Kamis, 29 Desember 2011

Namanya juga amal shaleh bukan hasil shaleh


Beramal shaleh untuk mendapatkan dan menumpuk pahala? Apa seperti itu kelazimannya? Bagaimana kalau beramal shaleh tidak untuk pahala, tidak ada korelasi dan motivasi pahala. Tetapi beramal shaleh untuk menggugurkan dosa. Kenapa? Banyak alasannya. Pertama, karena saya, anda, kita semua pasti punya dosa. Kedua, belum tentu amal itu bersih dan layak diganjar pahala. Ketiga, mitigasi risiko fitrah kemanusiaan yang selalu salah, sehingga boleh jadi penambahan dosa jauh lebih besar dari penambahan pahala. Menarik? Ya terserah konsep berfikir dan kenyamanan hati pada konsep itu.

Yang pasti saya sedang memiliki banyak waktu untuk merenungkan konsep-konsep hidup, dan bagaimana melaksanakannya. Saat ini saya sedang terpaku, berfikir dan berdiskusi dengan diri sendiri tentang hakikat amal-amal kebaikan. Misalnya lintasan fikiran seperti ini: ngotot dengan proses, bukan ngotot dengan hasil. Namanya juga “amal shaleh” bukan “hasil shaleh”. Jadi konsentrasi saja dengan amalnya, dengan prosesnya, dan tak perlu habiskan energi untuk kesal karena hasilnya.

Aneh ya, waktu dihabiskan dengan renungan-renungan seperti ini. Tapi setidaknya untuk saya, kesimpulan-kesimpulan renungan itu membuat saya mampu mengendalikan diri, tidak larut pada satu sikap yang menurut saya sia-sia. Bersumber dari renungan-renungan semacam ini, rasa kecewa dan sedih saya lebih memiliki korelasi kuat dengan proses amal, bukan dengan hasilnya. Saya akan lebih kecewa dan sedih jika saya gagal melaksanakan setiap kesempatan amal shaleh atau tidak mampu maksimal di dalam prosesnya, dibandingkan dengan kecewa karena hasil yang tidak sesuai harapan. Meski saya masih harus terus belajar untuk membiasakan diri dengan kelaziman ini.

Saya masih terus berusaha untuk meyakinkan diri, baik hati maupun akal sehat saya, bahwa hasil itu lebih bergantung pada kehendak Tuhan. Bahkan kita mampu melaksanakan amal shaleh saja itu atas izin Tuhan, ya bergantung pada kehendak Tuhan juga. Jadi sebenarnya yang eksis di muka bumi ini hanya kehendak Tuhan saja. Selebihnya hanya debu atau lebih remeh dari itu.

Rabu, 28 Desember 2011

Termenung di penghujung waktu











Termenung di penghujung waktu
Melihat jejak yang sudah tertoreh menjadi sejarah
Merenungkan semburatnya di langit hakikat dan makna
Apakah ia berbentuk dosa atau mungkin pahala

semakin jauh melihat kebelakang
semakin banyak istighfar yang harus dilisankan
dan ketika melihat kedepan, jauh lagi kedepan
ternyata tetap istghfar yang harus dilisankan

amal yang shaleh itu.. (2)

Sahabat Ali Bin Abi Thalib r.a pernah mengungkapkan kalimat kurang lebih seperti ini; tanyalah aku sebelum aku tidak ada diantara kalian. Kalimat beliau ini saya yakin dilisankan tidak dengan motivasi takabur apalagi narsis, tetapi lebih berlatar belakang membantu kesulitan orang lain, beliau ingin membantu memecahkan masalah orang lain, disamping memang Sahabat Ali merupakan salah satu sahabat paling cerdas, penuh dengan ilmu. Konon Rasulullah SAW saja pernah berkata kurang lebih menunjukkan keutamaan Sahabat Ali Bin Abi Thalib, kata Nabi Aku ini gudangnya ilmu dan Ali merupakan kuncinya.

Saya bukannya ingin mengajak anda semua menjadi seperti Sahabat Ali Bin Abi Thalib, tidak semua orang memiliki bentuk dan tingkat kecerdasan yang sama. Saya juga tidak ingin mengatakan kalau saya Ali yang seperti itu, saya Ali yang lain. Yang saya ingin adalah mengambil pelajaran dan juga mungkin berguna untuk anda, yaitu pelajaran untuk dapat selalu menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Keberadaan kita mampu menyemangati orang lain, membantu meringankan atau bahkan menyelesaikan masalah mereka.

Jangan sampai keberadaan dan ketiadaan kita tidak menambah atau mengurangi value added bagi manusia lain, atau naudzubillah, keberadaan kita malah menambah beban orang lain dan ketiadaan kita malah meringankan hidup mereka.

Berkacalah pada waktu masa lalu, pada sejarah-sejarah yang telah ditoreskan dalam buku-bukunya. Manusia-manusia mulia sebelum kita, kemuliaannya direfleksikan oleh kemanfaatan dirinya bagi manusia disekitarmereka. Sementara pada diri mereka sendiri, mereka tidak peduli berapa kemanfaatan yang sudah mereka berikan, tidak ada limit, tidak juga ada batasan marginal utility-nya; dimana semakin banyak kemanfaatan yang sudah dia lakukan maka semakin sedikit yang ia ingin korbankan untuk bisa melakukan lebih banyak kemanfaatan. Manusia mulia itu sangat rakus mengambil semua kesempatan untuk memberikan kemanfaatan, tidak ada semangat yang menurun apalagi sampai diminishing return.

Seperti yang pernah diungkap oleh Almarhum Sheik Tarbiyah Ustadz Rahmat Abdullah, orang-orang mulia itu tidak pernah menghitung-hitung kebaikan yang sudah dilakukan bagi manusia lain, tetapi menghitung-hitung keburukan yang telah dilakukannya pada orang lain. Mereka juga tidak menghitung-hitung keburukan orang lain yang dilakukan pada dirinya, tetapi menghitung-hitung kebaikan orang lain yang diberikan padanya.

Namun yang menjadi pertanyaan saya, apa yang mampu membuat mereka memiliki semangat tiada habisnya, motivasi yang terjaga ketinggiannya, dan sumber-sumber amal shaleh selalu kaya? Seperti yang pernah juga saya tuangkan dalam tulisan sebelum ini, boleh jadi kekuatan itu datang dari rasa cinta yang teramat besar pada Tuhan dan harapan yang tak terhingga pada janji-janji-Nya, sehingga waktu tidak bisa mengurangi apalagi membunuh semangat dan motivasi mereka. Disamping itu, memang dengan kasih sayang-Nya (yang terkadang sangat misterius), Tuhan memberikan kesempatan tiada batas bagi mereka untuk melakukan kebaikan-kebaikan, menyebarkan kemanfaatan-kemanfaatan. Mungkinkah kita memiliki itu semua? Mampu mencintai Tuhan diatas semua yang ada di muka bumi dan mampu mendapatkan cinta dan kasih sayang Tuhan, sehingga didepan kita telah terhampar kebaikan-kebaikan yang ringan untuk kita sebarkan.

