Rabu, 27 Juni 2012
Kematian
Kematian, satu hal yang mungkin banyak dihindari untuk didiskusikan, diingat-ingat atau bahkan direnungkan. Kematian menjadi satu topic yang hanya menarik jika menyangkut sejarah, dongeng suatu ketika atau menyangkut orang yang jauh dari kita. Kematian menjadi sangat tidak menarik ketika ia menjadi peristiwa yang berkaitan dengan orang-orang disekitar kita, mereka yang kita kenal, saudara, bagian keluarga, apalagi diri kita. Tapi siapa saja akan sangat menyetujui, kalau kematian memiliki kekuatan untuk merubah keadaan, membuat perbedaan antara sebelum dan setelahnya, khususnya bagi mereka yang masih hidup.
Kematian menjadi satu kepastian bagi semua mereka yang hidup, dari tumbuhan, hewan hingga manusia. Kematian menjadi siklus akhir yang harus dihadapi oleh semua mereka yang hidup. Bagi manusia kematian bukan hanya sekedar peristiwa dunia terakhir yang harus dihadapi di penghujung cerita hidup mereka, tetapi kematian juga menjadi kejadian tunggal yang memberikan banyak sekali pelajaran dan hikmah bagi mereka yang hidup.
Bagi anda yang memang tidak suka memikirkan kematian, maaf kalau dua paragraph diatas sudah membuat anda berfikir tentang itu. Tapi seperti itulah, uniknya membaca salah satunya adalah memang membuat anda mau tak mau harus melakukan satu kerja lagi (sekaligus), yaitu berfikir. Membaca dan berfikir jadi satu paket yang tidak terpisahkan. Nah ketika anda membaca artikel tentang kematian maka otomatis anda akan berfikir tentang kematian siapa saja dan kematian diri anda nanti.
Coba diingat-ingat, kematian siapa yang sangat mempengaruhi anda. Mungkin saja bukan hanya sekali tetapi sudah beberapa kali. Karena peristiwa kematian itu, entah siapa, hidup anda menjadi berbeda, pandangan hidup anda menjadi berubah. Dunia anda terasa lain dan menjadi tidak sama dengan sebelumnya. Atau boleh jadi belum ada, karena semua yang anda kenal, anda sayangi masih hidup dan kematian masih menjadi berita-berita dari drama didepan mata tapi tidak berada di dunia anda.
Namun tidak ada salahnya sedikit berimaginasi cerita soneta hidup anda, bagaimana jika tiba-tiba orang yang paling dekat dengan hidup mati, pagi ini orang tua anda meninggal karena stroke, siang nanti anak tewas karena kecelakaan di sekolah, sore nanti istri atau suami anda mati karena tabrakan kendaraan. Mereka meninggal dan kemudian tidak lagi ada dalam sisa hidup anda. Pertanyaan yang mungkin paling menggoda untuk diketahui jawabannya adalah apakah setelah itu anda akan berjalan dengan langkah yang ayunan kakinya sama, arahnya tidak berubah? Atau kematian mereka membuat anda terduduk dan kemudian bangkit melangkah ke arah yang berbeda dengan ayunan kaki lebih cepat?
Atau mungkin sebaiknya anda sedikit masuk dalam lingkaran lamunan yang lebih dalam, melamunkan andalah yang mati. Melamunkan bagaimana dan seperti apa proses kematian anda, menerka-nerka peristiwa terakhir hidup anda. Jika sudah bisa di khayalkan, kini pertanyaannya; apakah lamunan-lamunan itu bisa sering beredar di benak dan rasa, sehingga kematian mampu mendesak perbaikan anda saat ini, saat ketika kematian dan tanda-tandanya belum sampai pada keseharian anda. Ya kemampuan untuk dapat menghadirkan atmosfer kematian itulah mungkin titik penting untuk diperhatikan. Karena jika tidak bisa, maka tulisan ini boleh jadi kemanfaatannya hanya berusia sampai noktah “titik” setelah kalimat akhir ini ditulis.
Kita Ini Pekerja Dakwah Bukan Penikmat Dakwah
Judul diatas itu ingin langsung menyampaikan apa tujuan tulisan kali ini. Judul itu ingin menjawab kegelisahan banyak aktifis dakwah yang muncul dalam kerja-kerja mereka. Entah gelisah itu muncul karena begitu lamanya kerja dakwah yang dilakukan atau karena belum tercapainya harapan-harapan dakwah. Bagi saya ini penting dan inilah logika saya dalam mencerna dan mencari akar masalah mengapa banyak sekali kekecewaan terhadap aplikasi Islam khususnya ekonomi.
Kegelisahan itulah yang mendorong para pekerja dakwah menetapkan ukuran-ukuran pragmatis atas kerja-kerja dakwah. Dan ketika ukuran pragmatis itu muncul dari ketidaksabaran, keterburu-buruan dan kegelisahan lainnya, maka ukuran itu malah membuat kerja dakwah kehilangan substansi fungsinya. Dengan ukuran-ukuran pragmatis itu orientasi pekerja dakwah relative berubah; dari orientasi proses kerja menjadi orientasi hasil kerja, dari orientasi pekerja menjadi orientasi penikmat dan dari orientasi pencapaian sistematik menjadi orientasi pencapaian instan.
Dengan strategi yang optimal, konsistensi kerja harusnya ada pada proses kerja berdasarkan prinsip dan substansi Islam bukan pada konsistensi pencapaian hasil tertentu. Untuk kesekian kali, ingin saya tegaskan kepada para pekerja dakwah, bahwa hasil kerja itu hak Tuhan. Yang dituntut dari pendakwah hanyalah proses kerja yang maksimal, berhasil atau tidak itu hak tuhan.
Memang sudah menjadi hukum Tuhan kalau kerja yang keras memiliki korelasi kuat dengan hasil yang diharapkan. Tetapi akan menjadi tidak benar jika orientasi langsung melompat pada hasil kerja dengan mengabaikan proses kerja yang benar. Orientasi hasil kerja bahkan akhirnya mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran dalam proses kerjanya. Apa saja dilakukan yang penting hasil kerja memberikan apa yang diharapkan.
Sepatutnya yang dilakukan adalah orientasi pada proses kerja, dengan menggunakan tingkat inovasi yang maksimal, strategi yang tepat, dan mengerahkan semua kemampuan. Hasilnya bagaimana? Dengan orientasi ini hasil kerja diserahkan menjadi domain Tuhan, kita mungkin tidak perlu care dengan hasil itu, kita serahkan saja kepada Tuhan. Sepanjang proses kerja sudah dilakukan dengan maksimal kita sudah memenuhi prinsip umum Tuhan, bahwa kerja maksimal menjadi prasyarat memperoleh hasil kerja yang baik.
Tetapi dengan menyerahkan sepenuhnya hasil kerja kepada Tuhan, kita membuka diri untuk semua bentuk hasil terutama hasil yang mungkin tidak diharapkan. Namun, jika memang kita yakini hasil itu dari Tuhan, boleh jadi hasil yang tidak baik itu adalah yang terbaik bagi dakwah. Jadi hasil apapun dari kerja dakwah, berhasil atau tidak, itu semua adalah anugerah terbaik dari Tuhan. Nah, kalau seperti ini logikanya kenapa harus gelisah dengan hasil, kenapa harus menghabiskan energy lebih banyak akibat hasil yang tidak memuaskan. Kenapa tidak konsentrasi saja pada proses, dan jika gelisah atau kecewa, gelisah dan kecewalah jika kita tidak maksimal dalam berproses. Gelisah dan kecewa tidak ada hubungannya dengan hasil.
Diluar itu semua, orientasi ini pada akhirnya akan menjaga kesadaran bahwa tujuan utama kerja dakwah terletak pada proses-proses kerja dakwah itu sendiri, bukan pada hasil kerja. Pekerja dakwah sampai pada kepuasannya cukup jika ia sudah melakukan kerja dakwah dengan maksimal. Kepuasan bukan pada hasil kerja dan saat-saat menikmatinya. Inilah yang saya maksud dengan judul di atas, kita ini pekerja dakwah bukan penikmat dakwah.
Kegelisahan itulah yang mendorong para pekerja dakwah menetapkan ukuran-ukuran pragmatis atas kerja-kerja dakwah. Dan ketika ukuran pragmatis itu muncul dari ketidaksabaran, keterburu-buruan dan kegelisahan lainnya, maka ukuran itu malah membuat kerja dakwah kehilangan substansi fungsinya. Dengan ukuran-ukuran pragmatis itu orientasi pekerja dakwah relative berubah; dari orientasi proses kerja menjadi orientasi hasil kerja, dari orientasi pekerja menjadi orientasi penikmat dan dari orientasi pencapaian sistematik menjadi orientasi pencapaian instan.
Dengan strategi yang optimal, konsistensi kerja harusnya ada pada proses kerja berdasarkan prinsip dan substansi Islam bukan pada konsistensi pencapaian hasil tertentu. Untuk kesekian kali, ingin saya tegaskan kepada para pekerja dakwah, bahwa hasil kerja itu hak Tuhan. Yang dituntut dari pendakwah hanyalah proses kerja yang maksimal, berhasil atau tidak itu hak tuhan.
Memang sudah menjadi hukum Tuhan kalau kerja yang keras memiliki korelasi kuat dengan hasil yang diharapkan. Tetapi akan menjadi tidak benar jika orientasi langsung melompat pada hasil kerja dengan mengabaikan proses kerja yang benar. Orientasi hasil kerja bahkan akhirnya mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran dalam proses kerjanya. Apa saja dilakukan yang penting hasil kerja memberikan apa yang diharapkan.
Sepatutnya yang dilakukan adalah orientasi pada proses kerja, dengan menggunakan tingkat inovasi yang maksimal, strategi yang tepat, dan mengerahkan semua kemampuan. Hasilnya bagaimana? Dengan orientasi ini hasil kerja diserahkan menjadi domain Tuhan, kita mungkin tidak perlu care dengan hasil itu, kita serahkan saja kepada Tuhan. Sepanjang proses kerja sudah dilakukan dengan maksimal kita sudah memenuhi prinsip umum Tuhan, bahwa kerja maksimal menjadi prasyarat memperoleh hasil kerja yang baik.
Tetapi dengan menyerahkan sepenuhnya hasil kerja kepada Tuhan, kita membuka diri untuk semua bentuk hasil terutama hasil yang mungkin tidak diharapkan. Namun, jika memang kita yakini hasil itu dari Tuhan, boleh jadi hasil yang tidak baik itu adalah yang terbaik bagi dakwah. Jadi hasil apapun dari kerja dakwah, berhasil atau tidak, itu semua adalah anugerah terbaik dari Tuhan. Nah, kalau seperti ini logikanya kenapa harus gelisah dengan hasil, kenapa harus menghabiskan energy lebih banyak akibat hasil yang tidak memuaskan. Kenapa tidak konsentrasi saja pada proses, dan jika gelisah atau kecewa, gelisah dan kecewalah jika kita tidak maksimal dalam berproses. Gelisah dan kecewa tidak ada hubungannya dengan hasil.
Diluar itu semua, orientasi ini pada akhirnya akan menjaga kesadaran bahwa tujuan utama kerja dakwah terletak pada proses-proses kerja dakwah itu sendiri, bukan pada hasil kerja. Pekerja dakwah sampai pada kepuasannya cukup jika ia sudah melakukan kerja dakwah dengan maksimal. Kepuasan bukan pada hasil kerja dan saat-saat menikmatinya. Inilah yang saya maksud dengan judul di atas, kita ini pekerja dakwah bukan penikmat dakwah.
Rabu, 13 Juni 2012
saya sedang tidak ingin menulis atau menyampaikan apa-apa, saya hanya ingin membaca apa saja dan menerima nasehat dari siapa saja. termasuk dari diri saya sendiri. dan saya sedang membaca nasehat dari diri saya tiga tahun yang lalu, yang pernah menulis nasehat dibawah ini.
Diam Sejenak
Ikhwatifillah, melihat kemarau yang berkepanjangan dalam kehidupan manusia, dimana perbuatan baik dan ketauladanan semakin hari semakin kering dan hampir-hampir tidak ada, seharus membuat kita berhenti sejenak dari kesibukan kita saat ini. Letakan pena, tutup laptop, kantongkan blackberry, matikan komputer, sisihkan perkakas anda dan diamlah.
Mari renungkan, sudah berapa lama wajah tak tersentuh air wudhu, berapa lama dahi tak menyentuh ujung sajadah, berapa lama buku-buku tarbiyah teronggok berdebu di sudut ruang, berapa lama kaki tak melangkah ke majelis-majelis ilmu dan hikmah, berapa lama bibir tidak khusyuk berdzikir dan berapa lama dakwah sudah kita tidak serius tekuni.
Ikhwatifillah, manusia disekitar kita butuh hujan amal shaleh dan ketauladanannya. Sudah lama rasanya keshalehan tidak menjadi denyut peradaban. Ia butuh dihidupkan. Dan kita, putra-putra Islam yang tersisa di akhir zaman ini, yang paling berhak sekaligus wajib menunaikan tugas kehidupan, tugas mulia yang telah menjadi garis sejarah, yaitu menjadi penyeru dan pejuang.
Mari ingatkan diri untuk sadar pada amanah, untuk kembali merapat pada barisan, untuk kembali melakukan perbaikan dan penyelamatan. Banyak amanah yang sudah menunggu, menunggu putra-putra Islam akhir zaman, yang bisa menghantarkan manusia dan seluruh dzat alam semesta pada fitrahnya yang sejati, yaitu menghamba dengan sepenuh kehambaan pada Tuhan.
Diam sejenak (2)
Ketika kita letih dengan semua dosa, apa yang paling ingin kita lakukan? Atau ketika kita letih dengan semua kerja amal shaleh, apa yang paling ingin kita lakukan? Penat dengan dosa karena apa? Karena sadar, menyesal atau hanya sekedar letih saja? Atau penat dengan amal shaleh karena monoton, tidak nikmat atau sekedar bosan? Apapun itu, sebaiknya yang kemudian anda lakukan adalah diam sejenak. Dengan diam, kumpulkan tenaga melalui mencermati alam semesta, mencari hikmah dari embun dan hujan, dari pesona keindahan alam dan dahsyatnya bencana-bencana, dari disiplinnya benda-benda langit serta tertatanya penghuni-penghuni bumi. Himpun kebijaksanaan dengan memahami manusia di hidup dan kematiannya, merenungi kemuliaan dan kehinaan mereka. Jika belum anda dapatkan tenaga dan kebijaksanaan itu, tetaplah diam setidaknya anda tidak menambah dosa. Wallahu a’lam.
Diam Sejenak
Ikhwatifillah, melihat kemarau yang berkepanjangan dalam kehidupan manusia, dimana perbuatan baik dan ketauladanan semakin hari semakin kering dan hampir-hampir tidak ada, seharus membuat kita berhenti sejenak dari kesibukan kita saat ini. Letakan pena, tutup laptop, kantongkan blackberry, matikan komputer, sisihkan perkakas anda dan diamlah.
Mari renungkan, sudah berapa lama wajah tak tersentuh air wudhu, berapa lama dahi tak menyentuh ujung sajadah, berapa lama buku-buku tarbiyah teronggok berdebu di sudut ruang, berapa lama kaki tak melangkah ke majelis-majelis ilmu dan hikmah, berapa lama bibir tidak khusyuk berdzikir dan berapa lama dakwah sudah kita tidak serius tekuni.
Ikhwatifillah, manusia disekitar kita butuh hujan amal shaleh dan ketauladanannya. Sudah lama rasanya keshalehan tidak menjadi denyut peradaban. Ia butuh dihidupkan. Dan kita, putra-putra Islam yang tersisa di akhir zaman ini, yang paling berhak sekaligus wajib menunaikan tugas kehidupan, tugas mulia yang telah menjadi garis sejarah, yaitu menjadi penyeru dan pejuang.
Mari ingatkan diri untuk sadar pada amanah, untuk kembali merapat pada barisan, untuk kembali melakukan perbaikan dan penyelamatan. Banyak amanah yang sudah menunggu, menunggu putra-putra Islam akhir zaman, yang bisa menghantarkan manusia dan seluruh dzat alam semesta pada fitrahnya yang sejati, yaitu menghamba dengan sepenuh kehambaan pada Tuhan.
Diam sejenak (2)
Ketika kita letih dengan semua dosa, apa yang paling ingin kita lakukan? Atau ketika kita letih dengan semua kerja amal shaleh, apa yang paling ingin kita lakukan? Penat dengan dosa karena apa? Karena sadar, menyesal atau hanya sekedar letih saja? Atau penat dengan amal shaleh karena monoton, tidak nikmat atau sekedar bosan? Apapun itu, sebaiknya yang kemudian anda lakukan adalah diam sejenak. Dengan diam, kumpulkan tenaga melalui mencermati alam semesta, mencari hikmah dari embun dan hujan, dari pesona keindahan alam dan dahsyatnya bencana-bencana, dari disiplinnya benda-benda langit serta tertatanya penghuni-penghuni bumi. Himpun kebijaksanaan dengan memahami manusia di hidup dan kematiannya, merenungi kemuliaan dan kehinaan mereka. Jika belum anda dapatkan tenaga dan kebijaksanaan itu, tetaplah diam setidaknya anda tidak menambah dosa. Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)