Kalau melihat struktur industri keuangan Indonesia, sebenarnya sub-sektornya sudah begitu lengkap dalam melayani setiap segmen masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi. Sepintas sub-sektor industri keuangan sudah begitu rapi dalam melayani kebutuhan jasa keuangan khususnya kebutuhan modal usaha dari setiap kelompok masyarakat; dari kelompok masyarakat usaha besar, menengah, kecil, mikro sampai dengan kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin (fakir). Ada pasar modal dan bank umum yang melayani masyarakat usaha besar, lalu ada BPR/BPRS bersama bank umum melayani kelompok usaha menengah, ada pegadaian, BPR/BPRS dan KSP/BMT melayani masyarakat usaha mikro-kecil, dan ada lembaga keuangan sosial yang melayani masyarakat miskin dan sangat miskin.
Namun sayangnya landscape seperti ini tidak diatur dan diberdayakan secara terpadu, sistematis dan terukur. Hal ini terlihat dari pengaturan dan pengembangan masing-masing lembaga keuangan dilakukan secara parsial oleh masing-masing otoritas tanpa ada koordinasi. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mungkin (mudah-mudahan) dapat menjawab masalah ini. otoritas tunggal diharapkan mampu melakukan program-program pengembangan yang lebih efisien tanpa perlu menghabiskan energi untuk hal-hal yang berpotensi tumpang tindih, karena dengan otoritas tunggal batas masing-masing sub-sektor keuangan lebih dapat diidentifikasi dan disikapi dengan baik.
Khusus untuk lembaga keuangan mikro, meski selama ini telah menjadi bagian penting dalam landscape industri keuangan nasional, namun masih terkesan sebagai sektor informal dalam sistem keuangan Indonesia. Banyak yang telah bermimpi sektor keuangan mikro ini menjadi genre baru yang formal dalam sistem keuangan Indonesia. Disahkannya UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada bulan Januari 2013 lalu sebenarnya diharapkan mampu merealisasikan mimpi itu, namun ternyata masih meninggalkan beberapa pekerjaan rumah yang menunda mimpi tadi terwujud.
Lembaga keuangan mikro seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Unit Pelaksana Teknis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (UPT-PEM), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP Koperasi), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS Koperasi), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) atau lembaga sejenis lainnya sepatutnya diformalkan dengan diatur dan diawasi oleh satu lembaga menggunakan standard yang seragam.
Alih-alih memunculkan genre baru itu, ternyata UU LKM yang membatasi LKM beroperasi maksimal pada tingkat kabupaten/kota dibawah pengaturan OJK dan UU Perkoperasian yang membatasi bentuk usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha KSP/USP/KJKS/UJKS dibawah pengaturan Kementerian Koperasi melalui Lembaga Pengawasan KSP (LP-KSP), memunculkan dua otoritas pada industri keuangan mikro ini. Khusus untuk BMT sebagai KJKS, keberadaan dua UU ini membuatnya menghadapi dilema; pengaturannya dibawah OJK atau LP-KSP?
Meskipun begitu, masih ada peluang memunculkan genre baru industri keuangan mikro nasional dibawah satu badan pengaturan yang baik. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan kompromi atau koordinasi antara OJK dan Kementerian Koperasi (hal ini juga menjadi amanah bagi OJK dalam UU LKM), untuk menyepakati pengawasan semua jenis lembaga keuangan mikro tanpa terkecuali. Mungkin jalan tengah yang dapat menjadi alternatif adalah menyepakati LP-KSP ditransformasi menjadi pengawas lembaga keuangan mikro yang mendapat mandat dari OJK dan Kementerian Koperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar