Mengapa ada possibility hubungan negative antara jumlah Office Channeling (OC) dan ROA bank syariah nasional saat ini?
1. Jika korelasi ROA dan OC negative, bermakna ROA semakin menurun seiring dengan penambahan OC. Artinya penambahan (growth) asset lebih tinggi dari penambahan return. Ini berindikasi bahwa OC tidak/relatif tidak mendorong meningkatan return tetapi penambahan asset. Hal ini dapat dimaklumi karena memang perbankan syariah secara umum masih dalam periode ekspansi dengan menggunakan OC. OC lebih bertujuan meningkatkan kapasitas bank syariah (jumlah likuiditas yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan) terutama melalui DPK.
2. Kesimpulan poin pertama didukung oleh realita bahwa OC pertama kali dibuka hanya melayani DPK (Maret 2006), baru sejak Mei 2007 dibuka pelayanan pembiayaan melalui OC. Sehingga OC tentu akan lebih memperlihatkan fungsinya meningkatkan asset (melalui DPK) dibandingkan mendongkrak return (melalui pembiayaan). Disamping itu, berdasarkan kesimpulan kajian Ibu kemungkinan yang terjadi di dilapangan secara umum adalah tingginya respon masyarakat terhadap pelayanan OC pada penggunaan jasa DPK daripada jasa pembiayaan
3. Menggunakan ROA sebagai parameter kesuksesan OC, karena dianggap ROA sebagai representasi tingkat keuntungan bank Syariah, rasanya kurang tepat. Sebab menurut saya pribadi ROA itu merepresentasikan banyak komponen didalamnya yang ditujukan untuk berbagai macam motif/strategi. Terlebih lagi karakteristik bank Syariah yang berbeda dengan bank konvensional yang memang telah lebih dulu mengenal parameter ROA. Lebih baik gunakan ROE (meski komposisi equity di bank Syariah relative kecil). atau mungkin memunculkan parameter baru, misalnya Return on Deposit (rasio tingkat return dengan DPK-nya) mengingat komponen utama/dominan bank Syariah untuk memperoleh return adalah DPK.
Minggu, 31 Agustus 2008
Kamis, 28 Agustus 2008
EKONOMI RAMADHAN
Saat ini kita semua mungkin tengah menunggu detik-detik menuju Ramadhan. Bulan yang untuk yang kesekian kali menjadi harapan kita mampu merubah status kita di hadapan Allah SWT. Bulan yang harapannya mampu menjadi penghapus dosa satu tahun yang lalu dan menjadi bulan penumpuk semangat menghadapi satu tahun kedepan. Semoga Ramadhan kali ini betul-betul menjadi bulan yang kita idamkan, menjadi Ramadhan yang terindah dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya.
Ada yang menarik dari prilaku manusia muslim setiap kali Ramadhan sampai pada mereka. Ada perubahan prilaku ibadah di keseharian Ramadhan. Sebelum Ramadhan mungkin shalat fardhu masih "senin-kamis", memasuki Ramadhan mereka upayakan agar disiplin pada setiap waktu shalat datang, sebelumnya tak pernah menegakkan shalat sunnah, kini sekuat tenaga ia sisihkan waktu untuk itu seuasai dzikir shalat fardhu atau sebelumnya, tadinya tak pernah hadir pada paruh-paruh malam kini ia tak pernah absen mendirikan tahajud hingga fajar, sebelumnya buku atau majalah saja jarang menjadi teman pada waktu luang kini tilawah Qur'an menjadi rutinitas yang setia ia laksanakan. Ya perubahan prilaku ibadah yang signifikan terjadi pada bulan-bulan Ramadhan.
Tapi yang kita mau diskusikan saat ini adalah perberubahan pada prilaku muamalah mereka. Dalam bulan Ramadhan, prilaku infaq-sedekah menjadi akrab pada keseharian manusia Muslim. Bahkan tak jarang sebagian melakukan wakaf pada sebagian hartanya. Kwajiban Zakat menjadi titik perhatian lebih dibandingkan ketika mereka berada di bulan selain Ramadhan. Tak lupa prilaku selektif untuk memilih dan memilah barang-barang atau jasa-jasa yang lebih sesuai dengan syariah terjadi di bulan Ramadhan ini. Membeli dan menggunakan pakaian yang menutupi aurat seakan-akan menjadi fashion wajib pada bulan itu. Tak luput juga para produsen barang dan jasa syariah gencar melakukan promosi pada saat Ramadhan. Ya Ramadhan memiliki prilakunya sendiri.
Apa implikasi dari perubahan itu? Bukankah ringannya tangan orang-orang kaya memberikan sebagian hartanya berupa zakat, infak, sedekah dan wakaf atau sekedar hadiah menjaga silaturahim, akan mendorong semakin banyaknya pelaku ekonomi (khususnya mereka-mereka yang tak berpunya) yang memiliki daya beli, yang kemudian merangsang pelaku industri meningkatkan daya supply untuk merespon peningkatan agregat demand? Maka tercapailah satu keseimbangan baru ekonomi pada volume transaksi (output) yang lebih tinggi dengan relatif tanpa berefek inflasi. bukankah prilaku selektif memilih dan memilah barang dan jasa yang sesuai syariah memaksa pasar relatif hanya menyediakan barang dan jasa yang sesuai dengan syariah, sehingga terkendalalah orang yang ingin mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa maksiat. Sehingga pasar memberikan warna yang unik, yaitu bentuk pasar yang berubah akibat kehendak syariah. ya perubahan ekonomi dan pasarnya berawal dari perubahan paradigma manusia-manusia.
Itulah kedahsyatan perubahan paradigma, cara pandang manusia pada apa yang dia yakini. Bayangkan dengan janji-janji sederhana pada kasih sayang tuhan, keberkahan yang belipat ganda, dan janji diberikan syurga cukup menggugah manusia muslim untuk merubah prilakunya, meskipun hanya ketika Ramadhan. Tetapi itu menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk merubah wajah muamalah, atau lebih konkrit lagi, merubah bangunan ekonomi. Yaitu merubah melalui perubahan permanen pada prilaku manusia.
Kuncinya adalah meyakin kepada seluruh manusia bahwa kita bisa mendapatkan lebih baik dari ekonomi jika paradigma muamalah Ramadhan dapat bertahan hingga Ramadhan berikutnya. Artinya paradigma muamalah Ramadhan menjadi permanen tertanam pada pelaku-pelaku ekonomi sepanjang tahun.
Semoga Ramadhan ini menjadi ramadhan yang terbaik, untuk dunia dan juga akhirat nanti.
Kami sekeluarga mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin atas segala kesalahan yang telah kami lakukan baik sengaja atau tidak, semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan dan kasih-sayang-Nya.
Ciputat, 29 Agustus 2008
Ada yang menarik dari prilaku manusia muslim setiap kali Ramadhan sampai pada mereka. Ada perubahan prilaku ibadah di keseharian Ramadhan. Sebelum Ramadhan mungkin shalat fardhu masih "senin-kamis", memasuki Ramadhan mereka upayakan agar disiplin pada setiap waktu shalat datang, sebelumnya tak pernah menegakkan shalat sunnah, kini sekuat tenaga ia sisihkan waktu untuk itu seuasai dzikir shalat fardhu atau sebelumnya, tadinya tak pernah hadir pada paruh-paruh malam kini ia tak pernah absen mendirikan tahajud hingga fajar, sebelumnya buku atau majalah saja jarang menjadi teman pada waktu luang kini tilawah Qur'an menjadi rutinitas yang setia ia laksanakan. Ya perubahan prilaku ibadah yang signifikan terjadi pada bulan-bulan Ramadhan.
Tapi yang kita mau diskusikan saat ini adalah perberubahan pada prilaku muamalah mereka. Dalam bulan Ramadhan, prilaku infaq-sedekah menjadi akrab pada keseharian manusia Muslim. Bahkan tak jarang sebagian melakukan wakaf pada sebagian hartanya. Kwajiban Zakat menjadi titik perhatian lebih dibandingkan ketika mereka berada di bulan selain Ramadhan. Tak lupa prilaku selektif untuk memilih dan memilah barang-barang atau jasa-jasa yang lebih sesuai dengan syariah terjadi di bulan Ramadhan ini. Membeli dan menggunakan pakaian yang menutupi aurat seakan-akan menjadi fashion wajib pada bulan itu. Tak luput juga para produsen barang dan jasa syariah gencar melakukan promosi pada saat Ramadhan. Ya Ramadhan memiliki prilakunya sendiri.
Apa implikasi dari perubahan itu? Bukankah ringannya tangan orang-orang kaya memberikan sebagian hartanya berupa zakat, infak, sedekah dan wakaf atau sekedar hadiah menjaga silaturahim, akan mendorong semakin banyaknya pelaku ekonomi (khususnya mereka-mereka yang tak berpunya) yang memiliki daya beli, yang kemudian merangsang pelaku industri meningkatkan daya supply untuk merespon peningkatan agregat demand? Maka tercapailah satu keseimbangan baru ekonomi pada volume transaksi (output) yang lebih tinggi dengan relatif tanpa berefek inflasi. bukankah prilaku selektif memilih dan memilah barang dan jasa yang sesuai syariah memaksa pasar relatif hanya menyediakan barang dan jasa yang sesuai dengan syariah, sehingga terkendalalah orang yang ingin mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa maksiat. Sehingga pasar memberikan warna yang unik, yaitu bentuk pasar yang berubah akibat kehendak syariah. ya perubahan ekonomi dan pasarnya berawal dari perubahan paradigma manusia-manusia.
Itulah kedahsyatan perubahan paradigma, cara pandang manusia pada apa yang dia yakini. Bayangkan dengan janji-janji sederhana pada kasih sayang tuhan, keberkahan yang belipat ganda, dan janji diberikan syurga cukup menggugah manusia muslim untuk merubah prilakunya, meskipun hanya ketika Ramadhan. Tetapi itu menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk merubah wajah muamalah, atau lebih konkrit lagi, merubah bangunan ekonomi. Yaitu merubah melalui perubahan permanen pada prilaku manusia.
Kuncinya adalah meyakin kepada seluruh manusia bahwa kita bisa mendapatkan lebih baik dari ekonomi jika paradigma muamalah Ramadhan dapat bertahan hingga Ramadhan berikutnya. Artinya paradigma muamalah Ramadhan menjadi permanen tertanam pada pelaku-pelaku ekonomi sepanjang tahun.
Semoga Ramadhan ini menjadi ramadhan yang terbaik, untuk dunia dan juga akhirat nanti.
Kami sekeluarga mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin atas segala kesalahan yang telah kami lakukan baik sengaja atau tidak, semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan dan kasih-sayang-Nya.
Ciputat, 29 Agustus 2008
Rabu, 27 Agustus 2008
Logika Kebijakan Moneter (1)
Lazimnya kebijakan ekonomi suatu negara diambil berdasarkan keyakinan pada suatu logika sebab akibat pada variable-variabel ekonomi. Keyakinan itu terbangun berdasarkan pemahaman-pemahaman baku seperti apa kelaziman ekonomi berlangsung. Ketika perekonomian dunia menggunakan konsep bunga dan praktek spekulasi, perekonomian dunia terdikotomi menjadi dua sectoral besar; moneter dan riil. Dikotomi ini muncul sebagai hasil dari respon pelaku pasar pada eksistensi bunga dan praktek spekulasi. Dengan adanya bunga uang menjadi suatu komoditi yang memiliki pasarnya sendiri yang akhirnya menjelma menjadi industri. Bahkan ketika praktek spekulasi ikut dalam industri keuangan itu industri tersebut semakin meraksasa, sehingga sangat layak aktifitas terkait dengan uang dikelompokkan menjadi sektor ekonomi tersendiri (sektor moneter) menemani sektor riil yang telah alamiah ada dalam perekonomian.
Realitas dikotomi itu ternyata memiliki konsekwensi-konsekwensi yang jelas akibat interaksi keduanya, baik interaksi pada tingkat kebijakan yang saling mempengaruhi melalui respon pelaku-pelaku ekonomi terhadap kedua jenis kebijakan tersebut, maupun interaksi teknis pada tingkat aplikasi ekonomi. Pada satu kondisi tertentu (entah akibat satu kebijakan ekonomi atau karena fenomena alamiah tertentu) sector moneter mengembang meninggalkan sector riil, dan pada kondisi yang lain yang terjadi adalah sebaliknya. Situasi tersebut dapat saja menimbulkan masalah-masalah ekonomi seperti inflasi, kesenjangan, pengangguran dan lain sebagainya. Menyikapi situasi itulah, suatu otoritas ekonomi melakukan perannya untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah ekonomi tersebut. Peran yang direfleksikan oleh pemilihan atau pemberlakuan kebijakan-kebijakan ekonomi; baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiscal. Tetapi selalunya kebijakan itu diambil bersandar pada realitas bahwa perekonomian terdikotomi pada moneter dan riil, serta konsepsi bunga praktek spekulasi menjadi kelumrahan ekonomi.
Artinya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pastinya berdasarkan pada realitas system/aplikasi ekonomi dan realitas prilaku ekonomi tertentu. Perlu dipahami pula bahwa prilaku ekonomi yang menjadi asumsi adalah prilaku yang konsisten dengan prinsip “maksimalisasi kepuasan dan minimalisasi penderitaan”, dengan ruang lingkup definisi kepuasan dan penderitaan sangat bersifat materialistic. Maksudnya, yang disebut “kepuasan” atau “semakin puas” secara ekonomi adalah jika pelaku ekonomi (individual atau unit usaha) memperoleh materi/harta/uang/segala bentuk sumber daya ekonomi dalam jumlah yang semakin meningkat. Sedangkan penderitaan bermakna sebaliknya.
Logika inilah yang puncaknya tergambar atau menjadi landasan pemilihan kebijakan-kebijakan ekonomi suatu negara. Sehingga menjadi sangat rasional ketika kita lihat segala tindakan otoritas dalam menghindari atau meminimalkan masalah ekonomi, hanya “bermain” dalam ruang lingkup kebijakan, kebijakan yang berpijak pada realitas system/aplikasi ekonomi dan realitas prilaku ekonomi, tanpa pernah masalah ekonomi dirunut hingga mempertanyakan realitas system dan prilaku ekonomi tadi. Atau sedikit mencoba membuktikan kebenaran prinsip materialistic prilaku ekonomi. Karena boleh jadi hakikatnya masalah-masalah ekonomi muncul bukanlah akibat kesalahan pengambilan kebijakan, tetapi memang menjadi konsekwensi dari realitas system dan prilaku ekonomi yang ada. Jadi sebenarnya mengatasi masalah-masalah ekonomi tidak hanya terbatas pada fine tuning pada tingkat kebijakan tetapi juga dapat dilakukan dengan merombak system dan pembangunan nilai-nilai prilaku (moral) ekonomi.
Realitas dikotomi itu ternyata memiliki konsekwensi-konsekwensi yang jelas akibat interaksi keduanya, baik interaksi pada tingkat kebijakan yang saling mempengaruhi melalui respon pelaku-pelaku ekonomi terhadap kedua jenis kebijakan tersebut, maupun interaksi teknis pada tingkat aplikasi ekonomi. Pada satu kondisi tertentu (entah akibat satu kebijakan ekonomi atau karena fenomena alamiah tertentu) sector moneter mengembang meninggalkan sector riil, dan pada kondisi yang lain yang terjadi adalah sebaliknya. Situasi tersebut dapat saja menimbulkan masalah-masalah ekonomi seperti inflasi, kesenjangan, pengangguran dan lain sebagainya. Menyikapi situasi itulah, suatu otoritas ekonomi melakukan perannya untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah ekonomi tersebut. Peran yang direfleksikan oleh pemilihan atau pemberlakuan kebijakan-kebijakan ekonomi; baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiscal. Tetapi selalunya kebijakan itu diambil bersandar pada realitas bahwa perekonomian terdikotomi pada moneter dan riil, serta konsepsi bunga praktek spekulasi menjadi kelumrahan ekonomi.
Artinya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pastinya berdasarkan pada realitas system/aplikasi ekonomi dan realitas prilaku ekonomi tertentu. Perlu dipahami pula bahwa prilaku ekonomi yang menjadi asumsi adalah prilaku yang konsisten dengan prinsip “maksimalisasi kepuasan dan minimalisasi penderitaan”, dengan ruang lingkup definisi kepuasan dan penderitaan sangat bersifat materialistic. Maksudnya, yang disebut “kepuasan” atau “semakin puas” secara ekonomi adalah jika pelaku ekonomi (individual atau unit usaha) memperoleh materi/harta/uang/segala bentuk sumber daya ekonomi dalam jumlah yang semakin meningkat. Sedangkan penderitaan bermakna sebaliknya.
Logika inilah yang puncaknya tergambar atau menjadi landasan pemilihan kebijakan-kebijakan ekonomi suatu negara. Sehingga menjadi sangat rasional ketika kita lihat segala tindakan otoritas dalam menghindari atau meminimalkan masalah ekonomi, hanya “bermain” dalam ruang lingkup kebijakan, kebijakan yang berpijak pada realitas system/aplikasi ekonomi dan realitas prilaku ekonomi, tanpa pernah masalah ekonomi dirunut hingga mempertanyakan realitas system dan prilaku ekonomi tadi. Atau sedikit mencoba membuktikan kebenaran prinsip materialistic prilaku ekonomi. Karena boleh jadi hakikatnya masalah-masalah ekonomi muncul bukanlah akibat kesalahan pengambilan kebijakan, tetapi memang menjadi konsekwensi dari realitas system dan prilaku ekonomi yang ada. Jadi sebenarnya mengatasi masalah-masalah ekonomi tidak hanya terbatas pada fine tuning pada tingkat kebijakan tetapi juga dapat dilakukan dengan merombak system dan pembangunan nilai-nilai prilaku (moral) ekonomi.
Senin, 25 Agustus 2008
Pandangan Ekonomi Islam Terhadap Krisi Ekonomi Global
Guncangan ekonomi dunia berupa krisis pangan dan bahan bakar minyak cukup merepotkan beberapa negara maju, sampai-sampai perekonomian mereka mengalami kontraksi yang cukup signifikan, meskipun beberapa pakar masih memprediksikan sejauh ini krisis itu belum melewati masa kritisnya. Bagaimana ekonomi Islam melihat fenomena tersebut?
Jika kita kembali pada definisi ekonomi Islam dan karakteristik yang semestinya terbangun dalam sebuah mekanisme dan bangunan ekonomi, maka sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah sebuah hasil dari gap antara sektor keuangan dan riil. Ada yang mengatakan bahwa krisis global berupa krisis pangan dan BBM merupakan krisis sektor riil. Betulkah?
Secara sederhana hal ini merupakan akibat perkembangan yang tak terkendali di sektor keuangan secara global. Praktek spekulasi dan terpeliharanya mekanisme interest rate membuat daya gravitasi industri keuangan dunia menjadi semakin besar. Daya tarik inilah yang kemudian membuat para pemilik modal lebih suka meletakkan dananya di sektor tersebut. konsekwensinya industri untuk memproduksi komoditi pangan semakin tidak menarik, terlebih lagi ketika faktor-faktor terkait cenderung tidak mendukung, seperti isu cuaca yang tak bersahabat akibat global warming. Hal ini semakin menguatkan persepsi sektor pangan yang memiliki risiko tinggi untuk tempat berinvestasi. Sementara prilaku spekulasi memanipulasi pergerakan harga BBM, yang bukan lagi ditentukan oleh kekuatan demand - supply tetapi cenderung oleh rumor-rumor yang sengaja di-drive oleh spekulator (yang menunjukkan isu moral juga semakin menunjukkan peran yang signifikan mengacaukan perekonomian).
(bersambung)
Jika kita kembali pada definisi ekonomi Islam dan karakteristik yang semestinya terbangun dalam sebuah mekanisme dan bangunan ekonomi, maka sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah sebuah hasil dari gap antara sektor keuangan dan riil. Ada yang mengatakan bahwa krisis global berupa krisis pangan dan BBM merupakan krisis sektor riil. Betulkah?
Secara sederhana hal ini merupakan akibat perkembangan yang tak terkendali di sektor keuangan secara global. Praktek spekulasi dan terpeliharanya mekanisme interest rate membuat daya gravitasi industri keuangan dunia menjadi semakin besar. Daya tarik inilah yang kemudian membuat para pemilik modal lebih suka meletakkan dananya di sektor tersebut. konsekwensinya industri untuk memproduksi komoditi pangan semakin tidak menarik, terlebih lagi ketika faktor-faktor terkait cenderung tidak mendukung, seperti isu cuaca yang tak bersahabat akibat global warming. Hal ini semakin menguatkan persepsi sektor pangan yang memiliki risiko tinggi untuk tempat berinvestasi. Sementara prilaku spekulasi memanipulasi pergerakan harga BBM, yang bukan lagi ditentukan oleh kekuatan demand - supply tetapi cenderung oleh rumor-rumor yang sengaja di-drive oleh spekulator (yang menunjukkan isu moral juga semakin menunjukkan peran yang signifikan mengacaukan perekonomian).
(bersambung)
Rabu, 20 Agustus 2008
MEMORI OSN VII MAKASSAR
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Ba'da Hamdallah wa shalawat. Buat teman-teman dan saudara-saudara pemerhati ekonomi, keuangan dan perbankan syariah, ada beberapa khabar yang menurut saya unik (jika terlalu berlebihan jika disebut khabar yang menggembirakan dan mengejutkan) ketika saya menjadi juri pada acara Olimpiade Sains Nasional ke-7 di Makassar yang baru lalu. Dan saya ingin berbagi kepada teman-teman dan saudara-saudara sekalian. Ini pengalaman saya yang ketiga menjadi juri pada forum OSN. Sebelumnya pada OSN tahun lalu dan Olimpiade Sains tingkat daerah se-Jawa Timur awal tahun ini.
Amanah menjadi juri ini merupakan hasil kerjasama BI dengan Depdiknas yang sejak OSN ke-5 memasukkan mata pelajaran Ekonomi dalam OSN dan salah satu materi ujinya adalah kebanksentralan dan perbankan syariah. Tugas saya dalam OSN adalah mengusulkan materi yang akan ditanyakan dalam soal essay dan topik-topik yang dapat diajukan untuk pembuatan makalah. Disamping itu, saya juga harus mengkoreksi soal essay dan makalah yang telah jadi serta menilai para peserta ketika mempresentasikan makalah mereka. Untuk topik makalah, terdapat 3 tema besar, yaitu masalah perdagangan di pasar modal, kebangsentralan dan perbankan syariah.
Pengalaman menarik pertama yang saya alami adalah ketika mengkoreksi soal-soal essay tentang perbankan syariah, saya temukan dari 95 peserta yang menjawab soal perbankan syariah lebih dari 50% dari mereka cukup memahami operasional sederhana perbankan syariah, sehingga dengan begitu baik mereka menjelaskan perbedaan bank syariah dengan bank konvensional. Tapi bukan itu yang membuat saya tersenyum. Ternyata dari 5 peserta yang saya berikan nilai sempurna (100 poin), 3 diantaranya adalah non-muslim (dari sekolah nasrani). Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan nilai itu, ketika membaca jawaban mereka yang begitu dalam dan detail, sampai-sampai mampu mengidentifikasi tingkat risiko dan implikasi dari produk bank syariah berdasarkan karakteristik/sifat akad yang digunakan. dan dari identifikasi itulah kemudian mereka menjelaskan perbedaan bank syariah dengan bank konvensional. Amazing! padahal mereka baru SMA! Bahkan ada yang baru kelas II SMA! Bahkan 3 diantara mereka Non-Muslim! Ketika itu mayoritas peserta menjawab dengan jawaban klasik, dimana perbedaannya hanya terletak pada konsep bunga dan bagi hasil.
Pengalaman menarik kedua, ketika saya memeriksa makalah peserta. Memang makalah mereka secara keseluruhan masih begitu sederhana. Saya bisa memakluminya mengingat kapasitas ereka sebagai siswa SMA. Namun yang mengejutkan saya diantara makalah-makalah bertopik perbankan syariah ada yang disusun oleh siswa non-muslim. Saya tidak bisa menahan diri untuk mengagumi makalah itu. Saya berfikir, tentu siswa ini membutuhkan effort yang lebih untuk memahami karakteristik perbankan syariah yang muncul dari keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya. Dan ketika saya baca makalah tersebut, menarik, bahasannya tidak alakadarnya saja. Tak terasa memeriksa makalah mereka saya lakukan hingga jam 2 pagi. Tapi sepanjang perjalanan pulang dengan berjalan kaki dari hotel panitia ke wisma BI saya menerawang, memperkirakan seperti apa aplikasi syariah dan implikasinya 5 atau 10 tahun mendatang, ketika semua orang concern dengan industri ini, ketika syariah tidak hanya menjadi prilaku eksklusif para pemeluk Islam. Tetapi syariah menjelma menjadi industri, ketika syariah menjadi inklusif pada semua manusia. Menarik untuk dinanti.
Pengalaman menarik ketiga, saya dapatkan ketika saya menguji presentasi para peserta. Saya tersenyum ketika siswa yang menulis topik-topik syariah diantaranya yang ditulis oleh siswa non-muslim presentasi di depan saya. Dan ternyata siswa tersebut dengan ringannya menjelaskan makalahnya tentang perbankan syariah, bahkan diselingi dengan senyum. Jelas bahwa pemilihan topik perbankan syariah bukan suatu beban bagi siswa tersebut, betul-betul karena ketertarikan yang genuine. Sampai-sampai seorang juri dari UGM harus menghentikan presentasi siswa tersebut dan menanyakan alasan dibalik pemilihan topik itu oleh siswa tersebut. Siswa itu menjawab dengan antusias mengapa dia memilih topik perbankan syariah, dan jawaban itu menjadi cerita tersendiri yang semakin menambah lebar senyum saya. Great! What a day!
Ya pengalaman dua hari yang begitu membanggakan hati, memupuk semangat untuk terus melakukan sesuatu, sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri, untuk bangsa ini, dan pastinya untuk kebenaran yang kita yakini. Bismillah!
Akhirnya, kepada teman-teman dan saudara-saudara sekalian, "perjuangan" ini harus terus kita lakukan. Seperti syair yang pernah saya dengar dari satu kelompok nasyid "...Bangkitkan semangat! Dan rebut setiap peluang! Jangan sibuk dengan hal yang tidak penting!! Lenyapkan keraguan! Dan yakinlah bahwa Allah pasti membimbing kita untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki!!!"
Wassalam
abi aqsa
Ba'da Hamdallah wa shalawat. Buat teman-teman dan saudara-saudara pemerhati ekonomi, keuangan dan perbankan syariah, ada beberapa khabar yang menurut saya unik (jika terlalu berlebihan jika disebut khabar yang menggembirakan dan mengejutkan) ketika saya menjadi juri pada acara Olimpiade Sains Nasional ke-7 di Makassar yang baru lalu. Dan saya ingin berbagi kepada teman-teman dan saudara-saudara sekalian. Ini pengalaman saya yang ketiga menjadi juri pada forum OSN. Sebelumnya pada OSN tahun lalu dan Olimpiade Sains tingkat daerah se-Jawa Timur awal tahun ini.
Amanah menjadi juri ini merupakan hasil kerjasama BI dengan Depdiknas yang sejak OSN ke-5 memasukkan mata pelajaran Ekonomi dalam OSN dan salah satu materi ujinya adalah kebanksentralan dan perbankan syariah. Tugas saya dalam OSN adalah mengusulkan materi yang akan ditanyakan dalam soal essay dan topik-topik yang dapat diajukan untuk pembuatan makalah. Disamping itu, saya juga harus mengkoreksi soal essay dan makalah yang telah jadi serta menilai para peserta ketika mempresentasikan makalah mereka. Untuk topik makalah, terdapat 3 tema besar, yaitu masalah perdagangan di pasar modal, kebangsentralan dan perbankan syariah.
Pengalaman menarik pertama yang saya alami adalah ketika mengkoreksi soal-soal essay tentang perbankan syariah, saya temukan dari 95 peserta yang menjawab soal perbankan syariah lebih dari 50% dari mereka cukup memahami operasional sederhana perbankan syariah, sehingga dengan begitu baik mereka menjelaskan perbedaan bank syariah dengan bank konvensional. Tapi bukan itu yang membuat saya tersenyum. Ternyata dari 5 peserta yang saya berikan nilai sempurna (100 poin), 3 diantaranya adalah non-muslim (dari sekolah nasrani). Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan nilai itu, ketika membaca jawaban mereka yang begitu dalam dan detail, sampai-sampai mampu mengidentifikasi tingkat risiko dan implikasi dari produk bank syariah berdasarkan karakteristik/sifat akad yang digunakan. dan dari identifikasi itulah kemudian mereka menjelaskan perbedaan bank syariah dengan bank konvensional. Amazing! padahal mereka baru SMA! Bahkan ada yang baru kelas II SMA! Bahkan 3 diantara mereka Non-Muslim! Ketika itu mayoritas peserta menjawab dengan jawaban klasik, dimana perbedaannya hanya terletak pada konsep bunga dan bagi hasil.
Pengalaman menarik kedua, ketika saya memeriksa makalah peserta. Memang makalah mereka secara keseluruhan masih begitu sederhana. Saya bisa memakluminya mengingat kapasitas ereka sebagai siswa SMA. Namun yang mengejutkan saya diantara makalah-makalah bertopik perbankan syariah ada yang disusun oleh siswa non-muslim. Saya tidak bisa menahan diri untuk mengagumi makalah itu. Saya berfikir, tentu siswa ini membutuhkan effort yang lebih untuk memahami karakteristik perbankan syariah yang muncul dari keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya. Dan ketika saya baca makalah tersebut, menarik, bahasannya tidak alakadarnya saja. Tak terasa memeriksa makalah mereka saya lakukan hingga jam 2 pagi. Tapi sepanjang perjalanan pulang dengan berjalan kaki dari hotel panitia ke wisma BI saya menerawang, memperkirakan seperti apa aplikasi syariah dan implikasinya 5 atau 10 tahun mendatang, ketika semua orang concern dengan industri ini, ketika syariah tidak hanya menjadi prilaku eksklusif para pemeluk Islam. Tetapi syariah menjelma menjadi industri, ketika syariah menjadi inklusif pada semua manusia. Menarik untuk dinanti.
Pengalaman menarik ketiga, saya dapatkan ketika saya menguji presentasi para peserta. Saya tersenyum ketika siswa yang menulis topik-topik syariah diantaranya yang ditulis oleh siswa non-muslim presentasi di depan saya. Dan ternyata siswa tersebut dengan ringannya menjelaskan makalahnya tentang perbankan syariah, bahkan diselingi dengan senyum. Jelas bahwa pemilihan topik perbankan syariah bukan suatu beban bagi siswa tersebut, betul-betul karena ketertarikan yang genuine. Sampai-sampai seorang juri dari UGM harus menghentikan presentasi siswa tersebut dan menanyakan alasan dibalik pemilihan topik itu oleh siswa tersebut. Siswa itu menjawab dengan antusias mengapa dia memilih topik perbankan syariah, dan jawaban itu menjadi cerita tersendiri yang semakin menambah lebar senyum saya. Great! What a day!
Ya pengalaman dua hari yang begitu membanggakan hati, memupuk semangat untuk terus melakukan sesuatu, sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri, untuk bangsa ini, dan pastinya untuk kebenaran yang kita yakini. Bismillah!
Akhirnya, kepada teman-teman dan saudara-saudara sekalian, "perjuangan" ini harus terus kita lakukan. Seperti syair yang pernah saya dengar dari satu kelompok nasyid "...Bangkitkan semangat! Dan rebut setiap peluang! Jangan sibuk dengan hal yang tidak penting!! Lenyapkan keraguan! Dan yakinlah bahwa Allah pasti membimbing kita untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki!!!"
Wassalam
abi aqsa
Minggu, 10 Agustus 2008
SERBA - SERBI OSN VII DI MAKASSAR
Serba-Serbi Olimpiade Sains Nasional VII Di Makassar
Apa yang menarik dari Olimpiade Sain Nasional (OSN) ini jika ditinjau dari perkembangan Ekonomi Syariah di tanah air? Satu hal yang menarik adalah ternyata dalam OSN ini sejak penyelenggaraan OSN ke-6 di Surabaya tahun 2007, diujikan juga bidang mata pelajaran Ekonomi yang di dalamnya terdapat soal ujian tentang materi ekonomi/keuangan/perbankan syariah. Inisiatif ini merupakan kerjasama Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan menengah dengan Bank Indonesia. Program ini menjadi hasil dari pemikiran bahwa sangat dirasa penting upaya-upaya penyiapan SDM keuangan/perbankan syariah mengingat industry keuangan/perbankan syariah tanah air berkembang begitu pesat. Oleh sebab itu, dirasa perlu memasukkan pembelajaran teori dan praktek keuangan/perbankan syariah dalam kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA). Dan sebagai momentum untuk membangkitkan kesadaran semua pihak baik guru maupun manajemen sekolah pada tingkat SMA dimasukkanlah materi keuangan/perbankan syariah sebagai salah satu soal yang di ujikan dalam OSN.
Implikasi dari dimasukkannya soal perbankan syariah dalam OSN yang paling nyata adalah semakin aware-nya para guru terhadap pengetahuan atau wawasan terkait teori dan praktek perbankan (termasuk keuangan) syariah. OSN yang kini menjadi benchmark pengajaran mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah-sekolah (selain apa-apa yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN), menempatkan pengetahuan teori dan praktek perbankan syariah pada posisi penting untuk diketahui oleh setiap guru, dalam rangka mendapatkan poin dalam OSN. Kondisi ini tercipta karena OSN mau tidak mau menjadi salah satu barometer keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah khususnya bagi mata pelajaran yang diujikan dalam OSN. Disamping itu, OSN juga menjadi pasar penyeimbang dari gap yang selama ini masih ada antara Sekolah-sekolah, misalnya antara sekolah di jawa dan luar jawa atau sekolah di daerah Indonesia bagian barat dengan sekolah di Indonesia bagian timur.
Ajang OSN yang secara regular dilaksanakan setiap tahun membuat pengetahuan teori dan praktek perbankan syariah terjaga proses pembelajarannya, minimal pada tingkat guru dan pelajar di SMA-SMA. Pembelajaran itu tidak lagi dibatasi oleh orientasi keyakinan agama, karena OSN mewajibkan setiap peserta baik ia muslim ataupun non-muslim harus mampu menjawab soal ujian terkait perbankan syariah. Pembelajaran perbankan syariah pada intensitas tertentu mampu masuk pada sekolah-sekolah non-muslim tanpa ada tendensi apapun kecuali kepentingan ingin unggul di OSN. Ekstremnya, tanpa ada upaya politis apapun, melalui momentum ini, siswa-siswa di sekolah non-muslim yang pastinya dominan non-muslim harus belajar sepenggal syariat yang digariskan oleh Islam. Sebuah prestasi signifikan yang tentu semua penggiat ekonomi syariah terlebih lagi aktifis dakwah sepakat bahwa momentum ini harus dijaga atau bahkan ditingkatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat lebih dari 2 juta guru di Indonesia, dimana di dalamnya terdapat kurang lebih 35 ribu guru ekonomi tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Jika diasumsikan setiap guru memegang rata-rata 3 kelas mata pelajaran ekonomi dengan jumlah masing-masing kelas 40 siswa, maka secara sederhana jumlah orang yang belajar pengetahuan teori dan praktek perbankan syariah dalam satu waktu periode tahun ajaran mencapai 4,2 juta siswa plus 35 ribu guru!
Pada skala agregat, akan didapatkan jumlah masyarakat yang terus bertambah secara dinamik, mereka yang memahami perbankan syariah (bahkan tidak hanya sekedar produk-produknya tetapi juga teori dan prakteknya). Bayangkan, bersandar pada keberadaan OSN, masyarakat well educated pada perbankan syariah yang terus bertambah ini adalah masyarakat pilihan. Mereka merupakan pelajar pilihan yang mewakili provinsinya masing-masing yang akan berlomba memperebutkan posisi terbaik di bidang mata pelajaran ekonomi. Harapannya multiplier effect yang didapatkan oleh industry perbankan syariah baik pada sisi kualitas dan kuantitas SDM maupun pada sisi bertambahnya captive market yang terbentuk pada masa-masa selanjutnya, akan semakin signifikan.
Selanjutnya, kedepan sangat dibutuhkan model-model pembelajaran, kurikulum dan literatur-literatur sebagai sumber pengetahuan keuangan/perbankan syariah. Selain itu juga tentu dibutuhkan forum-forum up-grading bagi para guru sebagai instrument vital dalam mentransfer pengetahuan tersebut. Oleh sebab itu peran yang telah dimainkan oleh pihak-pihak terkait, seperti Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia yang selama ini telah ikut men-support OSN harus tetap dijaga dan ditingkatkan. Atau bahkan mungkin lembaga-lembaga lain yang belum secara aktif dapat turut diajak untuk bersama-sama melancarkan pencapaian sasaran yang lebih baik bagi perekonomian melalui system pendidikan nasional. Wallahu’alam bishawab.
SD-SMP-SMA Katolik Rajawali, Makassar, 10 Agustus 2008
Apa yang menarik dari Olimpiade Sain Nasional (OSN) ini jika ditinjau dari perkembangan Ekonomi Syariah di tanah air? Satu hal yang menarik adalah ternyata dalam OSN ini sejak penyelenggaraan OSN ke-6 di Surabaya tahun 2007, diujikan juga bidang mata pelajaran Ekonomi yang di dalamnya terdapat soal ujian tentang materi ekonomi/keuangan/perbankan syariah. Inisiatif ini merupakan kerjasama Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan menengah dengan Bank Indonesia. Program ini menjadi hasil dari pemikiran bahwa sangat dirasa penting upaya-upaya penyiapan SDM keuangan/perbankan syariah mengingat industry keuangan/perbankan syariah tanah air berkembang begitu pesat. Oleh sebab itu, dirasa perlu memasukkan pembelajaran teori dan praktek keuangan/perbankan syariah dalam kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA). Dan sebagai momentum untuk membangkitkan kesadaran semua pihak baik guru maupun manajemen sekolah pada tingkat SMA dimasukkanlah materi keuangan/perbankan syariah sebagai salah satu soal yang di ujikan dalam OSN.
Implikasi dari dimasukkannya soal perbankan syariah dalam OSN yang paling nyata adalah semakin aware-nya para guru terhadap pengetahuan atau wawasan terkait teori dan praktek perbankan (termasuk keuangan) syariah. OSN yang kini menjadi benchmark pengajaran mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah-sekolah (selain apa-apa yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN), menempatkan pengetahuan teori dan praktek perbankan syariah pada posisi penting untuk diketahui oleh setiap guru, dalam rangka mendapatkan poin dalam OSN. Kondisi ini tercipta karena OSN mau tidak mau menjadi salah satu barometer keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah khususnya bagi mata pelajaran yang diujikan dalam OSN. Disamping itu, OSN juga menjadi pasar penyeimbang dari gap yang selama ini masih ada antara Sekolah-sekolah, misalnya antara sekolah di jawa dan luar jawa atau sekolah di daerah Indonesia bagian barat dengan sekolah di Indonesia bagian timur.
Ajang OSN yang secara regular dilaksanakan setiap tahun membuat pengetahuan teori dan praktek perbankan syariah terjaga proses pembelajarannya, minimal pada tingkat guru dan pelajar di SMA-SMA. Pembelajaran itu tidak lagi dibatasi oleh orientasi keyakinan agama, karena OSN mewajibkan setiap peserta baik ia muslim ataupun non-muslim harus mampu menjawab soal ujian terkait perbankan syariah. Pembelajaran perbankan syariah pada intensitas tertentu mampu masuk pada sekolah-sekolah non-muslim tanpa ada tendensi apapun kecuali kepentingan ingin unggul di OSN. Ekstremnya, tanpa ada upaya politis apapun, melalui momentum ini, siswa-siswa di sekolah non-muslim yang pastinya dominan non-muslim harus belajar sepenggal syariat yang digariskan oleh Islam. Sebuah prestasi signifikan yang tentu semua penggiat ekonomi syariah terlebih lagi aktifis dakwah sepakat bahwa momentum ini harus dijaga atau bahkan ditingkatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat lebih dari 2 juta guru di Indonesia, dimana di dalamnya terdapat kurang lebih 35 ribu guru ekonomi tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Jika diasumsikan setiap guru memegang rata-rata 3 kelas mata pelajaran ekonomi dengan jumlah masing-masing kelas 40 siswa, maka secara sederhana jumlah orang yang belajar pengetahuan teori dan praktek perbankan syariah dalam satu waktu periode tahun ajaran mencapai 4,2 juta siswa plus 35 ribu guru!
Pada skala agregat, akan didapatkan jumlah masyarakat yang terus bertambah secara dinamik, mereka yang memahami perbankan syariah (bahkan tidak hanya sekedar produk-produknya tetapi juga teori dan prakteknya). Bayangkan, bersandar pada keberadaan OSN, masyarakat well educated pada perbankan syariah yang terus bertambah ini adalah masyarakat pilihan. Mereka merupakan pelajar pilihan yang mewakili provinsinya masing-masing yang akan berlomba memperebutkan posisi terbaik di bidang mata pelajaran ekonomi. Harapannya multiplier effect yang didapatkan oleh industry perbankan syariah baik pada sisi kualitas dan kuantitas SDM maupun pada sisi bertambahnya captive market yang terbentuk pada masa-masa selanjutnya, akan semakin signifikan.
Selanjutnya, kedepan sangat dibutuhkan model-model pembelajaran, kurikulum dan literatur-literatur sebagai sumber pengetahuan keuangan/perbankan syariah. Selain itu juga tentu dibutuhkan forum-forum up-grading bagi para guru sebagai instrument vital dalam mentransfer pengetahuan tersebut. Oleh sebab itu peran yang telah dimainkan oleh pihak-pihak terkait, seperti Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia yang selama ini telah ikut men-support OSN harus tetap dijaga dan ditingkatkan. Atau bahkan mungkin lembaga-lembaga lain yang belum secara aktif dapat turut diajak untuk bersama-sama melancarkan pencapaian sasaran yang lebih baik bagi perekonomian melalui system pendidikan nasional. Wallahu’alam bishawab.
SD-SMP-SMA Katolik Rajawali, Makassar, 10 Agustus 2008
ISLAMIC BANK IS TRULY GREEN BANK
Bank syariah yang dibatasi oleh nilai-nilai moral Islam dan hokum syariah dalam operasionalnya, membuat bank Islam relative memenuhi criteria sebagai bank yang ramah lingkungan. Ramah lingkungan bukan hanya berdefinisi bahwa bank syariah akan memelihara kondisi lingkungan alam sekitar, mengingat bank syariah tidak memberikan pembiayaan pada sector atau nasabah yang memproduksi pencemaran, tetapi juga memelihara kondisi sosial (interaksi kemasyarakatan) karena tidak mempraktekkan aplikasi keuangan yang mengandung unsure kezaliman dan eksploitasi (bunga, spekulasi & judi) antara pelakunya. Artinya bank syariah ramah lingkungan bukan hanya bermakna ia memelihara lingkungan dari pencemaran alam melalui pembatasan-pembatasan pada jenis projek-projek usaha yang bias di biayai, tetapi juga menjaga manusianya dari pencemaran moral (prilaku).
Aktifitas ekonomi berupa projek-projek usaha yang diperkenankan dalam Islam pada dasarnya adalah aktifitas yang mengedepankan penghindaran terhadap keburukan (mafsadat atau mudharat) dan konsisten pada pencapaian kemanfaatan bagi manusia dan alam sekitar. Oleh sebab itu, projek-projek usaha yang dibiayai bank syariah tentu secara otomatis harus memenuhi beberapa criteria sebagai berikut:
Tidak memproduksi barang atau jasa yang dilarang diperdagangkan ataupun dikonsumsi oleh manusia; seperti babi, alcohol, narkoba.
Tidak melakukan proses produksi ataupun pemasaran yang dilarang oleh syariat; mendapat modal dari riba, melakukan monopoly dan kecurangan lainnya.
Tidak merusak lingkungan atau merugikan manusia dan alam sekitar; pencemaran limbah beracun, penggundulan hutan, penyeludupan, dan lain sebagainya.
Prinsip yang juga menjadi referensi dari sebuah aktifitas (baik ekonomi maupun non-ekonomi) dalam Islam adalah bahwa setiap aktifitas harus berawal dari niat/motif karena Allah SWT[1], kemudian dilakukan dengan cara-cara atau prosesi tindakan yang telah digariskan oleh Allah SWT[2], dan terakhir bahwa aktifitas tersebut dilakukan dengan tujuan untuk Allah SWT[3].
Pedoman-pedoman tersebut terinspirasi dari ketentuan-ketentuan syariah yang memang telah digariskan dalam Islam. Dengan karakteristik dan panduan seperti yang telah disebutkan di atas, bentuk interaksi dan bangunan ekonomi syariah menjadi cukup khas. Dengan pedoman bahwa barang-barang dan jasa yang tersedia dari projek-projek yang dibiayai oleh perbankan syariah adalah barang dan jasa yang tidak membahayakan bagi manusia secara individu maupun kolektif (masyarakat), maka barang dan jasa dari hasil projek-projek tersebut akan relatif “ramah” lingkungan. Artinya perbankan syariah mendorong penciptaan barang dan jasa yang “ramah” bagi lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan manusia, karena produksi dan transaksi barang tersebut disamping memperhatikan kelestarian lingkungan alam, juga memperhatikan aspek psikologis, kesehatan individu manusia serta keharmonian sosial diantara mereka.
Harapan pada masa yang akan datang sebenarnya bukan hanya sebatas terciptanya perbankan syariah yang mampu menjaga hokum syariat teraplikasikan pada operasi jasa keuangan dan mampu bersaing dengan perbankan tradisional pada aspek prudential banking, tetapi juga mampu menjelma menjadi perbankan syariah yang lebih berkualitas, lebih berakhlak. Seperti apa itu? Perbankan syariah yang lebih berakhlak yaitu perbankan yang tidak sebatas disiplin pada aspek syariah compliance atau konsisten pada orientasi pencapaian dan pemeliharaan tingkat profitabilitasnya, tetapi juga memperhatikan:
Luas ruang lingkup kemanfaatan yang dapat diberikan kepada masyarakat/ummat; bank syariah tidak hanya dirasakan oleh segelintir nasabah tetapi bank syariah tersebut mampu meningkatkan jumlah nasabah yang merasakan kemanfaatannya, termasuk bentuk-bentuk kemanfaatan bank yang semakin bervariatif dan bertambah.
Pembiayaan bank syariah tidak hanya memberikan kemudahan modal usaha bagi nasabah tetapi pembiayaan tersebut mampu memfasilitasi peningkatan keimanan, kesadaran keislaman nasabah dan masyarakat, misalnya pembiayaan pada sector pendidikan, infrastruktur public, atau program-program pembiayaan yang diikuti dengan program ukhuwwah bagi nasabah maupun masyarakat. Selain itu, pembiayaan juga memperhatikan bidang-bidang usaha yang men-support kemandirian ummat seperti sector komoditas pangan.
Pembiayaan lebih dirasakan oleh komunitas masyarakat dimana bank syariah tersebut beroperasi.
[1] Sentralitas referensi atau pedoman bertindak kepada Tuhan atas kegiatan apapun dari manusia dalam kehidupannya menjadi nafas yang cukup khas. Karena memang secara umum baik kegiatan maupun pemikiran manusia di dunia ini diyakini tak lepas dari esensi ibadah.
[2] Pedoman bertindak dalam aktifitas manusia berdasarkan kehendak Allah SWT sudah begitu jelas prinsipnya. Terdapat dua klasifikasi tindakan dari manusia yang memiliki dua prinsip yang berlawanan. Klasifikasi pertama adalah aktifitas ibadah, yaitu aktifitas yang terkait dengan prosesi wajib yang standard atau baku dalam beribadah (menunjukkan rasa/tanda ketundukan/kepatuhan pada Tuhan dan segala kuasa-Nya). Sedangkan yang klasifikasi yang kedua adalah aktifitas muamalah, yaitu aktifitas yang terkait dengan prosesi bergaul dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Pada klasifikasi yang pertama yaitu ibadah, prinsip pelaksanaan yang harus dipatuhi adalah “semua (cara-cara peribadahan) itu hakikatnya terlarang kecuali jika ada dalil (Tuhan) yang membolehkan”, sebaliknya klasifikasi kedua memiliki prinsip “semua (cara-cara pergaulan termasuk ekonomi) itu hakikatnya boleh kecuali jika ada dalil (Tuhan) yang melarang”. Dari dua kaidah atau prinsip tersebut, secara logika disimpulkan bahwa ruang lingkup apa-apa yang boleh dalam ibadah tentu akan lebih sedikit daripada apa-apa yang tidak boleh, maka akan lebih mudah jika manusia hanya mempelajari apa-apa boleh saja. Sementara sebaliknya pada muamalah, ruang lingkup apa-apa yang tidak boleh lebih kecil dari apa-apa yang boleh, sehingga akan lebih mudah mempelajari apa-apa yang tidak boleh saja. Dengan begitu cara-cara yang sesuai kehendak Allah SWT menjadi lebih dapat dipelihara dan terjaga.
[3] Tujuan dari setiap tindakan bermakna memperjelas arah dan maksud dari sebuah tindakan, dan hal ini tentu menjadi alat untuk mengukur efisiensi dan efektifitas tindakan tersebut. Tindakan yang bertujuan kepada Allah berarti bahwa setiap tindakan sepatutnya bermuara pada pengagungan Tuhan, pengakuan pada kekuasaan Tuhan dan upaya penegakan atau pelestarian eksistensi/hukum Tuhan di dunia.
Aktifitas ekonomi berupa projek-projek usaha yang diperkenankan dalam Islam pada dasarnya adalah aktifitas yang mengedepankan penghindaran terhadap keburukan (mafsadat atau mudharat) dan konsisten pada pencapaian kemanfaatan bagi manusia dan alam sekitar. Oleh sebab itu, projek-projek usaha yang dibiayai bank syariah tentu secara otomatis harus memenuhi beberapa criteria sebagai berikut:
Tidak memproduksi barang atau jasa yang dilarang diperdagangkan ataupun dikonsumsi oleh manusia; seperti babi, alcohol, narkoba.
Tidak melakukan proses produksi ataupun pemasaran yang dilarang oleh syariat; mendapat modal dari riba, melakukan monopoly dan kecurangan lainnya.
Tidak merusak lingkungan atau merugikan manusia dan alam sekitar; pencemaran limbah beracun, penggundulan hutan, penyeludupan, dan lain sebagainya.
Prinsip yang juga menjadi referensi dari sebuah aktifitas (baik ekonomi maupun non-ekonomi) dalam Islam adalah bahwa setiap aktifitas harus berawal dari niat/motif karena Allah SWT[1], kemudian dilakukan dengan cara-cara atau prosesi tindakan yang telah digariskan oleh Allah SWT[2], dan terakhir bahwa aktifitas tersebut dilakukan dengan tujuan untuk Allah SWT[3].
Pedoman-pedoman tersebut terinspirasi dari ketentuan-ketentuan syariah yang memang telah digariskan dalam Islam. Dengan karakteristik dan panduan seperti yang telah disebutkan di atas, bentuk interaksi dan bangunan ekonomi syariah menjadi cukup khas. Dengan pedoman bahwa barang-barang dan jasa yang tersedia dari projek-projek yang dibiayai oleh perbankan syariah adalah barang dan jasa yang tidak membahayakan bagi manusia secara individu maupun kolektif (masyarakat), maka barang dan jasa dari hasil projek-projek tersebut akan relatif “ramah” lingkungan. Artinya perbankan syariah mendorong penciptaan barang dan jasa yang “ramah” bagi lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan manusia, karena produksi dan transaksi barang tersebut disamping memperhatikan kelestarian lingkungan alam, juga memperhatikan aspek psikologis, kesehatan individu manusia serta keharmonian sosial diantara mereka.
Harapan pada masa yang akan datang sebenarnya bukan hanya sebatas terciptanya perbankan syariah yang mampu menjaga hokum syariat teraplikasikan pada operasi jasa keuangan dan mampu bersaing dengan perbankan tradisional pada aspek prudential banking, tetapi juga mampu menjelma menjadi perbankan syariah yang lebih berkualitas, lebih berakhlak. Seperti apa itu? Perbankan syariah yang lebih berakhlak yaitu perbankan yang tidak sebatas disiplin pada aspek syariah compliance atau konsisten pada orientasi pencapaian dan pemeliharaan tingkat profitabilitasnya, tetapi juga memperhatikan:
Luas ruang lingkup kemanfaatan yang dapat diberikan kepada masyarakat/ummat; bank syariah tidak hanya dirasakan oleh segelintir nasabah tetapi bank syariah tersebut mampu meningkatkan jumlah nasabah yang merasakan kemanfaatannya, termasuk bentuk-bentuk kemanfaatan bank yang semakin bervariatif dan bertambah.
Pembiayaan bank syariah tidak hanya memberikan kemudahan modal usaha bagi nasabah tetapi pembiayaan tersebut mampu memfasilitasi peningkatan keimanan, kesadaran keislaman nasabah dan masyarakat, misalnya pembiayaan pada sector pendidikan, infrastruktur public, atau program-program pembiayaan yang diikuti dengan program ukhuwwah bagi nasabah maupun masyarakat. Selain itu, pembiayaan juga memperhatikan bidang-bidang usaha yang men-support kemandirian ummat seperti sector komoditas pangan.
Pembiayaan lebih dirasakan oleh komunitas masyarakat dimana bank syariah tersebut beroperasi.
[1] Sentralitas referensi atau pedoman bertindak kepada Tuhan atas kegiatan apapun dari manusia dalam kehidupannya menjadi nafas yang cukup khas. Karena memang secara umum baik kegiatan maupun pemikiran manusia di dunia ini diyakini tak lepas dari esensi ibadah.
[2] Pedoman bertindak dalam aktifitas manusia berdasarkan kehendak Allah SWT sudah begitu jelas prinsipnya. Terdapat dua klasifikasi tindakan dari manusia yang memiliki dua prinsip yang berlawanan. Klasifikasi pertama adalah aktifitas ibadah, yaitu aktifitas yang terkait dengan prosesi wajib yang standard atau baku dalam beribadah (menunjukkan rasa/tanda ketundukan/kepatuhan pada Tuhan dan segala kuasa-Nya). Sedangkan yang klasifikasi yang kedua adalah aktifitas muamalah, yaitu aktifitas yang terkait dengan prosesi bergaul dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Pada klasifikasi yang pertama yaitu ibadah, prinsip pelaksanaan yang harus dipatuhi adalah “semua (cara-cara peribadahan) itu hakikatnya terlarang kecuali jika ada dalil (Tuhan) yang membolehkan”, sebaliknya klasifikasi kedua memiliki prinsip “semua (cara-cara pergaulan termasuk ekonomi) itu hakikatnya boleh kecuali jika ada dalil (Tuhan) yang melarang”. Dari dua kaidah atau prinsip tersebut, secara logika disimpulkan bahwa ruang lingkup apa-apa yang boleh dalam ibadah tentu akan lebih sedikit daripada apa-apa yang tidak boleh, maka akan lebih mudah jika manusia hanya mempelajari apa-apa boleh saja. Sementara sebaliknya pada muamalah, ruang lingkup apa-apa yang tidak boleh lebih kecil dari apa-apa yang boleh, sehingga akan lebih mudah mempelajari apa-apa yang tidak boleh saja. Dengan begitu cara-cara yang sesuai kehendak Allah SWT menjadi lebih dapat dipelihara dan terjaga.
[3] Tujuan dari setiap tindakan bermakna memperjelas arah dan maksud dari sebuah tindakan, dan hal ini tentu menjadi alat untuk mengukur efisiensi dan efektifitas tindakan tersebut. Tindakan yang bertujuan kepada Allah berarti bahwa setiap tindakan sepatutnya bermuara pada pengagungan Tuhan, pengakuan pada kekuasaan Tuhan dan upaya penegakan atau pelestarian eksistensi/hukum Tuhan di dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)