Minggu, 21 Desember 2008

Diskusi Seputar Opportunity Cost of Investment

Tanya: "What is the opportunity cost of investing in productive sector from Shariah point of view? If we look from Conventional point of view, it is really simple the opportunity cost of investing in the real sector (productive one) is the return from putting the money in government treasury bill."

Jawab: dalam ekonomi syariah, absensi bunga dan spekulasi di perekonomian membuat makroekonomi relatif menjadi "single sector" yaitu real sector saja. apa yang dimaksud Islamic monetary sector, tak lebih sekedar investment market, dimana keberadaannya sangat tergantung ada tidaknya real sector. Lihat saja akad-akad yang digunakan, jual beli (murabahah, salam, istishna, rahn dan ijarah) atau bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

dengan demikian, investor yang berinvestasi di sektor produktif (real sector) dalam rangka profit motives, pilihannya ada dua: investasi langsung dengan membuka usaha (buka warteg, warnet, wartel atau mini market) atau investasi tidak langsung di pasar investasi (melalui bank syariah, reksadana, saham atau sukuk). ada semacam dorongan tersendiri bagi pemilik dana untuk berinvestasi dalam ekonomi syariah, karena kalau ia keep financial wealth-nya maka ia akan terkena risiko berupa pengurangan jumlah financial wealth akibat pungutan zakat. jika ia tidak "ingin" terkena zakat, maka salah satu jalannya adalah di investasikan. betul, dalam berinvestasi ada dua kemungkinan: untung dan rugi, tinggal saja komparasi perhitungan besar kecil ekspektasi kerugian dengan pungutan zakat yang mengena pada financial wealth-nya.

tapi dalam ekonomi syariah asumsi prilaku ekonomi idealnya bukan cuma motivasi profit tetapi juga motivasi sosial. hal ini berpegang teguh pada prinsip "manusia yang terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain" (Muhammad, 610-an). pemilik dana akan tetap berinvestasi jika ternyata dari investasinya dapat memberikan pekerjaan buat orang lain, meskipun returnnya = 0. kalau hitungan profit mungkin toleransi kerugian dari investasi bagi pemilik dana adalah < 2,5% yaitu besarnya persentase zakat yang mengena jika financial wealth-nya idle. kalau hitungan sosialnya, toleransi kerugiannya tentu 100% yaitu sebesar dananya, karena sepanjang uangnya mampu membuat orang bekerja, investasi bisa menjelma menjadi investasi "hereafter" diinfakkan, dihadiahkan, disedekahkan, diwakafkan. pada tingkat keyakinan tertentu pemilik dana akan teguh juga berpegang pada prinsip " barang siapa yang membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, maka akan Tuhan lipatgandakan rizkinya (kekayaannya)" (Muhammad, 610-an).

integrasi motivasi profit dan sosial menjadi keunikan tersendiri dalam asumsi-asumsi ekonomi syariah. padahal dikotomi motivasi profit dan sosial juga terkadang kurang tepat mengingat motivasi profit pada dasarnya digerakkan oleh motivasi sosialnya, semakin banyak profit yang didapatkan, maka akan semakin banyak kemanfaatan financial wealthnya bagi orang lain (semangat untuk mencari profit adalah memberi bukan menikmati), sehingga predikat manusia terbaik sesuai prinsip pertama di atas menjadi besar kemungkinan ia dapatkan. itu mengapa Muhammad menggenapkan prinsip itu dengan mengatakan "harta yang baik itu ada di tangan orang shaleh". dengan demikian rasionalitas dan logika diatas akan semakin dapat terjadi jika prilaku ekonominya didasarkan pada "keshalehan" baik individu maupun kolektif.

salam
ali sakti

Tidak ada komentar: