Senin, 29 Agustus 2011

Ada satu sms yang bagi saya sangat berarti dari seorang sahabat, dan saya ingin berbagi dengan anda:

HR. Anas bin Malik, dr Rasulullah, Rasulullah bersabda: Ada 5 hari Raya bagi org2 beriman. Pertama, Hari Raya tiap hari, dimana pd tiap hari itu Ia tdk melakukn dosa, itulah hari rayanya. Kedua,Hari Raya kematiannya, dimana ia meninggalkn dunia dgn iman, bersyahadat, & selamat dr godaan syetan,itupun tergolong hari raya. Ketiga, Hari Raya di padang mahsyar, dimana ia melewati ash shiroth dlm keadaan aman,terhindar dr siksa kiamat & zabaniah,itupun tergolong hari raya. Keempat, Hari Raya di syurga, dimana ia masuk syurga terhindar dr api neraka. Itulah hari raya yg diidamkannya. Kelima,Hari Raya pamuncaknya, dimana ia menghadap Allah & langsung bertatap muka. Itulah hari raya yg tiada bandingannya. Wahai saudaraku seiman,masih tersisa waktu sedikit utk memperbaiki kinerja ramadhan kita tahun ini, smoga shaum ramadhan kali ini mjd wasilah & sarana memasuki 5 pintu Hari Raya sebagaimana disebut rasululllah shg kita menjadi fitri. Selamat Hari Raya 'Idul Fitri 1432 H Mohon Maaf Lahir Batin.

Ya Allah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang, ampuni semua dosa kami, sayangi kami..
Ya Nabi kami rindu padamu..

Balikpapan
30 Ramadhan 1432H

1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011

Keputusan sidang itsbat DSP PKS:
1. Puasa ramadhan 1432 disempurnakan menjd 30 hr (istikmal). Krn posisi hilal tidak terlihat di seluruh Indonesia. Kalaupun ada yg melihat, kesaksian mereka tdk diterima secara manhaji.
2. Idul fitri 1432 bertepatan dgn Rabu, 31 Agustus 2011
Taqabbalallah minna wa minkum. Mohon maaf lahir batin(DSP PKS).

Senin, 22 Agustus 2011

Tenang, anda sedang dimuliakan..


Pernah anda temukan masa, ketika anda tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mencuci sepeda, membersihkan pakaian, mencuci motor atau membersihkan mobil anda? Jangankan perhatian untuk itu, perhatian pada keluarga saja begitu terbatasnya. Waktu anda bukan habis di depan TV atau tenggelam dalam samudera kemalasan, atau kegiatan-kegiatan leisure sejenis itu, tapi waktu anda habis karena kebaikan-kebaikan; membantu tetangga, mengelola organisasi dakwah, mengajarkan ilmu dan kebaikan atau kerja-kerja shaleh lainnya, atau anda sedang terkulai tak berdaya karena sakit dan bencana.

Jika saat ini anda sedang tertunduk letih, merasakan kepenatan yang teramat sangat, menenangkan keinginan yang selalu tidak ketemu harapannya, jangan bersedih, percayalah Tuhan telah memuliakan anda. Tuhan tidak menyediakan sedikitpun masa bagi pikiranmu untuk berimajinasi yang tidak-tidak. Tuhan tidak memberikan waktu sejengkalpun untuk jasadmu bertingkah-laku buruk. Meski ruang imajinasi begitu menarik-narik mau anda untuk menari di ruang-ruang semestanya. Meski dunia sudah menggoda anda dengan semua kenikmatan yang ia punya.

Percayalah, anda sedang dalam penjagaan Tuhan, sedang dalam pengawalan yang Terbaik, sedang dalam pemeliharaan oleh Sang Maha Pemelihara.

Minggu, 21 Agustus 2011

Mau Menyamai Tuhan?

Kemarin ketika saya sedang mengisi pelatihan ekonomi Islam, terlintas dalam benak saya pertanyaan yang sebenarnya sudah seringkali ditanyakan oleh mereka yang awam tentang keuangan syariah, yaitu; apa beda bunga dengan bagi hasil?

Karena sudah terlalu sering saya menjelaskan, jadi bosan juga menjawab dengan jawaban yang itu-itu saja. akhirnya muncul di fikiran saya jawaban lain seperti ini:

Bunga itu seperti takdir yang ingin diciptakan oleh manusia. Manusia yang menentukan bunga sebagai tambahan dari sebuah utang seakan-akan ingin menjadikan dirinya seperti Tuhan. Karena dengan menentukan bunga manusia seakan akan mampu menentukan takdir ekonomi pada masa yang akan datang.

Dengan menetapkan bunga tertentu, manusia memastikan bahwa ekonomi pada waktu jatuh tempo harus berkembang minimal sebesar bunga itu. Lewat konsep bunga manusia mau menyamai Tuhan. Dengan bunga manusia (seakan) bisa menentukan masa depan bagi kekayaannya.

Padahal masa depan ekonomi itu bisa naik, bisa turun. Bisa untung bisa buntung. Seperti itulah masa depan dibuat Tuhan. Ekonomi naik dan turunnya bergantung pada kehendak-Nya. Nah konsep bagi-hasil itu konsep ekonomi yang melebur dan menyatu dengan kehendak Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak ekonomi untung maka berbagi untunglah pelakunya, kalau buntung maka saling menanggung rugi lah mereka.

Jadi perbedaan konsep bunga dan bagi hasil itu seperti perbedaan antara dua manusia yang berbeda lakon. Yang satu manusia yang ingin memerankan Tuhan dan yang satu lagi manusia yang ingin menjadi hamba Tuhan. Beda banget kan?!

Rabu, 17 Agustus 2011

Ijtihad Ekonomi Islam

Sudah beberapa kali dalam beberapa diskusi tentang kecenderungan operasional dan produk perbankan syariah yang semakin jauh dari jati diri ekonomi Islam, saya harus berhadapan dengan argumentasi klasik “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan”. Argumentasi ini seakan dijadikan alasan ampuh bagi mereka yang bersemangat melakukan terobosan-terobosan operasional dan produk perbankan syariah. Padahal terobosan yang dilakukan terkesan mengabaikan kemashlahatan system.

Tetapi dengan kecenderungan perkembangan bentuk aplikasi khususnya produk perbankan syariah yang semakin identik dengan produk perbankan konvensional. Tentu argumentasi dasar ijtihad tadi menjadi “mengganggu”, entah ada yang salah dalam penggunaannya atau karena banyak yang belum begitu dalam pemahaman dari maksud sesungguhnya dari dalil itu. Karena itu pulalah, saya jadi tertarik untuk mengetahui lebih dalam makna dalil itu serta bagaimana sepatutnya dalil itu digunakan.

Pertama kali yang tentu perlu diketahui adalah makna kata dari ijtihad. Dari beberapa literature disebutkan bahwa ijtihad akar katanya memiliki tiga huruf (jahada) yang dalam bentuk masdarnya menjadi jahdun dan juhdun. Ulama ada yang berpendapat keduanya memiliki makna yang sama yaitu kemampuan, tetapi ada pula ulama yang mengartikan berbeda, yaitu al jahd itu sebagai “mengerahkan segala kemampuan” dan al juhd sebagai “kesulitan”.

Tetapi jika di teliti lebih jauh sebenarnya pembagian makna al jahd dan al juhd ini memiliki kesamaan maksud, dimana keduanya dapat dikatakan saling melengkapi. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akar kata itu menghimpun makna; mengerahkan segala kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Tidak heran jika seorang ulama bernama Raghib Al Isfahani mendefinisikan kata ijtihad dengan menggabungkan makna dua akar kata diatas yang memiliki inti substansi yang sama; ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang mengerahkan segala kemampuan dengan menanggung semua kesulitan yang ada di dalamnya.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa ranah dan penggunaan ijtihad menyebar diberbagai aspek kehidupan, seperti politik, hukum, social-budaya dan juga ekonomi. Khusus untuk ekonomi (Islam), ijtihad harus diakui memiliki peran yang sangat krusial. Dengan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks, sofistikasi produk dan transaksi, dimana perkembangan dan sofistikasi tersebut secara teknis tidak sama dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi dan Sahabat, maka hal ini membuat ijtihad menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Posisi ijtihad juga menjadi sentral. Oleh sebab itu, ketepatan melakukan dan kebenarannya hasil menjadi satu hal yang juga krusial.

Dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi khususnya di sector keuangan syariah, peran ijtihad menjadi semakin sentral. Karena hampir disetiap pengembangan keuangan syariah, baik itu operasional maupun produk, selalu bersentuhan dan di-back up dengan ijtihad. Ijtihadlah yang menjadi factor yang sangat menentukan untuk menjaga orisinalitas praktek keuangan syariah agar aplikasinya selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam. Ijtihad yang benar, tentu mampu memelihara karakteristik unik keuangan syariah. Terlebih lagi, ketika saat ini keuangan syariah dipraktekkan berdampingan dengan keuangan konvensional dan pelakunya mayoritas masih berlatar belakang pendidikan (pengetahuan, keahlian dan pola pikir konvensional.

Atas alasan ini, saya menilai ijtihad menjadi sangat penting untuk diketahui nature-nya, seperti kapan secara tepat melakukannya, bagaimana menggunakannya, proses mendapatkannya, atau siapa yang patut melakukannya. Dalam pengembangan system keuangan syariah, ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ketika memang tidak ditemukan dalil pelarangan dari suatu muamalah, yang perlu diyakinkan apakah memang tidak ada dalil yang melarang atau pengetahuan yang terbatas sehingga tidak mampu memahami subtansi masalah sehingga akhirnya sampai pada proses ijtihad yang berkesimpulan “boleh”.

Berbeda dengan ijtihad menentukan kehalalan suatu makanan, ijtihad praktek keuangan syariah memiliki alat control dalam menilai ketepatan ijtihad tersebut. Apa alat kontrolnya? Yang saya yakini, alat control utamanya adalah implikasi praktek tersebut. Implikasi ekonomi tentu mudah diketahui menggunakan logika sebab-akibat. Praktek keuangan syariah adalah bagian dari ekonomi yang memang pada dasarnya adalah alur transmisi sebab-akibat. Sehingga kebenaran dan ketepatan ijtihad menjadi relative mudah dikenali atau setidaknya memiliki banyak alat ukurnya. Oleh karenanya, ditengah kondisi pengetahuan ekonomi dan fikih yang belum melebur secara baik di diri seorang pakar atau ulama saat ini, maka ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah, sepatutnya dilakukan secara kolektif oleh dua pemegang disiplin ilmu tersebut.

Nah, berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa hal krusial yang menurut saya menjadi penting untuk dipahami. Ketika kaidah muamalah Islam (termasuk didalamnya keuangan syariah) menyebutkan bahwa “pada dasarnya semua muamalah itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, maka dalam muamalah Islam pertanyaan yang relevan terhadap suatu aktifitas ekonomi apakah ia boleh atau tidak boleh adalah “apakah ada dalil yang melarang”. Berbeda dengan ibadah, dimana pertanyaan yang relevan adalah “apakah ada dalil yang membolehkan”, mengingat muamalah dan ibadah memiliki dua kaidah yang bertolak belakang.

Oleh sebab itu, maka mengklasifikasikan sebuah praktek muamalah itu boleh atau tidak boleh (sekali lagi) sangat ditentukan oleh kedalaman pemahaman dan pengetahuan seseorang (yang diamanahi tugas mengeluarkan fatwa/berijtihad) terhadap dalil-dalil pelarangan bermuamalah. Ketika pengetahuan dan pemahamannya tidak begitu luas dan dalam, maka boleh jadi seseorang akan overlook dalam mengambil kesimpulan atas sebuah masalah. Dan saya meyakini bahwa hal terpenting dari pengetahuan dan pemahaman yang dalam itu adalah sebuah hasil analisa atau kesimpulan yang berdasar pada pemahaman utuh atau pengetahuan substansi/esensi/hakikat masalah.

Selain itu, ijtihad yang dilakukan seseorang untuk kepentingan pribadi dirinya mungkin tidak akan menjadi masalah yang terlalu krusial dibandingkan ijtihad yang ditujukan untuk kepentingan umum, kepentingan masyarakat luas. Oleh sebab itu ijtihad dibidang keuangan (termasuk ekonomi) syariah harus disikapi dengan berhati-hati, dengan sensitifitas yang tinggi, mengingat ijtihad (yang berakhir pada perumusan fatwa) dibidang itu mempertaruhkan kepentingan umum. Kaidah bahwa “ijtihad itu meskipun salah tetap akan mendapat satu kebaikan” tidak dapat dengan serampangan dipakai dengan konotasi menganggap ringan semua masalah. Kaidah ini tidak bisa dengan seenaknya dijadikan dalih untuk mengeluarkan fatwa tanpa perhitungan yang matang, tanpa landasan yang kuat.

Ingat!!! Dalam praktek keuangan syariah, ijtihad yang salah dan berakhir pada fatwa yang keliru akan berimplikasi pada kerusakan system keuangan bahkan kekacauan ekonomi yang berakibat buruk bagi banyak orang. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa kalau ijtihadnya keliru, maka ada satu kebaikan yang diberikan oleh Allah SWT. Ijtihad harus dilakukan dalam ruang usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal, sesuai dengan definisi ijtihad itu sendiri.

Ditengah kondisi wujudnya dikotomi pengetahuan fikih dan praktek keuangan (karena keilmuan keuangan syariah relative baru, sehingga memang ahli fikih masih terbatas pengetahuannya pada aspek ekonomi/keuangan dan praktisi keuangan belum memiliki pengetahuan fikih dengan baik), maka menjadi sangat wajar apabila sebuah ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, mempertimbangkan dua sudut pandang pengetahuan tadi.

Artinya ijtihad harus dilakukan bersama, fatwa harus mendengarkan dan mempertimbangkan kedua sudut pandang, baik alasan fikih maupun alasan keuangan termasuk ekonomi, agar mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh terhadap suatu masalah. Bagaimana bisa menerima ijtihad yang berasal dari seseorang yang tidak mengetahui dengan benar masalah yang menjadi objek ijtihadnya. Apalagi dalam bidang keuangan syariah atau perbankan syariah. Ijtihad terhadap produk keuangan/perbankan syariah, haruslah didasari atas pemahaman mendalam terhadap produk tersebut, memahami mekanismenya juga implikasi-implikasinya.


Jika hanya mengakomodasi satu pihak saja tentu akan misleading dalam menyimpulkan sebuah permasalahan yang tengah diijtihadkan. Apalagi dalam ranah fikih, pada perkembangannya terdapat kekayaan pendapat, sampai-sampai sudah ada anggapan bahwa fikih menyediakan semua dalil dari halal sampai haram untuk satu jenis aktifitas tertentu. Kondisi seperti itu membuat praktek keuangan syariah memiliki risiko yang sangat besar dalam ketidaktepatan memilih dalil. Sehingga, dalam proses ijtihad dalam rangka mendapatkan fatwa, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah membutuhkan alat bantu lain atau alat control agar pemilihan dalil betul-betul tepat dan benar. Dan sejauh ini, saya masih meyakini alat bantu atau control yang relevan adalah pengetahuan ekonomi atau keuangan.

Dilain pihak, Jangan sampai pula ketidak-tahuan atau ketidak-dalaman pengetahuan pada Qur’an dan Sunnah khususnya pada prinsip-prinsip pelarangan muamalah atau wawasan yang lain, menjadikan ijtihad sebagai dalih untuk membenarkan apa-apa yang substansinya dilarang oleh Islam. Padahal dalil pelarangannya sudah ada dan jelas, namun karena ketidaktahuan saja membuat seseorang melakukan ijtihad. Bayangkan apa akibatnya satu ijtihad yang hanya berdasar pada pengetahuan yang terbatas. Terlebih lagi di ranah ekonomi.

Betul bahwa kaidah fiqih muamalah “dalam muamalah semua itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, memang akan membuat pelaku muamalah memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam berkreasi muamalah. Namun sebelumnya haruslah setiap orang yang memiliki amanah mengeluarkan fatwa, menjaga kedalaman pemahaman agar kreasi muamalah betul-betul berlandaskan pada pengetahuan yang cukup.

Jangan sampai kaidah tersebut tidak membuat pelaku buta matanya terhadap hakikat-hakikat transaksi. Atau malah dijadikan alat untuk seenaknya melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. Kehati-hatian menjadi penting, ingat banyak orang yang kemashlahatannya bergantung pada fatwa tersebut. Ketidak tahuan atau pengetahuan yang tidak mendalam pada dalil-dalil pelarangan bentuk-bentuk transaksi dapat saja membuat pelaku terjebak pada transaksi sejenis itu. Oleh sebab itu, sikap kehati-hatian, meluaskan sudut pandang, melibatkan banyak perspektif sepatutnya menjadi upaya mitigasi dalam rangka mendapatkan hasil ijtihad yang maksimal, hasil yang sejalan dengan semangat ekonomi Islam, hasil yang penuh berkah dan kebaikan-kebaikan.

Dan terlepas dari itu semua, ijtihad ekonomi Islam atau keuangan syariah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat interaksi, sensitifitas social, tingkat kesadaran dan pengetahuan para pihak-pihak dalam sebuah komunitas ekonomi, seperti otoritas fatwa, otoritas industry, akademisi dan masyarakat itu sendiri. Kalaupun akhirnya semua upaya telah dilakukan secara maksimal dalam mendapatkan sebuah fatwa dari ijtihad ekonomi, dan ternyata hal itu mengandung kelemahan-kelemahan, boleh jadi fatwa tersebut merepresentasikan kualitas komunitas ekonomi tersebut. Kalau sudah seperti itu, kita berharap Tuhan segera memberikan hidayah, petunjuk dan pengetahuan-Nya, agar kebenaran tetap terjaga dan memberikan manfaat seperti yang diperjuangkan dan diharapkan hamba-hamba-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

Rabu, 10 Agustus 2011

Kepentingan Otoritas Vs Kepentingan Industri

Sudah menjadi kemahfuman, ditengah kondisi pertumbuhan yang tinggi di fase-fase awal pengembangan perbankan syariah, “konflik” strategi pengembangan akan muncul diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Namun yang paling menonjol tentu saja adalah tarik-menarik antara kepentingan industri (pelaku pasar) dengan kepentingan otoritas (regulator). Dan inilah yang juga dirasakan dalam industri perbankan syariah Indonesia. Pertentangan kepentingan bank-bank syariah sebagai pelaku pasar dengan kepentingan Bank Indonesia sebagai regulator.

Konflik kepentingan pelaku pasar dan otoritas memang lumrah dan wajar, namun jangan sampai mengganggu kelajuan optimal pengembangan industri. Faktor penyebab yang paling pentik dari konflik ini adalah orientasi atau perspektif yang berbeda dari keduanya. Pelaku pasar sebagai entitas usaha komersial tentu melakukan bisnisnya dengan pendekatan yang berorientasi profit. Karena hal itulah yang memelihara aktifitas usaha masih terus dapat berlangsung. Sementara, otoritas industri melaksanakan tugasnya bersandar pada orientasi pondasi industri yang kuat, sistem yang sehat dan kemanfaatan maksimal bagi masyarakat atau perekonomian nasional.

Dipihak pelaku industri, seringkali orientasi profit mengabaikan tujuan pencapaian pondasi dan sistem kuat sekaligus sehat, apalagi kemanfaatan industri bagi perekonomian nasional. Kadangkala argumentasi yang sederhana dijadikan alasan, bahwa selama mereka melayani kebutuhan masyarakat maka pada saat itu juga mereka sudah memberikan manfaat bagi ekonomi dan masyarakat. Sedangkan dipihak otoritas, tak jarang orientasi pondasi dan sistem yang sehat-kuat serta kemanfaatan ekonomi yang optimal mengabaikan kebutuhan lingkungan kondusif dari pihak industri.

Sudah sering saya mendengar pernyataan kritis yang sebenarnya mempertanyakan peran otoritas dalam mengakselerasi perkembangan industri khususnya pada aspek pengembangan produk. Bahkan pada perspektif lain, pertanyaannya sampai meragukan konsistensi dukungan otoritas industri bagi pengembangan pasar. Di satu sisi otoritas industri terkesan menghalang-halangi perkembangan produk melalui mekanisme screening ketat untuk produk baru yang inovatif. Sedangkan pada sisi yang lain, otoritas mendorong atau bahkan “memaksa” industri untuk berkembang lebih kencang.

Disamping itu, tentu kita juga menyadari bahwa aspek lain diluar perbedaan perspektif dan orientasi ini juga punya peran yang tidak bisa dikatakan kecil, seperti aspek kompetensi SDM yang sampai saat ini masih diakui belum memadai. Selain itu, interaksi dengan industri negara lain atau industri global yang tidak memiliki pendekatan dan paradigma pengembangan yang sama dengan Indonesia, tentu akan menjadi salah satu fatkor yang penting pula. Ada perbedaan intensitas interaksi di tingkat industri dan di tingkat otoritas.

Interaksi yang lebih cair dikalangan industri antara pelaku nasional dengan global, membuat pendekatan dan strategi pengembangan produk misalnya, akan membuat konflik orientasi antara pelaku industri dengan otoritas nasional berpotensi semakin besar. Sementara interaksi antar otoritas relatif tidak secair di tingkat industri, hal ini tentu wajar mengingat setiap otoritas memiliki pertimbangan-pertimbangan kebijakan yang berbeda terkait dengan kondisi tingkat perekonomian, struktur industri dan ekonomi dan aspek hukum formal serta perundang-undangan yang berbeda, atau perbedaan pemahaman terhadap interpretasi muamalah syariah yang memang nature-nya sangat bervariatif antar negara (jurisdiksi) sekaligus otoritas.

Namun jika kondisi ini dibiarkan terus, maka konflik kepentingan ini tidak bagus untuk perkembangan industri pada masa yang akan datang. Akan muncul persepsi-persepsi yang tidak pada tempatnya, argumentasi yang picik dan kerdil terhadap apa yang saat ini sedang berlangsung. Salah satu argumentasi semacam ini yang muncul di kalangan industri adalah argumentasi yang mengkritisi otoritas, bahwa ketika otoritas tidak mengizinkan satu produk perbankan syariah, itu sama saja otoritas membiarkan masyarakat tenggelam dalam kemaksiatan produk-produk perbankan konvensional. Dan nanti di akhirat adalah menjadi beban otoritas dosa-dosa itu. Otoritas yang harus bertanggung jawab mengapa masyarakat asyik dengan kemaksiatan. Kerdil dan picik!

Mengapa? Ya karena argumentasi itu tidak cerdas, tidak intelek. Bagaimana mungkin menisbahkan judgement seperti itu dengan mengabaikan keshahihan produk. Jika produk tersebut dinilai, baik secara prudential banking maupun fikih, identik dengan produk konvensional, bagaimana mungkin otoritas memperkenankan produk yang substansinya sama dengan produk maksiat dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Bukankah otoritas sebagai lembaga Hisbah (pengawas pasar) secara syariat bertugas menjaga maqashid asy syariah, menjaga kepentingan masyarakat, terlebih lagi jika masyarakat umumnya masih awam, belum mampu membedakan mana yang syariah mana yang tidak syariah.

Apakah salah seseorang jika ia menghalangi orang yang ingin memberikan minuman alkohol bercap halal bagi mereka yang kehausan. Memang substansi masalah ini terletak pada perbedaan interpretasi dan persepsi terhadap muamalah syariah, tetapi jika argumentasinya seperti diatas, maka argumentasi itu menjadi terkesan berlebih-lebihan, lebay!

Nah, agar hal ini tidak berlarut, mitigasi yang mungkin tepat dari kondisi ini adalah penyamaan persepsi terhadap visi pengembangan industri, memahami destinasi dari semua upaya pengembangan dan memahami koridor interpretasi dari muamalah syariah bagi pengembangan perbankan syariah. Selama pemahaman tersebut masih memiliki deviasi yang besar, maka sulit mendapatkan kondisi tumbuh yang kondusif bagi industri. Wallahu a’lam.

Senin, 08 Agustus 2011

Reality Show Krisis Keuangan Global


Ada yang mencuri perhatian saya ditengah keasyikan saya mereview ulang beberapa fatwa DSN-MUI yang saya nilai kurang sejalan dengan semangat Ekonomi Islam. Yaitu, riuh rendah dunia keuangan global yang terakhir ini semakin memanas dan tampak semakin serius permasalahannya. Dan bagi saya terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Meski saya tahu bahwa badai dahsyat krisis keuangan yang menghantam Amerika (US) dan Eropa (EU) belum lah sepenuhnya berakhir, tapi drama krisis sepanjang tahun 2010 dan awal 2011 tidak lah menarik untuk dianalisa dan ditulis. Itu mengapa saya tidak banyak menulis tentang kondisi terkini ekonomi dunia.

Tetapi memasuki semester kedua tahun ini, gegap gempitanya menjadi begitu menarik untuk disimak. Episod krisis kali ini dimulai dengan naiknya tensi politik antara kubu partai demokrat-nya Obama dan partai republik di parlemen US. Mereka memperdebatkan urgensi penambahan limit utang negara ekonomi terbesar di dunia itu. Demi menyelamatkan negara dari risiko yang lebih buruk, kubu demokrat meminta parlemen menyetujui proposal pemerintah untuk menaikkan limit utang negara hingga mencapai USD 14,3 triliun (IDR 122.000 triliun) atau bertambah sekitar USD 2,5 triliun.

Tenggat waktu penambahan limit utang US tanggal 2 Agustus 2011, ternyata tidak di lampaui. Parlemen kemudian sepakat untuk menyetujui proposal pemerintah, sehingga sedikit dapat dipastikan dari perspektif pemerintah Obama dunia keuangan US untuk sementara ini aman setidaknya hingga tahun 2013.

Berdasarkan laporan BBC, Ben Bernanke Gubernur Federal Reserve (Fedres) pernah mengatakan jika parlemen tidak menyetujui penambahan limit utang US, maka negara itu harus siap dengan konsekwensi kehilangan rating kredit AAA mereka. Karena ketiadaan cukup dana akibatnya US berpotensi untuk menunda atau membatalkan pembayaran kewajiban obligasi mereka, dan itu tentu otomatis akan menurunkan peringkat portfolio kredit mereka.

Efek selanjutnya kepercayaan dunia juga akan runtuh terhadap mata uang dollar yang selama ini menjadi mata uang perdagangan utama dunia. Jika sampai kesitu perekonomian US, hal yang menakutkan tentu tidak ingin dihadapi oleh setiap orang Amerika. Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja sudah menyeramkan khususnya bagi para pelaku industri keuangan.

Namun apa mau dikata, awan gelap diatas langit keuangan Amerika ternyata semakin gelap. Meski parlemen telah menyetujui penambahan limit utang, rating kredit US ternyata tetap diturunkan oleh lembaga rating terkemuka yaitu Standard and Poors (S&P). Meski pada saat yang sama lembaga rating Moodys dan Fitch masih mempertahankan peringkat triple A bagi US. Mungkin S&P belajar dari pengalaman 2008 dimana ketika itu lembaga rating dipertanyakan kredibilitasnya karena meski memberikan peringkat yang bagus pada portfolio lembaga keuangan besar US, namun ternyata tidak mampu mencerminkan kebusukan portfolio itu.

S&P mungkin tidak mau mengambil risiko, sehingga kinerja keuangan US harus menanggung risiko itu dengan menerima tamparan atau hukuman berupa penurunan peringkat dari AAA menjadi AA+. S&P beralasan bahwa bahwa peringkat kredit US didorong oleh situasi politik dan prospek ekonomi negara digdaya itu kedepan. Bahkan Direktur S&P, John Chambers mengatakan, penurunan peringkat lebih jauh tidak bisa dihindarkan apabila ketidakseimbangan fiskal AS yang buruk tidak membaik.

Meski limit utang sudah disetujui ditambah, reaksi pasar ternyata tidak serta merta membaik merespon kebijakan terbaru US. Karena pasar berargumentasi bahwa kebijakan itu tidak menjawab substansi masalah ekonomi US. Penambahan limit utang itu sebenarnya memberikan kekhawatiran baru bagi investor, karena kini US memiliki rasio utang dengan GDP-nya yang mencapai sekitar 100%.

Tidak sampai disitu hukuman pasar bagi dunia keuangan US. Putaran roda dunia keuangan begitu cepat, apalagi industri ini telah menjadi industri tanpa sekat, sehingga dalam hitungan waktu yang sangat singkat, reaksi global semakin menyudutkan Amerika khususnya dan pasar keuangan dunia pada umumnya. Lembaga pemeringkat kredit di China Dagong Global Credit Rating sudah menurunkan peringkat kredit Amerika Serikat dari A+ menjadi A. Akibat kepercayaan terhadap US yang semakin merosot, beberapa negara mulai bersiap menyingkirkan USD sebagai cadangan devisa mereka .

Kondisi keuangan US yang memburuk ternyata semakin diperparah oleh kinerja keuangan Eropa yang tidak juga menunjukkan perbaikan. Krisis utang Eropa sudah bersiap mengambil korban selanjutnya setelah Islandia dan Yunani, yaitu dua negara raksasa ekonomi mereka; Italia dan Spanyol. Akumulasinya parameter kepercayaan yang banyak dijadikan pedoman yaitu pasar modal, menunjukkan reaksi yang sangat keras terhadap situasi yang berlarut-larut. Tidak tanggung-tanggung hampir semua bursa di dunia mengalami koreksi dramatis sejak Jum’at lalu (5 Agustus 2011).

Khusus bursa US, Dow Jones turun 5,6 persen menjadi berakhir pada 10.809,85, penutupan terendah sejak Oktober lalu. Dan Ini adalah penurunan satu hari paling tajam sejak krisis keuangan tahun 2008. Indeks S&P 500 yang lebih luas turun 6,7 persen menjadi 1.119,46, sedangkan indeks komposit teknologi Nasdaq turun 6,9 persen menjadi 2.357,69

Saya pribadi suka tidak nyaman jika menganalisa menggunakan parameter pasar modal khususnya aktifitas di lantai bursa, karena esensi aktifitas disana adalah aktifitas spekulasi. Naik-turunnya aktifitas ekonomi bermotif spekulasi tidak dapat dijadikan pedoman tentang kinerja ekonomi. Namun parameter ini dapat mewakili ukuran tingkat kepercayaan pelaku pasar terhadap perekonomian sebuah negara.

Memperhatikan apa yang berlangsung di dunia keuangan Amerika dan Eropa, maka akan sangat rugi jika apa yang terjadi saat ini tidak diketahui. Gunjang-ganjing dunia keuangan US dan EU berpotensi berakhir dengan perubahan dramatis wajah sistem keuangan dunia dan peta kekuatannya, bahkan sangat kuat sekali korelasinya pada perubahan peta politik dunia. Tetapi untuk saat ini apa yang terjadi itu sangat berharga untuk menjadi pelajaran bagi negara lain dalam menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi mereka. Belum terlambat bagi mereka yang selama mengekor kebijakan ekonomi US dan EU untuk merubah haluan.

Krisis keuangan global yang bermula pada semester kedua tahun 2008 ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan prestisius Lehman Brothers di Amerika Serikat, ternyata sampai saat ini masih menjadi “soap opera” yang skenarionya masih terus berjalan. Bak sinetron, dalam perjalan ceritanya krisis ini memiliki alur cerita naik dan turun. Nah, saat ini krisis keuangan dunia sampai pada episod yang memanas kembali.

Menarik untuk mengetahui akhir dari episod krisis kali ini, siapa lagi korbannya? Atau pertanyaan yang paling menggelitik, apakah ini episod paling akhir dari sinetron besar krisis keuangan global, dimana puncak cerita diakhiri dengan tamatnya ikon ekonomi modern dunia, yaitu Amerika Serikat? Ups, kok menggunakan analogi sinetron ya? Mungkin lebih pas kita gunakan analogi “reality show”, lebih menarik dan mendebarkan. Mari tonton terus adegan demi adegan dari episod kali ini.

Kamis, 04 Agustus 2011

Tawaruq Indonesia

Siap siaga! Indonesia dalam waktu dekat akan meratifikasi tawaruq dalam industri keuangan syariahnya. Informasi ini saya dapatkan dari berbagai sumber, baik langsung dari kawan di DSN-MUI maupun tidak langsung dari kolega di Bank Indonesia. Tetapi saya masih berharap, kalaupun tawaruq diperkenankan hadir di Indonesia, tawaruq ini memiliki definisi yang berbeda, definisi khas Indonesia. Seperti definisi ekonomi Islam yang diterjemahkan lain oleh Indonesia (relatif dibandingkan negara-negara lainnya di dunia). Saya pernah tulis beberapa waktu lalu tentang Ekonomi Islam Madzhab Indonesia. Jadi seperti apa definisi tawaruq yang berbeda itu?

Sebelum membahas itu, silahkan mereview tulisan saya tentang tawaruq sebelum ini. Tawaruq atau commodity murabaha dalam dunia keuangan syariah, sederhananya adalah transaksi yang berinti pada kombinasi transaksi “jual tunai murah, beli tidak tunai mahal” (atau sebaliknya tergantung dari sisi pandang nasabah atau lembaga keuangan). Hakikatnya adalah transaksi jual-beli yang mencoba menjustifikasi kebutuhan uang (likuiditas) salah satu pihak.

Saya sudah berulang kali menyampaikan diberbagai kesempatan, bahwa transaksi yang dibenarkan oleh hukum syariat, memenuhi kaidah maqashid asy-syariah dan sejalan dengan logika kemanfaatan ekonomi, adalah transaksi keuangan yang diikuti oleh proses penciptaan/produksi barang dan jasa (transaksi produktif). Dimana profit dari sebuah transaksi muncul dan dibenarkan karena ada value added (‘iwad) yang juga muncul bagi perekonomian.

Di lain pihak transaksi tawaruq (dengan definisi yang lazim diterapkan oleh negara-negara lain seperti Timur – Tengah dan Malaysia) jika digunakan dalam industri perbankan syariah akan menggerus jumlah pembiayaan perbankan syariah ke sektor riil yang selama ini selalu kita bangga-banggakan kinerjanya. Tawaruq ini akan menekan fungsi intermediasi bank syariah. Dengan struktur ekonomi Indonesia yang 98% usahanya berada di sektor UMKM, tentu pemberlakuan tawaruq menjadi berita buruk bagi dunia usaha UMKM yang selama ini dilayani (atau masih berharap untuk dilayani) oleh bank-bank syariah.

Oleh sebab itu, jikapun tawaruq diperkenankan oleh otoritas, baik otoritas fatwa maupun otoritas industri, maka bagi saya pribadi ini adalah kebijakan yang buruk. Tapi saya juga tidak ingin meninggalkan pendapat saya sampai disini tanpa tanggung jawab dengan tidak memberikan usulan solusi, jalan tengah, atau apapun namanya. Itu mengapa, saya sudah wanti-wanti di awal, harapan saya terhadap definisi berbeda yang diaplikasikan oleh Indonesia. Apa itu?

Pertama, saya berharap kalau ia diterapkan dengan definisi yang ada, maka sebaiknya dibatasi hanya untuk keperluan manajemen likuiditas (liquidity management) lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah. artinya akad ini hanya digunakan untuk produk likuiditas antar sesama bank syariah atau antara bank syariah dengan Bank Indonesia sebagai otoritas. Dengan kata lain, tawaruq bukan untuk produk yang dijajakan kepada nasabah, dimana bank syariah bermaksud mengambil keuntungan dari produk jenis ini.

Kedua, barang yang dijadikan alat justifikasi transaksi adalah komoditas agro seperti CPO, kakao, kopra, dan sejenisnya yang memiliki batas usia, bukan komoditas metal seperti baja atau tembaga (meski efeknya tidak signifikan, namun sebagai preseden kepada pasar bahwa tujuan transaksi ini bukanlah untuk motif spekulatif – profit oriented). Ketiga, konsekwensi dari hal dua poin tadi adalah pihak otoritas tidak boleh mengklasifikasikan produk ini sebagai pembiayaan.

Namun begitu, meski ada pembatasan yang ketat saya tetap “dag-dig-dug” dengan langkah-langkah “akomodatif” seperti ini. Saya khawatir ini dijadikan preseden untuk upaya lebih jauh untuk menarik dunia keuangan syariah dari jati diri yang sebenarnya. Jikapun semua pihak di otoritas fatwa dan otoritas industri memahami betul latar belakang transaksi ini diperkenankan keberadaannya di Indonesia, tidak dapat dijamin pihak-pihak diluar mereka memiliki pemahaman yang sama, memahami alasan, latar belakang, maksud dan tujuan.

Oleh sebab itu, saya berpendapat praktek-praktek seperti ini (tawaruq, commodity murabaha, termasuk juga jual-beli emas secara tidak tunai dan qardh untuk komersil) atau produk lain sejenis nantinya yang merupakan hasil dari langkah akomodatif (darurat?), tidak boleh dijadikan landasan, sandaran, referensi, atau dasar bagi pengembangan transaksi (produk) turunannya. Semoga Allah SWT berikan petunjuk dan maafkan semua kekhilafan kita.

Tarawih..


Baru beberapa malam saja, tarawih sudah memberikan beberapa pelajaran pada saya, selain pelajaran yang memang saya dapatkan dari para ustadz di mimbar-mimbar tausiyah tarawih. Beberapa malam ini saya sengaja mengambil posisi shaf paling belakang di masjid belakang rumah. Tujuan awalnya karena ingin membantu jamaah agar mendapatkan suasana yang lebih baik untuk khusyuk menjalankan tarawihnya, dengan ikut menenangkan kumpulan anak-anak yang seringkali riuh dengan canda dan obrolan lepas mereka.

Saya lakukan itu karena juga tuntutan tanggung jawab saya sebagai pengurus DKM. Tetapi saya juga tidak ingin anak-anak merasa kalau teguran untuk lebih tertib itu mengintimidasi mereka, sehingga mereka kapok shalat di masjid. Saya sekedar duduk diantara mereka dan sesekali meminta untuk mengurangi ketinggian suara mereka agar tidak mengganggu orang tua mereka yang tengah beribadah.

Namun ternyata dari posisi itu saya mendapat bahan renungan lain, pelajaran yang mungkin remeh, tetapi sangat pantas juga untuk disebut hikmah yang cukup berharga. Apa itu? Dari posisi itu saya jadi leluasa mengamati semua jamaah. Mengamati mayoritas orang tua yang terkantuk-kantuk, remaja yang asyik dengan handphone-nya, anak-anak yang bersemangat berinteraksi sesama mereka, satu-dua anak ada juga yang serius menyimak ustadz dan mencatat dalam buku Evaluasi Ramadhan dari sekolah mereka.

Banyak tingkah-polah dari jamaah, sayapun jika tidak konsentrasi, larut dalam arus kantuk yang seakan menyerang seisi penghuni masjid. Dari satu sisi pandang, rutinitas itulah yang membuat tarawih bagi saya menjadi begitu berkesan. Suasananya, riuh-rendahnya dan tingkah polah jamaahnya membuat bulan Ramadhan memberikan memori lain yang pantas juga untuk dikenang dan dirindui.

Saya sangat menyadari setiap segmen jamaah berdasarkan usianya merepresentasikan karakteristiknya masing-masing. Dan darinya mungkin saya bisa mencuri beberapa hikmah. Bergaul dengan banyak orang tua, pada hakikatnya akan memperbanyak referensi kita untuk belajar kebijaksanaan, kematangan emosi dan kesahajaan. Kebijaksanaan, kematangan emosi dan kesahajaan hanya didapat dari kekayaan pengalaman, kekayaan cerita dan asam garam kehidupan. Dengan belajar dari mereka kita tidak perlu mengarungi waktu selama yang mereka sudah tempuh untuk mendapatkan hikmah itu. Oleh sebab itu, hormatlah pada mereka para orang tua.

Sementara itu, anak-anak memberikan pelajaran tentang kepolosan, keterus-terangan dan semangat yang selalu menyala-nyala. Semangat mereka itu muncul dari kecintaan mereka pada semua yang mereka lakukan. Mereka semangat bermain dan sampai-sampai tidak mengenal waktu juga tidak mengenal tempat untuk bermain, karena mereka memang suka dan cinta dengan bermain. Seperti itulah dunia mereka. Itu mengapa boleh jadi nasehat yang kita berikan berkali-kali seakan-akan tidak digubris oleh mereka. Jadi tidak usah kecewa, sayangi saja mereka, berikan terus nasehat, jangan bosan.

Saya jadi suka senyum-senyum sendiri ketika prosesi tarawih selesai dengan witirnya, saya melihat para orang tua yang tadi terkantuk-kantuk di tengah sesi tausiyah kini terlihat segar untuk bergegas menuju rumah, anak-anak yang yang tadi riuh rendah bermain dan bercanda, duduk rapih mengelilingi ustadz untuk meminta tanda tangan beliau di buku Evaluasi Ramadhan mereka.

Ya, tarawih selalu menyuguhkan nuansa Ramadhan yang berbeda. Buat anda yang belum sempat merasakan pengalaman tarawih dan cita rasanya, datanglah ke masjid, nikmati riuh rendahnya dan tentu saja kekhusyukan di dalamnya.