Minggu, 31 Oktober 2010

Sesungguhnya Anugerah

Dua bulan terakhir ini merupakan dua bulan yang cukup memberikan pelajaran bagi saya. Dua bulan yang harus dilewati dengan kekuatan stamina dan kematangan emosi. Dua bulan terakhir ini banyak amanah sekaligus ujian yang Tuhan berikan pada saya. Hasilnya? Ada yang terlaksana dan tentu ada pula yang gagal total. Tetapi yang membuat dua bulan ini berbeda dengan bulan-bulan biasa adalah intensitas kegiatan, kerja dan dinamika hidup saya yang sangat tinggi, sampai-sampai waktu untuk berfikir tentang diri sendiri saja dapat dikatakan saya tidak punya.

Entah kenapa Tuhan tumpukkan kegiatan itu pada dua bulan terakhir ini. Pada satu hari dalam 2 bulan terakhir itu, pernah saya melakukan kegiatan marathon seperti safari kampanye orang-orang penting. Saat itu setelah saya mendarat di bandara Cengkareng dari Denpasar selepas kurang lebih 4 hari meeting dengan kolega membahas Stabilitas Sistem Keuangan, saya harus segera menuju kampus UI Depok untuk mengajar mata kuliah Perbankan Syariah, namun terlebih dulu saya mengambil kendaraan yang saya titipkan di kantor. Kurang lebih dua jam saya mengajar disana, tetapi menjelang siang saya harus bergegas ke Bandung untuk mengisi kuliah informal yang sudah dijadwalkan bersama teman-teman alumni FE UNPAD bagi mahasiswa pemerhati Ekonomi – Keuangan Syariah.

Karena kemacetan atau kepadatan kendaraan menuju Bandung dari Depok, alhasil saya baru sampai di Bandung selepas waktu dzuhur, padahal sesi yang disepakati adalah sebelum dzuhur, untunglah para mahasiswa bersabar untuk menunggu, disana pun saya mengajar sekitar 2 jam. Menjelang ashar saya segera bergegas untuk mengejar amanah ketiga, yaitu memberikan training bagi mahasiswa baru STEI SEBI di puncak Bogor. Kesepakatannya saya harus di lokasi training sekitar jam 16.00 WIB, tetapi karena kepadatan kendaraan khususnya ketika saya berusaha keluar Bandung dan perjalanan yang jauh karena harus mengambil rute Padalarang-Cianjur-Puncak, bukan tol Cipularang, saya baru sampai di Puncak-Bogor sekitar pukul 20.00 WIB. Disana saya habiskan waktu kurang lebih sama 2 jam.

Tersenyum saya selepas menjalankan itu, karena sejak pertama saya niatkan dari bandara Cengkareng, dalam hati saya pesimis ketiga amanah itu dapat saya tunaikan, mengingat kondisi fisik dan mental yang sudah terkuras karena 4 hari dinas dan perjalanan yang melelahkan. Teringat saya pada peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan menuju tiga lokasi itu, seperti menabrak truk gandeng di tol cikampek ketika menuju Bandung. Saya mengantuk saat itu, beruntung saya cepat mengendalikan kendaraan setelah tersadar menabrak sudut bak besi belakang truk yang memuat sepeda motor ketika itu. Beberapa kali handphone saya berdering dari mahasiswa untuk sekedar bertanya tentang referensi skripsi, thesis, data, jadwal kuliah atau permohonan konsultasi. Atau beberapa kali pula sampai di handphone saya pesan-pesan berupa sms yang mengingatkan kegiatan di Masjid komplek rumah dimana saya dimanahi mengurusnya, atau sms yang mengingatkan jadwal taklim, program mabit, dan program-program dakwah lainnya.

Menarik nafas dalam-dalam dan kemudian keluar kalimat hamdallah dari lisan saya. Tetapi di benak saya muncul pertanyaan yang menjadi kesibukan saya selanjutnya; apa hikmah yang Tuhan inginkan dari semua kesibukan ini? Saya yakin sekali, ada manusia-manusia mulia diluar sana yang kegiatannya jauh lebih padat dari yang saya miliki. Tetapi kegiatan ini saja sudah menjadi sebuah rangkaian kesibukan yang telah membuat saya menghela nafas panjang. Fikiran itu terus menjadi topik di benak saya meskipun rangkaian kesibukan itu ternyata masih terus berjalan pada hari-hari berikutnya; seperti kerja, mengajar kuliah, dinas, pengajian mahasiswa, meeting dengan NGO dan lain-lain.

Pada beberapa hari setelahnya baru saya nyaman pada satu kesimpulan, bahwa ini semua menjadi salah satu dari sekian banyak bentuk anugerah yang Tuhan berikan. Kesibukan itu bukanlah ingin meletihkan, bukan pula sekedar ujian komitmen dan keistiqomahan. Kesibukan itu menjadi pengawal diri, penjaga hati dan pemelihara jiwa. Karena dengan kesibukan itu ternyata saya tidak memiliki waktu untuk berfikir dan berencana menikmati dunia yang dapat melenakan. Saya tidak memiliki kesempatan mencuri-curi waktu untuk bercengkerama dengan kegiatan yang sia-sia. Teringat saya dengan nasehat seorang Ustadz yang dahulu pernah menegur saya, ketika saya asyik dengan diri saya sendiri; akhi jika antum tidak sibuk dengan urusan akhirat, maka antum akan sibuk dengan urusan dunia yang tak ada habisnya ini.

Duh Allah yang Maha Penyayang, betapa sayang-Mu begitu banyak bentuknya. Seringkali pandanganku terkelabui melihat sayang-sayang-Mu. Atau tidak jarang bahkan aku manipulasi kasih sayang-Mu itu. Duh Rabbi yang Maha Jeli, meskipun kesibukan pada kebaikan sudah memenuhi waktuku, masih saja aku memiliki akal bulus untuk mencuri waktu untuk bermaksiat dihadapan-Mu. Kau sibukkan aku saat siang hari, maka aku bermaksiat malamnya, sebaliknya jika kau sibukkan aku pada malam hari, maka aku bermaksiat pada siangnya. Duh Tuhan yang selalu Memenuhi Janji, aku khianati anugerah-anugerahmu seketika Engkau berikan, dan kini boleh jadi aku semakin lihai mengelabui Engkau dan diriku sendiri. Wallahu a’lam.

Kamis, 28 Oktober 2010

...

Ada banyak senyum yang akan kau ingat tapi tidak sedikit juga air mata yang kau akan rasakan basahnya. Suka cita memang tidak seharusnya akrab dengan duka, tetapi dunia menjadi tempat terpantas bertemunya kedua rasa itu. Banyak hal yang pernah, sedang dan akan terjadi, dan semua itu akan terbelah posisi akhirnya pada dua keadaan tadi; suka dan duka. Terkadang kita harus diam sejenak untuk merenungkan hakikat-hakikat dibalik itu semua. Uniknya respon emosi pada keduanya tak jarang dalam bentuk yang sama, meneteskan air mata.

Rabu, 20 Oktober 2010

Diskusi: Kanibalisme Keuangan Syariah

Assalamualaikum Wr. Wb.

Beberapa waktu yang lalu, secara kebetulan, saya sempat mengikuti perkembangan isu tersebut pada sebuah acara diskusi terbatas, dimana keberadaan Sukuk Negara sedikit banyak telah mengganggu likuiditas bank syariah. Dalam hal ini pemerintah beralasan bahwa private placement Kementerian Agama pada SDHI bertujuan agar adanya jaminan kepastian akan dana haji tersebut sehingga Pemerintah merasa memiliki wewenang. Mereka beralasan jika dana haji ini ditempatkan pada sektor swasta, ada kekhawatiran jika, katakanlah sektor swasta ini mengalami masalah (kemungkinan terburuknya adalah collaps).

Pertanyaan saya, apakah alasan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan ini sudah rasional? Mohon penjelasannya.

Best regards,

Untung Kasirin

Blogger PENGURUS berkata...

wa'alaikumussalam...

syukron atas responnya akhi, sangat membingungkan alasan pemerintah itu, mengingat tujuan dikeluarkannya sebuah instrumen lebih karena pertimbangan kebutuhan si pengeluar instrumen, dalam hal ini pemerintah (kita tahu pemerintah butuh dana untuk menutupi target budget defisit yang telah ditetapkan).

jadi tujuan dikeluarkannya instrumen akan sangat lemah alasannya karena potensi yang melekat pada dana masyarakat, seperti yang alasan pemerintah yang antum ungkapkan itu.

yang jelas kebijakan itu jauh dari pemahaman ekonomi apalagi kepentingan atau keberpihakan pada pengembangan keuangan syariah. kebijakan itu lebih mencerminkan effort pemerintah untuk mengoptimalkan semua alternatif/pilihan kebijakan dalam mendukung kebijakan fiskal berupa budget defisit.

biasanya kebijakan budget defisit (government spending > Tax) dilakukan merespon ekspektasi masa depan ekonomi yang relatif melemah. ingat 2011 semua prediksi (cek consensus economic forecast dan world economic outlook-nya IMF) mengungkapkan akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di semua kawasan (global).

Demikian, kurang lebihnya mohon maaf. wallahu a'lam.

20 Oktober 2010 23.37

Selasa, 19 Oktober 2010

Kanibalisme Keuangan Syariah

Beberapa waktu terakhir ini ada sedikit geger dalam industri perbankan syariah. Sengaja saya menggunakan ungkapan sedikit geger mengingat gemanya yang terbatas pada beberapa bank syariah tertentu. Namun guncangan kecil ini ternyata impact-nya cukup membuat saya gelisah, karena ada logika yang “tak kena” dalam dinamikanya. Geger apa sih?

Beberapa waktu terakhir ini Kementerian Keuangan RI mengeluarkan produk sukuk (Islamic bond) spesifik yaitu sukuk haji, yang ditujukan untuk menyerap atau lebih tepat disebut memanfaatkan dana haji dalam rangka menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan pemerintah. Ternyata dana yang masuk pada portfolio itu adalah dana haji yang ada dalam pengelolaan Kementerian Agama. Kementerian Agama menarik dana haji dari bank-bank, baik bank syariah maupun bank konvensional (bank yang memiliki hak menerima dana haji).

Penggunaan dana haji untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan ekonomi nasional kesannya cukup positif, karena hal ini akan menekan ketergantungan sumber dana pembangunan dari asing dan semakin menekan risiko ekonomi (termasuk politik). Artinya penggunaan dana ini mampu mengoptimalisasi potensi keuangan dalam negeri (domestic) dalam pembiayaan pembangunan perekonomian nasional.

Namun pada aplikasinya, sukuk haji ternyata menarik dana haji yang terkumpul dalam DPK (dana pihak ketiga) bank syariah, dana yang selama ini mampu diserap dan membesarkan DPK bank syariah. Dana haji tersebut sedikit banyak telah pula mampu meningkatkan kapasitas produksi bank syariah. Dana triliunan itu ditarik, baik dari bank syariah maupun bank konvensional, untuk diletakkan dalam portfolio sukuk haji. Bagi bank konvensional yang telah memiliki size asset atau DPK cukup besar penarikan ini relative tidak mengganggu, tetapi dengan size bank syariah yang masih kecil, kebijakan Kementerian Agama ini tentu akan mengganggu irama perkembangan bank-bank syariah.

Sepatutnya kebijakan produk sukuk pemerintah harus dirancang sedemikian rupa, agar mampu menarik dana masyarakat yang selama ini masih berada di luar lingkaran industri keuangan syariah, bukan malah memakan dana yang telah ada di “rumah” yang sama. Apalagi dengan kecenderungan dan fakta yang ada saat ini, dimana sukuk pemerintah masih menggunakan skema ijarah berbasis asset (bukan berbasis projek), artinya sukuk haji masih belum optimal berpengaruh pada sector usaha nasional. Dana yang terkumpul dari sukuk haji, penggunaannya menjadi diskresi pemerintah. Dana tersebut bisa saja digunakan untuk membayar cicilan bunga atau pokok utang luar negeri. Jikapun dana tersebut digunakan untuk membiayai projek-projek pembangunan tanah air, tingkat keamanahan pemerintah masih belum begitu bagus, dimana penggunaan dana pembangunan dipercayai masih sering “bocor” karena korupsi.

Kecenderungan ini pada hakikatnya pernah juga mengemuka ketika sukuk pertama kali diluncurkan. Ketika itu dana pembelian sukuk ternyata sedikit banyak mempengaruhi penurunan dana yang ada pada DPK bank-bank syariah. Padahal sukuk diharapkan semakin melengkapi pasar modal syariah tanah air yang perlahan terus terbangun dalam ruang lingkup system keuangan syariah nasional. Sukuk khususnya sukuk pemerintah sebenarnya telah lama dinanti dalam memperkaya produk keuangan syariah yang telah ada. Tetapi nyatanya sukuk (khususnya sukuk pemerintah dalam rupiah) belum mampu memperbesar size industri keuangan syariah.

Variasi portfolio syariah yang diharapkan mampu meningkatkan pangsa keuangan syariah nasional ternyata menunjukkan respon yang kurang positif. Alih-alih menjangkau atau menarik dana masyarakat diluar existing customer keuangan syariah, malah menarik dana dari portfolio syariah yang lain. Sukuk yang digadang-gadang mampu menarik dana masyarakat dalam industri keuangan syariah tetapi ternyata mengebiri perkembangan DPK bank syariah.

Pada praktek-praktek keuangan syariah lainnya, kondisi sejenis ini sebaiknya dihindarkan. Bagi saya kondisi ini layaknya kanibalisme dalam industri keuangan syariah. Regulasi, kebijakan dan preferensi praktisi sebaiknya mampu men-drive lembaga keuangan syariah tidak melakukan kecenderungan negative seperti fakta diatas. Setiap lembaga keuangan syariah seharusnya focus pada upaya memaksimalkan pemanfaatan dana masyarakat bagi usaha-usaha produktif di sector riil. Karena sesungguhnya lembaga keuangan syariah dengan produk-produknya adalah menjalankan fungsi intermediasi dari surplus spending unit kepada business unit.

Harus dihindarkan transaksi keuangan yang berlebihan antar lembaga keuangan syariah. Karena transaksi itu pada hakikatnya akan menghambat kucuran dana ke sector riil, atau setidaknya memperpanjang labirin saluran dana dari pemilik modal kepada pengusaha di sector riil. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya lembaga asuransi syariah yang meletakkan dana preminya di deposito bank syariah atau portfolio lembaga keuangan syariah yang lain. Begitu juga lembaga-lembaga keuangan syariah yang lain yang cenderung menghidupkan transaksi-transaksi antar lembaga keuangan syariah. Seharusnya dana masyarakat yang terhimpun di portfolio keuangan syariah bermuara pada aktifitas produktif di sector riil, aktifitas yang identik dengan proses produksi barang dan jasa.

Ingat transaksi keuangan syariah yang menghasilkan margin (profit) haruslah diikuti dengan proses penciptaan barang dan jasa. Inilah esensi transaksi keuangan syariah, dan ini pula yang menjadi poin krusial yang membedakan keuangan syariah dengan keuangan konvensional. Wallahu a’lam.

Selasa, 12 Oktober 2010

Haji


Ibadah haji adalah perjalanan kasmaran dari seorang hamba terhadap Tuhannya, inilah pelajaran kuliah subuh yang saya hadiri pada pagi ahad ini. Ustadz Umar Ibrahim mengajarkan sebuah hakikat yang baru bagi saya tentang haji. Ibadah wajib yang urutannya ada pada posisi pamungkas. Seorang yang kasmaran tentu akan menikmati detik demi detik interaksinya dengan kekasih yang dipujanya, terlebih lagi jika kehadiran seorang hamba yang kasmaran itu terjadi atas undangan kekasih yang ia cintai. Oleh karenanya, prosesi demi prosesi, dari thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah akan dinanti-nanti. Setiap prosesi akan direguk nikmatnya, kenikmatan itu diresapi dengan hati-hati, setiap keringat yang menetes, setiap terik yang membakar kulit, setiap hembusan angin pada pagi dan petang, pada setiap tetes-tetes air zam-zam yang diteguk, setiap lari-lari kecil, setiap kecupan dan lambaian tangan pada hajar aswad, setiap hening dan renungan arafah, setiap lemparan kerikil pada jumrah dan pada setiap gerak serta hembusan nafas di tanah haram itu.

Haji menjadi topik yang selalu memenuhi ruang fikir saya beberapa waktu belakangan ini. Mengingat berdasarkan ikhtiar yang saya lakukan, Insya Allah, pada musim haji kali ini saya terjadwal akan berangkat bersama istri ke rumah Allah untuk memenuhi panggilan-Nya. Seringkali pula saya bertanya dalam fikir itu, apakah layak saya dipanggil menghadap oleh Allah, sementara saya masih jauh untuk disebut manusia baik. Untuk pertanyaan ini, saya menyerahkan sepenuhnya alasan pemanggilan ini pada Allah. Karena sepatutnya cukuplah saya bersyukur atas panggilan ini pada kondisi saya saat ini. Saya Cuma berharap Allah ingin menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Beliau masih sayang saya.

Kemarin pagi lepas subuh saya berbincang dengan istri (saya jadi tersadar, waktu yang saya punya untuk berbincang dengan istri hanyalah selepas subuh). Istri saya bertanya doa khusus apa yang saya sudah persiapkan untuk haji. Saya terdiam sebentar mendapat pertanyaan itu dari istri. Sekian detik saya teringat pada renungan saya sekitar satu tahun yang lalu selepas shalat dzuhur, dengan renungan itu saya jawab pertanyaan istri; mau doa panjang umur takut sisa usia penuh dengan dosa dan semakin panjang waktu kemaksiatan, ingin minta rizki khawatir tidak syukur nikmat dengan yang sudah dianugerahkan, mau minta jabatan dan karir takut tidak amanah seperti yang sudah-sudah. Akhirnya saya katakan pada istri, doa special saya hanya permintaan ampun, istighfar sebanyak mungkin. Mudah-mudahan ungkapan ini bukan juga pamer yang ingin menunjukkan bahwa diri saya sudah begitu bersahaja.

Bukankah tidak pernah ada cerita selepas haji orang akan panjang usianya, banyak rizkinya atau menjulang karirnya, yang selalu menjadi cerita adalah setelah haji seorang hamba akan menjadi manusia yang bersih. Jadi harapan saya dan istri pun tidak lebih dari cerita itu, ingin bersih, ingin dikasihani Tuhan dan kemudian diampunkan semua kesalahan dan kekhilafan, baik sengaja maupun tidak, baik dosa yang besar maupun kecil, baik dosa yang telah lewat maupun yang akan datang. Ibadah haji hanya sekali seumur hidup, sehingga saya mau doa ampunan meliputi seluruh usia hidup. Dan Allah kabulkan harapan itu nanti.

Cemas

Kalau saja Tuhan tidak Maha Penyayang dimana kesabaran-Nya memiliki batas, mungkin saya sudah lama tidak ada di dunia ini. Karena pasti Tuhan sudah “menghapuskan” saya dari daftar manusia yang layak hidup akibat keingkaran saya yang bertubi-tubi. Atau mungkin juga sudah lama dunia ini hanya diisi oleh segelintir manusia yang mampu konsisten dengan kebaikan. Dalam bayangan saya mereka itu para Nabi dan pengikutnya yang setia.

Oleh karenanya, sesungguhnya semua kejadian yang berlangsung di dunia ini menjadi seimbang karena kasih sayang Tuhan. Dan kasih sayang-Nya terus bekerja pada semua dzat, pada semua komposisi dan dimensi sebab-akibat. Saya, anda dan kita masih memiliki peluang untuk masuk ke syurga adalah karena kasih-sayang Tuhan.

Mungkin anda bertanya apa yang sedang terjadi pada saya sehingga saya menulis artikel singkat ini dengan tema seperti ini. saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Yang mungkin saya beri tahu, bahwa saya sedang ingin menulis sesuatu dan itu memang terkait dengan suasana hati juga renungan yang saya punya. Anggap saja saya sedang ingin meresapi dan memahami hakikat posisi Tuhan sekaligus mengira-ngira posisi saya ada dimana dihadapan Tuhan.

Tulisan-tulisan seperti ini mungkin juga menggambarkan kegelisahan dan kecemasan siapa saja yang sedang mengungkapkannya. Secara kebetulan sebelum tulisan ini selesai saya dapat pesan dari seorang sahabat yang selalu mengirimkan pesan-pesan kebaikan melalui Yahoo Messenger. Pesannya seperti ini (saya tuliskan apa adanya):

“Orang mukmin bisa merasa cemas karena enam hal, yaitu: (i) cemas (takut kepada Allah), khawatir kalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan iman; (ii) cemas akan malaikat hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan diri pada hari kiamat; (iii) cemas akan syetan, takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan diri; (iv) cemas akan malaikat maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa; (v) cemas akan gemerlap dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat; (vi) cemas akan keluarga, takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla (Utsman bin Affan). Dikutip dari kitab Nasha-ihul ‘ibad, Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Asqalani)”

Kecemasan boleh jadi merupakan sinyal dari kewarasan diri atau peringatan pada diri untuk segera waspada dalam memutuskan langkah-langkah selanjutnya. Karena bisa saja setelah keputusan diambil, tidak akan ada lagi peluang untuk berputar kembali. Karena Allah terlanjur memberikan hukuman atau Tuhan memang sudah menutup hati. Padahal tertutup hati itu merupakan hukuman Tuhan yang terdahsyat bagi manusia, karena ujungnya adalah kehinaan yang bermuara pada siksa abadi yaitu neraka. Astaghfirullah. Betul-betul tulisan ini terkhusus untuk saya. Wallahu a’lam.

Kamis, 07 Oktober 2010

I Trapped in Limbo, So Do Not Trust Me…


Jika saya ditanya saat ini, apa yang paling sulit saya hadapi di dunia ini, maka dengan mudah saya akan jawab, bahwa yang tersulit dalam hidup saya adalah menjaga kesadaran pada Tuhan. Mungkin situasi ini pernah anda hadapi, dan menyusahkan anda (atau mungkin juga tidak sama sekali). Satu waktu kita dapat begitu berkonsentrasi untuk selalu sadar pada kekuasaan Tuhan, dapat begitu menikmati setiap detik prosesi peribadahan atau menahan diri dari kehinaan. Tetapi ada waktu yang lain, dimana kita begitu mabuk dalam kenikmatan yang sejatinya adalah kehinaan, dan sangat terganggu oleh semua bentuk kebaikan, kapanpun dan dimanapun.

Menjaga kesadaran itu setiap saat, setiap keadaan, setiap situasi, pada semua peristiwa dan kejadian yang meliputi kita, menjadi tantangan kehidupan yang paling berat. Untunglah Tuhan sediakan jalan keluar dengan istighfar dan taubat. Beliau tahu hambanya yang bernama manusia ini, begitu lemahnya, penuh khilaf atas semua komitmennya, selalu lupa dengan janji-janjinya, selalu lalai pada semua amanah yang diembannya. Jadi sekali lagi, duhai seluruh manusia, saya sebagai manusia bukanlah manusia kuat, tangguh, apalagi mulia seperti yang mungkin ada di benak anda. Jika ada kebenaran keluar dari lidah saya, kebaikan yang diberikan tangan saya, lihatlah saja itu sebagai sebuah kebaikan yang memang Tuhan sudah tetapkan. Kebenaran dan kebaikan itu jangan dihubung-kaitkan dengan saya, karena percayalah anda akan kecewa jika tahu siapa sebenarnya saya.

siapa aku

mau tahu berapa banyak kebaikanku?
ia laksana telaga yang merasa seperti samudra
mau tahu seperti apa keburukanku?
ia mengira seperti setetes embun padahal seluas alam semesta

bianglala di cakrawala hidupku, tapi tak kulihat warnanya
air telah melepaskan dahagaku, tapi tak kurasa segarnya

mau tahu siapa aku?
aku yang tahu syurga diujung jalan
tapi dengan sadar melangkah mundur ke neraka

13 Oktober 2007, 22:15 WITA, Balikpapan


siapa aku (2)

Ingin kubelah langit dengan kata-kata
kuaduk-aduk bintang dengan kalimat-kalimat sastra
Tidak ada yang kucari kecuali satu saja
Sekedar takdir masa depan yang tak kutahu apa

Aku ini pelamun bukan pujangga
Tapal batas pelamun sejauh batas yang pernah ada
Sementara batas pujangga sepanjang goresan pena pada kata
Sehingga pelamun bukanlah pujangga

Beda pelamun dan pujangga laksana imajinasi dan sastra
Tetapi dunia mereka sama, dunia para perenung dan penyendiri
Aku bukan pujangga karena aku tidak suka mempermainkan kata
Aku hanya pelamun yang mencari kata untuk diri dan sepi

14 Oktober 2007, 12:00 WITA, Balikpapan


siapa aku (3)

Hening di sana sepi di sini
Seluas-luas bumi ingin kucari
Karena dengan hening kunikmati dunia
Oleh sebab sepi kudapatkan bahagia

Aku tidak pernah bermimpi
Semua mimpiku sudah menjadi imajinasi
Aku pun tak memiliki cinta untuk dijadikan obsesi
Karena kutahu bersama takdir selalunya ia pergi

Yang kupahami aku hanya seorang pelamun pencari sepi
Yang selalu mencari inti dari semua peristiwa dan rasa
Senyap-senyap pula kutemukan siapa diriku ini
Manusia yang penuh dengan tipu daya dan dosa

Duhai Tuhan pemilik segala-gala
Inilah aku makhluk kreasi-Mu
Menyelam disamudra dunia mencari makna
Berdiri disini mencari hakikat cinta-Mu

14 Oktober 2007, 16:18 WITA, Balikpapan

Minggu, 03 Oktober 2010

Ketaatan Tanpa Syarat


Pagi ini saya ingin menulis renungan yang muncul saat seorang ustadz memberikan penerangan tentang ibadah haji pada saat sesi manasik haji Ahad kemarin. Beliau menyampaikan bagaimana prosesi-prosesi ibadah haji yang ditetapkan Allah. Jika diamati lebih dalam, seringkali prosesi ibadah haji seperti tahallul, thawaf, sa’i, wukuf ataupun melempar jumrah, tidak memiliki hikmah lebih layaknya pelarangan riba atau kewajiban membayar zakat. Prosesi haji sama dengan kewajiban ibadah utama (mahdhoh) lainnya, seperti shalat dan puasa, hikmahnya tak lebih sebagai simbol ketaatan. Dan memang alasan utama pertama dari setiap ibadah adalah ketaatan.

Jika mengambil contoh selain haji, shalat misalnya, dalam ibadah yang kastanya paling tinggi dalam Islam ini, mungkin kita pernah bertanya-tanya; apa hikmah sujud yang bentuknya seperti yang kita kenal saat ini, dimana kepala dan kaki saja yang harus menyentuh lantai. Kenapa tidak sekujur badan menyentuh lantai, sebagai simbol ketundukan dan penyembahan total? Mengapa ruku’ bentuknya seperti membungkuk, mengapa tidak bersimpuh saja pada dua lutut yang mengesankan penyerahan diri secara tulus? Apa hikmah dibalik itu?

Sejauh ini, saya sangat puas pada alasan bahwa prosesi itu dilakukan tidak memiliki alasan kecuali ketaatan menjalankan apa yang sudah ditetapkan. Tanpa perlu mencari alasan logis sebagai syarat untuk menjalankannya. Mungkin ini wilayah otoriter Tuhan. Terserah Beliau mau disembah dengan cara apa. Bukankah Tuhan sangat berwenang untuk menetapkan itu. Dan kita sebagai hamba, tidak pantas mencari-cari alasan dibelakangnya, bahkan mungkin bertanya saja sudah terkesan tak sopan, apalagi sampai bersikap tak akan menjalankannya tanpa ada alasan yang logis. Tugas kita hanyalah menjalankannya (sami’na wa atho’na).

Ini mungkin yang disebut ketaatan tanpa syarat, penyerahan diri yang melingkupi penyerahan semua yang kita miliki atau penyerahan semua aturan hidup dan penyembahan kepada Tuhan yang Maha Segala. Dengan landasan argumentasi ketaatan pada prosesi ibadah inilah saya pernah menjawab posisi saya terhadap pendapat yang menyarankan pelaksanaan ibadah Qurban (pada Idul Adha) dilakukan dengan cara berbeda mengingat begitu banyaknya kaum dhuafa di Indonesia ini. pendapat ini menyarakan agar pelaksanaan Qurban dilakukan dengan mengumpulkan saja uang untuk membeli hewan Qurban dan kemudian di bagikan kepada mereka yang membutuhkan atau dikelola dengan konsep pengelolaan dana produktif. Coba bayangkan bagaimana efek positifnya secara ekonomi, besar bukan?

Ketika itu saya jawab singkat, kalau saja itu dibenarkan, tentu Nabi adalah orang yang lebih dulu menjalankan ijtihad itu, mengingat kondisi muslim masa Beliau tidak kurang kedhuafaannya. Tetapi nyatanya, ketika waktu Idul Adha tiba, Beliau bersama sahabat-sahabatnya tetap menyembelih hewan Qurban, begitu juga masa sahabat sepeninggal Beliau. Anda pembaca mungkin memiliki argumen sendiri-sendiri, atau bahkan telah menemukan hikmah dibalik ibadah Qurban ini. tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ibadah Qurban inipun merepresentasikan sebuah prosesi penghambaan yang mutlak, ketaatan tanpa syarat. Karena hikmah tertingginya ya ketaatan total itu kepada Tuhan, dengan menjalankannya sesuai aturan Tuhan yang telah ditetapkan.

Sebentar lagi hari besar Idul Adha sampai pada kita semua, semoga Ibadah Qurban yang akan kita tunaikan menjadi representasi ketaatan total kita kepada Allah SWT untuk kesekian kali, yang mampu mengetuk pintu kasih sayang-Nya, sehingga kita manusia yang penuh salah ini selalu ada dalam kebaikan. Dan buat semua yang pada hari-hari besar itu berada di Arafah, semoga betul-betul keberkahan langit tercurah bagi anda, bagi keluarga anda, dan bagi semua yang mengenal anda, karena keberkahan diri anda tentu akan menentramkan semua yang ada disekitar anda. Semoga Allah penuhi bumi ini dengan keberkahan karena semakin banyaknya manusia yang memiliki keberkahan itu. Wallahu a’lam bishawab.

Jumat, 01 Oktober 2010

Sedikit Kesadaran dari Banyak Kesalahan yang Tidak Disadari

Pernah satu kali saya merasa bersalah sekali. Saya memandang seseorang begitu remeh karena saya tahu keburukannya. Pada poin itu secara tak sadar saya menunjukkan sikap bahwa saya manusia yang lebih baik dari dia. Tersadar saya, bahwa pandangan remeh itu sepatutnya ditujukan pada keburukannya bukan pada manusianya. Anda punya renungan yang sama?

Padahal Allah saja tidak pernah meremehkan siapa saja, sejahat dan seburuk apapun hamba-Nya itu. Tetap saja kalimat-kalimat Allah adalah kalimat-kalimat kasih sayang, kalimat-kalimat pengampunan bagi semua hambanya. Oleh karenanya tidak sepatutnya keburukan seseorang membuat kita mensirnakan senyum, menjauhkan keakraban dan menghilangkan tatapan remeh pada siapapun.

Boleh jadi keburukan seseorang sudah terhapus dari buku amalnya karena taubat yang baik, dan berganti dengan amal yang bertumpuk-tumpuk. Sementara buku amal kita vakum lama tak terisi karena kita sibuk memikirkan dan menyikapi keburukan orang lain yang telah dimaafkan Tuhan itu.

Disini saya mengajak siapa saja, untuk tidak menghabiskan energi dengan pikiran keburukan-keburukan orang lain. Lebih baik memikirkan keburukan diri sendiri, atau yang lebih baik memikirkan apa amal shaleh yang dapat kita lakukan pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Kesahajaan bersikap bukan berawal dari prilaku, tetapi dari berfikir. Maaf jika tulisan ini juga sudah menunjukkan sikap saya yang tidak bersahaja, karena merepresentasikan kebijaksanaan yang saya punya.

Sekali lagi tulisan ini hanya menyampaikan sedikit kesadaran diri saya pada banyak kesalahan yang tidak saya sadari, dan mungkin saja berguna bagi anda.