
Saya masih ingin bicara tentang penjahat ilmu. Jika teroris merugikan karena alasan selalu menimbulkan korban jiwa, maka penjahat ilmu (khususnya ekonomi) mungkin diklasifikasikan sama, karena mereka juga menimbulkan korban. Bahkan korban dari penjahat ilmu bukan hanya 1 atau 2 manusia yang tewas, tetapi sangat masif akibatnya; dari kemiskinan, kelaparan, gelandangan, kriminalitas sampai dengan kerusuhan sosial. Kemiskinan tidak dapat disebut kemiskikan jika hanya 1 atau 2 yang miskin, begitu juga kelaparan, gelandangan, kriminalitas apalagi kerusuhan sosial.
Bayangkan jika ilmu ekonomi yang dihasilkan para intelektual diformulasikan hanya untuk segelintir orang-orang kaya. Ilmu yang tidak mempertimbangkan kebaikan dan kebenaran sistem, yang tidak memelihara prinsip-prinsip keadilan pada mekanismenya, yang tidak menjadikan hasil pencapaiannya sebagai cermin untuk pengembangan selanjutnya, maka pada dasarnya akan mengancam kelangsungan sistem itu sendiri. Dan ketika kebijakan-kebijakan ekonomi diambil dengan menggunakan formulasi ilmu seperti ini, terbayang berapa lagi angka kemiskinan dan kerusakan ekonomi lainnya akan bertambah dari kebijakan tersebut.
Pengguna ilmu harusnya peduli dengan hal-hal seperti ini. pengguna tidak boleh seenaknya menggunakan ilmu tanpa melihat dan mempertimbangkan hasil-hasil yang berasal dari aplikasi ilmu tadi. Pengguna ilmu khususnya regulator ekonomi harus sensitif dengan implikasi penggunaan ilmu pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil mereka. Ketika regulator meningkatkan suku bunga atau mengenakan pajak (baik tinggi maupun rendah) atau menambah utang luar negeri, lebih baik regulator menimbang-nimbang berapa banyak rakyat yang akan semakin miskin, berapa dari mereka yang semakin frustrasi dengan kondisi itu, daripada mempertimbangkan berapa banyak pengusaha kaya akan semakin kaya atau berapa banyak pungli yang akan semakin dinikmati birokrat-birokrat mereka.
Seringkali saya berfikir, faktor apa yang menyebabkan intelektual modern “keukeuh” dengan keyakinan ilmu konvensional, misalnya di disiplin ilmu ekonomi, yakin dengan konsep bunga dan spekulasi serta basis pelaku homo-economicus-nya, meski berkali-kali, bukan hanya sekali-dua kali tetapi ratusan kali ekonomi dirusak oleh krisis-krisis akibat ketimpangan ekonomi dan freud disebabkan oleh systemic driven karena faktor – faktor tadi (interest-speculative base economy dan greedy). Perbaikan ekonomi yang dilakukan menyikapi krisis tadi kesannya hanya riasan saja, kebijakan mengatasi krisis tidak menyentuh akar masalah. Alih-alih menghindari krisis, ilmu ekonomi malah memasukkan krisis dalam kewajaran teori. Kesalahan ilmu berupa krisis dikamuflasekan dalam teori business cycle.

Sayangnya, ketika ilmu ekonomi coba untuk dikoreksi menggunakan ekonomi Islam, diskursusnya lebih banyak dan dominan diwilayah aplikasi sistem, minim sekali pada wilayah prilaku ekonomi. Implikasinya, perbaikan sistem meski lambat terus terjadi. Sementara itu hampir tidak ada yang berubah pada prilaku ekonomi. Ya perjuangan masih panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar