Minggu, 31 Juli 2011

Reposisi dan Revitalisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)

Jika diukur menggunakan waktu, maka Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) telah berusia kurang lebih 7 tahun. Namun tentu yang lebih ahsan pertanyaannya adalah berapakah usia kemanfaatan IAEI ini bagi upaya-upaya pengembangan perekonomian Islam, atau manfaat IAEI bagi ummat secara umum. IAEI merupakan kumpulan pakar (intelektual), penuntut ilmu, atau ‘alim, mereka menjadi sumber hikmah, referensi kebijaksanaan dan pustaka ilmu.

Dengan definisi fungsional seperti itu, maka para pakar yang terkumpul dalam IAEI harus menyadari betul fungsi mereka ditengah-tengah masyarakat termasuk posisi mereka ditengah upaya pengembangan system ekonomi Islam. Sebagai sumber hikmah, referensi kebijaksanaan dan pustaka ilmu, maka kepentingan tunggal dari seorang intelektual adalah kesahihan ilmu. Ilmu yang mampu melayani manusia dengan semua kebutuhannya, yang konsisten in-line dengan kehendak Sang Pemilik Ilmu.

Itu mengapa dapat juga dikatakan bahwa pengabdian seorang intelektual pada hakikatnya adalah pengabdian kepada Tuhan. Tugas mereka adalah meredaksionalkan hukum-hukum Tuhan dengan bahasa yang lebih dimengerti oleh ummat manusia lain, mengelaborasi hikmah-hikmah yang tersirat dari kehendak Tuhan yang tersurat, memformulasi model-model aplikasi dari panduan Tuhan berupa ayat-ayat teoritis dan terakhir tugas mereka adalah memberikan ketauladanan sekaligus membina ummat.

Nah, dalam konteks ini, saya bermimpi IAEI sebagai kumpulan intelektual ekonomi Islam menjadi komponen bangsa yang kredibel dalam berkontribusi untuk membina ummat menuju peradaban ekonomi Indonesia yang lebih Islami, peradaban ekonomi yang lebih dekat dengan Tuhannya. Perannya menjadi sumber ilmu sekaligus tempat bertanya ummat tentang aplikasi-aplikasi ekonomi Islam. Ia juga menjadi pembina ummat dalam melazimkan budaya ekonomi yang Islami. Dan tentu saja, pada beberapa kondisi, IAEI berfungsi menjadi lembaga kontrol atas perkembangan dan pengembangan ekonomi Islam di tanah air.

Untuk kepentingan itulah, maka dalam acara pemilihan pengurus baru IAEI ini (Muktamar II IAEI, 30 Juli 2011) para anggotanya harus memahami betul posisi dan fungsi utama lembaga ini. Dengan begitu, pertimbangan tersebut mampu membantu menentukan siapakah intelektual terbaik diantara mereka yang pantas memimpin agar kedepan IAEI maksimal kemanfaatannya bagi ummat.

Agar ia mampu menjadi sumber ilmu yang shaih, maka para intelektuali yang berada di dalamnya sepatutnya memiliki keilmuan yang mendalam. Sementara untuk membina dengan efektif dan efisien, maka disamping diperlukan keahlian membina yang baik, dibutuhkan pula prasarana dan sarana serta lingkungan yang memadai. Dan supaya IAEI mampu menjadi lembaga kontrol yang optimal, maka dibutuhkan tingkat kemandirian (independen, bebas kepentingan) yang selalu terjaga.

Nah, kini pertanyaannya siapakah yang dapat memimpin IAEI dengan kemampuan menjalankan fungsi-fungsi tersebut?

Ternyata, para anggotanya sepakat menjatuhkan pilihannya pada sosok Prof. Dr. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, mantan Dekan FE Universitas Indonesia dan mantan Direktur IRTI – IDB, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI, untuk menjadi nahkoda IAEI. Dengan segala pertimbangan dan dinamika diskusi di belakang pemilihannya, penunjukan dan pelimpahan amanah ini atas kehendak Allah SWT. Semoga IAEI tampil lebih bermanfaat bagi ummat dibawah kepemimpinan beliau. Selamat Pak Bambang!

Kamis, 28 Juli 2011

Kehidupan..


Saat menulis kalimat-kalimat ini, saya sedang dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. Kali ini saya ingin bertutur tentang renungan saya yang baru saja masuk dalam benak. Renungan tentang kehidupan, tentang kerumitannya, tentang peristiwa-peristiwanya yang begitu kompleks, tentang mekanisme sebab-akibatnya.

Saya membayangkan bahwa setiap manusia memiliki ruang-ruang peristiwanya yang begitu pelik dan dinamis. Satu manusia memiliki berbagai dimensi hidup yang harus menyita perhatiannya, baik itu ada pada aspek pribadinya, keluarganya, kerabatnya, lingkungan rumahnya, lingkungan kerjanya, pertemanannya, cita-cita dan harapannya maupun masa lalunya.

Semua dimensi kehidupan itu menyuguhkan masalahnya sendiri-sendiri. Apalagi seringkali antar dimensi kehidupan itu saling terkait dan memberikan tidak sedikit pula masalah. Misalnya masalah yang muncul dari interaksi keluarga dan kerabat, kerabat dan tetangga, tetangga dan pribadi, pertemanan dan lingkungan kerja, harapan dan keluarga atau pribadi dan masa-lalu.

Dengan banyaknya masalah hidup pada banyak dimensi kehidupan seorang manusia itu, maka mungkin wajar setiap satu pribadi memiliki beberapa karakter pergaulan, memiliki beberapa topeng untuk berinteraksi, mengikut variasi dimensi kehidupan yang ia miliki.

Saya merenungkan ini, karena beberapa kali pada hari ini saya harus selalu menyesuaikan emosi untuk berada pada beberapa dimensi kehidupan yang saya miliki. Dimensi kehidupan saya dikeluarga seperti mengurusi keperluan sekolah anak, ikut terlibat dalam penyelesaian masalah yang muncul di kerabat, atau berempati dengan masalah muamalah teman yang sedang kesusahan.

Memikirkan ini saya semakin maklum dengan semua tingkah polah manusia. Mereka yang tahan dan memiliki kesabaran, mungkin akan terlihat bijak menyikapi masalah-masalah yang timbul. Tetapi bagi mereka yang tidak tahan, mungkin akan bersikap sebaliknya. Bersyukur Tuhan menyebutkan kalau kesulitan dan kesusahan hidup itu menggugurkan dosa. Tuhan amat sangat bijaksana mengkompensasi semua kesulitan manusia dalam setiap dimensi kehidupan mereka, asal manusia menyikapinya kesulitan itu dengan baik, dengan sabar yang cukup, dengan prasangka baik yang selalu ditujukan pada Sang Maha Kuasa.

Mari terus pahami dunia dengan semua kerumitannya, semoga dengan pemahaman itu kita semakin bijaksana, semakin sabar dengan semua yang telah ditetapkan Tuhan bagi kita.

Rabu, 27 Juli 2011

SILABUS KEUANGAN PUBLIK ISLAM

Pertemuan 1: Pengantar Ekonomi Islam (Referensi*; A,B,C)
Filosofi & Definisi Ekonomi dalam Islam
Masalah dan Sasaran Ekonomi dalam Islam
Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Keuangan Publik dalam Ekonomi Islam

Pertemuan 2: Definisi Keuangan Publik dalam Islam (A,B,C)
Keuangan Publik dalam Ekonomi Islam
Keuangan publik & fungsi negara dalam Islam
Peran dan fungsi private, public dan social sector
Production Possibility Frontier Vs Social Indifference Curve

Pertemuan 3: Instrumen Keuangan Publik Islam: Zakat (B,C,H)
Peran dan fungsi keuangan publik
Sejarah keuangan publik
Instrumen Fiskal: wajib & sukarela
Zakat sebagai instrumen utama Fiskal
Definisi dan mekanisme Zakat
Kebijakan pengumpulan dan penggunaan Zakat

Pertemuan 4: Instrumen Keuangan Publik Islam: Kharaj & Jizyah (B,C,H)
Instrumen sejenis Zakat bagi warga non-muslim
Definisi dan mekanisme Kharaj
Definisi dan mekanisme Jizyah
Kebijakan negara atas Kharaj dan Jizyah

Pertemuan 5: Implikasi Instrumen Zakat dalam Perekonomian (A,B,C,H)
Implikasi zakat terhadap perekonomian
Pengaruh zakat pada konsumsi agregat dan pasar kerja
Pengaruh zakat bagi mustahik dan muzakki
Kebijakan penggunaan Zakat dalam Perekonomian
Komparasi implikasi zakat dan pajak konvensional

Pertemuan 6: Instrumen Keuangan Publik Islam: Non-Zakat (A,G,E)
Peran dan fungsi sektor sosial
Definisi dan Mekanisme infak-sedekah-wakaf
Motivasi instrumen sukarela dalam keuangan publik

Pertemuan 7: Implikasi Instrumen Non-Zakat dalam Perekonomian (A,G,E)
Implikasi infak-sedekah-wakaf terhadap perekonomian
Implikasi infak-sedekah pada penerimaan negara
implikasi wakaf pada investasi
Korelasi keimanan dan kinerja ekonomi

Pertemuan 8: UTS

Pertemuan 9: Pos instrumen fiskal lainnya (A,B,CH,E)
Definisi dan mekanisme Ushr
Definisi dan mekanisme Mustaghlah
Definisi dan mekanisme Ghanimah-Khums
Definisi dan mekanisme Nawaib

Pertemuan 10: Prinsip Dasar Kebijakan Publik Islam (E,G,I)
Misi Ekonomi Islam dan Prinsip Keuangan Publik Islam
Prinsip berdasarkan Qur'an dan Sunnah
Prinsip berdasarkan Ijma Ulama
Prinsip berdasarkan Kebutuhan Masyarakat (mashalahat)

Pertemuan 11: Kebijakan Publik Islam (E,G,I,H,C)
Kebijakan pada instrumen fiskal wajib
Kebijakan pada instrumen fiskal sukarela
Kebijakan pada instrumen lainnya
Hubungan sektor non-ekonomi terhadap keuangan publik

Pertemuan 12: Lembaga Pengawas Pasar: Al Hisbah (D,F,J)
Definisi Lembaga al Hisbah
Peran, fungsi dan wewenang Hisbah
Keterkaitan Hisbah dan Bait al Mal
Kebijakan al Hisbah

Pertemuan 13: Lembaga Baitul Mal (E,G,I, D,F,J, A)
Definisi lembaga Bait al Mal
Sejarah lembaga Bait al Mal
Peran, fungsi dan wewenang Bait al Mal
Kebijakan Bait al Mal

Pertemuan 14: Capita Selecta

Pertemuan 15: Capita Selecta

Pertemuan 16: UAS


*Daftar Pustaka
A: Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Aqsa Publishing, 2007

B: Abidin Ahmad Salama, Fiscal Policy of An Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, (Edited by Mahamoud A. Gulaid & Mohamed Aden Abdullah), Islamic Research and Training Institute (IRTI) – Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, 1995

C: F.R. Faridi, “A Theory of Fiscal Policy in An Islamic State,” Readings in Public Finance in Islam, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank (IDB).

D: Hafas Furqani, Institusi Hisbah: Studi Model Pengawasan Pasar Dalam Sistem Ekonomi Islam, Skripsi S1, jurusan Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002 M/1423 H.

E: Hasanuzzaman, Economic Functions of An Islamic State (The Early Experience), The Islamic Foundation, Leicester UK, 1991.

F: M.A. Sabzwari, “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Editor: Adiwarman Karim, SE, MA), The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT), 2002.

G: Muhammad Akram Khan, The Role of Government in the Economy, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997.

H: Monzer Kahf, “The Performance of the institution of Zakah in Theory and Practice,” The International Conference on Islamic Economics Towards the 21st Century, Kuala Lumpur - Malaysia, April, 1999.

I: Muhammad Nejatullah Siddiqi, Role of The State In The Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, United Kingdom, 1996.

J: Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, Azzam, Jakarta, 2003.

Selasa, 26 Juli 2011

PETITION ON INDEPENDENCE FOR PALESTINE!!!



Salam,
Please sign the petition, if not done yet, at

http://www.avaaz.org/en/independence_for_palestine_au/?vl

Assalam.
Dear friends across Australia,

In 24 hours the UN Security Council will meet, and the world has an opportunity to embrace a new proposal that could turn the tide on decades of failed Israeli-Palestinian peace talks: UN recognition of the state of Palestine.

Over 120 nations from the Middle East, Africa, Asia, and Latin America have already endorsed this initiative, but Israel's right-wing government and the US are vehemently trying to block it. Australia is still undecided. Only a massive urgent public push now could tip the government to back this momentous opportunity to move towards Palestinian self determination and an end to this bloody conflict.

US-led peace initiatives have failed for decades. But now most of the world is coming behind this bold new initiative, that could be the best opportunity to jump start a resolution of the conflict. We've got one day to call on the Australian government to endorse this statehood bid now, and make clear that citizens across the country support this legitimate, non-violent, diplomatic proposal. Sign the urgent petition and send this to everyone:

http://www.avaaz.org/en/independence_for_palestine_au/?vl

While the roots of the Israeli-Palestinian conflict are complex, most people on all sides agree that the best path to peace now is the creation of two states. But repeated peace processes have been undermined by violence on both sides, extensive Israeli settlement-building in the West Bank, and the humanitarian blockade on Gaza. The Israeli occupation has shrunk and fragmented the territory for a Palestinian state and made daily life a crippling ordeal for the Palestinian people. The UN, World Bank and IMF have all recently announced that Palestinians are ready to run an independent state, but say the main constraint to success is the Israeli occupation. Even the US President has called for an end to settlement expansion and a return to the 1967 borders with mutually agreed land-swaps, but Israeli Prime Minister Netanyahu has furiously refused to cooperate.

It’s time for a dramatic shift away from a futile peace process and on to a new path for progress. While the Israeli and US governments are calling the Palestinian initiative ‘unilateral’ and dangerous, in fact the world’s nations overwhelmingly support this diplomatic move away from violence. Global recognition of Palestine could crush extremists, and foster a growing non-violent Palestinian-Israeli movement in step with the democratic momentum across the region. Most importantly, it will rescue a path to a negotiated settlement, allow the Palestinians access to a variety of international institutions that can help advance Palestinian freedom, and send a clear signal to Israel’s pro-settler government that the world will no longer accept their impunity and intransigence.

For too long, Israel has undermined the hope for a Palestinian state. For too long, the US has appeased them, and for too long Europe has hidden behind the US. Right now Australia is on the fence about Palestinian statehood. We have just 24 hours to appeal to the government to stand on the right side of history and support a Palestinian declaration of freedom and independence, with overwhelming support, and financial aid. Sign the urgent petition now for long-term peace in Israel and Palestine:

http://www.avaaz.org/en/independence_for_palestine_au/?vl

Palestinian statehood will not bring a resolution to this intractable conflict overnight, but UN recognition will change the dynamics and will begin to unlock the door towards freedom and peace. Across Palestine, people are preparing, with hope and expectation, to reclaim a freedom their generation has never known. Let's stand with them and push our leaders to do the same, as they have stood with the people of Egypt, Syria and Libya.

With hope and determination,

Alice, Ricken, Stephanie, Morgan, Pascal, Rewan and the entire Avaaz team

MORE INFORMATION

Abbas vows to continue UN statehood bid
http://english.aljazeera.net/news/middleeast/2011/07/201171302020819197.html

Arab League will call for Palestinian State at the UN
http://www.reuters.com/article/2011/07/14/us-palestinians-israel-statehood-arabs-idUSTRE76D21020110714

Palestinians and Israelis march for Palestinian statehood:
http://www.washingtonpost.com/world/middle-east/israelis-and-arabs-march-in-jerusalem-for-palestinian-statehood/2011/07/15/gIQAQPnSGI_story.html

Israel campaign against UN vote:
http://www.guardian.co.uk/world/2011/jun/10/israel-plan-block-un-palestinian-state?INTCMP=SRCH

Palestinian call for statehood:
http://www.ft.com/intl/cms/s/0/47a391f6-b121-11e0-a43e-00144feab49a.html#axzz1SefO7Aor

Palestinian statehood and bypassing Israel:
http://english.aljazeera.net/indepth/opinion/2011/06/20116168535227628.html

UN says Palestinians able to govern own state
http://unispal.un.org/pdfs/AHLC-Apr2011_UNSCOrpt.pdf

List of countries recognizing the state of Palestine
http://www.avaaz.org/en/countries_recognizing_palestine/?info

Quo Vadis Fatwa DSN No 77 tahun 2010

Saya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mempertimbangkan apa yang saya harus lakukan untuk merespon kecenderungan terkini dari praktek ekonomi Islam khususnya keuangan dan perbankan syariah yang semakin jauh dari jati dirinya. Kecenderungan itu meliputi apa-apa yang tengah berlangsung di industry dan infrastruktur pendukungnya. Bahwa isu semakin kaburnya batas pemisah antara praktek keuangan syariah dan konvensional sudah menjadi wacana yang ramai didiskusikan pada tingkat global. Namun dengan penentrasi bisnis menuju integrasi pasar keuangan syariah yang semakin kencang, dimana Indonesia juga tidak dapat mengelak dari globalisasi pasar itu, maka mau tidak mau isu tadi juga kini menjadi perhatian stakeholder industry keuangan syariah tanah air. Mencermati ini tentu ada kegundahan dalam hati saya.

Kegelisahan ini sebenarnya telah lama saya tuangkan dalam tulisan, tulisan yang mengungkapkan perkembangan praktek ekonomi Islam tidak diikuti oleh pemahaman yang mendalam dan kolektif pelaku usaha serta masyarakat terhadap nilai-nilai moral ekonomi Islam (akidah dan akhlak). Sementara di sisi industry keuangan syariah, perkembangan operasional dan aplikasi produk dikhawatirkan semakin pudar distinction-nya atau karakteristik unik Islam yang berdasar pada prinsip-prinsip syariah, akibat pemahaman yang tak dalam pada prinsip syariah dan kecenderungan pelaku industry yang pragmatis dalam berstrategi bisnis. Hal ini mengakibatkan watak dan bentuk industry perbankan syariah semakin co-integrated (comingling) dengan apa yang dilakukan konvensional.

Hal itu berlanjut ketika beberapa waktu lalu secara spesifik saya menuangkan kegelisahan saya dengan mengkritik wacana penerapan produk jual-beli emas secara tangguh. Saya menulis tentang produk ini dengan analisa berdasarkan perspektif ekonomi, latar belakang dan implikasinya. Puncaknya ketika saya ikut hadir dalam rapat pleno DSN pada tanggal 3 Juni 2010 di gedung MUI jalan Diponegoro Jakarta. Sebelum rapat saya menyiapkan bahan presentasi tentang latar belakang dan praktek produk jual-beli emas secara tangguh. Dalam rapat pleno tersebut dibahas setidaknya dua draft fatwa, yang pertama fatwa tentang praktek satu produk di pasar modal dan selanjutnya produk jual-beli emas secara tangguh di perbankan syariah.

Dalam rapat pleno tersebut kami dari Bank Indonesia (yang di undang) berhasil meyakinkan bahwa produk tersebut memiliki risiko yang cukup besar dan berimplikasi buruk bagi industry. Dan atas pertimbangan maqashid asy-syariah, maka disepakati bahwa produk tersebut tidak tepat untuk perbankan syariah. Seingat saya ketika itu jika draft produk tersebut disepakati menjadi fatwa maka fatwa tersebut akan bernomor 71.

Namun beberapa waktu kemudian ternyata fatwa untuk produk tersebut tetap keluar dengan nomor 77, dengan alasan yang juga konsisten diungkapkan pada rapat pleno tanggal 3 Juni 2010, yaitu mengakomodasi praktek masyarakat yang telah berlangsung selama ini. Fatwa ini ketika ditanyakan apakah ditujukan untuk perbankan syariah, beberapa sumber dari anggota DSN mengungkapkan secara garis besar bahwa ada kesepakatan kalau fatwa ini tidak diperuntukkan bagi perbankan syariah. Saya secara pribadi jadi bertanya-tanya, jika tidak ditujukan untuk perbankan syariah mengapa dikeluarkan oleh DSN? Mengapa tidak oleh Komisi Fatwa MUI, seperti fatwa-fatwa umum lainnya? Bukankah keberadaan DSN diperuntukkan khusus bagi industry keuangan syariah? Apakah pelaku industry dilapangan tahu dan memaklumi maksud peruntukan fatwa itu? Bagaimana jika kalangan perbankan syariah menggunakan fatwa itu sebagai dasar sebuah produk?

