Selasa, 30 September 2008

Aku Mimpi Ramadhan

Mungkin kita selalu sadar, bahwa ada perubahan prilaku ekonomi manusia dalam bulan ramadhan, termasuk prilaku kita. Pada Ramadhan mudah bagi kita untuk menyisihkan harta untuk manusia lain yang tak berada. Pada bulan itu juga mampu kita menahan nafsu untuk tidak melayani nafsu harta; berfoya-foya, mengkonsumsi barang yang haram atau bertransaksi riba. Di penghujung Ramadhan kita tunaikan kewajiban zakat sebagai penegas bahwa manusia yang tak berada mendapatkan sedikit harta untuk dapat menikmati hari raya.

Pada tingkat negara, pemerintah memastikan transaksi barang dan jasa jauh dari unsur kemaksiatan. Pemerintah memastikan infrastruktur publik berfungsi melayani kebutuhan Ramadhan masyarakat secara cepat, mudah dan murah.

Nah kalau memang seperti itu, pernahkah kita sadar bahwa selama satu bulan Ramadhan kita secara berjamaah telah melaksanakan ekonomi Islam, meskipun pada tingkat yang mungkin minimal. Tapi setiap tahun kita lakukan itu, dan bentuk ekonomi Islam mewujud pada Ramadhan. Padahal diluar Ramadhan kita berupaya keras untuk mewujudkan konsep ekonomi itu.

Nah kalau memang seperti itu, Kenapa diluar Ramadhan kita malah merubah prilaku? Kenapa Ramadhan tak tersisa pada tindakan dan tingkah laku? Lucu ya. Tampaknya ketika Ramadhan kita tak benar-benar sadar, kita seperti di hipnotis. Saat hari raya kita tersadar dan terbangun, tetapi lupa dengan apa yang telah Ramadhan lakukan pada kita. Ternyata Ramadhan itu tak lebih dari sekedar mimpi. Akhirnya kita sendiri bingung dengan apa yang kita mau...

1 Syawal 1429 H

EID MUBARAKH

Ramadhan baru saja berlalu. Semoga kita menjadi manusia Ramadhan setiap waktu.

Mohon maaf lahir dan bathin

ali sakti
siti ruqoiyah
aqsa hasan al barra
aisyah jannat dzakiya
hafsa lubna haiba

Bailout Ditolak: Pasar Global Tumbang

Congress Amerika menolak program bailout pemerintahan Bush sebesar USD 700 billion. Berita yang mungkin pekan ini akan menjadi klimaks dari fenomena financial meltdown di Amerika Serikat. setelah penolakan tersebut indeks Dow Jones turun sebesar 777,86 poin! penurunan terbesar sepanjang sejarah Amerika! Dan akhirnya kepanikan merambat keseluruh dunia. Hal ini terjadi karena memang indeks Dow Jones merupakan kiblat rumors yang mempengaruhi semua pelaku pasar. sebelumnya sentimen negatif pasar ditunjukkan oleh kegagalan bank keempat terbesar di US yaitu Wachuvia, yang kemudian diambil alih oleh Citigroup (bank terbesar US). Kondisi itu membuat Citigroup terekspos risiko yang mungkin akan semakin menguatkan sentimen negatif di pasar Amerika.

Drama sedang terjadi di dunia keuangan Amerika. Menarik untuk selalu dicermati. bagi para teman-teman Dosen, guru atau pengajar ekonomi, fenomena ini terlalu berharga untuk diacuhkan. peristiwa besar ini harus menjadi thesis yang menjawab semua hypothesis tentang kekacauan ekonomi global. Fenomena ini sudah seharusnya menjadi daftar isi baru di buku-buku ekonomi.

Senin, 29 September 2008

Berhasilkah Bailout Memperpanjang Usia Kapitalisme?


Kalau sedikit ingin menyederhanakan masalah, ternyata program yang diambil oleh suatu otoritas dalam menghadapi krisis keuangan adalah; menambah utang, memotong utang, menghapuskan utang atau memberikan utang baru (ingat-ingat kasus Indonesia 1997-1998). Langkah ini dilakukan pada hakikatnya menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi masalah dalam ekonomi modern khususnya disektor keuangan. Krisis yang selalu melanda ekonomi global, regional maupun nasional sepanjang sejarah selalunya adalah krisis keuangan. Kondisi yang sangat nyata menjadi indikasi adalah ketimpangan antara sektor barang dan jasa dengan sektor keuangan. Transaksi yang menyedot volume maha besar dari uang beredar di sektor keuangan membuat ekonomi limbung pada satu titik tertentu (ratio tertentu antara volume sektor keuangan dan sektor riil). Bahkan waktu demi waktu potensi uang beredar yang sepatutnya digunakan untuk memproduksi barang dan jasa semakin menipis saja karena uang tersebut diarahkan oleh para kapitalis dan spekulator untuk melayang-layang saja di langit pasar keuangan.
Dan upaya diatas yang menggunakan instrumen utang dalam penanggulangan krisis, hakikatnya hanya mempersempit ketimpangan sektor riil dan keuangan. Artinya Utang berfungsi untuk memperpanjang nafas sektor keuangan karena memang utang secara jangka pendek akan menenangkan pasar dari kesulitan likuiditas (keadaan umum krisis keuangan). Bailout program oleh pemerintah amerika pada dasarnya berfungsi sama dengan upaya lazim yang kita tahu selalu direkomendasikan oleh IMF dan World bank bagi negara-negara berkembang ketika menghadapi krisis keuangan, yaitu mengatasi ketimpangan riil dan moneter/keuangan. hanya dalam kasus Amerika, pemerintah US memiliki uang relatif lebih banyak untuk digunakan untuk mengatasi kebutuhan likuiditas. sementara bagi negara-negara berkembang harus meminta kecukupan uang tersebut dari lembaga-lembaga keuangan internasional.
Namun melihat skala kerusakan dan besarnya guncangan keuangan di Amerika kali ini, apakah bailout mampu berfungsi efektif. Kita akan lihat beberapa waktu kedepan. Melihat sentimen negatif yang ditunjukkan pasar (penurunan tajam di bursa saham, meskipun ada indikasi disetujuinya bailout program), dan kecenderungan infeksi yang sudah menjalar ke Eropa (nasionalisasi beberapa bank di UK) dan Asia (penurunan nilai tukar dan bursa dibeberapa negara), menguatkan rasa pesimis pada bailout program pemerintahan Bush. Terlebih lagi program ini relatif berlarut-larut belum terealisasikan juga.
Presiden US Bush mengatakan bahwa bailout program merupakan jawaban untuk mengatasi akar permasalahan yang kini melanda sistem keuangan Amerika. Betulkah ia dan gang ekonomnya tahu apa akar permasalahannya? dengan paradigma konvensional tentu wajar ia beranggapan bahwa akar masalah ada pada kekurangan likuiditas untuk menjalankan roda sistem keuangan. Tetapi pernahkan para ekonom dibelakangnya sadar bahwa kondisi likuiditas yang guncang itu merupakan keniscayaan sistem? bahwa krisis ini selalu berulang. pernahkan ia sedikit curiga dengan sistem yang mereka anut? sistem yang melegalkan keserakahan? dan akhirnya program-program yang diambil menjadi sangat kental dengan pembelaan pada keserakahan. Bailout program lebih cenderung terlihat sebagai program yang melindungi para kapitalis, para CEO dan komisaris lembaga-lembaga keuangan, para politisi yang ternyata dominan "mengunjungi" pasar.
Apa yang ditawarkan oleh ekonomi Islam? yang jelas jika sistem ekonomi sejak awal menggunakan kaidah syariat tentu bentuk ekonomi akan menjadi single sector (tidak ada sektor "keuangan") yaitu sektor riil saja. Sektor keuangan dalam definisi konvensional menjadi tidak ada. sehingga tidak mungkin ada kondisi ketimpangan, karena sektor riil menjadi satu-satunya aktifitas puncak dalam ekonomi. Artinya dalam ekonomi Islam tidak akan ada krisis keuangan, karena in nature struktur ekonominya tidak memberikan kesempatan kecenderungan atau gejala-gejala krisis muncul.
Kemudian apa yang dimaksud dengan sektor keuangan Islam? sektor keuangan Islam jika dipahami lebih dekat dan dalam, aktifitasnya selalu melekat dengan aktifitas yang ada di sektor riil, sehingga secara struktur, sebenarnya sektor keuangan Islam bukanlah sektor yang sederajat dengan sektor riil. Sektor ini relatif "tergantung" pada apa yang terjadi di sektor riil. dengan demikian kedudukan sektor keuangan dalam Islam tak lebih sebagai sektor pendukung dari ultimate sector/soul of economy yaitu sektor riil.

Dalam konteks jangka pendek, penanggulangan sebaiknya dimulai dengan memproteksi sektor keuangan, kemudian secepatnya melakukan perubahan regulasi di dalamnya, misalnya dengan pembatasan-pembatasan praktek-praktek spekulasi dan derivasi produk keuangan, seperti pengenaan pajak pada transaksi keuangan sebagai disinsentif. Selanjutnya harus dilakukan upaya-upaya mengeratan hubungan sektor keuangan dengan sektor riil. Menggunakan konsepsi Islam atau tidak bukanlah menjadi masalah, tetapi prinsip tentu akan tak terlalu jauh dari yang telah digariskan oleh ketentuan syariat. wallahu a'lam bishawab...

Sabtu, 27 September 2008

US Financial Crisis: the unbridled free-market economy in the US has passed

'The World As We Know It Is Going Down' By Marc Pitzke in New York

In fact, it really does look as if the foundations of US capitalism have shattered. Since 1864, American banking has been split into commercial banks and investment banks. But now that's changing. Bear Stearns, Lehman Brothers, Merrill Lynch -- overnight, some of the biggest names on Wall Street have disappeared into thin air. Goldman Sachs and Morgan Stanley are the only giants left standing. Despite tolerable quarterly results, even they have been hurt by mysterious slumps in prices and -- at least in Morgan Stanley's case -- have prepared themselves for the end.

"Nothing will be like it was before," said James Allroy, a broker who was brooding over his chai latte at a Starbucks on Wall Street. "The world as we know it is going down."

Many are drawing comparisons with the Great Depression, the national trauma that has been the benchmark for everything since. "I think it has the chance to be the worst period of time since 1929," financing legend Donald Trump told CNN. And the Wall Street Journal seconds that opinion, giving one story the title: "Worst Crisis Since '30s, With No End Yet in Sight."

But what's really happening? Experts have so far been unable to agree on any conclusions. Is this the beginning of the end? Or is it just a painful, but normal cycle correcting the excesses of recent years? Does responsibility lie with the ratings agencies, which have been overvaluing financial institutions for a long time? Or did dubious short sellers manipulate stock prices -- after all, they were suspected of having caused the last stock market crisis in July.

The only thing that is certain is that the era of the unbridled free-market economy in the US has passed -- at least for now. The near nationalization of AIG, America's largest insurance company, with an $85 billion cash infusion -- a bill footed by taxpayers -- was a staggering move. The sum is three times as high as the guarantee provided by the Federal Reserve when Bear Stearns was sold to JPMorgan Chase in March.

Moral dan Ekonomi

Sorotan pada keserakahan pelaku pasar di industri keuangan Amerika yang saat ini sedang hangat dibicarakan membuat banyak pihak mulai menyadari bahwa etika prilaku menjadi penting dalam ekonomi. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi mahal yang harus ditanggung oleh ekonomi konvensional. sejak awal ekonomi konvensional telah menyingkirkan elemen moral dari sistem ekonomi. Ekonomi hanya digerakkan dan diukur oleh parameter yang terukur. Sementara moral dipandang sebagai sesuatu yang abstrak yang tak menarik untuk dijadikan parameter ekonomi. Fakta ini jauh-jauh hari telah disebutkan oleh para penyokong utama atau bahkan founding fathers ekonomi, seperti Adam Smith (Theory of Moral Sentiment) dan Alfred marshall (Principles of Economics).

Mereka secara eksplisit telah mengeluarkan moral dalam khasanah keilmuan ekonomi. dan ternyata kini masalah utama dari ekonomi adalah moral buruk para pelaku pasar. Dan moral buruk itulah segala teori ekonomi menjadi tidak relevan atau bahkan tersungkur dalam jurang yang mereka gali sendiri. Ketika krisis telah ada disekitar mereka, mereka tidak memiliki teori apa-apa untuk ditawarkan sebagai obat bagi krisis ini, kecuali peraturan-peraturan yang semakin banyak dan rumit yang bertujuan membatasi prilaku para pelaku.

Kini ketika ekonomi konvensional modern mulai concern dengan moral, apa rujukannya? apa standardnya? Apa yang menjadi dasar bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk? selama ini mereka hanya mengandalkan pasar. Baik atau buruk selalu dilihat apakah perbuatan itu bisa diterima pasar atau tidak. Kebingungan ini tentu akan menjadi tantangan yang paling besar bagi para ekonom konvensional. Apalagi agama telah diragukan kebenarannya dalam pergaulan modern.

Kamis, 25 September 2008

Bailout in chaos, government seizes WaMu

By Tom Ferraro and Richard Cowan, Yahoo News

...The bailout exceeds total lending by the International Monetary Fund since its inception after World War II. The IMF has loaned $506.7 billion since 1947 to countries in crisis as far flung as Argentina, Britain, Turkey and South Korea...

Financial Crisis: Kebijakan Vs Sistem

Salah satu topik berita visual yang tersaji di CNN adalah “Bubble Watch is needed”. Judul ini memberikan beberapa interpretasi yang mungkin penting untuk direnungkan. Pertama, judul itu menyiratkan bahwa bubble dalam ekonomi khususnya yang terjadi di industri keuangan menjadi sebuah kelumrahan sistem. Kedua, diperlukan infrastruktur atau instrumen kebijakan ekonomi yang sifatnya permanen untuk mengidentifikasi kemunculan bubble dan melakukan treatments terhadap kondisi bubble. Akhirnya bubble dianggap tak beda dengan inflasi, sekedar fenomena wajar atau bahkan keniscayaan dalam ekonomi, meskipun implikasi negatif dari bubble berpuluh atau beratus kali lipat bagi perekonomian.

Sekali lagi, hal ini wajar sekali karena menegaskan paradigma ekonomi modern ini begitu konsisten dan setianya dengan logika - rasional kapitalisme. Credit system dan aktifitas spekulasi membuat bubble menjadi sangat logis terjadi. Karakteristik itu menjadi gravitasi kuat untuk money supply dan penyebab utama money multiplier dalam sistem. Sehingga sekali lagi (juga), yang sepatutnya dilakukan untuk menyikapi krisis bubble adalah upaya pencegahan bukan upaya pengobatan. Satu-satunya jalan untuk mencegah bubble selalu muncul adalah MERUBAH SISTEM.

Bush: 'Our economy is in danger'

Bush: 'Our economy is in danger'

WASHINGTON (CNN) -- President Bush delivered remarks Wednesday night on the current crisis in financial markets and federal plans to rectify it. What follows is the full transcript of his remarks.

President Bush: Good evening. This is an extraordinary period for America's economy.
Over the past few weeks, many Americans have felt anxiety about their finances and their future. I understand their worry and their frustration.

We've seen triple-digit swings in the stock market. Major financial institutions have teetered on the edge of collapse, and some have failed. As uncertainty has grown, many banks have restricted lending, credit markets have frozen, and families and businesses have found it harder to borrow money.

We're in the midst of a serious financial crisis, and the federal government is responding with decisive action.

We boosted confidence in money market mutual funds and acted to prevent major investors from intentionally driving down stocks for their own personal gain.

Most importantly, my administration is working with Congress to address the root cause behind much of the instability in our markets.

Financial assets related to home mortgages have lost value during the house decline, and the banks holding these assets have restricted credit. As a result, our entire economy is in danger.
So I propose that the federal government reduce the risk posed by these troubled assets and supply urgently needed money so banks and other financial institutions can avoid collapse and resume lending.

This rescue effort is not aimed at preserving any individual company or industry. It is aimed at preserving America's overall economy.

It will help American consumers and businesses get credit to meet their daily needs and create jobs. And it will help send a signal to markets around the world that America's financial system is back on track.

I know many Americans have questions tonight: How did we reach this point in our economy? How will the solution I propose work? And what does this mean for your financial future?
These are good questions, and they deserve clear answers.

First, how did our economy reach this point? Well, most economists agree that the problems we're witnessing today developed over a long period of time. For more than a decade, a massive amount of money flowed into the United States from investors abroad because our country is an attractive and secure place to do business.

This large influx of money to U.S. banks and financial institutions, along with low interest rates, made it easier for Americans to get credit. These developments allowed more families to borrow money for cars, and homes, and college tuition, some for the first time. They allowed more entrepreneurs to get loans to start new businesses and create jobs.

Unfortunately, there were also some serious negative consequences, particularly in the housing market. Easy credit, combined with the faulty assumption that home values would continue to rise, led to excesses and bad decisions.

Many mortgage lenders approved loans for borrowers without carefully examining their ability to pay. Many borrowers took out loans larger than they could afford, assuming that they could sell or refinance their homes at a higher price later on.

Optimism about housing values also led to a boom in home construction. Eventually, the number of new houses exceeded the number of people willing to buy them. And with supply exceeding demand, housing prices fell, and this created a problem.

Borrowers with adjustable-rate mortgages, who had been planning to sell or refinance their homes at a higher price, were stuck with homes worth less than expected, along with mortgage payments they could not afford.

As a result, many mortgage-holders began to default. These widespread defaults had effects far beyond the housing market.

See, in today's mortgage industry, home loans are often packaged together and converted into financial products called mortgage-backed securities. These securities were sold to investors around the world.

Many investors assumed these securities were trustworthy and purchasers of mortgage-backed securities were Fannie Mae and Freddie Mac.

Because these companies were chartered by Congress, many believed they were guaranteed by the federal government. This allowed them to borrow enormous sums of money, fuel the market for questionable investments, and put our financial system at risk.

The decline in the housing market set off a domino effect across our economy. When home values declined, borrowers defaulted on their mortgages, and investors holding mortgage-backed securities began to incur serious losses.

Before long, these securities became so unreliable that they were not being bought or sold [by] investment banks, such as Bear Stearns and they could not sell. They ran out of money needed to meet their immediate obligations, and they faced imminent collapse.

Other banks found themselves in severe financial trouble. These banks began holding on to their money, and lending dried up, and the gears of the American financial system began grinding to a halt.

With the situation becoming more precarious by the day, I faced a choice, to step in with dramatic government action or to stand back and allow the irresponsible actions of some to undermine the financial security of all.

I'm a strong believer in free enterprise, so my natural instinct is to oppose government intervention. I believe companies that make bad decisions should be allowed to go out of business.
Under normal circumstances, I would have followed this course. But these are not normal circumstances. The market is not functioning properly. There has been a widespread loss of confidence, and major sectors of America's financial system are at risk of shutting down.
The government's top economic experts warn that, without immediate action by Congress, America could slip into a financial panic and a distressing scenario would unfold.

More banks could fail, including some in your community. The stock market would drop even more, which would reduce the value of your retirement account. The value of your home could plummet. Foreclosures would rise dramatically.

And if you own a business or a farm, you would find it harder and more expensive to get credit. More businesses would close their doors, and millions of Americans could lose their jobs.
Even if you have good credit history, it would be more difficult for you to get the loans you need to buy a car or send your children to college. And, ultimately, our country could experience a long and painful recession.

Fellow citizens, we must not let this happen. I appreciate the work of leaders from both parties in both houses of Congress to address this problem and to make improvements to the proposal my administration sent to them.

There is a spirit of cooperation between Democrats and Republicans and between Congress and this administration. In that spirit, I've invited Senators McCain and Obama to join congressional leaders of both parties at the White House tomorrow to help speed our discussions toward a bipartisan bill.

I know that an economic rescue package will present a tough vote for many members of Congress. It is difficult to pass a bill that commits so much of the taxpayers' hard-earned money.
I also understand the frustration of responsible Americans who pay their mortgages on time, file their tax returns every April 15, and are reluctant to pay the cost of excesses on Wall Street.
But given the situation we are facing, not passing a bill now would cost these Americans much more later.

Many Americans are asking, how would a rescue plan work? After much discussion, there's now widespread agreement on the principles such a plan would include.
It would remove the risk posed by the troubled assets, including mortgage-backed securities, now clogging the financial system. This would free banks to resume the flow of credit to American families and businesses.

Any rescue plan should also be designed to ensure that taxpayers are protected. It should welcome the participation of financial institutions, large and small. It should make certain that failed executives do not receive a windfall from your tax dollars.

It should establish a bipartisan board to oversee the plan's implementation, and it should be enacted as soon as possible.

In close consultation with Treasury Secretary Hank Paulson, Federal Reserve Chairman Ben Bernanke, and SEC Chairman Chris Cox, I announced a plan on Friday.

First, the plan is big enough to solve a serious problem. Under our proposal, the federal government would put up to $700 billion taxpayer dollars on the line to purchase troubled assets that are clogging the financial system.

In the short term, this will free up banks to resume the flow of credit to American families and businesses, and this will help our economy grow.

Second, as markets have lost confidence in mortgage-backed securities, their prices have dropped sharply, yet the value of many of these assets will likely be higher than their current price, because the vast majority of Americans will ultimately pay off their mortgages.
The government is the one institution with the patience and resources to buy these assets at their current low prices and hold them until markets return to normal.

And when that happens, money will flow back to the Treasury as these assets are sold, and we expect that much, if not all, of the tax dollars we invest will be paid back.
The final question is, what does this mean for your economic future? Well, the primary steps -- purpose of the steps I've outlined tonight is to safeguard the financial security of American workers, and families, and small businesses. The federal government also continues to enforce laws and regulations protecting your money.

The Treasury Department recently offered government insurance for money market mutual funds. And through the FDIC, every savings account, checking account, and certificate of deposit is insured by the federal government for up to $100,000.

The FDIC has been in existence for 75 years, and no one has ever lost a penny on an insured deposit, and this will not change.

Once this crisis is resolved, there will be time to update our financial regulatory structures. Our 21st-century global economy remains regulated largely by outdated 20th-century laws.
Recently, we've seen how one company can grow so large that its failure jeopardizes the entire financial system.

Earlier this year, Secretary Paulson proposed a blueprint that would modernize our financial regulations. For example, the Federal Reserve would be authorized to take a closer look at the operations of companies across the financial spectrum and ensure that their practices do not threaten overall financial stability.

There are other good ideas, and members of Congress should consider them. As they do, they must ensure that efforts to regulate Wall Street do not end up hampering our economy's ability to grow.

In the long run, Americans have good reason to be confident in our economic strength. Despite corrections in the marketplace and instances of abuse, democratic capitalism is the best system ever devised.

It has unleashed the talents and the productivity and entrepreneurial spirit of our citizens. It has made this country the best place in the world to invest and do business. And it gives our economy the flexibility and resilience to absorb shocks, adjust and bounce back.
Our economy is facing a moment of great challenge, but we've overcome tough challenges before, and we will overcome this one.

I know that Americans sometimes get discouraged by the tone in Washington and the seemingly endless partisan struggles, yet history has shown that, in times of real trial, elected officials rise to the occasion.

And together we will show the world once again what kind of country America is: a nation that tackles problems head on, where leaders come together to meet great tests, and where people of every background can work hard, develop their talents, and realize their dreams.

Thank you for listening. May God bless you.

Selasa, 23 September 2008

US Financial Crisis: Madzhab Baru Ekonomi Muncul?

Guncangan ekonomi akibat badai keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930. Di sela-sela gegap-gempita para regulator dalam meramu kebijakan, lawmaker dalam menimbang-nimbang legalisasi kebijakan, para akademisi kini kini mereka-reka bentuk baru ekonomi modern. Setiap turbulensi yang terjadi pada perekonomian selalunya menjadi data yang dapat digunakan dalam fine-tuning teori ekonomi. Atau bahkan jika turbulensinya teramat kuat, yang kemudian dapat dilakukan mungkin bukan sekedar fine-tuning, tetapi boleh jadi “wave shifting” atau perubahan wajah ekonomi melalui paradigma dan falsafah dasar sebuah madzhab ekonomi.

Great Depresion sebagai turbulensi dahsyat ekonomi di awal abad 20 telah membelah pemikiran (madzhab) ekonomi konvensional modern menjadi 2 madzhab besar, yaitu Klasik dan Keynesian. Meskipun pada perkembangannya kedua madzhab ini menelurkan sekte-sekte yang mencampurkan dua pemikiran besar tersebut. Akan tetapi kedua gerbong madzhab ini memiliki warna unik yang menjadi panduan para pengikut dan pengusungnya. Madzhab Klasik relative dikenali melalui keyakinannya pada kekuatan kompetisi pasar yang mampu menyeimbangkan perekonomian dalam jangka panjang. Jean Babtist Say terkenal dengan kalimatnya yang menggambarkan mekanisme ekonomi Klasik, yaitu “supply creates its own demand” (Say Law). Kebijakan ekonomi dari madzhab ini kental sekali dengan nuansa market mechanism.

Sementara itu, madzhab Keynesian memiliki kecenderungan yang sedikit berlawanan, dimana madzhab ini percaya bahwa pasar tidak bisa dibiarkan begitu saja untuk mencari keseimbangannya (negara tidak dapat berlepas-tangan). Keynesian tidak mempercayai waktu “jangka panjang” akan menentralisir setiap ekses dan anomaly ekonomi. Bahkan kalimat terkenal yang keluar dari Keynes menggambarkan sikap skeptis Keynesian terhadap keyakinan Klasik, yaitu “in the long run we are all dead”. Kebijakan Keynesian lebih terlihat pada kebijakan diskresi negara dalam perekonomian. Namun begitu, kedua madzhab besar ini “menari” berdasarkan irama yang sama, yaitu irama Kapitalisme.

Dalam beberapa decade, setelah Breton Woods Agreement runtuh perekonomian dunia dalam pengembangannya terkesan lebih berpedoman pada madzhab Klasik (Neo-Klasik). Hal ini terlihat dari kecenderungan perekonomian modern yang mengusung Globalisasi dengan program-program seperti WTO, freetrade zone, kebijakan liberalisasi dan privatisasi. Pengusung Klasik boleh berbangga dengan capaian itu semua, karena memang inspirasi utama dari fenomena itu adalah mereka.

Tetapi, bagaimana dengan saat ini? Dengan munculnya krisis keuangan Amerika, Klasik harus menyiapkan banyak amunisi justifikasi dari apa yang dianggap saat ini sebagai kontribusi Klasik dalam krisis di pusat keuangan dunia. Sebaliknya krisis ini memberikan angin baru bagi Keynesian, karena opsi satu-satunya yang dilihat oleh para otoritas adalah kebijakan intervensi. Keynesian mungkin seolah-olah bernostalgia pada era Great Depresion, dimana ketika itu krisis itulah yang membuat Keynesian muncul dan mampu dengan gagah memberikan solusi efektif bagi ekonomi untuk keluar dari jebakan under-consumption. Pertanyaannya apakah Keynesian mampu mengulang sejarah? Atau sesuatu yang baru akan muncul dalam ekonomi? Sesuatu yang kembali akan merubah wajah ekonomi. Kalaupun berubah apakah sekedar perubahan pada paradigma dan falsafah kebijakan saja, sementara iramanya masih menggunakan Kapitalisme? Atau sesuatu itu betul-betul menawarkan angin yang segar, sesuatu yang baru, benar-benar baru dari filosofi, paradigma hingga aplikasi ekonomi. Jawaban dari setumpuk penasaran ini saya yakin akan kita temukan dalam waktu tidak terlalu lama.

Kembali pada topic diskusi diatas, walaupun begitu, saat ini kritisi kelemahan system keuangan tidak hanya focus pada paradigma pasar bebas (privatisasi) yang dominant dimiliki oleh Klasik, tetapi juga pada pondasi Kapitalisme, yaitu credit system dan prilaku serakah yang ter-legal-kan oleh Kapitalisme. Dengan credit system dan ciri prilaku spekulatif-nya, system keuangan konvensional modern dikritisi in nature memiliki fragility. Prilaku serakah pada gilirannya membuat kecenderungan-kecenderungan dimana fenomena dan kebijakan ekonomi kehilangan esensinya sebagai alat pengentasan masalah perekonomian. Dalihnya ekonomi semakin maju, tetapi masalah esensi ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran atau bahkan kriminalitas ternyata semakin meningkat disekitar kita.

Sejauh ini suara para akademisi yang meneriakkan “something wrong with the system!” semakin menguat dan nyaring terdengar. Tidak heran semakin inovatif solusi yang coba ditawarkan oleh mereka. Jurnal-jurnal ilmiah mulai diwarnai dengan isu ini, setelah sekian lama media-media tersebut lebih banyak berdiskusi di ranah “microeconomics”. Mari kita perhatikan perkembangan-perkembangan selanjutnya, sembari juga terus berupaya, merenung, berdiskusi dan mencoba mewujudkan “sesuatu” untuk ekonomi yang lebih baik.

Financial Bailout Program: obat atau racun?

Henry Paulson, Treasury Secretary Amerika dihadapan anggota kongres (The US Senate Banking Committee) bersama Ben Bernanke, Chairman of Fedres mengatakan bahwa krisis ini merupakan hal yang memalukan bagi Amerika. Kegagalan pasar keuangan akan berakibat buruk bagi ekonomi, sehingga upaya menggerakkan kembali pasar keuangan adalah proteksi terbaik untuk perekonomian Amerika. Dalam jangka panjang program bailout yang diajukan persetujuannya kepada kongres sebesar USD 700 billion akan memberikan benefit bagi masyarakat (taxpayers).

Pada kesempatan yang sama, Ben Bernanke mengingatkan kemungkinan perekonomian Amerika akan mengalami resesi jika program bailout ini tidak disetujui dalam pekan ini juga. Beberapa Senator anggota kongres menyangsikan program Financial Bailout ini mampu mengatasi keadaan. Kalaupun disetujui ada senator yang menyarankan pemberian anggaran secara bertahap, sebagai tahap pertama sebesar USD 150 billion. Saran ini ditentang Paulson, mengingat strategy itu akan membuat kepercayaan pasar menjadi lemah terhadap otoritas dan kebijakannya.

Ditengah ketidakjelasan apakah program bailout ini akan disetujui dan dilaksanakan, pasar Amerika, Eropa dan Asia Selasa lalu melemah kembali. Indeks di Dow Jones melemah 1,5%, Nasdaq sekitar 1,1%, FTSE London 1,9%, blue-chip Hang Seng Hong Kong 3,9% dan SCI Shanghai 1,6%. Situasi tidak menentu ini dijangkakan akan berlangsung hingga akhir pekan ini, karena diprediksikan anggota senat yang tergabung dalam The US Senate Banking Committee akan memutuskan kelanjutan proposal pemerintah Amerika terkait program bailout USD 700 billion pada akhir pekan ini. Sementara itu FBI saat ini mulai menyelidiki potensi fraud yang dilakukan oleh 4 institusi keuangan yang men-trigger kondisi guncang di industri keuangan Amerika. Ke-empat institusi itu adalah Freddie Mac, Fannie Mae, Lehman Brothers & American International Group (AIG).

Melihat apa yang saat ini tengah terjadi di Amerika, tak dapat dipungkiri bahwa fakta-fakta ekonomi menunjukkan kondisi yang parah, dapat dikatakan paling parah yang pernah dialami Amerika sejak Great Depression tahun 1930. Apa yang saat ini terjadi dan kebijakan yang diambil dalam waktu dekat sudah pasti akan menjadi lembar-lembar baru dalam buku-buku teks ekonomi. Setiap ekonom pasti punya skenarionya sendiri-sendiri, tetapi pertanyaan besar yang akan ditunggu-tunggu, apakah intervensi pemerintah ini akan sukses, sesukses resep John Maynard Keynes ketika menghentikan Great Depression hamper 80 tahun yang lalu. Meskipun kebijakan bailout ini sudah mencoreng para akademisi pengusung madzhab pasar, mencoreng jiwa ekonomi modern dan prinsip keadilan yang mereka anut. Jadi kita akan menjadi saksi apa yang selanjutnya akan terjadi, apakah bailout ini jadi atau tidak, menjadi obat atau menjadi racun.

Senin, 22 September 2008

Global Financial Crisis: menuju sejarah baru

Akhirnya Morgan Stanley dan Goldman Sach merasakan juga beban badai krisis keuangan Amerika. Keduanya merubah status operasionalnya investment bank menjadi commercial banks, hal ini dilakukan agar mampu mengatasi kesulitan likuiditas mereka. Artinya dengan perubahan ini Morgan Stanley dan Goldman Sach membuka diri untuk menerima deposits dari masyarakat umum.

Sementara itu, ternyata pasar merespon negative rencana pemulihan sector keuangan Amerika dengan program bailout yang anggarannya mencapai USD 700 billion, dimana rencana tersebut tengah dimohonkan persetujuannya kepada Kongres Amerika. Sebagai parameter dari respon tersebut, beberapa pasar modal mengalami penurunan indeks yang cukup signifikan. Khusus pasar modal Amerika, ditunjukkan oleh turunnya indeks Dow Jones 372 poin atau lebih dari 3%. Sementara itu, anggaran penanggulangan sebesar USD 700 billion yang diajukan pemerintahan George W Bush ini adalah anggaran bailout terbesar dalam sejarah keuangan Amerika bahkan dunia dalam merespon krisis yanga pernah ada. David Rosenberg economist Merrill Lynch mengatakan dibutuhkan waktu satu tahun bagi pasar modal untuk mencapai dasar akibat krisis, setelah program pemulihan dijalankan. Sementara pasar perumahan membutuhkan waktu 3 tahun dan perekonomian membutuhkan waktu 2 tahun. Dengan program yang dilakukan saat ini, administrasi pemerintahan Amerika sudah memproyeksikan deficit tahun depan akan mencapai rekor terbaru yaitu USD 482 billion.

Pagi ini dalam pidatonya menteri keuangan Inggris mengatakan bahwa tak ada lembaga keuangan nasional maupun international yang mampu menghadapi badai krisis ini sendirian begitu juga negara, sehingga perlu dipertimbangkan sebuah global supervision. Menarik, komentar sinis dari pernyataan ini adalah ketika banyak Negara berkembang mengalami krisis, Negara maju melalui lembaga keuangan internasional (IMF, WB, ADB) meminta Negara-negara berkembang untuk lebih menahan diri tidak ikut campur dalam krisis dengan melakukan likuidasi lembaga-lembaga keuangan yang terpuruk. Kini ketika krisis itu mengguncang mereka, apa yang mereka lakukan? Dengan dalih bahwa guncangan ini mengancam keuangan mancanegara mereka melakukan bailout! Bahkan meminta otoritas global bergandengan tangan “gotong royong” mengatasi krisis. Krisis siapa? Krisis mereka! Krisis yang muncul atas kecerobohan mereka.

Di dalam negeri Negara maju saja, isu ketidakadilan ini juga mengemuka. Krisis ini ternyata harus mengorbankan dana pajak yang notabene berasal dari masyarakat umum sebagai dana penanggulangan krisis. Sungguh tidak adil ketika kekacauan ini muncul disebabkan oleh segelintir banker yang lalai dan kebijakan yang sembrono, masyarakat umum harus membayar beban penanggulangannya. Padalal sgelintir banker itu sudah begitu tinggi mendapatkan gaji dan bonus (ini pun menjadi focus isu media-media barat).
Beberapa sumber, diantaranya More anxiety on Wall St.: Stocks dive, oil soars By PATRICK RIZZO, AP Business Writer

Jumat, 19 September 2008

Kekacauan System atau Kesalahan Kebijakan?

Membaca analisa Jeffrey D. Sachs pada artikelnya tentang akar permasalahan krisis finansial di US, membuat dahi kita sedikit berkerut apakah ini sekedar memang masalah kesalahan kebijakan yang diambil oleh otoritas yang kemudian menyebabkan kecenderungan negatif di pasar keuangan, atau memang karena sistem keuangannya yang kacau, yang dengan kebijakan apapun kecenderungan negatif itu pasti terjadi.

Menurut Sachs, semua ini berawal dari ketidak-telitian Fedres dalam men-set kebijakan tingkat suku bunga. Kebijakan tersebut memberikan sinyal monetary ekspansi yang mendorong agregat konsumsi di pasar. Kecenderungan konsumsi ini dalam dua tahun terakhir, terkonsentrasi di sektor perumahan. dorongan konsumsi ini diperkuat dengan kemudahan credit system oleh lembaga keuangan khususnya mortgage. Para bankir berasumsi bahwa pada masa mendatang harga rumah akan meningkat, sehingga hakikatnya jikapun nasabah tak mampu membeli, nilai rumah tersebut akan membeli dirinya sendiri. dengan tingkat bunga yang rendah dan ekspektasi (juga kecenderungan yang terjadi) nilai rumah meningkat, tentu akan mendorong kenaikan permintaan akan rumah. Tetapi ketika permintaan itu melambat (menuju posisi "kapasitas terpasang" atau jenuh), jatuh pulalah harga rumah itu jauh di bawah akumulasi kredit yang telah terbentuk.

Karena memang posisi para nasabah lemah dalam basis keuangan, tentu potensi kredit macet menghadang lembaga-lembaga mortgage. Jadi peningkatan permintaan terhadap rumah lebih karena kebijakan tingkat suku bunga yang terlalu rendah dan kemudahan prosedur yang diterapkan lembaga keuangan instead of kemampuan keuangan nasabah (genuine demands). Otoritas yang dalam periode sub-prime mortgage ini menaikkan tingkat suku bunga, kembali menurunkan suku bunga tersebut. Tetapi pengalaman pada kegagalan di sektor perumahan sebelumnya ternyata men-drive credit expansion ke arah commodity speculation and foreign currency. Dan terjadilah financial turmoil yang saat ini kita tengah saksikan adegan dramanya.

Analisa Sachs sepintas memberikan jawaban yang relatif komprehensif tentang krisis ini. tapi ada benang merah yang membuat krisis ini terus berulang dan beberapa tahun terakhir ini selalu dan bahkan semakin kerap terjadi. Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa kecenderungan kebijakan dan prilaku rasional pasar tidak bisa diprediksikan implikasi dan konsekwensinya sebelum akibat negatifnya terjadi. Selalu saja analisa "cerdas" datang belakangan.

Kalau sedikit menengok kebelakang, krisis-krisis keuangan pada hakikatnya memberikan fenomena yang sama baik kondisi sebelum, sedang maupun sesudahnya. Saya tetap bersikukuh semua berawal dari konsepsi credit system yang mengandalkan suku bunga. keberadaan bunga yang ditetapkan sebelum proses ekonomi, kemudian mendikte pasar dan menentukan prilaku pasar yang misleading dari yang sepatutnya. seharusnya suku bunga menggambarkan tingkat productivity of capital dalam proses ekonomi. Tapi itu tak terjadi. Ketetapan suku bunga seakan-akan menggantikan produktifitas riil ekonomi. Ketika ada gap antara ketetapan suku bunga dengan produktivitas riil, maka kecenderungan prilaku dipasar akan membuat distorsi. Hal ini tentu membuat interaksi pada aplikasi keuangan menjadi unpredictable, uncertaint dan fragile. Lihat saja apa yang menjadi fenomena sub-prime mortgage.

Intinya perulangan krisis keuangan yang selalu melanda dunia merupakan hasil dari sistem yang salah dilengkapi dengan prilaku manusianya yang tak terpuji (greedy). Ketika semua pelaku pasar tak ingin menanggung risiko, karena risiko tak bisa hilang (risiko adalah kondisi alamiah yang melekat pada setiap effort & return), maka somehow risiko itu pasti akan meminta korban diantara para pelaku pasar. Sementara pada tataran sistem, credit system telah mendikte pasar untuk tidak perprilaku alamiah. Penetapan suku bunga pada hakikatnya pemastian sebelah pihak terhadap potensi kejadian pada masa depan. Suku bunga (baik tinggi maupun rendah) memaksa pasar harus selalu memberikan return, padahal produktifitas riil bisa saja turun bisa pula naik, mungkin untung mungkin juga rugi. Ketika ada gap maka ini membuat pasar menjadi negatif.

Dengan penggambaran di atas, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa sepatutnya yang dibenahi oleh para pemegang otoritas adalah pada ranah system, bukan mengutak-utik kebijakan. Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.

The Roots of America’s Financial Crisis

by Jeffrey D. Sachs
http://www.project-syndicate.org/commentary/sachs139

CAMBRIDGE – The US Federal Reserve’s desperate attempts to keep America’s economy from sinking are remarkable for at least two reasons. First, until just a few months ago, the conventional wisdom was that the US would avoid recession. Now recession looks certain. Second, the Fed’s actions do not seem to be effective. Although interest rates have been slashed and the Fed has lavished liquidity on cash-strapped banks, the crisis is deepening.
To a large extent, the US crisis was actually made by the Fed, helped by the wishful thinking of the Bush administration. One main culprit was none other than Alan Greenspan, who left the current Fed Chairman, Ben Bernanke, with a terrible situation. But Bernanke was a Fed governor in the Greenspan years, and he, too, failed to diagnose correctly the growing problems with its policies.
Today’s financial crisis has its immediate roots in 2001, amid the end of the Internet boom and the shock of the September 11 terrorist attacks. It was at that point that the Fed turned on the monetary spigots to try to combat an economic slowdown. The Fed pumped money into the US economy and slashed its main interest rate – the Federal Funds rate – from 3.5% in August 2001 to a mere 1% by mid-2003. The Fed held this rate too low for too long.
Monetary expansion generally makes it easier to borrow, and lowers the costs of doing so, throughout the economy. It also tends to weaken the currency and increase inflation. All of this began to happen in the US.
What was distinctive this time was that the new borrowing was concentrated in housing. It is generally true that lower interest rates spur home buying, but this time, as is now well known, commercial and investment banks created new financial mechanisms to expand housing credit to borrowers with little creditworthiness. The Fed declined to regulate these dubious practices. Virtually anyone could borrow to buy a house, with little or even no down payment, and with interest charges pushed years into the future.
As the home-lending boom took hold, it became self-reinforcing. Greater home buying pushed up housing prices, which made banks feel that it was safe to lend money to non-creditworthy borrowers. After all, if they defaulted on their loans, the banks would repossess the house at a higher value. Or so the theory went. Of course, it works only as long as housing prices rise. Once they peak and begin to decline, lending conditions tighten, and banks find themselves repossessing houses whose value does not cover the value of the debt.
What was stunning was how the Fed, under Greenspan’s leadership, stood by as the credit boom gathered steam, barreling toward a subsequent crash. There were a few naysayers, but not many in the financial sector itself. Banks were too busy collecting fees on new loans, and paying their managers outlandish bonuses.
At a crucial moment in 2005, while he was a governor but not yet Fed Chairman, Bernanke described the housing boom as reflecting a prudent and well-regulated financial system, not a dangerous bubble. He argued that vast amounts of foreign capital flowed through US banks to the housing sector because international investors appreciated “the depth and sophistication of the country’s financial markets (which among other things have allowed households easy access to housing wealth).”
In the course of 2006 and 2007, the financial bubble that is now bringing down once-mighty financial institutions peaked. Banks’ balance sheets were by then filled with vast amounts of risky mortgages, packaged in complicated forms that made the risks hard to evaluate. Banks began to slow their new lending, and defaults on mortgages began to rise. Housing prices peaked as lending slowed, and prices then started to decline. The housing bubble was bursting by last fall, and banks with large mortgage holdings started reporting huge losses, sometimes big enough to destroy the bank itself, as in the case of Bear Stearns.
With the housing collapse lowering spending, the Fed, in an effort to ward off recession and help banks with fragile balance sheets, has been cutting interest rates since the fall of 2007. But this time, credit expansion is not flowing into housing construction, but rather into commodity speculation and foreign currency.
The Fed’s easy money policy is now stoking US inflation rather than a recovery. Oil, food, and gold prices have jumped to historic highs, and the dollar has depreciated to historic lows. A Euro now costs around $1.60, up from $0.90 in January 2002. Yet the Fed, in its desperation to avoid a US recession, keeps pouring more money into the system, intensifying the inflationary pressures.
Having stoked a boom, now the Fed can’t prevent at least a short-term decline in the US economy, and maybe worse. If it pushes too hard on continued monetary expansion, it won’t prevent a bust but instead could create stagflation – inflation and economic contraction. The Fed should take care to prevent any breakdown of liquidity while keeping inflation under control and avoiding an unjustified taxpayer-financed bailout of risky bank loans.
Throughout the world, there may be some similar effects, to the extent that foreign banks also hold bad US mortgages on their balance sheets, or in the worst case, if a general financial crisis takes hold. There is still a good chance, however, that the US downturn will be limited mainly to America, where the housing boom and bust is concentrated. The damage to the rest of the world economy, I believe, can remain limited.

Kamis, 18 September 2008

Capitalism Behavior

Jeremy Bentham (1748-1823)

Rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing painDengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah;

kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number).

tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik.

Adam Smith (1776)

Capitalism is based upon individual self interest and the pursuit of monetary gain

Humans are largely ruled by sentiments, feelings and passions. Theology is not a source of guaranteed truth (spencer j. pack on smith’s view)

The capitalist economy is not the result of total conscious planning

Similarly, the moral education and socialization of a human is not the result of total conscious planning. It is the result of the constant feedback of society to the actions of the individual

F.Y Edgeworth (1881)

Egoism merupakan nilai yang konsisten dalam diri setiap manusia yang mempengaruhi setiap keputusan-keputusan hidup, termasuk keputusan ekonomi

KESIMPULAN

Self-Interest = Egoism = Utilitarianism = Individualism = Materialism = Rationalism = CAPITALISM

Capitalist on Capitalism

Barberton dan Lane berpendapat bahwa sistem finansial barat sejak awal 1970-an sudah sangat tergantung dengan hutang (debt addiction). Ekspansi besar dari public debt tidak dapat selalu diasosiasikan dengan peningkatan pada kinerja ekonomi. Karena peningkatan hutang tidak diikuti dengan peningkatan economic returns pada tahun-tahun setelahnya. Barberton dan Lane bahkan memprediksikan sebuah kisis yang akan memukul sistem keuangan barat.

“The credit and capital markets have grown too rapidly, with too little transparency and accountability. Prepare for an exploision that will rock the western financial sistem to its foundations.”

Peter Barberton & Allen Lane, “Excerpts from Debt and Delusion,” The Pinguin Press, 1999.

Sementara itu mantan direktur Bank of England, Lord Josiah Stamp, dalam pernyataannya di bawah ini menggambarkan bagaimana kekuasaan sebuah bank menggunakan bunga sebagai senjatanya.

“The modern banking system manufactures money out of nothing. The process is perhaps the most astounding piece of sleight of hand that was ever invented. Banking was coinceived in inequity and born in sin. Bankers own the earth; take it away from them, bt leave them with the power to create credit, and with the stroke of a pen they will create enough money to buy it back again. If you want to be slaves of the bankers, and pay the cost of your own slavery, then let the banks create money.”

Lord J. Stamp, Public Addess in Central Hall, Westminster, 1937.

Socialist on Capitalism

They do not work, they do not produce, they trade money for stocks, stocks for bonds, dollars for yen, etc. They speculate that some way to hold their wealth will be safer and more remunerative than some other way. Broadly speaking, the global credit system has been changed over the past two decades in ways that pleased the speculators (Hahnel, 2000).

Robin Hahnel, “Capitalist Globalism In Crisis: Part One: Boom and Bust,” www.zmag.og.

Things to Ponder: Lesson from US Financial Meltdown

Krisis keuangan yang menampar Amerika kini menyeret otoritas keuangan 3 negara besar, pemegang kendali industri keuangan dunia, yaitu Jepang, Inggris, Kanada, mengikuti langkah Federal Reserve US yang menyuntikkan dana ke pasar keuangan sebesar USD 180 billion. Sementara itu financial meltdown ini sudah menguras kerugian mencapai USD 19 trillion!! Fantastis! Mari terus cermati apa yang saat ini tengah dan akan berlangsung di pentas keuangan dunia. Akankah gelombang gempanya sampai ke Indonesia, meskipun logikanya di dalam pasar yang sudah borderless sepatutnya pasar akan mengalami tamparan yang sama. Lihat saja tanda-tanda sudah terlihat pada pasar keuangan yang paling sensitif dengan berita, yaitu pasar modal. Pasar modal kita mengalami kontraksi yang paling buruk di kawasan regional.

Ketertarikan saya lebih saya tujukan pada seberapa besar gonjang-ganjing ini berpengaruh pada pasar keuangan Islam di seluruh dunia. Prediksi saya ketika kebijakan pengembangan pasar syariah oleh masing-masing otoritas lebih terkesan mimicry pada pasar konvensional, maka nasib yang mereka alami pun akan sama. Itupun jika pasar keuangan Syariah juga bersentukan dengan counterpart mereka di konvensional yang saat ini sedang mengalami turmoil. Kemungkinan mimicry sederhananya dapat dilihat dari kecenderungan bentuk produk yang keuangan Syariah yang ada di pasar, jika produk itu entitas dasarnya tak lebih dari transaksi-transaksi kredit dan spekulasi konvensional, maka at the end of the day the crisis will rock Islamic market as well.

Jika memang guncangan krisis ini sempat menjadi krisis global, saya sangat yakin krisis ini menjadi scenario terbaik untuk memberikan kita pelajaran berharga dalam pengembangan keuangan Syariah. Krisis keuangan global akan menunjukkan apakah system keuangan Syariah yang sedang kita bangun sedikit demi sedikit ini, memiliki rangka baja atau rangka kerupuk.

Sebagian kelompok mengatakan, bahwa program-program penanggulangan dalam sector keuangan haruslah prima untuk menghadang guncangan-guncangan seperti ini. Sehingga instead of memperhatikan kepatuhan pada Syariah, otoritas tertentu lebih focus pada pengembangan program penjaminan, crisis protocol, good governance, moral hazard dan sejenisnya, yang sesungguhnya tak mencegah guncangan itu muncul. Ibarat bom yang ada di dekat kita kita biarkan ada disitu, supaya bom itu tidak meledak, kita terus menambah-nambah panjang sumbunya (cape deh). Sementara bom-bom ekonomi lain terus bermunculan dalam bentuk kemiskinan, kelaparan kriminalitas, gelandangan, pelacuran, dan para otoritas, policy maker, hanya sibung mengurusi bom eksklusif yang satu itu.

Padahal yang mampu mencegah guncangan itu dapat terjadi adalah bentuk aplikasi pasar keuangan itu sendiri. Ketika pasar keuangan melekat erat, menjadi cermin dan selalu bermuara pada aktifitas produktif sector riil, maka bom krisis diyakini tak pernah ada. Dan kita tidak perlu sibuk susah-payah menambah-nambah panjang sumbu bom, karena bom itu memang tidak pernah ada! Wallahu a'lam bishawab.

Selasa, 16 September 2008

KRISIS EKONOMI GLOBAL BARU SAJA DIMULAI?

Perkembangan krisis keuangan subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat ternyata menunjukkan arah yang lebih mengkhawatirkan. Realita pasar diyakini lebih parah daripada yang terlihat dipermukaan, bahkan relative masih belum dapat dikatakan perkembangnnya berada di track menuju pemulihan. Fakta-fakta terakhir menunjukkan kondisi tersebut. Krisis keuangan Amerika terlihat memasuki fase kritis dengan bangkrutnya Bank Investasi terbesar di negara itu yaitu Lehman Brothers setelah diambil alihnya perusahaan mortgage terbesar di Amerika; Freddie Mac dan Fannie Mae oleh pemerintah Amerika. Sementara Merrill Lynch mengalami kondisi tak jauh beda hingga harus diakuisisi oleh Bank of America. Terakhir perusahaan asuransi terbesar AIG (American International Group) menunjukkan gejala kritis yang sama dan pemerintah Amerika harus melakukan bailout. Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah dalam tiga tahun terakhir ini.

Sejauh mana situasi krisis keuangan di Amerika ini (yang mungkin juga menghantam pasar Eropa), tentu banyak data yang harus diungkap. Namun untuk mengetahui data tersebut selalunya ditemukan kesulitan, mengingat karakteristik “tertutupnya” private sector di industry keuangan dalam hal itu, dengan dalih untuk menjaga reputasi, kepercayaan public atau stabilitas sistemik. Tetapi indikasi kedalaman krisis dapat dilihat dari analisa “eksternal kualitatif” pada peristiwa ini. Krisis keuangan ini memaksa pemerintah Amerika turun tangan mengendalikan pasar secara dominan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini terlihat bagaimana pemerintah melakukan bailout secara langsung Freddie Mac, Fannie Mae dan AIG serta pengakuisisian Merrill Lynch oleh Bank of America yang sahamnya dimiliki pemerintah America. Kondisi ini menunjukkan bahwa krisis tidak dapat ditangani lagi oleh private sector, sehingga pemerintah Amerika harus secara dominan melakukan program-program penanggulangan. Indikasi selanjutnya yang bias dibaca adalah krisis ini menyeret perusahaan-perusahaan keuangan terbesar di Amerika. Dari dua indikasi ini saja dapat dianalisa secara sederhana bahwa krisis ini adalah krisis yang serius.

Dan situasi terakhir ini tentu mendorong antusiasme para ekonom untuk melakukan analisa mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi diperekonomian khususnya sector keuangan dalam waktu dekat ini. Seperti yang sudah-sudah, analisa para ekonom khususnya konvensional, lebih berada pada ranah regulasi, good governance, program pengaman dan moral hazard. Analisa tidak pernah menyentuh ranah system. Kecurigaan penyebab kekacauan keuangan dan ekonomi tidak pernah jatuh pada system yang dianut, konsepsi yang digunakan, atau instrument keuangan sebagai alat ejawantah dari system. (to be continued)

Minggu, 14 September 2008

TANTANGAN AWAL EKONOMI ISLAM

Tantangan yang umumnya jarang menjadi perhatian beberapa pemerhati ekonomi Islam saat ini adalah menemukan definisi-definisi yang tepat bagi istilah-istilah ekonomi yang ada. Bahkan upaya untuk memilih dan memilah istilah-istilah yang masih relevan (sebelum kemudian dievaluasi kesesuaian definisinya) untuk sistem/aplikasi ekonomi Islam saja menjadi tantangan yang tak kalah krusial. Hal ini memang sangat penting dilakukan mengingat Ekonomi Islam merupakan disiplin ilmu yang terinspirasi oleh nilai-nilai dasar dan prosedur aplikasi yang berbeda dengan ekonomi yang ada. Sampai-sampai kita harus menggunakan definisi berbeda untuk kata "ekonomi". Kalau definisi ekonomi sja harus disesuaikan, apatah lagi istilah-istilah lain pada aplikasi teknis, karena memang aplikasi teknisnya pasti akan memiliki warna dan bentuk yang berbeda yang juga merujuk pada definisi baru pada ekonomi.

SUKU BUNGA DAN INFLASI (2)

Dari penjelasan sebelum ini, ingin dipahamkan bahwa bunga pada tingkat dan dinamika tertentu akan menyulut inflasi. Alih-alih ingin menekan inflasi, jika tidak tepat menyikapinya, bunga malah akan berakhir pada kondisi pemeliharaan inflasi. Kecenderungan ini dapat terjadi melalui situasi seperti financial detachment atau pada situasi supply side rigidity. Akhirnya bunga tidak lagi menjadi instrumen pembantu menuju perbaikan, tetapi menjadi katalis perusakan perekonomian yang kronis.

Oleh sebab itu, sangat relevan untuk mulai mempertimbangkan penciptaan lingkungan ekonomi tanpa kehadiran bunga. Hal ini berasumsi bahwa bunga hanya menjadi variabel pengganggu stabilitas dan pertumbuhan. Selanjutnya peran bunga akan digantikan oleh variabel lain yang bersumber dari aktifitas ekonomi riil (seperti real rate of return, expected return, dsb). Dengan demikian, dalam situasi normal inflasi (termasuk juga deflasi) secara genuine menjadi implikasi dari interaksi dua kekuatan besar pasar, yaitu permintaan dan penawaran.

Artinya, pencegahan terhadap tingkat inflasi yang berlebihan dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian pada kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam keadaan normal populasi manusia yang cenderung bertambah akan selalu meningkatkan permintaan secara agregat dan tentu akan mendorong kenaikan harga. Hal yang pantas untuk dilakukan dalam situasi ini tentu melakukan upaya peningkatan penawaran barang dan jasa di pasar. Jika kemampuan sektor swasta terbatas merespon peningkatan permintaan, maka tugas pemerintahlah yang diharapkan berperan untuk meningkatkan jumlah supply melalui perangkat-perangkat kebijakannya. Jenis kebijakan yang dikenal umum adalah kebijakan fiskal dan moneter. Seperti apa kebijakannya dalam situasi perekonomian tanpa bunga?

Kebijakan fiskal mungkin tidak akan berbeda jauh dari yang umumnya dikenal, yaitu kebijakan yang bermain dengan insentif dan disinsentif variabel bagi pelaku ekonomi melalui instrumen pajak dan sejenisnya. Sementara, absensi bunga membuat instrumen kebijakan moneter sedikit berbeda dari yang lazimnya dikenal, yaitu instrumen sertifikat-sertifikat investasi yang memiliki underlying projek-projek usaha (mungkin umumnya projek-projek infrastruktur yang memang dibutuhkan oleh negara). Keberadaan sertifikat investasi ini berfungsi mendorong peningkatan barang dan jasa pada sisi supply yang mampu mengimbangi kenaikan demand dan secara signifikan mampu memelihara tingkat keseimbangan, stabilitas sekaligus pertumbuhan tanpa harus menanggung tingkat inflasi yang berlebihan.

TINGKAT BUNGA DAN INFLASI

Baru saja saya baca satu berita di internet dimana IMF menganjurkan Indonesia menaikkan suku bunganya menjadi 10,5% untuk menekan inflasi. Hal ini menggelitik saya untuk merenungkan transmisi atau hubungan suku bunga ini dengan inflasi. Apakah efisien kebijakan meningkatkan suku bunga ini jika ditinjau dengan karakteristik pasar dan struktur pelaku ekonomi Indonesia?

Kebijakan meningkatkan suku bunga pada dasarnya merujuk pada logika bahwa suku bunga yang tinggi akan merangsang pemilik uang untuk menahan konsumsinya dan meletakkan uangnya di instrumen keuangan yang menjanjikan bunga tinggi. dengan begitu konsumsi tertekan atau secara agregat permintaan berkurang sehingga inflasi tidak semakin melambung. Peningkatan suku bunga juga berbarti meningkatkan minat pemilik modal untuk menahan uangnya dalam bentuk rupiah karena suku bunga domestik relatif lebih menarik daripada bunga internasional, sehingga upaya ini juga diharapkan mampu memeilihara kestabilan nilai rupiah.

i naik --> C turun --> Aggregat Demand (AD) turun --> harga (P) turun --> inflasi tertekan

Logika ini pada satu sisi sangat kuat dasarnya, namun logika tersebut lebih berat menganalisa implikasi kenaikan suku bunga pada sisi permintaan (demand side), Padahal pasar akan terpengaruhi pada dua kekuatan besarnya yaitu demand dan supply. Pengaruh seperti apa yang ada pada sisi supply dari kenaikan suku bunga ini? Sederhana, kenaikan suku bunga bermakna akan meningkatkan daya tarik produk-produk keuangan yang menjanjikan peningkatan keuntungan tetap. Hal ini tentu membuat pemilik modal akan relatif meng-keep uang mereka dari aktivitas riil. Artinya modal yang tadinya berpotensi mendorong aktifitas penciptaan barang dan jasa (proses produksi) tertahan disektor keuangan, hal ini tentu akan menekan inflasi. Dan pada tingkat tertentu keadaan ini akan menurunkan agregat penawaran. Jika penurunan penawaran ini lebih besar dari penurunan permintaan tentu yang akan terjadi bukanlah penurunan inflasi tetapi sebaliknya.

i naik --> investasi (I) turun --> Aggregat Supply (AS) turun --> harga (P) naik --> inflasi

terlebih lagi ketika diketahui bahwa pelaku ekonomi sebagai produsen (pemilik modal) di Indonesia ini hanya segelintir jumlahnya, tentu ketika mereka sensitif dengan naik-turunnya bunga akan sangat mempengaruhi volume modal yang beredar di sektor barang dan jasa. Terlebih lagi ketika sektor riil tidak memiliki keunggulannya dan sektor keuangan dibiarkan berkembang tanpa batasan yang jelas.

Berkali-kali saya selalu menemukan pangkal masalah kebanyakan negara berkembang terletak pada dikotomi sektoral (riil dan keuangan) yang tidak terkelola dengan baik. Bunga sebagai instrumen penghubung antara riil dan keuangan relatif selalu condong memperbesar (menguntungkan) sektor keuangan, dimana setiap waktu akumulasi modal terkonsentrasi menuju sektor keuangan (money concentration). Hal ini tentu akan memperkecil sektor riil yang menjadi parameter pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi. Di ekonomi tradisional biasanya ini dibahas dalam masalah misalokasi sumber daya.

Sehingga perlu dipahami oleh pemangku kebijakan, relevansi penggunaan suku bunga dalam mengendalikan inflasi di Indonesia ini saat ini. Tentu saja dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan struktur dan karakteristik perekonomian nasional.

Sabtu, 13 September 2008

MITOS - MITOS EKONOMI

sudah menjadi kelaziman dalam ekonomi terdapat logika-logika yang telah menjadi teori standard ilmu ekonomi. Teori ini bahkan telah secara otomatis menjadi asumsi dalam penyusunan analisis ekonomi atau bahkan rekomendasi sustu kebijakan. Kalau kita telusuri logika ini sangat berkaitan dengan paradigma pelaku pasar baik individual maupun unit bisnis, sendiri-sendiri ataupun agregat. Paradigma tadi tentu merujuk pada nilai-nilai konsisten yang dianut oleh subjek-subjek tadi. Dan ini tentu saja dipengaruhi oleh rezim nilai tertentu pada wilayah tertentu dan zaman tertentu. Namun memang akibat perkembangan teknologi dan pergaulan sebuah rezim nilai akan menjadi populer dan dianut oleh semua pelaku pasar dimanapun ia berada, sehingga suatu zaman akan menganut logika ekonomi tertentu sepanjang pelaku pasar secara bersama menganut rezim nilai yang sama.

Artinya boleh jadi, sebuah komunitas yang memiliki anutan nilai yang berbeda menjadi kacau interaksi ekonominya, karena dalam aktivitas ekonomi harus menggunakan logika ekonomi berdasarkan rezim nilai yang dianut komunitas lain. sehingga sebuah kebijakan atau instrumen ekonomi yang diniatkan memperbaiki keadaan tidak efektif berfungsi karena harus berhadapan dengan prilaku ekonomi yang tak sama paradigmanya.

Misalnya logika bahwa yang mengatakan hubungan investasi dan suku bunga secara makro berkorelasi negatif. Logika ini muncul tentu saja akibat:

1. Eksistensi bunga sebagai sebuah harga dari sejumlah uang yang bisa berpotensi digunakan untuk investasi. Kata kuncinya disini adalah potensi. Artinya bunga adalah harga yang menentukan jumlah uang yang "bisa" digunakan untuk investasi (belum pasti jadi investasi/usaha), bukan menentukan realisasi investasi. jadi naik-turunnya suku bunga tidak menentukan jumlah realisasi investasi tetapi ia menentukan berapa uang yang akan tersedia yang bisa digunakan untuk investasi (loanable fund).

2. Projek investasi (usaha) diasumsikan selalu dilakukan dengan cara utang (konsep bunga), padahal terlalu banyak pelaku pasar membuka usahanya bukan atas dasar utang, tetapi ekspektasi keuntungan masa depan, membantu manusia lain, memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan lain sebagainya, sehingga tak ada kaitannya sama sekali dengan tinggi rendahnya harga utang (bunga).

dari dua pondasi berfikir ini dapat dikatakan bahwa logika ekonomi yang menyebutkan hubungan negatif antara bunga dan investasi, yang digunakan sebagai asumsi secara otomatis dalam berbagai analisa atau bahkan kebijakan ekonomi, sangat rapuh sebagai teori.

Akhirnya, ada kondisi dimana logika-logika ekonomi hanya berfungsi sebagai jawaban sementara atau bahkan hipotesis dari sebuah peristiwa yang pernah terjadi atau yang diinginkan terjadi. Padahal ia tak pernah terbuktikan, tak pernah benar-benar menjadi kenyataan, tak pernah menjadi fakta dan data ekonomi. logika itu hanyalah mitos-mitos yang masih terus digunakan karena manusia belum menemukan jawaban yang lebih memuaskan (atau memang tak mau menyadari fakta yang akan merugikannya secara pribadi). wallahu a'lam bishawab.

Selasa, 02 September 2008

SBSN & Pasar Sekunder Sukuk

Pertanyaan terkait dengan isu, SBSN dan pasar sekunder sukuk bagi bank Syariah:

1. Apakah ada underlying asset yang disertakan dengan terbitnya SBSN.
2. BI jika tidak salah memperbolehkan diperdagangkannya sukuk tersebut di pasar sekunder, pertanyaanya apakah dasar atau nash yang membolehkan hal tersebut, apakah memang utang itu boleh diperdagangkan, terlebih bagaimana mekanismenya, apakah sama dengan surat utang (obligasi biasa) konvensional?
3. Akad apa yang dipakai dalam transaksi SBSN tersebut?

Merujuk pada karakteristik sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah, saya coba jawab pertanyaan di atas:

1. Berdasarkan features yang pernah dipresentasikan oleh Tim SUKUK dari Depkeu, terdapat dua jenis sukuk yang nanti ditawarkan kepada pasar; pertama sukuk yang berbasis asset dengan akad ijarah; dan kedua, sukuk berbasis investment project yang kemungkinan besar berakad mudharabah (meski ijarah pun dimungkinkan). Nah sukuk yang keluar baru lalu itu adalah sukuk yang berbasis asset dengan akad ijarah. Apakah ada assetnya? Tentu saja ada. Tidak mungkin tidak ada, yaitu asset pemerintah. Yang secara teknis dijual kepada investor sukuk, dan pemerintah mendapatkan uang hasil penjualan asset tersebut untuk keperluan anggaran pemerintah. Kemudian asset tersebut disewakan kepada pemerintah dengan tingkat sewa yang disepakati, sehingga investor mendapat keuntungan sebesar sewa tersebut. Di akhir masa kontrak dimungkinkan asset tersebut dijual kembali kepada pemerintah. Begitulah teknis transaksi sukuk secara sederhana.

2. Dalam sukuk berbasis asset, perdagangannya tentu menjadi bukan perdagangan utang karena sukuk berdasarkan asset tertentu. Ini yang menjadi alasan utama diperkenankan secara syariah, karena pada dasarnya yang diperdagangkan adalah aset. Bagaimana teknisnya? Ketika entitasnya tak bermasalah secara syariah, maka teknis jual belinya relatif sama saja seperti jual beli yang ada di sektor keuangan. Namun yang menjadi isu dalam mengkritisi sukuk jenis ini (sukuk ijarah) adalah, implikasinya yang hampir tak ada kepada sektor riil (aktifitas produktif penciptaan barang dan jasa), terlebih lagi ketika uang penjualan sukuk yang diterima pemerintah tidak digunakan untuk sektor produktf tapi mungkin digunakan untuk melunasi utang pemerintah. Terlepas dari polemik benar tidaknya dan baik-buruknya ia bagi perekonomian riil, menurut saya kebijakan membolehkan Bank Syariah (BS) mentransaksikannya di pasar sekunder akan sangat tergantung pada kemampuan BS dalam bertransaksi di sektor riil. Jika BS semakin kompeten dengan sektor riil saya sangat yakin return yang ditawarkan sektor tersebut akan jauh lebih besar dari return yang dia harapkan dari transaksi sukuk di pasar sekunder. Karena pada dasarnya return sukuk yang menggunakan akad ijarah itu return pasar sekundernya pasti maksimal sebesar harga sewa hingga sampai jatuh tempo. Jadi semakin banyak satu sukuk ditransaksikan di pasar sekunder dalam masa interval sebelum jatuh tempo, maka akan semakin tipis tingkat return yang akan diperoleh pelaku pasar sekunder (ingat kata kuncinya ada di sukuk berbasis ijarah, dimana tingkat sewa tetap). Perkiraan saya jika BS semakin well-informed dan kompeten dengan sektor riilnya, maka sebenarnya menjadi tidak menarik bagi BS untuk mencari profit melalui transaksi sukuk di pasar sekunder. Perkiraan ini juga yang menjadi alasan saya mengapa SBI syariah juga relatif tidak begitu diminati. Kedepan, saya berharap seiring dengan waktu bankir-bankir syariah semakin baik memahami sektor riil (dimana sektor tersebut menawarkan return tertinggi dibandingkan sektor keuangan, sementara risiko sektor riil dapat dimitigasi dengan pemahaman dan informasi pasar tersebut), sehingga BS semakin tidak berminat dengan transaksi-transaksi keuangan yang tak produktif.

3. Jenis akad dari sukuk yang ada, saat ini yang digunakan adalah akad Ijarah. Namun ada proyeksi dalam jangka panjang, akan diterbitkan sukuk yang berbasis project investment yang berakad mudharabah.

Terlepas dari itu semua, saya secara pribadi berharap penerbitan sukuk ini menjadi momentum untuk menambah semangat dan menyebarkan semangat agar semangat mengembangkan keuangan secara khusus dan perekonomian Indonesia secara umum yang merujuk pada nilai-nilai akidah, akhlak dan syariah Islam, semakin besar di negara kita ini. Pencapaian ini (terbitnya sukuk) dengan karakteristik dan teknis pelaksanaannya mungkin sepadan dengan kemampuan kita secara berjamaah di indonesia; terkait dengan kemampuan ilmu, keahlian, tingkat keimanan masyarakat. Ya saya percaya ini kondisi terbaik yang diberikan Allah SWT, bahwa pencapaian ini sesuai dengan kondisi kemampuan kita secara kolektif. Jadi harapannya adalah kita tingkatkan saja keilmuan kita, keahlian, keimanan, sehingga kita layak mendapatkan kondisi keuangan atau perekonomian syariah yang lebih baik pada masa yang akan datang. Keep the spirit bro!!!

Senin, 01 September 2008

Wakaf Tunai Sebagai Instrumen Penekan Biaya Sosial

I. Pendahuluan
Kini di Indonesia wakaf tunai mulai banyak diperbincangkan dalam hubungannya sebagai instrumen untuk memberdayakan potensi dana masyarakat dengan tujuan mengentaskan kemiskinan dan masalah sosio-ekonomi lainnya. Kebutuhan inovasi instrumen dalam mengentaskan kemiskinan, membuat banyak kalangan terus mengkaji mekanisme wakaf secara menyeluruh, dan salah satu rekomendasinya adalah pemberdayaan wakaf tunai.

I. Landasan Hukum dan Filosofi
Secara bahasa wakaf bermakna berhenti atau berdiri (waqafa/yaqifu/waqfan) dan secara istilah syara’ definisi wakaf menurut Muhammad Ibn Ismail dalam Subulus Salamnya, adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan, Adijani Al Alabij (2002)[i]. Jadi benda wakaf bersifat tidak dapat dimiliki secara pribadi atau perorangan (mal mahjur), benda wakaf merupakan milik Allah SWT yang dibahasakan sebagai milik umum (kepentingan umum) dengan tujuan yang spesifik. Jadi dengan definisi ini kita kenallah wakaf yang bersifat terus-menerus atau abadi (perpetual)

Namun ketika masa Khalifah Umar Bin Khattab[ii] pernah terjadi wakaf tertentu yang wakafnya bersifat tidak permanen. Seorang wakif mewakafkan dalam bentuk sebuah kebun, dimana hasilnya atau keuntungannya yang pertama sekali diberikan kepada keturunan wakif, dan jika ada lebih harus diberikan kepada kaum fakir miskin. Wakaf jenis ini disebut wakaf keluarga. Jadi beberapa ulama terutama mazhab Maliki berpendapat wakaf dapat bersifat temporer (temporary).

Dalam literature klasik ekonomi Islam, pembahasan wakaf lebih terfokus pada barang-barang yang tidak habis berapa kalipun dipakai, seperti tanah dan bangunan. Karena pada kedua bentuk barang itulah terjaga karakteristik wakaf yang tidak habis dipakai. Para ulama sepakat benda yang dapat diwakafkan tidak terbatas hanya tanah dan bangunan, sepanjang bendanya tidak langsung musnah ketika diambil manfaatnya, barang tersebut dapat diwakafkan. Jadi mayoritas fuqaha sepakat pada wakaf benda yang bersifat kekal (perpetual) atau setidaknya terus ada sepanjang usia harta tersebut, seperti bangunan, kuda, unta dll. Sedangkan kelompok Maliki juga membolehkan wakaf yang bersifat temporer.

Jadi dapat disimpulkan bahwa benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah diambil manfaatnya, dapat diwakafkan. Uangpun termasuk benda yang dapat diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja diwakafkan dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada benda-benda yang memiliki sifat tidak musnah.

Namun dalam kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf), uang diposisikan juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan bukanlah perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya tidak berubah. Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’I bahwa definisi harta tidak terbatas pada materi tapi juga pada manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi elemen penting dalam mendefinisikan harta.

Sehingga konsekwensi pemahaman ini adalah munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam mekanisme wakaf tunai yang kita bahas saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat bahwa wakaf kemudian tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan kegunaan harta saja oleh pihak yang membutuhkan, Ghufron A. Mas’adi, 2002.[iii]

Selain itu dengan menggunakan pemahaman Maliki, wakaf tunai juga dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan gedung atau sarana apapun yang sifatnya pinjaman tanpa biaya (free of charge), kecuali biaya administrasi yang dibolehkan syariat dalam proses pinjaman tersebut. Dan diharapkan nanti pemakai bangunan tersebut mengembalikan pinjaman itu untuk dapat digunakan pada program-proglam yang lainnya. Jadi wakaf tunai jumlahnya tidak pernah terpakai untuk biaya administrasi, biaya administrasi diambil dari pengenaan biaya pada pemakai.

II. Pengelolaan Wakaf
Prof M.A. Mannan sebagai pakar ekonomi Islam terkemuka, melakukan terobosan baru dalam aplikasi wakaf ini. Beliau mengembangkan apa yang disebut dengan wakaf tunai dengan menggunakan mekanisme bank (Social Investment Bank Limited, Bangladesh). Wacana ini sebenarnya sudah dibahas dalam literatur Hanafi dan Maliki. Dalam dua literature tersebut disebutkan bahwa wakaf tunai selain dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan sarana dalam bentuk pinjaman, juga dapat digunakan dalam bentuk pembiayaan mudharabah.

Kontroversi yang mengemuka dalam mekanisme wakaf tunai ini berkisar pada sah tidaknya menggunakan dana wakaf diinvestasikan, yang secara logika memiliki resiko musnah.[iv] Selain itu, dengan melakukan investasi berarti dana wakaf akan selamanya berbentuk uang, hal ini akan menimbulkan pertanyaan tentang nilai intrinsic uang yang pada hakikatnya tidak memiliki nilai. Berbeda dengan kasus klasik (yang dijadikan landasan dalam implementasi wakaf tunai) yang nota bene nilai uang terjaga akibat logam yang digunakan sebagai uang adalah logam mulia; emas dan perak (dinar dan dirham). Jadi wakaf tunai dengan sistem mata uang yang ada saat ini, implementasinya memiliki resiko nilai uang tereduksi akibat inflasi, disamping resiko pelanggaran kaidah syariat ketika mekanismenya melalui investasi.

Secara logika wakaf tunai dengan memutarkan dana wakaf pada aktifitas investasi, sebenarnya aktifitas penggunaan harta wakaf terletak pada aktifitas investasi bukan pada aktifitas pengambilan manfaat dari returns (bagi hasil) investasi tersebut. Hal ini merujuk dari pengertian harta dalam fikih muamalah, yang membagi harta menjadi harta umum (yang tak dapat dimiliki secara perorangan) atau malul ashl dan harta hasil dari harta ashl (yang dapat dimiliki secara perorangan) atau malul tsamarah.[v] Dalam konteks wakaf yang diinvestasikan, harta wakaf termasuk harta ashl sedangkan returns-nya merupakan harta tsamarah. Dengan demikian mekanisme wakaf hakikatnya ada pada aktifitas investasi tadi yang menggunakan harta ashl. Jadi kalaupun disepakati mekanisme wakaf tunai jenis ini, sepatutnya pemegang amanah harta wakaf memfokuskan pada usaha-usaha investasi harta wakaf yang memberikan manfaat besar kepada ummat (awqaf properties financing).

Pengelolaan wakaf menggunakan institusi bank menerapkan semacam deposito berjangka (temporer wakaf deposits) dalam pengelolaan wakaf tunai. Yang pertama deposito wakaf temporer yang berbasis pinjaman, dimana uang yang disimpan oleh nasabah dibank diikhlaskan dengan niat wakaf untuk diambil manfaatnya oleh pengguna dalam membiayai program-program pembangunan sarana umum (awqaf properties), tanpa ada biaya tambahan kecuali biaya administrasi yang diperbolehkan syariat. Yang kedua deposito wakaf temporer yang berbasis investasi, ia mengkhususkan penggunaan depositonya hanya untuk investasi sarana umum, dimana keuntungannya adalah juga menjadi hak wakif (lihat lampiran 2).

Keduanya tetap mensyaratkan penggunaan dana wakaf tersebut harus pada proyek untuk kepentingan umum, seperti proyek bangunan sekolah, jalan, jembatan, pasar dan fasilitas umumlainnya (awqaf properties financing). Jadi bukan proyek-proyek komersil, seperti pembiayaan sebuah perusahaan, kredit perorangan dan lain sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan jenis-jenis wakaf tunai yang dapat dilakukan:
Wakaf Tunai dengan tujuan membeli awqaf properties.
Wakaf Tunai dalam bentuk Pinjaman (Temporary Wakaf Deposits in Loan Basis).
Wakaf Tunai dalam bentuk Investasi (Temporary Wakaf Deposits in Investment Basis).

Jadi untuk sementara ini pada isu wakaf tunai, institusi wakaf dapat mengelola wakaf tunai definitive (jelas niat dan tujuan penyalurannya) dan wakaf tunai mutlak. Dengan demikian sebenarnya terdapat potensi atas alasan syar’i wakaf barang untuk dikelola seperti mengelola wakaf tunai yang mutlak. Misalkan atas alasan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang di dapat, sebuah gedung wakaf dapat disewakan yang hasilnya dipergunakan sesuai dengan tujuan akad wakaf (meskipun hal ini birokrasinya haruslah ketat, misalnya harus melalui persetujuan mahkamah). Namun sepatutnya inovasi-inovasi dalam pemecahan masalah implementasi instrumen Islam dilakukan kajian dan kesepakatan para fuqaha/ulama yang memiliki kredibilitas.

III. Institusi Wakaf
Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal. Baitul mal merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika dulu. Baitul mallah yang berperan secara kongkrit menjalankan program-program pembangunan melalui divisi-divisi kerja yang ada dalam lembaga ini, disamping tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house). Dalam konteks perekonomian kontemporer yang tidak (belum) menjadikan baitul mal sebagai institusi negara, diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf tunai ini.

Modifikasi institusi juga menyesuaikan diri dengan kompleksitas dan perkembangan perekonomian yang ada. Dan dalam konteks kekinian institusi wakaf dapat berbentuk lembaga wakaf atau bank wakaf (mekanismenya dapat dilihat pada lampiran 1, 2 dan 3).

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia belum memiliki badan wakaf resmi negara yang secara spesifik mengelola jenis harta ini untuk kepentingan masyarakat luas, meskipun sudah memiliki undang-undang perwakafan tanah. Biasanya pengelolaan wakaf, menjadi tugas dari lembaga-lembaga perorangan atau lembaga-lembaga amil zakat baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh swasta.

IV. Implikasi Ekonomi
Dengan karakteristik seperti ini wakaf tunai diharapkan memiliki mobilisasi harta wakaf yang lebih cepat dibandingkan dengan wakaf benda kongkrit. Dengan begitu diharapkan juga pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi, khususnya pada tujuan pengentasan kemiskinan, penurunan tingkat pengangguran dan penekanan angka permasalahn social dapat dengan maksimal diperoleh.

Bentukan aktifitas penggunaan wakaf tunai dapat berupa pendirian gedung dan pelayanan kesehatan, pendidikan, perpustakaan, penelitian ilmiah, penjagaan lingkungan, pinjaman kepada pengusaha kecil, tempat parkir, jalan, jembatan, bendungan dll. Artinya wakaf tunai merupakan instrumen investasi publik yang dapat secara signifikan menekan biaya social yang harus dipikul masyarakat. Sehingga wakaf tunai kemudian memiliki kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan. Jadi investasi publik dari wakaf tunai ini mengimbangi investasi di dunia usaha yang bertujuan pada peningkatan kinerja ekonomi secara riil.

Dapat dibayangkan begitu efektifnya harta wakaf digunakan oleh negara dalam rangka peningkatan kualitas hidup rakyatnya. Dengan karakteristik tak akan punah dan terus bertambah menjadikan wakaf sebagai variable yang signifikan bagi program pembangunan pemerintah. Kontribusi wakaf pada program pendidikan, kesehatan, pembangunan jalan, sarana dan prasarana social lainnya membuat hidup dan kehidupan rakyat semakin lancar, ia bukan hanya menekan biaya yang harus ditanggung oleh rakyat tapi juga meringankan beban negara. Jadi semakin banyak harta negara dalam bentuk wakaf maka akan semakin kecil biaya-biaya social yang harus ditanggung masyarakat, begitu juga biaya-biaya social yang harus dikeluarkan negara.

Meskipun begitu, Nejatullah Siddiqi[vi] mengungkapkan bahwa ada yang perlu diperhatikan ketika ada kecenderungan meningkatnya rasio harta negara dalam bentuk wakaf. Karena dengan ketentuan bahwa harta wakaf tidak dikenakan pajak tanah (kharaj), maka peningkatan jenis harta ini akan semakin mengurangi pendapatan negara (Islam) dari pos pajak tanah. Argumentasi logis Siddiqi ini cukup beralasan melihat asumsi-asumsi dasar dari pengelolaan anggaran negara yang menggunakan prinsip-prinsip Islam.

Namun perlu diingat bahwa ketika wakaf dikelola negara, sebenarnya akan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan atau ditanggung negara dalam bidang social yang sepatutnya diambil dari pos penerimaan seperti kharaj dan lain-lain. Jadi diharapkan wakaf tidak kemudian membebani negara atau pertumbuhannya memberikan dampak negatif pada penerimaan negara. Apalagi dengan variasi jenis harta wakaf yang dikelola seperti adanya wakaf tunai, membuat kekhawatiran Siddiqi ini dapat ditekan.

V. Kesimpulan
Terlepas dari perbedaan pendapat pada mekanisme pemberdayaan instrumen wakaf akibat perbedaan interpretasi dari aturan dan prinsip-prinsip syariah, wakaf tunai diakui memiliki potensi yang sangat besar dalam mendorong pembangunan ekonomi. Dapat dikatakan semakin banyak benda atau dana wakaf yang terkumpul maka akan semakin sedikit biaya social yang harus ditanggung oleh masyarakat dalam kehidupan mereka, sekaligus akan mereduksi pengeluaran pemerintah bagi program-program pembangunannya yang bersifat pelayanan publik.

Pada hakikatnya wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang bersifat social (sukarela), ia melengkapi instrumen-instrumen lainnya seperti Zakat, Kharaj, Jizyah dan lain-lain dalam memastikan kesejahteraan dunia akhirat (falah) bagi masyarakat luas.

Dalam system ekonomi Islam wakaf tunai diakui memiliki impak yang lebih cepat dibandingkan jenis wakaf benda kongkrit, akibat sifat fleksibilitas yang dimiliki wakaf jenis ini dalam menyikapi kondisi lingkungan yang ada. Efektifitas instrumen ini bagi perekonomian sangat tergantung dari peran negara dalam penggunaannya. Sehingga saat ini diperlukan sebuah perencanaan yang matang oleh pemerintah dalam rangka implementasinya di perekonomian, baik pada kesiapan regulasi berupa undang-undang maupun kesiapan institusi yang integrative dengan institusi-institusi ekonomi yang lain. Wallahu a’lam bishawwab.
[i] Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek, Rajawali Pers, Cetakan ke 4, 2002.

[ii] http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_fiqh.html

[iii] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Press (bekerja sama dengan IAIN Walisongo Semarang), Jakarta, November 2002.

[iv] Bahwa kefitrahan usaha adalah untung dan rugi, sehingga ketika wakaf tunai dikelola ia memiliki resiko untuk musnah akibat dari pengelolaan yang berakhir rugi.

[v] Ghufron A. Mas’adi, op. cit.

[vi] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.


Referensi

Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek,
Rajawali Pers, Cetakan ke 4, 2002.

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Press (bekerja sama dengan
IAIN Walisongo Semarang), Jakarta, November 2002.

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_fiqh.html

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_revival.html

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_development.html

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_financing.html

Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Asy Syifa, Jilid 2 (1990).

Muhammad Akram Khan, ‘The Role of Government in the Economy,” The American
Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997.

Muhammad Najatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: an Islamic Perspective,
The Islamic Foundation, 1996.

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
Rabbani Press, Jakarta (1995).