Senin, 26 Desember 2011

Logika Dunia

Satu ketika saya pernah memiliki kesimpulan penting tentang hidup saya, bahwa saya sudah mampu memahami rahasia dunia, saya mengetahui logika-logika dunia, sehingga saya mampu membaca hikmah-hikmah dari peristiwa-peristiwa didalamnya, sehingga mampu mengetahui respon apa yang sepatutnya dilakukan. Tetapi kini pemahaman saya semakin dalam, karena meski saya mampu memahami logika dunia tetapi seringkali saya belum mampu menyikapinya dengan tepat. Saya masih belum bisa merubah pemahaman itu menjadi kekuatan ikhlas untuk menyikapi peristiwa-peristiwa dunia, khususnya yang berkaitan dengan diri dan harapan saya. Singkatnya, saya tahu sikap apa yang harus diambil, tetapi tidak mampu melakukannya.

Begitu beratkah? Berat tidaknya itu relative. Seberapa berat sih kelopak mata, tetapi ketika mengantuk, kelopak seremeh itu bebannya begitu berat. Begitu juga, sikap-sikap benar yang patut dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu dalam hidup, boleh jadi ia seremeh kelopak mata itu, tetapi ketika nafsu dan ujian tengah meninggi, maka sikap-sikap benar itu menjadi begitu sulit untuk dilakukan. Mungkin itu sebabnya banyak manusia baik tidak cukup mampu menjaga kebaikannya sepanjang waktu.

Ada yang mengatakan memahami rahasia dan logika dunia sama dengan memahami rahasia diri dan hati. Karena semua yang terjadi di hamparan dunia akan menjadi kesan yang dicerna dalam akal, dan kemudian hatilah yang memutuskan untuk bersikap seperti apa. Hubungan antara akal dan hati begitu eratnya. Informasi yang masuk pada keduanya begitu beragam, baik secara intensitas dan kedalaman maupun secara kualitas dan kuantitas. Oleh sebab itu, penyikapan yang keluar dari hati juga sangat bergantung pada kualitas hati dalam memproses semua informasi yang ada.

Dengan demikian, menjadi sangat penting melakukan usaha-usaha meningkatkan kualitas hati, membersihkan hati dari berbagai jenis kotoran. Karena pada tahapan selanjutnya, kebersihan hati inilah yang akan menentukan apakah akal akan selalu konsisten dengan kewarasan yang benar. Dengan hati yang tidak begitu baik, sulit menjaga agar akal selalu sehat dalam mencerna berbagai logika. Apalagi ketika factor eksternal diluar diri tidak lagi menggunakan rasionalitas yang benar.

Manusia memang begitu rumit, tetapi ia memiliki potensi untuk menyederhanakan diri dan semua yang melekat pada dirinya. Tuhan sudah menyediakan dunia dengan segala fasilitas yang cukup, juga dengan hukum-hukum peristiwa dan kejadian yang tetap. Manusia tinggal menjalaninya, menggunakan semua kemampuan yang juga telah dibekalkan dalam dirinya. Tetapi mengapa dunia terlihat begitu berat? Lihat saja berita-berita dunia, kemiskinan, pengangguran, kerusuhan, peperangan, konflik politik, kesenjangan dan krisis ekonomi. mungkinkah semua masalah itu bermula dari hati?

Krisis Adalah Hasil Kejahatan Ilmu


Saya masih ingin bicara tentang penjahat ilmu. Jika teroris merugikan karena alasan selalu menimbulkan korban jiwa, maka penjahat ilmu (khususnya ekonomi) mungkin diklasifikasikan sama, karena mereka juga menimbulkan korban. Bahkan korban dari penjahat ilmu bukan hanya 1 atau 2 manusia yang tewas, tetapi sangat masif akibatnya; dari kemiskinan, kelaparan, gelandangan, kriminalitas sampai dengan kerusuhan sosial. Kemiskinan tidak dapat disebut kemiskikan jika hanya 1 atau 2 yang miskin, begitu juga kelaparan, gelandangan, kriminalitas apalagi kerusuhan sosial.

Bayangkan jika ilmu ekonomi yang dihasilkan para intelektual diformulasikan hanya untuk segelintir orang-orang kaya. Ilmu yang tidak mempertimbangkan kebaikan dan kebenaran sistem, yang tidak memelihara prinsip-prinsip keadilan pada mekanismenya, yang tidak menjadikan hasil pencapaiannya sebagai cermin untuk pengembangan selanjutnya, maka pada dasarnya akan mengancam kelangsungan sistem itu sendiri. Dan ketika kebijakan-kebijakan ekonomi diambil dengan menggunakan formulasi ilmu seperti ini, terbayang berapa lagi angka kemiskinan dan kerusakan ekonomi lainnya akan bertambah dari kebijakan tersebut.

Pengguna ilmu harusnya peduli dengan hal-hal seperti ini. pengguna tidak boleh seenaknya menggunakan ilmu tanpa melihat dan mempertimbangkan hasil-hasil yang berasal dari aplikasi ilmu tadi. Pengguna ilmu khususnya regulator ekonomi harus sensitif dengan implikasi penggunaan ilmu pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil mereka. Ketika regulator meningkatkan suku bunga atau mengenakan pajak (baik tinggi maupun rendah) atau menambah utang luar negeri, lebih baik regulator menimbang-nimbang berapa banyak rakyat yang akan semakin miskin, berapa dari mereka yang semakin frustrasi dengan kondisi itu, daripada mempertimbangkan berapa banyak pengusaha kaya akan semakin kaya atau berapa banyak pungli yang akan semakin dinikmati birokrat-birokrat mereka.

Seringkali saya berfikir, faktor apa yang menyebabkan intelektual modern “keukeuh” dengan keyakinan ilmu konvensional, misalnya di disiplin ilmu ekonomi, yakin dengan konsep bunga dan spekulasi serta basis pelaku homo-economicus-nya, meski berkali-kali, bukan hanya sekali-dua kali tetapi ratusan kali ekonomi dirusak oleh krisis-krisis akibat ketimpangan ekonomi dan freud disebabkan oleh systemic driven karena faktor – faktor tadi (interest-speculative base economy dan greedy). Perbaikan ekonomi yang dilakukan menyikapi krisis tadi kesannya hanya riasan saja, kebijakan mengatasi krisis tidak menyentuh akar masalah. Alih-alih menghindari krisis, ilmu ekonomi malah memasukkan krisis dalam kewajaran teori. Kesalahan ilmu berupa krisis dikamuflasekan dalam teori business cycle.

Tidak keliru memang ketika ada yang mengatakan lebih berbahaya intelektual yang jahat dari pada mereka yang awam. Kejahatan mereka yang dikategorikan intelek memiliki keluasan dan kedalaman implikasi yang lebih besar. Oleh sebab itu, menjadi penting kebenaran dan keshahihan ilmu. Ilmu yang benar bukan hanya berimplikasi pada bentuk dan mekanisme sistem yang dihasilkan ilmu tadi tetapi juga membentuk prilaku manusia yang lebih baik. Misalnya ilmu ekonomi yang benar bukan hanya membentuk sistem ekonomi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dengan mengakomodasi semua segmen ekonomi dengan baik, tetapi juga membentuk prilaku manusia-manusia ekonomi menjadi lebih bersahaja, sehingga tercipta suasana interaksi ekonomi yang lebih baik. Bukan hanya interaksi di wilayah komersil tetapi juga sosial, bukan hanya melulu interaksi antara penjual dan pembeli tetapi juga interaksi yang hangat antara si kaya dan si miskin.

Sayangnya, ketika ilmu ekonomi coba untuk dikoreksi menggunakan ekonomi Islam, diskursusnya lebih banyak dan dominan diwilayah aplikasi sistem, minim sekali pada wilayah prilaku ekonomi. Implikasinya, perbaikan sistem meski lambat terus terjadi. Sementara itu hampir tidak ada yang berubah pada prilaku ekonomi. Ya perjuangan masih panjang.

Kamis, 22 Desember 2011

satu lagi tentang perjuangan

beberapa kali saya menghadiri beberapa forum seminar atau training, dan saat-saat diskusi kerap kali muncul pertanyaan-pertanyaan yang serupa, yaitu pertanyaan mengapa kinerja bank syariah belum begini belum begitu. dulu ketika bersentuhan awal dengan pengetahuan ini, sayapun begitu. namun saat ini sudah banyak hikmah dan kepahaman yang saya dapatkan, hingga akhirnya selain semangat berbuat, muncul pula kemakluman atas kondisi yang ada pada setiap tahapan perkembangan bank syariah.

pertanyaan senada itu, pada satu sisi merefleksikan betapa besar harapan banyak orang pada setiap wajihah-wajihah (projek) dakwah untuk mampu merubah kondisi ummat menjadi lebih baik, meski tanpa mempedulikan jenis dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh wajihah dakwah tersebut. bank syariah sebagai lembaga keuangan syariah merupakan buah dari rangkaian perjuangan dakwah Islam di tanah air. tidak heran akhirnya banyak sekali harapan di panggulkan pada pundak lembaga ini. oleh sebab itu, kepada anda para punggawanya, jangan sia-siakan harapan ummat ini.

tetapi pada sisi yang lain saya kasihan melihat bank syariah atau lembaga syariah lainnya, karena kata syariah atau Islam melekat pada nama lembaga mereka, maka jadilah mereka dipersepsikan sebagai lembaga yang sempurna, lembaga yang mampu menyelesaikan semua jenis masalah ummat, pada tingkat apapun, dalam bentuk apapun.

sehingga sedikit maklumlah kalau ada yang suka menuntut bank syariah menyelesaikan masalah kelaparan, anak yatim-piatu, kemiskinan, pengangguran, atau mungkin premanisme. bahkan sempat ada laporan di beberapa kantor bank syariah, warga sekitar meminta pegawai bank syariah untuk menjadi imam/khatib tarawih di masjid atau mushalla mereka.

betapa banyak yang harus dilakukan dalam dakwah ini, tidak heran Imam Hasan Al Banna sampai mengatakan kewajiban dakwah lebih banyak dari waktu yang kita miliki. itu mengapa waktu beliau habis untuk mencetak pejuang-pejuang dakwah dibandingkan mencetak buku-buku dakwah. beliau berharap beban dan kewajiban dakwah banyak yang mengusung dan memikulnya, sehingga satu persatu masalah ummat diurus, ditata dan diselesaikan.

oleh karenanya, saya serukan pada diri saya sendiri dan anda yang diberikan anugerah oleh Allah ada di medan perjuangan bank-bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. mari terus berjuang, perbaharui selalu semangat dan niat dengan harapan-harapan pada janji-janji Tuhan, segarkan selalu motivasi dengan fantasi-fantasi syurga, dan berikan kerja-kerja tulus yang maksimal dengan prosesi yang bersih. setelah itu sempurnakan semuanya dengan doa agar Tuhan menerima semua upaya dan memberikan hasil yang terbaik pada kita.

lihatlah, betapa banyak pekerja yang berhenti dari kerjanya tetapi toh bangunan dakwah akhirnya tetap berdiri, banyak pejuang yang lari dari medan perjuangan tetapi toh wilayah dakwah semakin meluas. musuh perjuangan bukan hanya tipu muslihat musuh, tetapi kekurang-sabaran, kejenuhan dan kemalasan boleh jadi menjadi pembunuh nomor satu dari perjuangan.

sudah banyak pejuang ekonomi, keuangan dan perbankan syariah terjebak pada pragmatisme dan akhirnya mundur dengan teratur dari medan-medan perjuangannya. tetapi lihatlah, lebih banyak lagi generasi baru pejuang yang tercipta, sehingga bangunan muamalah ini terus mewujud dan membesar, panji-panji Islam semakin meninggi dan berkibar.

percayalah ketika semua ini sudah selesai, akan sangat manis membicarakan semua perjuangan itu di taman-taman syurga, dibawah pohon rindang ditepi sungai madu dan susu, dibelakang istana-istana kita.. semoga Tuhan sayangi kita sampai akhir cerita hidup ini.

bagaimana mungkin dua prilaku itu ada dalam satu jiwa?

seperti apa sebenarnya kita memandang dan menempatkan ekonomi itu? sekedar sebagai ilmu alat yang dapat kita gunakan sewaktu-waktu untuk keperluan atau tujuan tertentu? adakah hubungan ilmu ekonomi itu dengan urusan kita dengan Tuhan? memiliki tempatkah ilmu ini dalam prosesi-prosesi ibadah? atau ia memang diisolasi dari urusan-urusan spiritual?

jika memang ekonomi tidak ada urusannya dengan hal-hal itu, terbayang pada benak saya, mungkin akan ada manusia yang memiliki keanehan dalam kepribadian gandanya, at least pada prilaku sosial dan prilaku ekonominya. pada satu sisi ia begitu bersahaja, dermawan dan santun. tetapi disisi yang lain dia akan ganas menghalalkan segala cara untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. ya aneh..

bagaimana mungkin dua prilaku itu ada dalam satu jiwa?

inilah alasan saya tidak bisa memisahkan materi-materi ahamiyatusysyahadatain (urgensi syahadat), ma'rifatullah (mengenal Allah), ma'rifaturrasul (mengenal Rasul), ma'rifatul Islam (mengenal Islam), ma'rifatul insan (mengenal manusia) dari materi-materi economic behavior, marginal utility, theory of consumption and production. saya harus akui, materi-materi ketauhidan telah sangat membantu saya memahami teori prilaku ekonomi dalam Islam.

hingga akhirnya saya berkesimpulan tidak ada batas antara ekonomi dan Islam. berprilaku ekonomi sama dengan berprilaku dalam Islam. harapan-harapan ekonomi adalah harapan-harapan saya dalam payung Islam. begitulah selanjutnya, sampai tujuan ekonomi dan tujuan Islam bertemu pada satu sasaran, yaitu Syurga.

Rabu, 21 Desember 2011

Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang

mungkin ini masanya mengisi hati dengan banyak nasehat, dengan kalimat-kalimat yang bertutur kebaikan dan kebenaran, kalimat yang diterima dengan kelapangan meski susunan kata nasehat itu begitu menyakitkan maknanya. saya atau anda mungkin juga akan memasuki suasana kosong dan hampa, dimana tidak ada penghiburan yang lebih pantas kecuali nasehat.

dibawah ini seingat saya disarikan dari nasehat Tuhan dalam Hadits Qudsi, tetapi dituturkan kembali oleh Emha Ainun Nadjib dengan kalimat sederhana tetapi begitu mengena. sudah kesekian puluh kalinya nasehat di bawah ini saya baca dan baca kembali, tetapi selalu saja ada sesuatu yang berbeda tertinggal dalam benak dan hati. mungkin anda juga begitu. mari baca kembali..

Sampai-Sampai Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang

Aku heran kepada orang yang percaya terhadap pastinya maut,
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.

Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.

Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.

Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.

Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.

Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.

Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain
tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.

Aku heran kepada orang yang sadar bahwa aku memperhatikan tingkah lakunya
kapan dan dimanapun saja tetapi tetap saja ia durhaka.

Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian
tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.

EMHA Ainun Najib, Isyarat Zaman (1) “Allah Merasa Heran”

Istighfar dan Hamdallah

Sebenarnya saya tidak ingin menulis renungan ini di blog, tetapi setelah difikir kembali, mungkin juga ada manfaatnya pada waktu-waktu nanti, untuk cermin diri dan alat ukur sejauh mana kemunafikan diri saya pribadi.

Baru tadi ada seorang adik SMA bertanya atau mungkin lebih tepatnya konsultasi pada saya melalui SMS. Tidak tahu dari mana dia dapatkan no HP saya. Beliau bertanya bagaimana mengatasi rasa gugup yang selalu muncul ketika menghadapi masalah besar.

Dengan rasa yang berat saya menjawab kurang lebih seperti ini; kalau masalah itu muncul karena ulah kita, jangan lupa istighfar, tapi kalau bukan mungkin Tuhan sedang memperhatikan dan sayang kepada kita, jangan lupa hamdallah. Gugup itu datang dari rasa khawatir. Nah kalau sudah punya istighfar dan hamdallah, kenapa harus gugup?

Ya Allah, tidak jarang Tuhan menasehatiku dari lidahku sendiri...

Minggu, 18 Desember 2011

Penjahat Perang Vs Penjahat Ilmu

Baru saja saya membaca berita penarikan penuh tentara US dari bumi Irak. Mereka meninggalkan tanah Irak yang porak-poranda, meninggalkannya setelah ratusan ribu korban rakyat Irak berjatuhan, mereka tidak mungkin disebut membangun Irak, mereka menghancurkan negeri itu selama lebih dari 9 tahun. Saya pikir cukup layak jika mereka digelari penjahat perang.

Tetapi baru saja saya berfikir, jikalau seorang atau sekelompok orang memberikan buah fikirannya tentang konsep ekonomi, namun ternyata buah fikiran itu telah membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin papa, apakah layak juga mereka digelari penjahat ilmu.

Buah fikirannya lebih dilandasi oleh syahwatnya daripada ketundukannya pada sumber pengetahuan dunia. Akibat buah fikiran seperti itu, prilaku manusia semakin jauh dari bersahaja, manusia menjadi lebih serakah, menjadi sangat individualistik-materialistik, dan akhirnya menciptakan kekacauan sistem kehidupan. Korban yang ditinggalkan bukanlah korban-korban tewas karena peluru yang bersarang di tubuhnya, tetapi korbannya berupa kemiskinan, pengangguran, kelaparan, kesenjangan dan konflik-konflik sosial. Sekali lagi, layakkah mereka yang mengaku intelektual itu digelari PENJAHAT ILMU?

Fenomena Turki, Krisis Eropa, Arab Spring dan Kebangkitan Islam


Sebelum berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri International Conference on Sharia Governance, di bandara Soekarno-Hatta, saya tertarik membeli Majalah Time edisi November 28, 2011. Yang membuat saya tertarik adalah covernya yang memajang foto gagah Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan (dalam bahasa arab mungkin nama beliau menjadi Rasyid Thoyib Irwan). PM Turki ini sukses membuat dirinya dan kinerja ekonomi negerinya menjadi perbincangan hangat di banyak forum ekonomi dan politik di seluruh dunia. Penasaran saya bertambah pada majalah ini setelah melihat beberapa artikel yang menjadi bahasan dalam majalah Time tersebut. Salah satunya adalah Euro Crisis: A Critical New Phase.

Fenomena Turki
Dalam 8 tahun masa kepemimpinan PM Erdogan, Turki berhasil meningkatkan taraf ekonominya sampai 3 kali lipat; pendapatan perkapita negara itu mampu meningkat dari USD 3,492 menjadi USD 10,079 atau naik 288%. Dengan pencapaian ini PM Erdogan dan partainya dapat membuktikan banyak hal pada sikap skeptic pemimpin-pemimpin dunia khususnya regional Eropa dan Timur Tengah ketika Erdogan dan partainya AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) pertama kali memenangi pemilihan umum pada 8 tahun lalu. Partai yang beraliran islam moderat ini mampu membuktikan bahwa partai Islam dapat hidup berdampingan dengan konstitusi sekuler negara Turki, bahkan dengan gemilang mempersembahkan pembangunan ekonomi yang mengagumkan, pembangunan yang notabene tidak pernah sekalipun dicapai oleh rezim sekuler sebelumnya sejak rezim sekuler Altaturk (Kemal Al Taturk) berkuasa awal abad 20.

Selain itu, Erdogan mampu menjawab keangkuhan Eropa yang mengulur-ulur proposal Turki untuk bergabung dalam masyarakat ekonomi Eropa karena alasan keterbelakangan ekonomi, demokrasi dan HAM, dengan jawaban yang begitu cantik. Erdogan bahkan bukan hanya mampu menjawab, tetapi berhasil menjaga Turki untuk tampil mengagumkan secara ekonomi di tengah kondisi negara-negara Eropa yang cenderung bangkrut secara massif. Prestasi Turki ini memperlihatkan situasi yang unik kalau tak ingin dikatakan lucu, dulu Eropa menuding-nuding kondisi tradisional ekonomi Turki, namun kini mereka tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada performa ekonomi Turki. Sementara itu, kondisi negeri mereka di Eropa butuh bantuan keroyokan utang untuk tetap hidup dari negeri kaya dan lembaga-lembaga keuangan dunia. Kasihan ya.

Meski begitu, Turki sendiri dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan kejayaan bangsanya, pilihan strategi dan motivasi pembangunan ekonomi serta bentuk diplomasi luar negeri Turki pada dasarnya tidak terfokus pada concern dan kemauan negara-negara Eropa. Turki sepertinya memiliki gaya dan skenarionya sendiri, alih-alih berbaik-baik dengan Eropa demi satu tempat keanggotaan di European Union, Turki lebih mengambil gaya diplomasi terbuka dengan memainkan peran yang lebih kuat di wilayah Timur-Tengah dan tetangga di utara, negara-negara pecahan Uni Soviet yang memiliki kesamaan akar budaya dan bahasa. Dengan diplomasi luar negeri yang aktif dan semakin kuat diwilayah regional didukung dengan performa ekonomi dalam negeri yang mengagumkan (terlebih ditengah kecenderungan krisis kawasan tetangganya Eropa), Turki telah berhasil memposisikan diri (atau mungkin juga diposisikan oleh beberapa negara) menjadi role model bagi negara-negara emerging market sekaligus bagi negara-negara muslim. Dengan kondisi dan posisinya seperti itu, tentu Turki semakin kuat secara politik dan ekonomi dalam interaksi global. Perannya semakin diperhitungkan dalam dinamika politik-ekonomi, bukan hanya di dua wilayah strategis; Timur-Tengah dan Eropa, tetapi juga pada tingkat global.

Dan kini yang sebenarnya layak menjadi pertanyaan adalah, “masih berminatkah Turki menjadi anggota European Union saat ini?”. Ditengah kondisi Eropa yang babak belur dihantam krisis utang ditambah terungkapnya berbagai bentuk freud dan rugi pada berbagai perusahaan keuangannya, serta perkiraan bahwa kondisi “mandeg” ekonomi ini akan berlangsung lama, tentu tidak ada nilai tambah apapun bagi Turki untuk “ngotot” bergabung dalam komunitas Eropa. Kondisi Eropa saat ini secara jangka panjang juga akan menurunkan persepsi global terhadap reputasi baik kawasan ini. Reputasi itulah yang telah lama dinikmati Eropa berupa rating kredit yang sempurna dari berbagai lembaga rating dunia. Namun akhirnya privilege itu juga yang akhirnya menyeret kinerja keuangan fiskalnya berantakan. Mereka fikir dengan credit rating yang bagus mereka bisa dapatkan uang (utang) berapapun dengan mudah dan seenaknya belanja apa dan berapa saja. Akhirnya mereka terlena dengan itu semua, mereka melupakan besarnya kemampuan pendapatan mereka, dan ketika krisis keuangan menghantam industri keuangan mereka tahun 2008, mau tidak mau utang-utang yang selama ini mereka nikmati harus dibelanjakan untuk bailout perusahaan keuangan. Selanjutnya mereka harus menumpuk utang semakin besar, dan kini tumpukan utang itu semakin kuat menarik Eropa menuju kebangkrutan. Memang banyak analisis detil lebih rumit lainnya yang menjadi alasan shahih atas kondisi Eropa saat ini, namun jika ingin menyederhanakan apa yang sebenarnya terjadi, mungkin tidak salah memaparkan kronologi singkat seperti diatas tadi.

Krisis Eropa
Turki tidak perlu merasa kehilangan apalagi rugi. Bahkan boleh dikatakan langkah yang diambil Turki sudah tepat. Eropa mungkin sekali akan menjadi masa lalu, reputasinya dan kemegahannya hanya akan menjadi kenangan. Boleh jadi Eropa hanya akan menjadi pusat-pusat budaya untuk nostalgia, tetapi tidak untuk menjadi pemimpin peradaban dunia. Kondisi Eropa yang terus memburuk saat ini sangat memungkinkan mewujudnya kondisi masa depan Eropa seperti itu. Kepemimpinan ekonomi Eropa perlahan terlihat akan bergeser, motor baru ekonomi dunia seperti Asia dan Timur-Tengah nampaknya akan menggantikan posisi itu. Pembangunan megah ekonomi Timur-Tengah dan Asia ditambah berseminya demokrasi di kawasan itu, pasti akan menjadi gravitasi untuk menjadikan negara-negara tersebut sebagai pusat-pusat budaya dan pendidikan baru dunia. Mungkin analisis ini terlalu premature, tetapi pantas dilakukan, setidaknya untuk mendorong langkah antisipasi dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

Perlu dicermati lebih mendalam, efek dari kondisi ekonomi yang memburuk di Eropa dan Amerika Serikat boleh jadi memberikan pengaruh signifikan bukan hanya pada dimensi (sektor) ekonomi tetapi juga pada dimensi yang lebih luas, khususnya politik, keamanan, sosial dan budaya. Kebangkrutan ekonomi yang menghantui Eropa dan Amerika tentu akan menyita perhatian pemimpin Negara-negara maju itu, dikhawatirkan perhatian dominan ke masalah ekonomi domestic membuat perhatian mereka pada percaturan politik, keamanan, social dan budaya menjadi minim. Hal ini tentu diperkirakan akan membuat kekosongan pengendalian atas arah perjalanan sektor non-ekonomi dunia. Padahal disektor ekonomi sendiri kekosongan pengendalian arah ekonomi dunia juga dapat saja terjadi mengingat negara-negara maju juga cenderung lebih focus perhatiannya pada kepentingan domestic ekonomi mereka. Tendensi kearah itu sudah terlihat dari dinamika European Union yang gagal mengambil kesepakatan bersama untuk tindakan bersama atas kondisi krisis yang mengancam mereka. Sikap saling curiga dan perbedaan pendapat dari pertemuan EU diperkirakan merefleksikan sikap individualis masing-masing pemimpin Negara Eropa yang cenderung memproteksi kepentingan ekonomi domestic mereka. Usulan-usulan yang diajukan untuk mengatasi krisis, tidak bebas dari tuduhan sebagai usulan untuk kepentingan ekonomi domestic negara pengusul. Kondisi ini tentu akan menjauhkan Negara-negara Eropa dari cita-cita unifikasi komunitas mereka, yaitu menciptakan komunitas yang memiliki stabilitas pembangunan kuat dengan tingkat kesejahteraan terkemuka di dunia.

Kekosongan pengendalian serupa akan terjadi di tingkat politik dan keamanan. Kebangkrutan ekonomi Eropa dan Amerika dapat menggeser dominasi mereka pada peta politik dunia. Hal ini tentu akan menyulitkan membaca logika-logika politik mengingat logikanya menjadi begitu beragam di dunia. Politik dunia yang cenderung tidak lagi dikendalikan penuh oleh Eropa dan Amerika Serikat akan mendorong munculnya egoism politik dari negera-negara kuat ekonomi lain di luar kawasan itu. Sehingga membuat kepentingan dan tarikan politik dunia menjadi begitu beragam, dan hal ini tentu akan mempengaruhi kelajuan interaksi positif sektor lain (non-politik) baik pada bentuk interaksi bilateral maupun multilateral pada skala regional juga global. Disamping itu, kondisi kekosongan pengendalian keamanan akibat pengetatan budget pada Negara-negara adidaya militer Eropa dan Amerika akan meningkatkan risiko keamanan dunia. Dan situasi ini tentu akan memncing munculnya konflik yang lebih tajam baik secara bilateral maupun multilateral. Sementara itu kebangkrutan ekonomi Eropa dan Amerika tentu akan menurunkan belanja dan bantuan-bantuan social yang selama ini dominan dilakukan negara-negara donor dari kawasan krisis tersebut.

Kecenderungan ini tentu akan mempengaruhi program-program sektor social, khususnya pemberdayaan masyarakat marjinal (dhuafa) serta pelestarian lingkungan alam. Berdasarkan satu data, lebih dari 50% dana social yang didistribusikan di dunia khususnya untuk Negara-negara berkembang dan miskin, diberikan oleh negara-negara Eropa. Kesulitan keuangan negara-negara Eropa akibat krisis utang, mendorong mereka untuk menghentikan kucuran dana social yang biasa mereka berikan. Pertanyaannya adalah, “apakah pergeseran episentrum motor pembangunan ekonomi dunia dengan serta merta dapat menggeser negara donor dari Eropa-Amerika Serikat ke negara emerging market?” Sulit sekali menjawab pertanyaan ini dengan jawaban “ya”. Jika jawaban yang kuat itu “tidak”, maka dikhawatirkan implikasinya adalah memburuknya pembangunan masyarakat atau komunitas marginal yang ada khususnya di negara-negara miskin, mengingat program-program pemberdayaan tersebut dominan dibiayai oleh dana social dari donator di Eropa-Amerika Serikat. Padahal jika ingin mengandalkan peran negara-negara emerging market, salah-satu kesulitannya adalah budaya birokrasi yang efisien dan keberpihakan regulasi masih belum terbangun.

Pada tingkat mikro dunia usaha, ketiadaan pengendalian pada tatanan keuangan dunia akan menimbulkan instabilitas dan ketidakpastian atmosfer bisnis. Risiko dan biaya bisnis akan meningkat akibat munculnya ketidakberagaman regulasi ekonomi dan bisnis (regional dan internasional), karena tiap negara memiliki alasan kuat untuk menyesuaikan kebijakan dan regulasi mereka dalam rangka memproteksi kepentingan ekonomi nasional mereka masing-masing ditengah krisis dan ketidakmenentuan.

Bayangkan, jika kekosongan pengendalian secara menyeluruh pada semua dimensi kehidupan di dunia terjadi dalam waktu yang relative lama, dimana setiap negara tidak lagi mengikuti etika dan kelaziman interaksi yang sepatutnya dalam bingkai mutualisme karena saling curiga dan mempertahankan kepentingan negaranya masing-masing, tentu akan menimbulkan kekacauan interaksi multilateral (global). Dengan demikian ruang ringkup kekacauan ekonomi di Eropa dan Amerika tentu akan meluas dan membesar skala efeknya. Akhirnya, dunia dapat kehilangan factor perekat dalam menjalankan tata karma global. Sanggup membayangkan kekacauan multidimensi pada tingkat global?

Arab Spring dan Kebangkitan Islam
Ketidakmenentuan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat yang mungkin akan merubah peta kekuatan ekonomi atau bahkan politik dunia, ternyata diikuti dengan perubahan politik secara dramatis di kawasan kaya sumber daya alam yaitu Timur-Tengah. Satu persatu negara Timur-Tengah terbebas dari pemimpin-pemimpin tirannya, dan kemudian memunculkan rezim baru yang lebih demokratis. Demokrasi di wilayah ini diyakini akan semakin meningkatkan performa ekonomi mereka yang memanfaatkansumber daya alam yang memang kaya. Kondisi ini tentu akan semakin menguatkan Timur-Tengah sebagai salah satu episentrum baru pembangunan ekonomi dunia. Kebangkitan politik Timur-Tengah yang dikenal dengan istilah Arab Spring memunculkan harapan baru bagi masyarakat Timur-Tengah untuk dapat menikmati potensi ekonomi mereka. Pada sisi politik Arab Spring juga memberikan pengaruh yang signifikan pada pergeseran peta kekuatan politik dan pertahanan di kawasan Timur-Tengah. Ketidak mampuan back-up Eropa dan Amerika Serikat kepada Israel akibat dilumpuhkan oleh kebangkrutan ekonominya masing-masing, akan membuat Israel terisolasi di kawasan tersebut. Mengingat demokrasi yang muncul dari Arab Spring tentu akan menyalurkan kemarahan masyarakat Arab terhadap Israel selama puluhan tahun yang berhasil diredam oleh tiran-tiran mereka.

Dalam konteks peradaban, kondisi ini tentu tidak bisa dipisahkan dari wacana kebangkitan Islam. Perlu di perhatikan dengan seksama, Arab Spring sejauh ini telah memunculkan rezim baru yang dominan berasal dari gerakan-gerakan Islam. Demokrasi Tunisia dimenangkan oleh Partai Islam Moderat Annahdah sedangkan Demokrasi Mesir memunculkan Partai Kebebasan dan Keadilan yang menjadi sayap politik organisasi Islam Moderat Ikhwanul Muslimin. Sementara negara-negara Arab lainnya memiliki kecenderungan yang sama. Sebelumnya Turki dengan Partai Islam Moderatnya, Partai Keadilan dan Pembangunan berhasil menjadi rezim baru yang dicintai rakyat Turki. Fenomena ini tentu menjadi inspirasi masyarakat Arab untuk memilih rezim baru bagi negeri mereka masing-masing. Sehingga masalah Palestina yang selama ini menjadi momok ketidakpedulian Arab, tinggal menunggu waktu gilirannya untuk diselesaikan. Partai Islam Moderat yang akan menjadi nahkoda baru di negara-negara Arab diyakini akan menempatkan Palestina sebagai agenda prioritas dalam rangka mewujudkan stabilitas politik kawasan. Oleh karenanya, Israel sadar dan sudah memproyeksikan posisi mereka yang sulit pada waktu-waktu kedepan. Israel bukan hanya akan menghadapi tekanan politik di kawasan Timur-Tengah, tetapi juga menghadapi kendornya dukungan sekutu loyalist mereka Eropa dan Amerika Serikat. Memburuknya situasi ekonomi Eropa dan Amerika serta semakin berseminya demokrasi politik Arab, diperkirakan akan memakan korban secara politik, dan tentu korban utamanya adalah Israel.

Dilain sisi, perkembangan Islam tidak dihambat factor eksternal seperti yang selama ini terjadi. Propaganda anti Islam dan misi-misi misionaris yang selama ini dibiayai donator Eropa dan Amerika Serikat, boleh jadi mengendur akibat desakan krisis. Berkembangnya peran Islam moderat dengan bukti-bukti keberhasilannya beberapa negara muslim pada kinerja ekonominya dan demokrasi politik, membuat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat relative tidak mendikte strategi pembangunan negeri muslim, disamping memang mereka saat ini betul-betul membutuhkan bantuan dari siapapun, berapapun dan apapun bentuknya. Negeri-negeri muslim yang kaya tentu akan menjadi teman yang baik untuk mengatasi kondisi keuangan mereka, sementara negeri muslim yang berpopulasi besar tentu sangat pas untuk menjadi pasar produk-produk mereka. Ditengah tingkat mengangguran tinggi Eropa dan Amerika Serikat sangat membutuhkan pasar bagi sektor riil mereka untuk membuka lapangan kerja. Dengan demikian, perkembangan Islam akan sangat ditentukan oleh kondisi internal negeri-negeri muslim itu sendiri. Factor yang cukup menentukan adalah meningkatnya penduduk muslim ekonomi menengah yang terdidik, berkembangnya demokrasi dan tentu berseminya kesadaran keislaman yang terus membaik di negeri-negeri muslim. Bentuk-bentuk kebangkitan yang yang mungkin lebih tepat disebut “Islam Spring” terlihat dalam bentuk internationalization ekonomi Islam, diterimanya politik Islam berdampingan dengan demokrasi modern, budaya Islam yang membangkitkan kebanggaan pada nilai dan norma Islam. Dalam situasi inilah pondasi kebangkitan politik-ekonomi Islam akan dibangun. Dan pondasi ini yang kemungkinan besar akan menjadi landasan awal dari munculnya sebuah peradaban baru Islam di akhir zaman. Shahihkah analisis ini? Mari sama-sama kita saksikan dan buktikan.

Perjuangan Ekonomi Islam di UNPAD Bandung


Forum Riset Perbankan Syariah keempat di UNPAD Bandung, Alhamdulillah terlaksana dengan baik. Keberhasilan pelaksanaan Forum Riset kali ini memiliki makna yang cukup emosional bagi saya pribadi. Karena setelah 15 tahun berselang sejak kami pertama kali memulai perjuangan Ekonomi Islam di kampus tercinta UNPAD Bandung, baru kali ini saya melihat para guru besar dan staf pengajar senior FE UNPAD hadir dalam forum yang mendiskusikan Ekonomi Islam. Tidak hanya itu, para guru besar dan staf pengajar aktif dalam perancangan acara serta ikut dalam diskusi, baik sebagai peserta maupun sebagai narasumber. Kondisi yang membedakan adalah telah berdirinya Pusat Studi Ekonomi Islam di bawah naungan Fakultas Ekonomi. disamping itu, tiga jurusan yang ada; ekonomi, manajemen dan akuntansi berlomba-lomba untuk memunculkan bentuk-bentuk pembelajaran Ekonomi Islam, baik berupa mata kuliah khusus, konsentrasi maupun program studi.

Kepada teman-teman seperjuangan yang dahulu hingga saat ini pernah berhimpun dalam keluarga Islamic Studies of Economics Group (ISEG) FE UNPAD, lihatlah pencapaian perjuangan kita sejauh ini. Meski focus setiap perjuangan bukanlah hasil, tetapi layak saja hasil-hasil yang Tuhan telah limpahkan menambah semangat kita untuk berbuat lebih banyak dan lebih keras. Dahulu kita hanya berharap forum-forum diskusi secara regular berlangsung di kampus kita ini, setelah itu kita berharap ia menjadi satu mata kuliah, selanjutnya kita ingin agar ekonomi Islam pilihan-pilihan skripsi diantara mahasiswa, kini semua itu sudah Tuhan berikan. Bahkan bukan hanya sekedar itu, kini semua jurusan memiliki staf pengajar yang yang konsentrasi pada ekonomi dan keuangan Islam, setiap jurusan menyediakan konsentrasi pembelajaran pada Ekonomi Islam, dan terakhir fakultas dalam proses pendirian program studi Ekonomi Islam.

Hasil itu semua membutuhkan waktu 15 tahun untuk perjuangan kita di ISEG, dengan intensitas, kuantitas, dan kualitas perjuangan yang telah kita lakukan. Kita memulainya dari bermodalkan semangat, dari pengetahuan yang tidak ada, dari forum-forum terbatas informal, dari komunitas yang dapat dihitung dengan jari, tetapi kini ia telah berubah menjadi silabus, menjadi kurikulum, menjadi program studi, menyebar dan menjadi perhatian semua jurusan ekonomi, menjadi concern segenap anggota civitas academica, menjadi kelas-kelas formal yang tercatat dalam indeks nilai kelulusan resmi fakultas dan dilakukan semua civitas academica FE UNPAD dari mahasiswa, dosen, guru besar dan birokrasi kampus. Dan kini mereka semua bersama-sama kita bahu-membahu mewujudkan Forum Riset ini berlangsung.

Kepada adik-adik mahasiswa yang masih terus aktif dan bersemangat, teruskan perjuangan. Kepada rekan-rekan seperjuangan yang kini entah ada di medan perjuangan yang mana, pelihara dan jaga semangat yang sudah ada dalam sejarah kehidupan kampus kita. Mari terus berusaha dengan segenap kemampuan yang telah dianugerahkan kepada kita. Dalam 15 tahun ini Tuhan sudah tunjukkan, ada atau tidak adanya kita terlibat dalam perjuangan ini, ekonomi Islam akan tetap berkembang; mewujud, membesar dan meluas. Jika ada yang hilang atau berguguran dari proses perjuangan ini, Tuhan langsung menggantikannya dengan generasi baru, pejuang baru dengan semangat dan kinerja baru. Dan akhirnya hasil demi hasil diraih, dicapai dan terus menggelinding merealisasikan takdir-takdir baiknya. Tuhan sebenarnya sudah janjikan semua hasil ini, mau ada atau tidak ada kita terlibat di dalam perjuangan mewujudkannya.

Kepada saudara-saudara seperjuangan di belahan bumi lainnya, di medan-medan perjuangan yang berbeda, tetapi memiliki mimpi yang sama, ingatlah, perjuangan tidak terikat pada waktu, ia tidak pula bergantung pada hasil dari setiap periode-periode perjuangannya. Perjuangan adalah perjuangan, ia hanya digerakkan oleh keikhlasan untuk mengabdi pada Tuhan, rasa penghambaan yang tulus tanpa syarat. Sunnah perjuangan akan berulang dan berulang, ia tidak bergantung pada satu atau sekelompok pejuang, ia hanya bergantung pada kesadaran yang selalu hadir pada setiap zaman, selalu saja ada yang memilikinya, meski yang memilikinya dapat berganti-ganti. Semoga sepenggal kisah perjuangan di UNPAD ini, menjadi inspirasi bagi anda dan tentu saja bagi pejuang di UNPAD itu sendiri.

Mari saling berdoa, semoga perjuangan ini terus terpelihara dan terus menghasilkan kebaikan-kebaikan. Kepada pejuang-pejuang kampus yang kini menjadi birokrat sekaligus pengajar di kampus tercinta, semoga kasih saying Allah SWT tercurah kepada anda semua. Semoga dari usaha anda pejuang-pejuang baru akan lahir dengan kualitas yang lebih tinggi lagi. Prof. Tati, Prof. Nen Amran, Bp. Harlan, Dr. Yunizar, Dr. Erie Febrian, Kang Irawan, Teh Alpiah Hasanah, dan semua mahasiswa ISEG, may Allah Almighty bless and keep you.

Rabu, 07 Desember 2011

Fatwa Shopping 2

Pada International Conference on Sharia Governance yang baru lalu berlangsung di Yogyakarta (3 Desember 2011), kerjasama antara UII Yogyakarta dengan ISRA Malaysia, ada hal yang menarik dan membuat saya terus memikirkannya sampai hari ini. Secara umum tidak ada yang istimewa dalam konferensi itu, meski memang topic yang dibincangkan dalam konferensi tersebut memang menarik, tetapi yang special bagi saya adalah respon Dr. Aznan Hasan terhadap presentasi saya terkait isu Fatwa Shopping. Isu fatwa shopping sengaja saya munculkan dan bahan itu saya quote dari Dr. Sayd Farook (Thomson Reuters). Dan tentang fatwa shopping sudah pernah saya elaborasi dalam satu tulisan khusus dalam blog ini.

Dr. Aznan Hasan menyayangkan isu fatwa shopping ini muncul, beliau berpendapat ulama mengeluarkan fatwa telah melalui proses yang cukup ketat dalam eksplorasi dalil dan pengetahuan syariah yang ada, begitu juga dengan kualifikasi ulama yang mengeluarkan fatwa tersebut diyakini cukup mumpuni. Panjang lebar beliau mengungkapkan “kekecewaan”-nya terhadap isu fatwa shopping yang mungkin seolah-olah telah mendakwa ulama otoritas fatwa mengkhianati amanahnya. Saya mencermati betul kalimat-kalimat beliau, dan sesekali menuliskan beberapa catatan.

Namun saat diberikan waktu untuk menyampaikan pendapat saya, entah mengapa saya tidak secara langsung menjawab apa yang menjadi perhatian Dr. Aznan tadi. Saya lebih menekankan pentingnya proses formulasi kebijakan pengembangan perbankan syariah mempertimbangkan kemanfaatan ekonomi, termasuk kebijakan dalam pengambilan fatwa, pertimbangan fatwa atau bahkan tata-kelola syariah. Mungkin pertimbangannya ketika itu, saya hanya tidak ingin memperpanjang polemic yang boleh jadi sangat sensitive, mengingat konferensi itu ingin membangun awareness pentingnya tata-kelola syariah (Sharia Governance) dalam pengembangan perbankan syariah.

Namun jika saya ditanya lebih lanjut, maka akan saya katakan bahwa isu fatwa shopping itu masih cukup relevan terlebih untuk kondisi Indonesia. Ditengah kondisi kurangnya sharia scholars dan tata-kelola syariah yang belum mapan, terutama masih tumpang tindihnya keanggotaan DPS dan DSN, maka isu fatwa shopping masih sangat relevan. Isu ini sebaiknya dipandang sebagai kritisi dengan maksud menjaga fungsi fatwa authority untuk tetap in-line dengan semangat sharia khususnya pada aspek ekonomi syariah. Fatwa yang keluar harus bebas dari proses fatwa shopping, bebas dari kontaminasi motif diluar kebenaran keilmuan dan keshahihan praktik. Fatwa harus bebas dari motif melayani kepentingan dan maksud praktisi, sekedar menjadi justifikasi transaksi dan produk yang substansinya sama dengan transaksi atau produk konvensional. Wallahu a’lam.