Minggu, 23 November 2008

Global Financial Crisis: Psikologi Bangsa Amerika

Melihat perkembangan krisis keuangan Amerika Serikat yang tidak membaik, membuat saya tertarik untuk menulis perubahan psikologis Amerika sebagai bangsa. Kehancuran industry keuangan yang mulai meluas dan mendalam kekacauannya menjadi krisis ekonomi tentu mempengaruhi kredibilitas profesionalisme pekerja Amerika di kancah internasional. Cerita tentang profesionalisme, kompetensi, keahlian dan integritas bangsa Amerika tentu jatuh dan saat ini mungkin menuju pada tingkat reputasinya yang terendah.

Kondisi ini jadi mengingatkan saya pada kritik Joseph E. Stiglitz yang pernah mengatakan bahwa professional Amerika diuntungkan oleh reputasi Amerika sebagai Negara dalam menilai kemampuan profesionalisme mereka, baik reputasi yang berasal dari politik, ekonomi maupun sosial budaya. Stiglitz secara pedas mengatakan dengan reputasi itu professional Amerika menerima keuntungan pada apapun keadaan perusahaan yang mereka tangani. Jika perusahaan berjalan dengan baik, maka akan ada justifikasi bagi mereka untuk mendapatkan bonus special atas alasan kinerja perusahaan yang stabil, namun kalaupun perusahaan tidak berjalan baik, tetap saja ada justifikasi bagi mereka untuk mendapatkan bonus special, denan alas an bahwa karena merekalah perusahaan tidak terpuruk lebih dalam.

Tidak berapa lama lalu kita saksikan arogansi Amerika dalam kampanye “war on terror” mereka, yang memojokkan hampir semua negara di dunia dengan kalimatnya yang terkenal: “anda bersama kami atau anda bersama teroris.” Kini kita lihat di forum apapun, posisi Amerika berubah menjadi negara yang terpaksa tahu diri dengan kondisi yang ada. Kini Amerika begitu lemah (kalau tidak mau dikatakan hina), bahkan terkesan menghiba kepada the rest of the world, meminta keterlibatan semua negara di dunia untuk ikut menyelesaikan krisis keuangan global yang notabene akibat ketidakbecusan mereka mengelola ekonomi.

Di pertemuan G-20 summit di Washington - US, pertemuan Apec di Lima - Peru, dan forum-forum lainnya, pada hakikatnya merupakan forum-forum downgrading status keadidayaan Amerika. Karena di forum itulah semakin terlihat ketidakmampuan Amerika untuk berbicara lebih lantang khusus dalam bidang ekonomi. Penurunan reputasi dan ketidakprofesionalitasan ekonomi akan berimbas pada sector-sektor terkait seperti sector pendidikan. Ketidakbecusan ekonomi diperkirakan akan membuat reputasi sekolah atau universitas-universitas Amerika akan semakin memburuk, dan boleh jadi akan menurunkan minat pelajar internasional untuk menimba ilmu disana. Dan ini dapat saja merembet pada minat studi politik, hokum dan disiplin ilmu lainnya.

Khusus untuk George W. Bush, di penhujung karirnya, kondisi ini menjadi situasi yang sempurna mempermalukan dirinya. Hingga akhir tahun 2008 ia menanggung hari-hari yang memalukan bagi dirinya dan bagi bangsa Amerika. Administrasi yang buruk di dalam negeri, penanganan bencana, banjir, badai, kebakaran hutan menjadi ukuran untuk itu. Politik luar negeri yang represif semakin membangkitkan kebencian dan dendam, bukan hanya pada Negara musuhnya tetapi juga membuat apatis para sekutu Amerika. Mungkin ia menjadi presiden yang berhasil membenamkan reputasi Amerika, ia menjadi sejarah hitam bagi bangsanya. Mungkin pula ia tidak menyangka reputasinya dipenghujung karirnya buruk seperti ini. Beginilah harga sebuah arogansi dari pemimpin sebuah bangsa, yang malu bukan hanya dirinya tetapi juga bangsa yang dia pimpin.

Kondisi ini, tentu akan juga sangat mempengaruhi industry film Amerika, yang selama ini menjadi alat propaganda dalam meningkatkan image mereka di dunia. Dengan industry filmnya, Amerika berhasil membentuk persepsi dunia bahwa mereka adalah bangsa yang unggul dan tangguh. Kini dan kedepan nanti, boleh jadi tema-tema film Hollywood akan berganti menjadi tema yang lebih realistic dalam menampilkan negaranya. Kritikan melalui film ini sudah mulai muncul melalui tema-tema film yang berlatar belakang perang timur-tengah dan satir politik negeri Paman Sam.

Sementara itu image negative pun mulai disematkan kepada warga Amerika dimanapun mereka berada di seluruh sudut dunia, baik ia sebagai pekerja, diplomat maupun sekedar menjadi turis. Tak jarang mereka juga tidak sungkan-sungkan mempermalukan negaranya di depan bangsa lain terkait dengan arogansi Negara mereka yang ditunjukkan oleh pemimpin-pemimpinnya. Di dalam negeri, fenomena ketimpangan, prilaku amoral, kriminalitas dan diskriminasi rasial semakin nyata dan ditonton dunia. Pemandangan yang kontradiktif atau mungkin paradox dengan gembar-gembor diplomasi mereka. Akhirnya Amerika sekedar menjadi Negara yang menarik untuk di saksikan tetapi tidak untuk diikuti, dicontoh atau bahkan direplikasi.

Tidak ada komentar: