Rabu, 24 Maret 2010
Hanya Berbeda Definisi Berbeda Bentuk Industri
Jangan remehkan definisi. Ini pelajaran penting dari perbedaan yang mendasar dari aplikasi keuangan syariah antara Indonesia dan negara lain. Banyak orang yang bertanya mengapa bay’ al innah dan bay’ al dayn di Malaysia boleh, mengapa commodity murabaha di Timur Tengah diperkenankan, sementara di Indonesia itu tidak boleh. Salah satu alasannya karena kita berbeda definisi tentang apa itu sektor riil. Implikasinya tentu akan berpengaruh pada definisi bentuk-bentuk jual-beli yang diperkenankan.
Paradigma yang digunakan oleh Indonesia dalam pengembangan keuangan syariah adalah keuangan syariah yang produk-produknya terkait erat dengan sektor riil. Dan definisi sektor riil yang dimaksud adalah sektor yang mengkreasi atau memproduksi barang atau jasa baru, dimana dalam prosesnya akan tercipta transaksi produktif yang memanfaatkan sumberdaya baik mempekerjakan SDM dan atau memberdayakan/mengolah SDA. Sementara kebanyakan negara diluar sana sektor riil diartikan sebatas ada transaksi jual-beli sebuah barang. Tidak peduli barang tersebut hanya sebagai justifikasi atau benchmark dari transaksi yang hakikat dan motivasinya adalah credit transaction.
Disiplin terhadap sebuah definisi ternyata akan berpengaruh signifikan. Dan seringkali menggunakan parameter definisi ini saja, maka dengan sangat mudah kita bisa mengklasifikasikan produk keuangan syariah itu masih konsisten dengan semangat ekonomi syariah atau tidak. Karena saya sangat yakin konsistensi terhadap semangat ekonomi syariah yang ingin meminimalisasi konsentrasi atau penumpukan moneter sekaligus mengoptimalkan dukungan terhadap perekonomian (sektor riil), akan menentukan wajah ekonomi syariah yang memang lebih mempesona.
Tulisan ini sekedar respon ringan terhadap semangat pengembangan keuangan syariah yang cenderung meninggalkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam demi mengejar size industri dengan lebih meng-entertain kemauan pasar. Padahal notabene pasar dipenuhi oleh konsumen yang masih belum well educated terhadap nilai-nilai Islam. Otoritas dan pelaku pasar harus hati-hati menyikapi karakter pasar seperti ini. semangat ekonomi Islam dengan nilai dan prinsip yang telah digariskan Islam harus secara konsisten dipegang. Idealisme ini terlalu murah untuk digadaikan, atau terlalu mahal nanti harga yang harus kita bayarkan akibat idealisme itu kita kesampingkan.
Hikmah Lain dari Sejarah: Filsuf Islam
Menarik, ketika sampai pada pembahasan tentang sejarah filsuf Islam, dimana diakui bahwa pemikiran-pemikiran yang sifatnya filsafat dari Plotinus, Plato, Aristoteles atau Socrates menarik minat pemikir Islam klasik. Karena pemikir dahulu mampu men-summary melalui logika tentang ketunggalan Tuhan. Pemikiran tentang materi-materi alam semesta termasuk peristiwa-peristiwa di dalamnya ternyata mampu dimuarakan pada eksistensi dzat prima kausa (Dzat yang Esa).
Boleh jadi masa pemikir Yunani dahulu terdapat diantara mereka Nabi-Nabi yang memang tidak tercatat oleh sejarah hingga kini, sehingga pengetahuan ketunggalan Tuhan wujud dalam wacana pemikiran. Tapi mungkin ini alasan yang melemahkan kekuatan atau kemampuan akal dalam memberikan jawaban pada semua pertanyaan tentang alam dan manusia. Tetapi apapun itu, patut diapresiasi bahwa Islam membuka diri untuk dibuktikan oleh alat eksperimen apapun. Dalam kasus ini, Islam terkesan mampu dibuktikan oleh logika-logika Yunani yang dibanggakan dunia dahulu.
Tetapi esensinya adalah, bahwa Islam pada dasarnya mengkonfirmasi kelurusan pemikiran Yunani ini. Pengetahuan wahyu yang diyakini berasal dari Tuhan menjadi ilmu tertinggi kadar kebenarannya, sehingga kabar-kabar yang disampaikan Islam melalui Qur’an terkait dengan alam semesta dan manusia, material dan immaterial atau matematika dan metafisika menjadi referensi untuk memverifikasi kebenaran pemikiran-pemikiran Yunani. Jika pemikiran itu tidak sejalan dengan Islam, bukan berarti ia mendesakralisasi Islam dengan Qur’annya, malah pemikiran itu yang menjadi tidak relevan dan expired untuk diberdayakan apalagi dikembangkan. Sementara jika pemikiran itu sejalan, ia semakin menegaskan keagungan Islam dengan informasi-informasi langitnya.
Menuju pada muara kesimpulan ketunggalan Tuhan itu, logika Yunani atau India atau China kemudian dikonfirmasi oleh Islam, diolah dan di formulasikan dalam sistematika disiplin ilmu yang lebih terspesifikasi. Geometri yang dikembangkan oleh Yunani atau perlakuan nol sebagai angka oleh India kemudian disistematisasi oleh pemikir Islam dalam matematika dasar yang dikenal dengan aljabar, atau pengembangan-pengembangan ilmu lainnya. Dengan demikian, secara sederhana pemikiran tentang alam ke logika menjadi dasar munculnya matematika, geologi, botani, kedokteran dan lain sebagainya. Selanjutnya berkembang kimia, fisika, sosiologi, politik dan lain-lain. Maka akhirnya kita kenallah ia saat ini sebagai sains (science), sebagai satu ilmu yang dirancangbangunkan sebagai pengetahuan menuju pada kesimpulan kesatuan kesadaran pada eksistensi Tuhan.
Filsuf besar muslim dahulu menegaskan bahwa tujuan pengetahuan adalah penyucian jiwa. Itu mengapa Tuhan memberikan kredit poin bagi pemilik-pemilik ilmu berupa posisi-posisi mulia. Pengetahuan logikanya akan menjadi pedoman dalam bertindak atau bahkan penyemangat untuk beramal. Dan dari amal-amal itu muncullah pengetahuan tertinggi yaitu hikmah (wisdom). Wisdom tertinggi adalah keikhlasan menerima kuasa Tuhan termasuk menerima semua konsekwensinya yang menyertai kuasa itu.
Selasa, 23 Maret 2010
Sejarah Islam dan Peradaban yang Hilang
Membaca buku, majalah atau merupakan sebuah rutinitas yang wajib bagi saya. Khususnya buku, sudah menjadi keharusan bagi saya, dimana aktifitas itu dulu berupa beban kini berubah menjadi kebutuhan atau bahkan keinginan. Hanya saja sedikit buku yang saya baca mampu membangkitkan semangat eksplorasi, antusiasme yang tidak henti sebelum mata sampai pada kalimat terakhir buku itu. Beberapa kali saya evaluasi, ternyata jenis buku yang selalu membangkitkan kenikmatan dan menjadi ekstasi dalam membaca adalah buku-buku sejarah.
Nah, buku yang saat ini sedang antusias saya baca adalah buku “Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Islam” tulisan Tamim Ansary orang Amerika Serikat keturunan Afghanistan yang diterbitkan oleh Zaman (Indonesia). Pemaparan penulis begitu ringan dengan gaya penulisan bercerita. Tulisan ini begitu berbeda dengan buku-buku sejarah pada umumnya yang mayoritas terpaku pada data peristiwa dan tokoh. Kekuatan buku Tamim Ansary ini terletak pada alur cerita yang ringan itu. Oleh karena itu, sebelum saya lupa, saya juga ingin memberikan apresiasi pada penerjemah yang barangkali atas effortnya membuat buku ini begitu menarik rangkaian ceritanya.
Sejarah Islam adalah Sejarah Tersendiri
Bagian-bagian pertama dari cerita ini memaparkan eksistensi sejarah Islam dalam alur sejarah dunia. Ansary berkeyakinan – setelah melalui perenungan dan analisis data sejarah – bahwa sejarah Islam merupakan entitas tersendiri dari sejarah. Sejarah peradabannya bukalah sebuah tahapan lanjutan dari sejarah dunia sebelumnya (khususnya sejarah Barat). Ansary bahkan menegaskan secara lugas bahwa sejarah Islam berjalan dan berkembang secara paralel dengan sejarah dunia dibelahan bumi yang lain, meskipun nanti pada waktu-waktu atau periode tertentu akan akan bersinggungan dengan sejarah Barat.
Dengan nilai, bentuk dan karakter yang dominan diinspirasi oleh munculnya agama Islam sejarah Islam tentu akan membentuk peradaban berikut peristiwa-peristiwa peradabannya sendiri. Dari aspek waktu sejarah Islam bermula ketika terjadi peristiwa Hijrah, dimana Islam berubah bentuk dari sebuah ajaran dalam sebuah wilayah menjadi sebuah Ummat. Sejak peristiwa hijrah, Islam tak terbendung secara ajaran, peradaban (komunitas sudah berkembang pada semua elemen peradaban), dan wilayah. Islam meliputi aktifitas masal dalam ekonomi, hukum, budaya apalagi politik.
Oleh karenanya sejarah Islam sukar untuk disebut sebagai tahapan lanjutan dari proses sejarah dunia Barat. Dan dengan cukup percaya diri Ansary menyebutkan bahwa sejarah Islam sebagai entitas tersendiri dalam sejarah dunia. Dan ia sudah sangat layak untuk dituturkan bukan hanya sekedar satu atau dua bab dalam buku-buku sejarah, tetapi ia harus menjadi buku baru yang akan secara komprehensif memaparkan dinamika peristiwanya seiring dengan waktu.
Islam dan peradabannya di refleksikan oleh kemanunggalan komunitas yang disebut sebagai ummat. Dan dengan kemanunggalan itu mulai tersusunlah interaksi teratur manusia-manusia dalam aspek ekonomi, hukum, budaya dan politik. Oleh karenanya, merujuk pada definisi peradaban ini, dapat dikatakan sejak kemanunggalan itu tidak lagi eksis, maka seakan-akan peradaban Islam hilang, namun sejarahnya terus berjalan. Sejarah Islam mencatat bahwa periode saat ini dimana kemanunggalan ummat atau layak juga disebut khilafah Islan atau daulah Islam tidak lagi wujud, adalah periode sejarah terendah dari kecemerlangan Islam. Islam kembali menjadi ajaran saja seperti masa sebelum peristiwa hijrah.
Ekonomi Islam dan Sejarah Islam
Pemaparan sejarah ini akhirnya membantu saya untuk memahami aspek lain dalam disiplin ilmu. Karena sejarah secara runut akan memperlihatkan ruang lingkup peristiwa secara sebab-akibat. Sehingga orang yang memahami disiplin ilmu lain dalam Islam semisal hukum dan ekonomi menjadi lebih tercerahkan. Karena melalui sejarah potongan atau penggal-penggal peristiwa yang biasa dijadikan pedoman dalam mengambil dalil hukum atau dalil ekonomi akan terlengkapi ketika penggalan itu diketahui posisinya dalam alur sejarah, diketahui peristiwa lengkapnya, waktunya, tokoh-tokohnya, sampai dengan latar belakang dan implikasi berupa peristiwa sejarah lainnya.
Nah, bagian inilah yang menarik bagi saya dari buku sejarah ini, karena ia akan mencerahkan saya lebih terang tentang disiplin ilmu yang saya geluti, yaitu ekonomi Islam. Sejarah mengkonfirmasi dalil-dali ekonomi yang dijadikan pedoman dalam menyusun premis, hipotesis atau bahkan teori berupa penggalan-penggalan peristiwa. Bahkan menggunakan pengetahuan sejarah Islam kita semakin membuka ruang fikir untuk mengembangkan ekonomi Islam.
Di samping itu, sejarah menjadi penjelas bahwa ekonomi Islam adalah sebuah entitas yang juga berbeda dengan ekonomi barat modern. Karena menggunakan logika Ansary, dimana sejarah Islam tersebut bergerak dan berkembang paralel maka sangat rasional kalau ekonomi yang menjadi elemen sejarah Islam atau peradaban Islam, adalah entitas terpisah dari ekonomi mainstream. Ekonomi Islam pada dasarnya adalah implikasi logis dari perkembangan peradaban manusia yang menjalankan semua aktifitasnya – termasuk aktifitas ekonomi – berdasarkan nilai-nilai Islam. Meski diakui bahwa kelaziman berupa aktifitas manusia sebelum Islam dibenarkan untuk terus dilakukan, tetapi hal tersebut sudah melalui proses verifikasi syariat baik melalui Qur’an, Hadits, Ijma atau Qiyas.
Berdasarkan sejarah Islam atau perjalanan peradaban Islam, maka eksistensi ekonomi Islam akan mengutuh ketika lingkungan bertumbuhnya juga mengalami penyempurnaan seperti lingkungan peradaban Islam. Peradaban Islam dipercaya akan tampil kembali jika dan hanya jika kemanunggalan ummat terbentuk kembali dengan pemahaman nilai-nilai Islam pada skala minimal juga terbenam dalam jiwa manusia-manusia Islam. Pembentukan kemanunggalan ummat itulah yang kini menjadi tantangan utama saat ini dalam membangkitkan peradaban islam, sekaligus membangikitkan ekonomi, hukum, budaya dan tentu saja politik Islam.
Saya secara pribadi meyakini pembentukan kemanunggalan ummat bersyarat pada penanaman akidah, akhlak dan syariat Islam pada manusia-manusia Islam dalam jumlah yang memadai. Artinya bilangan atau jumlah manusia-manusia shaleh yang berkelompok, berjuang menegakkan Islam harus kemudian eksis sebelum kemanunggalan itu wujud secara bertahap. Mungkin baru ini yang bisa saya tulis sebagai hikmah yang saya dapatkan dari membaca seperdelapan dari buku Ansary. Sekali lagi jarang buku sejarah memberikan antusias membaca seperti yang disuguhkan buku ansary ini. seingat saya buku sejarah sebelum ini yang selalu memberikan antusias yang tidak berbeda adalah buku “60 Sahabat Rasulullah” tulisan Khalid Muhammad Khalid. Semoga bermanfaat.
Minggu, 21 Maret 2010
March is My Time...
Runtutan peristiwa dan program-program kebaikan yang saya alami dan ikuti sepanjang bulan Maret ini sepertinya cukup berbeda (jika tidak ingin dikatakan istimewa) dari tahun-tahun lalu. Dimulai dengan “ibadah camp” atau mukhayam yang spesial dengan program survival-nya, dan terakhir kegiatan Palestine Rally atau munasharah Palestina yang selalu saja menyuntikkan kepedulian dan semangat baru dalam usaha-usaha kebaikan saya secara pribadi.
Khusus untuk mukhoyam saya akan tulis khusus untuk saya jadikan evaluasi diri, karena bagi saya di dalamnya penuh dengan pengalaman ruhani dibandingkan pengalaman jasadi. Namun secara umum mukhayam dengan program survival-nya menyadarkan saya akan segala bentuk kenikmatan yang Allah sudah berikan kepada saya. Kedua, menyadarkan bahwa ternyata kemakmuran boleh jadi mengaburkan akal sehat saya dari konsentrasi pada perjuangan, bahkan kemakmuran boleh jadi membuat saya semakin kapalan (mudah-mudahan ga mati rasa) dengan pengorbanan-pengorbanan. Ketiga, mukhayam menjadi sarana pembinaan dan evaluasi yang menyeluruh pada ruhani, jasadi, semangat, komitmen, keberanian dan pengorbanan.
Selanjutnya kerja-kerja kebaikan, dengan semua bentuk yang dapat saya lakukan, membuat hidup terasa semakin hidup. Sejak bulan ini pula saya selalu sisihkan waktu dua hari sekali untuk jogging menjaga stamina. Pada satu kesempatan, saya paksa tubuh saya untuk mencapai limitasi stamina terjauh yang saya mampu dalam berlari, sambil mengingat seorang pejuang Islam yang memaksakan dirinya hingga pingsan sekedar menjalankan amanah gurunya untuk berlari “semampunya”.
Sementara itu, munasharah Palestina menjadi agenda (tetap) saya untuk meluruskan idealisme dan penyegaran semangat juga obsesi. Kebersamaan dalam munasharah memberikan atmosfer perjuangan yang berbeda, pesan yang kuat bagi jiwa serta pelatihan yang tepat bagi komitmen dan integritas. Munasharah Palestina bahkan dapat juga menjadi tastqif, rihlah dan riyadhah sekaligus bagi keluarga. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika saya ingin mengaku-aku bahwa bulan Maret kali ini cukup spesial. Semoga ini semua menjadi tanda bahwa saya diampuni oleh Tuhan.
Belajar dari Buku Sejarah
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari buku-buku sejarah Islam. Bukan hanya pengetahuan atau informasi tentang kehidupan masa silam berikut peristiwa-peristiwa sejarah dan bersejarah, tetapi pelajaran tentang manusia dan dunia. Pada saya buku sejarah menyuguhkan dua pelajaran penting ini; manusia dan dunia.
Dengan sejarah kita memahami siapa itu manusia, tingkah lakunya dan kecenderungan-kecenderungannya. Sejarah menjabarkan bagaimana awal dan akhir baik manusia-manusia mulia maupun manusia-manusia hina. Dan dengan sejarah itu kita sebagai manusia yang berada diujung sejarah dapat mengukur dan memposisikan diri untuk berada di ruang sejarah yang mana.
Sejarah juga seringkali mengajarkan kita banyak hal dan relatif lebih mudah tentang teori-teori dan nilai-nilai Islam yang kita tidak mengerti pada kitab-kitab akidah, akhlak dan syariah. Karena sejarah mengajarkannya melalui peristiwa dan prilaku manusia-manusia mulia yang memahami akidah, akhlak dan syariah yang kita coba untuk fahami itu. Akhirnya dengan itu semua, kita mampu memilih sejarah bagi hidup kita masing-masing. Maknanya sejarah mampu langsung atau tidak langsung menentukan aliran peristiwa masa depan, malalui manusia-manusia yang tersambung dan tersadarkan oleh sejarah.
Selain itu, sejarah juga mengajarkan banyak hal tentang dunia, tentang karakteristiknya, sifat alamiahnya, cobaan dan ujiannya, kasih sayang serta amarahnya. Dari sejarah kemudian kita bisa belajar bagaimana menyikapi dunia dan segala isinya, memposisikan diri dalam irama dunia dan dinamikanya. Sejarah pada skala dan tingkatan tertentu sudah menyuguhkan atau bahkan menegaskan seperti apa hakikat dia. Dan dengan penjelasan melalui sejarah sepatutnya kita menjadi lebih bijak pada dunia, karena tempat dan periode dunia ini menentukan status manusia setelah ia keluar darinya.
Jadi tidak ada salahnya, jika kita kesulitan memahami akidah, akhlak dan syariah Islam yang ribet di berbagai kitab, kita buka saja buku-buku sejarah Islam. Karena di dalamnya kita akan temukan pelajaran-pelajaran akidah, akhlak dan syariah dalam bahasa yang berbeda. Kitab sejarah dalam hal ini pasti tidak menggurui anda, karena ia pada dasarnya bercerita tentang manusia-manusia masa lampau dengan kemuliaan dan kehinaan mereka. Bahkan diluar ilmu pokok dan dasar itu, dari buku sejarah kita bisa belajar tentang hukum, politik, budaya atau bahkan ekonomi. dan sekali lagi dengan bahasa yang berbeda.
Rabu, 17 Maret 2010
Sepenggal Hikmah Tentang Hidup
Sudah lama ingin saya kisahkan kembali sebuah cerita sederhana tentang sebuah hakikat kerja atau barangkali hakikat ekonomi. Kisah ini saya baca puluhan tahun lalu ketika masih di sekolah dasar dari sebuah majalah anak-anak yang langganankan orang tua, kalau tidak salah majalah “Ananda”. Saya kurang tahu apakah majalah itu masih beredar saat ini. saya sudah tidak ingat siapa penulis dari cerita ini. semoga beliau ikhlas saya cerita ulangkan kisah mulia penuh hikmah ini. Dan semoga beliau mendapat ridha Allah atas cerita ini.
Kisah ini bercerita tentang perjuangan sebuah keluarga yang berusaha untuk sejahtera. Namun ditengah upaya itu sang ayah tenggelam dalam permainan judi yang menurutnya dapat membuat keluarganya cepat meraih kesejahteraan. Sang ibu dan anaknya prihatin melihat tingkah polah sang kepala keluarga. Karena bukan hanya harta benda mereka yang semakin habis tetapi juga lambat laun sang ayah terperosok pula dalam lembah syirik karena bergantungnya ia dengan dukun-dukun dalam menjalankan permainan judinya.
Satu saat sang ibu tidak tahan lagi melihat keluarganya perlahan-lahan ada di tepi jurang kehancuran. Bersama anaknya ia pergi ke seorang cerdik pandai di kampungnya, dan meminta nasehat apa yang sebaiknya ia lakukan untuk mengatasi masalah keluarga mereka. Setelah mendengar panjang lebar semua tingkah polah suami sang ibu, dalam rangka perbaikan sebuah keluarga yang diambang kehancuran, si cerdik pandai ini meminta sang ibu untuk mengajak sang bapak menghadapnya, dengan dalih bertemu dengan seorang dukun yang bisa memberikan jalan pintas menuju kekayaah yang mewah.
Singkat cerita sang bapak dapat dihadirkan menemui sang cerdik pandai. Dengan kelihaiannya meyakinkan orang lain, sang cerdik pandai memberikan kunci rahasia agar cita-cita kaya sang bapak dapat segera terwujud. Sang cerdik pandai mengatakan bahwa ia mampu memberikan emas dan perak melimpah dengan sekejap, tetapi hanya ada satu benda yang dapat dirubah menjadi emas dan perak, yaitu tepung putih yang biasa ada di bawah daun pisang. Sang cerdik pandai juga mengatakan tepung itu harus sebanyak satu karung penuh untuk dapat diubah menjadi emas dan perak sebanyak beberapa karung.
Mendengar syarat itu, sang ayah merasa mudah melaksanakannya, karena selama ini dia dan keluarganya sebenarnya memiliki sebidang kebun yang penuh dengan pohon pisang yang memang tidak terawat. Dengan semangat ia mulai mengumpulkan serbuk atau tepung putih dari bawah daun pisang yang ada. Dari waktu kewaktu ia mulai sadar kalau pohon-pohon yang tersedia tidak akan memberikan tepung putih itu dengan cepat sebanyak satu karung. Akhirnya ia membuka lahan baru untuk menanam pohon pisang. Dan waktu demi waktu membuat lahan itu semakin luas saja.
Akhirnya suatu hari, berbinarlah mata sang bapak ini karena saat itu ia sudah mampu mengumpulkan satu karung penuh tepung putih daun pisang. Ia segera bergegas menemui sang cerdik pandai yang ia kira sebagai dukun sakti. Setibanya dihadapan sang cerdik pandai, ia dinasehati agar datang tiga hari lagi untuk mengambil beberapa karung emas dan perak. Dengan harap cemas sang bapak menunggu tiga hari yang dirasakan seperti bertahun-tahun. Selepas tiga hari, ia menuju rumah sang cerdik pandai, sesampainya disana, ternyata anak dan istrinya sudah pula ada disana, namun karena rasa harapnya yang amat sangat ia tidak lagi memperdulikan anak dan istrinya itu. Cepat-cepat ia bertanya dimana emas dan perak miliknya.
Dengan tersenyum sang cerdik pandai mengajak sang bapak ke sebuah kamar, ketika pintu kamar itu dibuka, terbelalaklah mata sang bapak karena didalamnya betul penuh dengan harta benda yang terbuat dari emas dan perak. Sang cerdik pandai dengan penuh senyum bersahaja berkata, “itu semua milikmu”. Belum habis bahagia dan kekagetan dari wajah sang bapak, dengan santun sang cerdik pandai memperlihatkan sebuah karung di sudut ruangan yang masih berisi tepung putih daun pisang. Sang bapak menjadi heran, mengapa tepung itu masih berupa tepung pikirnya, dari mana emas dan perak ini?
Sang cerdik pandai kemudian segera menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Singkatnya ia katakan emas dan perak itu berasal dari penjualan buah pisang yang dipanen oleh anak dan istri sang bapak. Sang bapak ternyata tidak menyadari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu karung tepung putih itu, ia begitu konsentrasi dengan tepung putih itu saja. Ternyata waktu yang berlalu sudah melewati beberapa kali panen buah pisang, dan oleh anak istrinya buah-buah hasil panen yang melimpah dari kebun yang semakin hari semakin luas itu dijual dan hasilnya dibelikan harta benda yang kini ada dihadapan mereka.
Sang istri meminta maaf kepada sang bapak, karena ini semua dilakukan awalnya ingin menyadarkan sang bapak yang sudah tenggelam dengan judi dan kemusyrikan. Mendengar cerita sang cerdik pandai dan istrinya, tak kuasa air mata keinsyafan mengalir di pipinya. Serta merta ia memeluk anak dan istrinya, meminta maaf atas kekhilafan yang selama ini sudah dilakukannya. Sejak itu sang bapak berjanji akan bekerja keras dengan tekun untuk mengejar kebahagiaan yang sebenar-benarnya.
Apa yang menjadi hikmah dari cerita ini bagi anda? Bagi saya banyak, banyak sekali. Hikmah berkeluarga, hikmah kerja, hakikat kerja dan usaha, hakikat ekonomi yang baik atau anda memiliki versi hikmah yang lain? Wallahu a’lam. Cerita ini begitu melekat pada saya. Oleh karena cerita-cerita seperti inilah saya begitu sensitif dengan kiat-kiat sukses cepat yang sering dibuat-buat atau dicari-cari orang saat ini. Semoga hikmah cerita ini dapat anda terima .
Selasa, 16 Maret 2010
Sepenggal Hikmah Tentang Iman
Nasehat Nabi yang mengatakan bahwa hikmah itu berserak dan ambillah dimana ia ada, baru saja saya alami. Dan sungguh hikmah yang hakikatnya merupakan nasehat ini bagi saya pribadi begitu berkesan, khususnya untuk keimanan dan hati saya. Dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang tetangga yang berprofesi sebagai juru masak dalam sebuah acara syukuran dan silaturahim warga, beliau bercerita tentang seorang ustadz yang memberikan nasehat tentang iman.
Ustadz itu berpesan, bahwa iman itu seperti nafkah yang harus dicari. Iman memerlukan usaha, kerja keras, perjuangan bahkan membutuhkan pengorbanan-pengorbanan. Keimanan tidak dapat dimiliki hanya dengan cara mengurung diri dan berdzikir beribu-ribu kalimat kebaikan. Seperti cerita seorang shaleh terdahulu yang ingin menggapai iman dengan mengurung diri di kamarnya dan membasahi bibirnya dengan dzikir. Sesaat ada suara mencurigakan dari atas atap rumahnya, ketika ia hardik untuk mengetahui siapa yang ada diatas rumahnya, terdengar suara yang mengaku malaikat sedang mencari unta. Jawaban itu membuatnya bingung, kemudian ia tanyakan dengan nada meremehkan, “bagaimana mungkin mencari unta diatas atap rumah.” Suara diatas pun menjawab dengan nada tak kalah mengejek, “kamupun begitu, bagaimana mungkin mendapatkan iman dengan cara mengurung diri di kamar itu.”
Keimanan memang berawal dari keinsyafan, kesadaran diri atas kebutuhan pada kekuasaan Tuhan. Tetapi ia tak hanya berhenti sejauh itu. Keimanan akan sempurna ketika ia mampu bertahan dalam badai-badai ujian dan cobaan Tuhan. Dari sepenggal cerita ini saja saya sudah meraba hikmah-hikmah lanjutannya dengan sejenak memperhatikan tingkah polah manusia kebanyakan. Lihatlah manusia-manusia disekitar kita, atau setidaknya diri kita sendiri, begitu asyik dengan dunia dan akhirnya luput dari hakikat-hakikat hidup dan dunia.
Jikalau dunia ini adalah proses pembelajaran yang tak putus-putusnya, dimana di sela-selanya selalu ada sisipan ujian-ujian dari satu pembelajaran menuju pembelajaran berikutnya, maka kebanyakan manusia hanya sibuk atau fokus pada fasilitas-fasilitas dan alat-alat untuk belajar. Mereka berlomba-lomba memperindah dan bermegah-megah dalam proses pembelajaran dengan sebaik-baik alat dan fasilitas. Akibatnya mereka lalai dengan apa-apa yang diajarkan. Dan tidak heran mereka kebanyakan selalu gagal ketika masa ujian datang. Perlu diingat ujian dan cobaan hidup dari Tuhan tidak terjadwal waktunya, ia dapat dating sewaktu-waktu. Dan seperti kita sama-sama tahu, waktu ujian itu lebih singkat dari waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran.
Dan kemanfaatan iman layaknya seperti nafkah yang telah didapatkan, dimana dengan nafkah kita bisa membeli berbagai macam harta benda. Seperti itu pulalah iman, dengan iman kita mampu “membeli” banyak kebaikan. Dengan keimanan yang cukup, kewajiban shalat dapat dimiliki dengan jamaah dilakukan di masjid secara disiplin, zakat ditunaikan dengan tertib. Pada keimanan yang lebih melimpah, kebaikan pun dapat diperoleh dengan berlebih pula, seperti shalat malam, dhuha, rawatib, sedekah, silaturahim, amar ma’ruf nahi munkar serta sunnah-sunnah utama lainnya.
Oleh karena itu, iman menjadi modal yang tak ternilai bagi orang-orang yang berupaya menjaga dan memelihara keshalehannya. Mengetahui dimana dan bagaimana mendapatkan keimanan menjadi usaha-usaha yang diutamakan dalam keseharian. Syarat penting bagi orang-orang shaleh atau orang yang berupaya menjadi shaleh adalah memahami kapasitas dirinya. Jika mereka tahu bahwa mereka lemah pada satu jenis ujian Tuhan, maka jalan terbaik dan termudah dalam menjaga keimanannya adalah menghindari (jalan) apa-apa yang didalamnya terdapat ujian itu. Jika lemah pada ujian kekuasaan dan jabatan, maka mereka menghindarkan diri dari kekuasaan itu, begitu juga ujian-ujian seperti harta dan wanita.
Selanjutnya nasehat yang tidak kalah penting adalah ketika keimanan itu ada, seorang yang shaleh mampu mengghaibkan apa tampak dan menampakkan apa yang ghaib. Artinya dunia dengan segala isinya ini hakikatnya adalah ujian dan fitnah, ia tak lebih sebagai permainan dan senda gurau. Oleh sebab itu, jangan tenggelam dengan dunia, jangan akrab dan memasukkannya kedalam hati. Semua perhiasan dunia yang tampak itu harus “ghaib” dihadapan manusia. Perhiasan dunia itu sepatutnya tidak memiliki nilai apapun kecuali sekedar alat untuk sebanyak-banyaknya mendapatkan kasih-sayang Allah SWT.
Sementara keridhaan, kasih sayang dan cinta Tuhan yang ghaib itu harus diupayakan selalu tampak nyata di depan mata manusia. Ia menjadi destinasi kongkrit dari semua kerja-kerja manusia. Ia menjadi orientasi dan mengarahkan langkah-langkah dunia manusia. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mata hati, dengan modal kondisi hati yang juga memadai, dan hal itu hanya didapat ketika hati dekat dengan Allah. Rongganya penuh dengan iman. Dan tidak pernah mengakrabkan diri dengan dunia beserta semua isinya yang melenakan.
Duh, Tuhan… meski hikmah ini hanya sepenggal dari sebuah obrolan yang sangat ringan, aku sadar konsekwensinya meminta hidupku dengan semua yang aku punya. Karena aku pun sadar tanpa iman, kemanusiaanku boleh jadi akan lebih hina dari binatang yang paling hina.
Jumat, 12 Maret 2010
Lamunku Pagi Ini
Menembus udara pagi berarti menembus keengganan, mengumpulkan semangat untuk sisa hari, mencoba menyusun tekad untuk tidak sia-sia hingga petang nanti. Kebangkitan pagi terlihat pada tanda-tanda alam, gunung dan bukit terlihat lebih gagah, menjadi penjaga bagi ngarai dan lembah. Sementara sungai dan dangau memperdengarkan suara gemericik airnya dengan lebih merdu mengiringi suara alam yang lain. Awan menjadi lebih indah dengan semburat mega mentari. Sedangkan embun menjadi selimut segar yang menyejukkan semua penghuni pagi. Itulah pagi, satu ketika dari banyaknya fenomena hari.
Kamis, 11 Maret 2010
mencari
Kulihat langit seperti malam sebelumnya
Masih bertabur bintang dengan semburat awannya
Adakah bintangku tergantung disana
Meskipun tahu ia tak berkesan apa-apa
Tapi semakin kutengok semakin tak elok
Satu bintang saja tak tersenyum wajah langit berubah manisnya
Apa peduliku pada satu bintang yang tak nampak
Sementara ia tak juga peduli apakah aku tersenyum atau tidak
Tidak,tidak...bintang bukanlah sainganku terlebih lagi musuhku
Ia adalah guruku tentang hakikat dunia dan kehidupanku
Ia adalah pelita bagi pencari hakikat diri dan sepi
Ya karena aku tahu iapun dilangit sana sebenarnya seorang diri
Jangan salah bintang-bintang memang seorang diri
Tetapi mereka ada memenuhi langit-langit malam
Layaknya para penyendiri yang berkumpul meliputi cakrawala imajinasi
Mereka melayang di relung-relung jiwa yang tidak pernah tentram
Mereka mencari, mencari, mencari...
17 Oktober 2007, 22:00 WITA, Balikpapan
Rabu, 10 Maret 2010
Hidupku adalah Memandang-Mu
Isu reorganisasi tempatku bekerja saya perhatikan semakin hari semakin meng-“heboh”-kan rekan-rekan kerja. Atmosfer kerja kini penuh dengan diskusi dan perdebatan tentang hal itu. Intinya adalah mereka bertujuan mendapatkan kepastian tentang sumber nafkah yang selama ini sudah mereka nikmati. Terkadang saya pun larut dalam kehebohan itu.
Namun diskusi dan perdebatan tentang itu pagi ini membuat saya berfikir lain, sesaat ketika melihat mulai munculnya kepedihan, ketidakpuasan dan kekhawatiran yang sangat emosional diantara kami. Tersentak saya pada ingatan kisah hidup saya sebelum ini dan hikmah-hikmah yang menyertainya. Hikmah yang saya pahami ketika kuliah di Malaysia, ketika memulai karir di Jakarta atau ketika memasuki tempat saya bekerja saat ini.
Ketika kuliah saya memasuki tahap akhir di Malaysia, diumumkan bahwa international student akan dipaksa menyelesaikan masalah keuangan, jika tidak maka pihak universitas akan menghentikan study atau menahan kelulusan yang bersangkutan. Saya dan istri yang statusnya sedang appeal untuk mendapatkan softloan dari universitas, mau tidak mau dapat terkena kebijakan terbaru ini. pengumuman ini tentu menganggu konsentrasi saya dan istri yang sedang mempersiapkan sidang thesis dan bersiaga untuk kelahiran anak pertama kami.
Tapi ketika itu terlintas dibenak saya, saya sudah sampai study di Malaysia ini atas izin Allah jua. Dengan segala kesulitan di awal dan ketika proses study berlangsung, logikanya Allah berkehendak saya dapat menyelesaikan study ini. kalaupun ada hambatan keuangan insya Allah pasti ada solusinya. Dan jika Allah berkehendak saya lulus dari kuliah ini, tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi, begitu juga sebaliknya.
Akhirnya saya datangi bagian finance division, setelah diskusi singkat, ternyata disepakati bahwa saya dan istri dapat lulus tanpa hambatan keuangan dengan syarat pihak universitas akan menahan ijazah. Tak berapa lama saya dan istri mampu merampungkan study ditandai dengan keluarnya nilai ujian akhir dari mata kuliah terakhir kami yang masing-masing mendapat nilai A. Seminggu kemudian istri melahirkan putra pertama kami, dan sehari setelahnya saya mampu pertahankan thesis saya di depan sidang para penguji. Akhirnya Allah berkehendak, bukan hanya saya bisa rampungkan study tetapi juga dapatkan keluarga yang utuh. Subhanallah, kehormatan bagi saya pada perlakuan istimewa Allah ini.
Berserah pada kehendak Allah atas nasib masa depan kembali terjadi ketika saya mulai karir di tempat saya bekerja saat ini. Atas beberapa pertimbangan, beberapa saat setelah tiba kembali di tanah air, saya beranikan diri mengikuti seleksi penerimaan pegawai diinstitusi tempat saya saat ini mengabdi. Saya kirimkan berkas lamaran, dan tentu saja minus ijazah, karena ijazah saya masih tertahan di almamater saya di Malaysia. Tetapi sebagai penggantinya saya ikutkan surat keterangan lulus yang dikeluarkan oleh pihak universitas. Ternyata beberapa tes saya dapat lewati dan akhirnya masuk menjalani pendidikan calon pegawai.
Ketika masa percobaan sebagai pegawai, seorang pegawai SDM mengingatkan syarat ijazah itu, saya harus menyerahkan ijazah sebelum masa percobaan selesai, jika tidak besar kemungkinan pengangkatan pegawai saya akan dibatalkan. Dengan berbekal banyak pelajaran tentang kehendak Allah pada masa-masa sebelumnya, agak ringan saya hadapi masalah ini. saya katakan pada istri untuk bersiap untuk mencari kerja nafkah yang lain dengan secara sadar kami serahkan semuanya kepada Sang Maha Berkehendak.
Tak berapa lama saya dipanggil pimpinan untuk ditugaskan membantu salah satu direktorat yang akan menyelenggarakan seminar terbatas tentang Sukuk. Mengingat saya punya relasi dengan professor-professor keuangan dan hukum Islam di almamater saya, maka saya diminta untuk mengusulkan satu narasumber yang kompeten untuk berbicara tentang sukuk dari alamamater saya. Saya usulkan Dr. Daud Bakar. Singkat cerita, saya kemudian ditugaskan pula menjadi liaison officer bagi beliau.
Dan siapa sangka ternyata Dr. Daud Bakar bukan hanya sekedar dosen biasa di almamater saya ketika itu. Beliau juga menjabat sebagai Deputy Rector bidang pendidikan. Dan ketika mengantarkan beliau ke Bandara untuk kembali ke Kuala Lumpur, terungkap masalah ijazah saya. Tetapi ketika itu beliau hanya bertanya mengapa bisa terjadi seperti itu. Saya pun menjelaskan kondisinya. Seminggu kemudian saya terima SMS dari beliau yang mengabarkan Ijazah saya sudah bisa diambil, dan lebih mengejutkan lagi tiga hari kemudian kawan yang liburan ke indonesia menyempatkan diri mampir ketempat saya bekerja sekedar untuk menyampaikan ijazah. Allahu Akbar!
Kalau sudah seperti ini hidup yang saya jalani, dimana kehendak Allah lebih banyak berperan, apa yang harus saya risaukan?! Kalau memang Allah izinkan tempatku bekerja saat ini harus direorganisasi dan konsekwensinya boleh jadi saya termasuk yang akan di lay-off, itu semua atas izin dan kehendak Allah, sebagaimna kehendak-Nya ketika Beliau izinkan saya bekerja di dalamnya. Dan ingin saya katakan kepada Allah-ku yang Maha Penyayang itu:
“Duhai Tuhanku yang agung, tak ada kerisauan dalam hatiku tentang bilangan-bilangan rizki-Mu bagiku, Engkau sudah genapkan semuanya. Aku pun sudah serahkan semua urusanku pada-Mu. Aku hanya mengikuti apa kehendak-Mu. Sudah tidak pantas aku bertanya tentang takdir-takdir dari-Mu, karena semua kehendak-Mu tak satupun yang cacat, semua sempurna untuk kebaikan hamba-Mu ini. Hidupku hanya memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...”
Minggu, 07 Maret 2010
Pejuang Kewajiban Asasi
Gerakan populer yang kemudian menjadi gelombang kampanye global dan sedikit banyak membentuk wajah pergaulan, hukum, ekonomi bahkan perpolitikan dunia, yaitu gerakan hak asasi. Gerakan ini memiliki rambu-rambu yang semakin jelas meskipun masih terus berproses dalam mendefinisikan entitas dan ruang lingkup hak asasi manusia pada semua aspek kehidupan manusia.
Yang menjadi masalah adalah ketika hak asasi itu bersinggungan dengan prinsip-prinsip agama. Sekecil apapun irisan antara agama dan hak asasi (meskipun pada dasarnya dalam perspektif Islam ruang lingkup hak asasi berada dalam himpunan semesta agama), akan memunculkan pilihan desakralisasi agama ketika logika/prinsip hak asasi lebih diterima daripada prinsip agama.
Dengan kemasan yang begitu humanis, bersahaja dan populer, hak asasi menjadi isu yang kemudian meluas dan tak sedikit mengundang para relawan untuk berdiri dibarisan terdepan dalam gerakan penegakkannya. Merekalah yang kemudian disebut sebagai pejuang-pejuang hak asasi. Membaurlah pejuang tersebut dalam satu payung gerakan. Mereka berkumpul dari pelosok belahan dunia, menyibak sekat-sekat negara dan bangsa, bahasa dan suku, atau bahkan ras dan agama.
Semakin menarik jika dilihat lebih dalam pula, apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh mereka para pejuang hak asasi. Tentu saja jawaban singkat dan lugasnya adalah hak-hak dasar sebagai manusia. Perjuangannya adalah menuntut hak-hak dasar tersebut kepada siapa saja yang melakukan pengekangan terhadap hak dasar seseorang atau sekelompok orang.
Kesan awal yang ditangkap dari istilah “hak asasi” adalah bahwa gerakan ini menempatkan manusia pada posisi kunci gerakan. Manusia dengan segala keleluasaannya atau keinginannya, selain menjadi sumber referensi dan ukuran, juga menjadi objek gerakan dari apa disebut dengan hak asasi. Latar belakang dan karakter seperti ini membuat hak asasi tidak bisa melepaskan diri dari stigma gerakan egois seorang manusia, yang selalu menuntut (aktif) hak-hak mereka. Dan hal ini yang mengganjal saya untuk menerima konsep hak asasi.
Posisi sentral dari setiap aktifitas hidup dan kehidupan manusia adalah Tuhan. Dan penghambaan menjadi prinsip dasar dari semua kegiatan manusia. Manusia menyerahkan sepenuhnya urusan hidup dan masa depannya pada Tuhan. Inilah konsep yang dibangun oleh Tuhan (Islam) dalam semua aspek kehidupan manusia. Sehingga konsep yang pas dalam perspektif Islam bukanlah konsep hak asasi, tetapi konsep kewajiban asasi. Kewajiban kepada siapa? Tentu saja kepada Tuhan. Prinsip ini tentu saja akan berjalan jika diikuti dengan asumsi bahwa selama manusia menjalankan kewajiban asasinya, maka Tuhan akan jaga hak-hak mereka. Jangankan hak asasi, hak-hak istimewa mereka pun Tuhan akan berikan. Bahkan ruang lingkup mekanismenya (bermainnya) tidak hanya sebatas ada di dunia, tetapi juga meliputi masa setelah kematian. Jadi gerakan kewajiban asasi menjadi lebih luas dibanding gerakan hak asasi. Kerena memang gerakan kewajiban asasi akan terlihat rasionalnya atau bahkan kesempurnaannya jika dimensi akhirat juga diikutsertakan.
Nah, yang tidak kalah menarik lagi untuk direnungkan adalah keberadaan para pejuangnya, pejuang kewajiban asasi. Pejuang yang bertujuang menegakkan dan membangunkan kesadaran semua manusia tentang kewajiban mereka pada Tuhan Sang Pencipta. Tidak banyak manusia yang kemudian sadar pada kewajiban asasi apalagi jumlah para pejuangnya. Hal ini terjadi karena gerakan ini tidak menawarkan sesuatu yang “menarik” bagi manusia secara umum dan pejuangnya secara khusus.
Bahkan gerakan ini terkesan menawarkan “beban” daripada insentif (kenikmatan) kehidupan, mengingat kewajiban itu berkonotasi pada apa-apa yang wajib dilakukan manusia. Coba bandingkan dengan istilah hak asasi yang berkonotasi pada apa-apa yang manusia akan dapatkan ketika hak-haknya dipenuhi. Tapi percayalah komparasi tak seimbang pada gerakan kewajiban asasi ini akan terlihat hanya jika pandangan difokuskan pada ukuran-ukuran materi dalam ruang lingkup dunia yang fana.
Oleh sebab itu, para pejuang kewajiban asasi adalah mereka yang berpandangan jauh kedepan. Mereka memiliki kesabaran dan keikhlasan serta perjuangan dan pengorbanan yang lebih tinggi. Itu mengapa dimata Tuhan pejuang kewajiban asasi ini begitu mulia posisinya di langit dan di bumi, baik ketika mereka hidup maupun nanti setelah mati.
Mari tunaikan kewajiban asasi kepada Allah, insya Allah hak asasimu selalu dijaga dan dipelihara oleh Allah.
Senin, 01 Maret 2010
Sampai-Sampai Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang
Aku heran kepada orang yang percaya terhadap pastinya maut,
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.
Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.
Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.
Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.
Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.
Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.
Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain
tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.
Aku heran kepada orang yang sadar bahwa Aku memperhatikan tingkah lakunya
kapan dan dimanapun saja tetapi tetap saja ia durhaka.
Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian, tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.
EMHA Ainun Najib, Isyarat Zaman (1) “Allah Merasa Heran”
Kalau tidak salah syair di atas yang disusun oleh Emha berasal dari penggalan Hadits Qudsi yang memiliki banyak tuntunan. Seringkali sebuah nasehat akan mengena pada seseorang, sampai pada hatinya, karena pilihan kata yang tepat, suasana hati yang terbuka pada apa saja, lingkungan diri yang hening dan membawa ketentraman atau karena memang seseorang itu memang tengah haus akan sebuah tuntunan. semoga nasehat ini sampai kepada hati-hati kita semua.
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.
Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.
Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.
Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.
Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.
Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.
Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain
tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.
Aku heran kepada orang yang sadar bahwa Aku memperhatikan tingkah lakunya
kapan dan dimanapun saja tetapi tetap saja ia durhaka.
Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian, tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.
EMHA Ainun Najib, Isyarat Zaman (1) “Allah Merasa Heran”
Kalau tidak salah syair di atas yang disusun oleh Emha berasal dari penggalan Hadits Qudsi yang memiliki banyak tuntunan. Seringkali sebuah nasehat akan mengena pada seseorang, sampai pada hatinya, karena pilihan kata yang tepat, suasana hati yang terbuka pada apa saja, lingkungan diri yang hening dan membawa ketentraman atau karena memang seseorang itu memang tengah haus akan sebuah tuntunan. semoga nasehat ini sampai kepada hati-hati kita semua.
Belajar Dari Hujan
Berulangkali saya sampaikan diberbagai kesempatan, bahkan ketika saya sendirian pun sempat pula terlontar dari lisan kalau saya begitu suka sekali dengan hujan. Kenapa? Awalnya susah bagi saya menjawab kenapa, tetapi perlahan-lahan akal dan hati saya memiliki justifikasi mengapa saya suka dengan hujan.
Waktu saya kecil di Balikpapan, saya paling suka mandi hujan, sambil bermain bersama teman keliling kampung sekitar tempat saya tinggal. Selain mengasyikkan, hujan memberikan banyak pengalaman menarik dalam mengeksplorasi banyak hal. Dan itu sangat berkesan sekali. Itu pula yang membuat saya membiarkan aqsa anak sulung saya untuk mandi hujan kalau dia mau.
Diluar kesenangan pada hujan secara fisiknya, banyak pula kesukaan itu muncul sebagai hasil dari perenungan sederhana. Seperti logika seperti ini; pada dasarnya hujan itu hanya tetesan air, tetapi ia menjadi lain ketika tetesan air itu tidak hanya sendiri tetapi berjamaah pada satu tempat dan waktu yang sama. Frekwensi tetesan air juga menentukan apakah ia hanya hujan kecil atau gerimis, dan ada angin yang mengiringinya pun membuat hujan mejadi naik ke level yang lebih tinggi, bukan sekedar gerimis atau hujan deras tetapi menjadi hujan badai.
Lihatlah bagaimana kondisi-kondisi tertentu akibat banyaknya tetesan air, frekwensi tetesan air, atau angin membuat nama tetesan air pun berganti menjadi hujan, gerimis, hujan lebat atau badai. Sementara hujan yang sangat halus dimana tetesan airnya tidak terasa namun memiliki efek yang sama, yaitu membasahi, adalah embun. Embun pada hakikatnya tetesan air yang masih berupa udara namun suhu tertentu membuatnya menjelma menjadi air yang meliputi semua benda.
Dari filosofi ini saya belajar banyak. Tetapi satu pelajaran yang selalu mengagumkan saya adalah hikmah dibalik hujan ini. hujan ini mengajarkan bahwa sebuah pergerakan yang memiliki kekuatan yang luar biasa dan memberikan hasil yang tak kalah luar biasa adalah kerja berjamaah. Kerja yang menghimpun semua potensi dan dikeluarkan secara bersama-sama pada satu waktu dan tempat yang relatif sama, maka hasilnya akan merubah wajah dunia. Seperti hujan, kerja bersama tetes-tetes air pada satu irama, waktu dan tempat yang sama membuat tak ada sejengkal bumi pun yang tidak basah, udara menjadi lebih bersih. Bahkan dengan angin, perubahan akibat hujan menjadi lebih nyata dan berbeda.
Disamping itu, untuk alasan yang lebih pribadi, saya menyukai hujan karena hujan membuat suasana seorang diri menjadi lebih personal, lebih pribadi. Hal ini membuat renungan kontemplasi menjadi lebih jernih dan tajam, konsentrasi menjadi lebih fokus untuk mendapatkan hasil fikir yang lebih jujur. Yes i love rain...
Waktu saya kecil di Balikpapan, saya paling suka mandi hujan, sambil bermain bersama teman keliling kampung sekitar tempat saya tinggal. Selain mengasyikkan, hujan memberikan banyak pengalaman menarik dalam mengeksplorasi banyak hal. Dan itu sangat berkesan sekali. Itu pula yang membuat saya membiarkan aqsa anak sulung saya untuk mandi hujan kalau dia mau.
Diluar kesenangan pada hujan secara fisiknya, banyak pula kesukaan itu muncul sebagai hasil dari perenungan sederhana. Seperti logika seperti ini; pada dasarnya hujan itu hanya tetesan air, tetapi ia menjadi lain ketika tetesan air itu tidak hanya sendiri tetapi berjamaah pada satu tempat dan waktu yang sama. Frekwensi tetesan air juga menentukan apakah ia hanya hujan kecil atau gerimis, dan ada angin yang mengiringinya pun membuat hujan mejadi naik ke level yang lebih tinggi, bukan sekedar gerimis atau hujan deras tetapi menjadi hujan badai.
Lihatlah bagaimana kondisi-kondisi tertentu akibat banyaknya tetesan air, frekwensi tetesan air, atau angin membuat nama tetesan air pun berganti menjadi hujan, gerimis, hujan lebat atau badai. Sementara hujan yang sangat halus dimana tetesan airnya tidak terasa namun memiliki efek yang sama, yaitu membasahi, adalah embun. Embun pada hakikatnya tetesan air yang masih berupa udara namun suhu tertentu membuatnya menjelma menjadi air yang meliputi semua benda.
Dari filosofi ini saya belajar banyak. Tetapi satu pelajaran yang selalu mengagumkan saya adalah hikmah dibalik hujan ini. hujan ini mengajarkan bahwa sebuah pergerakan yang memiliki kekuatan yang luar biasa dan memberikan hasil yang tak kalah luar biasa adalah kerja berjamaah. Kerja yang menghimpun semua potensi dan dikeluarkan secara bersama-sama pada satu waktu dan tempat yang relatif sama, maka hasilnya akan merubah wajah dunia. Seperti hujan, kerja bersama tetes-tetes air pada satu irama, waktu dan tempat yang sama membuat tak ada sejengkal bumi pun yang tidak basah, udara menjadi lebih bersih. Bahkan dengan angin, perubahan akibat hujan menjadi lebih nyata dan berbeda.
Disamping itu, untuk alasan yang lebih pribadi, saya menyukai hujan karena hujan membuat suasana seorang diri menjadi lebih personal, lebih pribadi. Hal ini membuat renungan kontemplasi menjadi lebih jernih dan tajam, konsentrasi menjadi lebih fokus untuk mendapatkan hasil fikir yang lebih jujur. Yes i love rain...
Langganan:
Postingan (Atom)