Mendekati pemilu presiden, semua pihak mulai mencermati dan berhitung-hitung sejauh mana peluang masing-masing pasangan kandidat. Dalam hiruk-pikuk diskusi itu, satu isu yang menarik perhatianku adalah satu headline media cetak dan beberapa media informasi yang menuliskan tingkat penerimaan pasar terhadap kandidat tertentu.
Sispa sih yang dimaksud pasar itu? Apakah tingkat penerimaannya layak dinilai positif atau negatif? Melihat karakteristik pasar dan struktur pemain pasar, maka tidak salah bahwa penerimaan pasar akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa judul headline itu menjadi misleading; maksudnya positif padahal hakikatnya sempit dan cenderung negatif.
Sederhana saja, bahwa yang dijadikan parameter dari tingkat penerimaan pasar adalah nilai tukar dan indeks harga saham. Karena mungkin pasar itu yang memang sensitif terhadap isu atau rumor, sekalipun itu tidak terkait dengan info ekonomi (bahkan isu flu babi saja mampu merontokkan saham, meskipun korelasi dan transmisinya sangat panjang untuk sampai pada variabel-variabel ekonomi, apalagi isu politik).
Misleading menggunakan parameter pasar valas dan pasar modal akan kita sadari jika kemudian kita lihat posisi dan struktur pelaku pasar tersebut. Meskipun ia mewakili volume dan nilai transaksi yang triliunan rupiah, tetapi berapa sih pelaku di pasar seperti itu? Segelintir!! Siapa mereka? Ya hanya orang-orang kaya yang benar-benar kaya!
Jadi, yang dimaksud dengan penerimaan pasar itu adalah tidak lebih dari penerimaan segelintir orang-orang kaya terhadap kandidat pasangan presiden. Akhirnya, kandidat-kandidat itu dapat dikatakan (pada perspektif lain) begitu "care" dengan persepsi segelintir orang kaya daripada persepsi orang - orang miskin. Dan karena misleading tadi, persepsi nasional akhirnya digerakkan oleh persepsi atau lebih tepatnya kepentingan orang-orang kaya.
Akhirnya kita semua saksikan, bagaimana logika dan mekanisme "gak lucu" ekonomi menular dalam mekanisme politik. Capek deh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar