tersebut untuk Negara Eropa lainnya. Ternyata tingkat DSR dan pengangguran Negara-negara Eropa relatif tinggi; UK 7,8%, Prancis 9,6%, Yunani 12,9%, Italia 8,6%, Irlandia 12,6%, Portugal 11,2% dan Spanyol 20,4%, dan tingkat utang luar negeri dibandingkan dengan GDP mereka yang kini berjejer rapih mendekati angka rata-rata 100%. Kesepahaman Masyarakat Ekonomi Eropa yang menghimpun negara-negara maju Eropa dengan symbol penyatuan mata uang sepatutnya ampuh mengatasi krisis utang negara anggotanya. Namun alih-alih terjadi proses saling bantu dalam memecahkan masalah utang negara anggotanya dan mencegah meluasnya krisis, ternyata malah masing-masing negara Eropa terkesan semakin individualis dengan cenderung focus pada masing-masing ekonomi domestiknya. Yang terlihat masing-masing mereka mencoba untuk memproteksi perekenomiannya.

Tidak mengherankan kini secara individual mereka mencari bantuan dari negara-negara pemegang likuiditas seperti China, yang saat ini diakui pemilik cadangan devisa terbesar dunia, melalui penawaran surat-surat utang mereka.. Sementara secara kolektif dibawah payung European Union (EU), mereka masih terlihat malu-malu meminta bantuan itu. Mungkin juga karena malu kalau hal itu dilakukan berarti mengakui juga kondisi downgrade dari perekonomiannya. Sedangkan IMF sejauh ini sepertinya kehilangan kekuatan untuk menolong Negara-negara Eropa yang kesulitan keuangan, mungkin kondisi keuangan IMF juga sudah babakbelur mengatasi Islandia dan Yunani atau memang mengetahui begitu parahnya kerusakan yang sudah menganga di perekonomian Eropa.

Amerika Serikat sebagai Negara sekutu terdekat memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda yaitu tingkat pengangguran yang mencapai lebih dari 9,1% dengan DSR 100%. Tidak heran melihat sekutu-sekutunya mengalami kesulitan deficit anggaran yang besar Amerika Serikat tidak mampu berbuat apa-apa. Selain itu, kecemasan pada meluasnya krisis utang menjadi krisis ekonomi dan krisis politik menjadi sangat-sangat mungkin. Masih ingat kerusuhan yang terjadi di London dan beberapa kota besar di Inggris yang baru lalu?

Krisis yang bertubi-tubi menghantam perekonomian negara maju, lambat laun membuat banyak hal “tak biasa” harus dilakukan oleh negara maju. Banyak hal itu sebenarnya adalah attitude lazim yang selama ini dialamatkan kepada Negara berkembang, namun kini dilakukan oleh negara-negara maju. Misalnya hal yang tak biasa diatas yang dilakukan oleh Presiden Barack Obama. Dengan tingkat pengangguran 9,1% mau tidak mau kini Obama sibuk dengan kerja-kerja “remeh” ekonomi sektor produktif (sektor riil) yang focus pada penurunan angka pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Kerjasama jual-beli pesawat Boeing tadi dipandang krusial mengingat dalam jangka panjang projek tersebut diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sebanyak kurang lebih 100 ribu pekerja.

Obama boleh jadi ingin menjawab secara kongkrit kritik yang kini semakin menggema di jalan-jalan Amerika Serikat dalam bentuk gerakan kepedulian ekonomi rakyat berupa gerakan OccupyWallstreet. Salah satu tema kampanye yang diteriakkan gerakan ini adalah slogan ikonik; “we are the 99 per cent”. Gerakan ini memprotes corporate influence on democracy, a growing disparity in wealth, and the absence of legal repercussions behind the recent global financial crisis (lihat OccupyWallstreet.org). Gerakan ini dimulai oleh lembaga Adbusters, yaitu the Canadian-based group Adbusters Media Foundation. Mereka dikenal melalui iklan layanan masyarakat mereka mengenai anti-consumerist di majalah Adbusters. Gerakan ini dimulai di Zuccotti Park di Wall Street – New York. Dan sampai sekarang gerakan dengan jumlah yang mencapai ribuan orang terus memadati Zuccotti Park.

Inisiator gerakan ini mengakui bahwa gerakan ini terinspirasi oleh gerakan rakyat di timur tengah, yang biasa dikenal dengan istilah Arab Spring. Oleh sebab itu, disalah satu media maya, mereka menulis slogan “From Tahrir Square to Times Square”. Kedua gerakan menyusuhkan substansi yang sama, yaitu penolakan segala bentuk intimidasi, baik intimidasi politik maupun intimidasi ekonomi. Oleh karena itu mereka juga muncul dengan slogan ikonik; “we are the 99 per cent”. Dengan slogan ini mereka yang ada di barisan ini ingin menyampaikan beberapa pesan krusial kepada masyarakat, kepada pemerintah dan utamanya kepada pihak korporasi besar yang mereka posisikan sebagai “public enemy number one”. Slogan ini menggambarkan bahwa mayoritas (99%) rakyat ternyata menikmati kue pendapatan yang sangat-sangat kecil sementara minoritas kaya (1%) menguasai kue pendapatan begitu besarnya (tahun 2007 mereka menguasai 23,5% dari total pendapatan US), sehingga ketimpangan atau kesenjangan ekonomi (khususnya Amerika)tergolong besar (lihat GINI Ratio US).

Kembali kepada masalah implikasi krisis, kebijakan-kebijakan ekonomi “tradisional” yang umumnya dilakukan oleh perekonomian negara berkembang seperti di atas tadi, kedepan akan sering kita lihat dari pemimpin-pemimpin negara ekonomi terkemuka, yaitu negara-negara maju. Mereka akan semakin peduli dengan upaya-upaya peningkatan sektor usaha produktif yang bertujuan pada pengurangan angka pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Atau boleh jadi, kedepan mereka akan semakin keras dan ketat dengan sektor keuangan mereka. Sektor keuangan diberikan banyak disinsentif untuk tidak selalu bergerak menuju kondisi buble, mengingat kondisi inilah yang diyakini menjadi biang kerok keterpurukan ekonomi khususnya sektor keuangan.

Barberton dan Lane (Peter Barberton & Allen Lane, “Excerpts from Debt and Delusion,” The Pinguin Press, 1999) berpendapat bahwa sistem finansial barat sejak awal 1970-an sudah sangat tergantung dengan hutang (debt addiction). Ekspansi besar dari public debt tidak dapat selalu diasosiasikan dengan peningkatan pada kinerja ekonomi. Karena peningkatan hutang tidak diikuti dengan peningkatan economic returns pada tahun-tahun setelahnya. Barberton dan Lane bahkan memprediksikan sebuah kisis yang akan memukul sistem keuangan barat.

“The credit and capital markets have grown too rapidly, with too little transparency and accountability. Prepare for an exploision that will rock the western financial sistem to its foundations.”

Prediksi Barberton dan Lane ini sepertinya terbukti setelah 12 tahun analisis mereka itu dikemukakan. Saat ini boleh jadi apa yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat barulah permulaan. Setelah beberapa waktu berselang dari krisis keuangan sektor swasta mereka pada tahun 2008, tahun 2011 kesulitan keuangan itu kini menjadi hantu di anggaran pemerintah masing-masing negara maju. Yang dikhawatirkan adalah, jika ternyata kerusakan keuangan negara-negara maju itu lebih parah dari yang diungkapkan.

Dan terlepas dari analisis diatas, kini peta kekuatan ekonomi dunia sudah berubah bargaining power negara-negara berkembang kini sudah meninggi. Lihat saja kecenderungannya, Negara-negara Timur-Tengah berlomba-lomba membeli asset-aset bernilai, baik disektor riil maupun keuangan di Negara-negara barat (Eropa dan Amerika Serikat). Sementara negara Asia Timur dan Selatan, seperti India, China dan Indonesia perlahan menjadi pasar utama dari produksi barang-barang negara maju. Kedepan negara maju Barat harus mengakui realita peta baru kekuatan ekonomi global. Menyadari hal ini, Presiden Indonesia saja kini tidak lagi mudah manut dengan agenda Presiden Barack Obama yang menginginkan berdirinya Trans Pacific Free Trade Zone, yang cenderung melayani kebutuhan Amerika Serikat terhadap pasar bagi barang-barang produksi mereka.

Kini pertanyaannya, sudah waktunyakah dunia merubah system ekonominya secara dramatis, seperti dramatisnya perubahan peta ekonomi yang saat ini tengah berlangsung? Mungkin juga perubahan itu sedang berlangsung tanpa kita sadari, tanpa memerlukan justifikasi, pelabelan dan symbol-simbol perubahannya.

Kamis, 10 November 2011

hidup: harapan vs kenyataan

hampir setiap waktu kita dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang mempertontonkan pertempuran antara harapan dan kenyataan. sedih dan suka cita biasanya menjadi respon yang merefleksikan sikap kita terhadap peristiwa-peristiwa itu. sedih jika kenyataan jauh dari harapan, dan sebaliknya suka cita jika kenyataan sesuai dengan harapan atau bahkan lebih tinggi dari yang diharapkan.

kalau memang harapan dan kenyataan selalu tidak seimbang, kenapa harus sedih? mungkin yang harus dibiasakan adalah menerima apapun peristiwa-peristiwa hidup, baik itu yang berakibat jangka pendek maupun berakibat jangka panjang, sepanjang hidup.

Tuhan, rahasia dunia-Mu penuh dengan teka-teki. tapi aku berhasil memecahkan satu teka-teki-Mu, bahwa dunia ini ada dalam mainan jari-jemari-Mu, bahwa tugasku melakukan apa yang aku mampu, bahwa semua peristiwa itu hanyalah mengikuti kehendak-Mu. no regrets...

Rabu, 26 Oktober 2011

Seri Global Crisis: momentum berubah bagi Indonesia

Sudah terlalu banyak momentum yang mampu membuat ekonomi Indonesia berkembang lebih baik. Momentum itu muncul beruntun dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun ini. Seakan-akan momentum itu tidak ada habisnya memberikan privilege bagi Indonesia untuk maju, menyediakan fasilitas bagi Indonesia untuk mendapatkan semua kenyamanan ekonomi yang selama ini hanya sekedar menjadi potensi. Momentum-momentum itu memberikan jalan yang teramat lapang bagi Indonesia merealisasikan semua potensi ekonomi yang dimilikinya. Momentum untuk berubah itu disediakan sejak krisis multidimensi (ekonomi, politik dan hukum) pada tahun 1998 sampai dengan krisis utang Eropa – Amerika yang melesukan ekonomi global pada tahun 2011.

Nah, tak ada salahnya, kita cermati peluang-peluang apa saja yang telah disediakan oleh momentum-momentum itu. Momentum ketika krisis moneter 1998 memberikan “anugerah” bagi ekonomi Indonesia dengan berkembangnya sektor riil mikro-kecil ekonomi sekaligus menghambat menggelembungnya sektor moneter ke tingkat yang lebih membahayakan masa depan ekonomi nasional. Krisis monumental itu pada satu sisi memang men-downgrade taraf perekonomian negeri ini, tetapi boleh jadi pada sisi yang lain krisis itu mempersiapkan atau memperkuat pondasi ekonomi untuk membangun lebih cepat dan lebih tinggi.

Krisis 1998 itu mempertahankan karakter tradisional sektor keuangan Indonesia, dan ternyata itu sangat bermanfaat menambah daya tahan ekonomi tanah air dari kontaminasi krisis-krisis keuangan setelahnya, khususnya krisis keuangan 2008. Sektor riil yang menguat khususnya di sektor mikro kecil membuat ekonomi nasional tetap bergairah membangun pada tahun-tahun selanjutnya. Terlebih lagi diperkirakan rombongan PHK akibat banyaknya lembaga keuangan dan korporasi besar kolaps, berbondong-bondong berwiraswasta di dektor mikro-kecil. Maka terbangunlah sektor mikro-kecil Indonesia yang pelakunya lebih beredukasi baik (well educated players).

Selain transmisi perubahan murni ekonomi yang bisa dilihat dan diidentifikasi keuntungan-keuntungannya, namun akan sangat arogan jika tidak juga mengakui dukungan bagi ekonomi Indonesia yang berasal dari perubahan rezim politik tanah air. Karena memang “prestasi” monumental dari krisis moneter 1998 adalah runtuhnya rezim politik dictatorial yang telah berusia 32 tahun! Runtuhnya rezim politik itu berkorelasi pula dengan tumbuhnya atmosfer ekonomi Indonesia yang relative lebih sehat.

Momentum selanjutnya adalah ketika dunia politik Indonesia pada tahun 2004 mulai tertata secara mapan dengan platform baru yang bernama demokrasi. Lingkungan baru politik dengan pengalaman kelam rezim politik sebelumnya memberikan semangat baru untuk membenahi semua lini kehidupan berbangsa, termasuk ekonomi di dalamnya. Dengan kemapanan politik baru, budaya berekonomi (diharapkan) dijalankan secara lebih professional, bersih dan efisien. Dalam beberapa hal, ekonomi nasional memang mengalami perubahan, meski kanker korupsi, birokrasi kotor dan rumit serta infrastruktur yang miskin masih menjadi PR yang perlu terus diperbaiki.

Tahun 2008 momentum itu datang kembali, krisis keuangan global yang dimulai di industri keuangan Amerika dan menjalar ke Eropa yang kemudian men-downgrade kinerja ekonomi di banyak Negara di dunia, ternyata menjadi ajang pembuktian ketahanan ekonomi Indonesia. Ketika itu Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang perekonomiannya mampu tetap tumbuh positif. Bahkan tidak cukup hanya positif, tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh pada level yang cukup tinggi dibandingkan negara kawasan atau dunia sekalipun. Momentum ini memberikan Indonesia reputasi yang cukup baik di dunia internasional. Setidaknya Indonesia dikenal keunggulan ekonominya. Indonesia mulai banyak disebut-sebut secara positif di banyak forum-forum ekonomi internasional. Implikasinya peringkat credit rating Indonesia tentu bergerak membaik.

Dan yang mutakhir, momentum itu berupa krisis utang yang melanda Amerika dan Eropa sejak awal 2011. Meski krisis ini masih merupakan kelanjutan krisis keuangan di industri keuangan mereka tahun 2008, krisis kali ini berepisentrum berbeda dengan tahun 2008. Kali ini yang menjadi sumber masalah adalah utang pemerintah yang begitu besar, boleh jadi memang akibat jor-joran mem-back up lembaga-lembaga keuangan mereka yang harus ditolong dari kebangkrutan massif pada krisis lalu. Dan kini harga mahal harus ditanggung negara. Bahkan saat ini krisis ini semakin sensitive karena rakyat mulai sadar bahwa akibat prilaku utang Negara, maka “kenyamanan” rakyat terganggu akibat budget kesejahteraan untuk mereka (dari pajak-pajak yang juga mereka harus bayar) harus dimakan oleh keperluan bail-out institusi keuangan raksasa yang berada diujung tanduk kebangkrutan.

Tetapi diyakini sekali lagi kondisi ini kemungkinan besar tidak berpengaruh signifikan bagi perekonomian nasional, setidak-tidaknya dalam jangka pendek. Memang kondisinya sangat tidak pasti, dengan lemahnya kondisi keuangan Eropa dan Amerika berikut reputasi (rating) industri yang tidak menunjukkan perbaikan, diprediksikan para pemilik modal akan mengalihkan perhatiannya ke pasar emerging market (termasuk Indonesia di dalamnya). Namun diperkirakan juga, jika kondisi ini berlangsung relative lama, negara-negara Eropa dan Amerika akan mengambil kebijakan yang cenderung “memaksa” para pemodalnya menarik dana-dananya di dunia internasional untuk memperkuat likuiditas domestic mereka. Jika itu terjadi negara emerging market harus memastikan situasi itu tidak mengganggu perekonomian mereka.

Momentum demi momentum sepertinya selalu tergelar untuk Indonesia, tetapi sayang momentum itu tidak termanfaatkan secara maksimal. Momentum tadi tidak dimanfaatkan dengan baik untuk merubah kondisi ekonomi nasional secara signifikan. Atau kalaupun perubahan kearah positif itu mulai terjadi setidak-tidaknya Indonesia tidak mampu mengakselerasi lebih cepat perubahan itu. Padahal lambatnya berubah membutuhkan biaya yang tidak kalah banyak.

Pada sisi yang lain, alih-alih ingin berubah, ternyata dibeberapa urusan, masalah Indonesia menjadi semakin rumit dan runyam. Misalnya dengan atmosfer baru perpolitikan dan perekonomian Indonesia ternyata kita harus berhadapan dengan generasi-generasi baru (muda) koruptor-koruptor Indonesia. Pembangunan terhambat oleh munculnya petualang-petualang politik baru yang mencari makan di dunia politik, padahal dunia itu tersedia untuk para anak bangsa yang ikhlas mewakafkan dirinya untuk melayani rakyat. Semoga Tuhan tidak bosan, secepatnya Beliau memberikan momentum berikutnya, yang dapat menyapu bersih manusia-manusia seperti itu dari Indonesia. Atau setidaknya ada momentum yang mampu mengetuk hati mereka untuk sadar atas kesalahannya, dan kemudian bersemangat membangung negeri ini dan bangsanya.

Dari sisi pandang keinsyafan sebagai hamba Tuhan, tidak dapat dikesampingkan, bahwa momentum-momentum yang tersedia itu, hakikatnya adalah kasih saying Tuhan kepada bangsa ini, kehendak Tuhan agar bangsa ini mendapatkan kebaikan-kebaikan. Jika memang penyikapan Indonesia sebagai komunitas hamba Tuhan baik, boleh jadi secara bangsa kita dikehendaki oleh Tuhan untuk menjadi bangsa yang besar secara ekonomi. Tetapi harapannya besarnya ekonomi Indonesia tidak mengulang kebesaran-kebesaran ekonomi bangsa yang sudah-sudah di zaman modern ini. Tetapi besarnya ekonomi Indonesia memberikan sesuatu yang berbeda. Lebih kurang sesuatu yang berbeda itu adalah bentuk ekonomi yang lebih baik, tidak hanya fisik tetapi juga prilaku dan interaksi manusia di dalamnya. Ekonomi makmur yang ditopang oleh prilaku ekonomi yang luhur dari manusia-manusianya dan keadilan system ekonominya.

Mampukah Indonesia mewujudkan itu? Melihat momentum yang terus datang bertubi-tubi, sebenarnya pertanyaan yang tepat bukan lagi mampu atau tidak mampu, tetapi mau atau tidak mau. Oleh sebab itu, ini seruan kepada saya sendiri dan anda yang telah lama bermimpi wujudnya Indonesia yang makmur di penghujung zaman: jika kita tidak mampu mengajak mereka diluar sana untuk menjadi baik dan memperbaiki negeri ini, kita pastikan diri kitalah yang akan menjadi generasi pembawa dan pewujud kebaikan itu! Bismillah.