Dengan alasan kegundahan yang tercermin pada pertanyaan-pertanyaan ini dan semakin maraknya produk jual-beli emas secara tangguh di perbankan syariah yang mengkhawatirkan risikonya, maka saya ingin sekali melihat kembali dan menganalisa dengan lebih detil fatwa DSN nomor 77 ini. Mari kita lihat satu-persatu batang tubuh fatwa DSN nomor 77 hingga sampai pada kesimpulan membolehkan praktek jual-beli emas secara tidak tunai.

“Menimbang”
Fatwa ini dimulai lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya yaitu mengungkapkan hal-hal yang menjadi pertimbangan (“menimbang”). Ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan, yaitu (i) praktek masyarakat yang saat sudah berlangsung; (ii) perbedaan pendapat dikalangan umat; dan (iii) pandangan DSN yang merasa perlu menetapkan fatwa atas praktek tersebut. Setidaknya ada dua hal yang dapat disimpulkan dari bagian pertimbangan ini, pertama tidak seperti fatwa sebelum-sebelumnya, fatwa kali ini tidak mengungkapkan pertimbangan kebutuhan lembaga keuangan syariah (LKS) terhadap produk atau akad yang dibahas dalam fatwa dimaksud. Kedua (terkait dengan kesimpulan pertama) fatwa secara implicit memberikan pesan bahwa fatwa ini tidak diperuntukkan bagi LKS khususnya perbankan syariah.

Dari bagian ini, muncul pertanyaan; siapa yang bisa menjamin bahwa fatwa ini tidak akan dijadikan landasan produk LKS, ketika fatwa ini tidak secara tegas menyebutkan batasan-batasan tersebut? Terlebih lagi fatwa ini hadir ketika saat ini LKS khususnya perbankan syariah tengah marak-maraknya menggulirkan produk jual-beli emas secara tidak tunai, seakan-akan fatwa ini menjadi pembenaran dari kehadiran produk emas tersebut dan menjadi jawaban atas polemik yang muncul dimasyarakat akibat produk emas tersebut. Alih-alih fatwa ini mampu memberikan jawaban yang kemudian mendamaikan atau memberikan kemashlahatan, saya khawatir sekali fatwa ini malah berpotensi mempertajam polemik muamalah yang sudah ada.

“Mengingat”
Bagian selanjutnya adalah “mengingat”, didalam bagian ini dijabarkan tiga landasan fatwa, yaitu Al Qur’an (Al Baqarah: 275) tentang pembolehan jual beli, Al Hadits tentang jual-beli dan transaksi emas serta kaidah syariah tentang kaidah dasar berlakunya hukum (ushuliyah) dan kaidah mengambil hukum (1 qa’idah ushuliyah dan 4 qa’idah fiqhiyah). Dalil Qur’an yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual-beli yaitu surat Al Baqarah ayat 275. Sementara dalil-dalil Hadits yang dijadikan landasan, menarik untuk dianalisa lebih jauh. Pada landasan dalil hadits ini disebutkan ada enam hadits yang menjadi landasan; (i) jual-beli yang harus berdasar kerelaan pihak yang bertransaksi; (ii) jual-beli emas dengan emas haruslah secara tunai; (iii) jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai; (iv) jangan menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya dan tidak menambah sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak tunai dengan yang tunai; (v) Nabi melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai); (vi) musyawarah dilakukan bukan untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Dari enam hadits yang dijadikan dalil, empat diantaranya secara eksplisit dan tegas melarang transaksi emas dengan cara tidak tunai (tangguh/cicil). Sementara hadits sisanya bukan hadits yang membolehkan tetapi hadits dasar (pegangan) dalam berjual-beli dan hadits yang menerangkan bagaimana proses musyawarah dalam mengambil sebuah hukum (termasuk hukum berjual-beli), yang mengisyaratkan bahwa pengampilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Empat hadits yang melarang berjual-beli emas dengan tidak tunai, secara implicit menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga tata-cara mentransaksikannya diingatkan dengan begitu detilnya oleh Nabi. Emas tidak seperti benda komoditas lainnya yang lazim diperjual-belikan di pasar. Nabi menyadari betul hal ini, mengingat emas sebagai logam mulia secara kebendaan memiliki sifat kualitas yang stabil sehingga melekat padanya fungsi sebagai benda yang menyimpan nilai (store of value), sebagai ukuran menilai barang lain (unit of account), dan dengan begitu emas menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran (jual-beli) atau uang (medium of exchange).

Meski karena kemuliaan secara benda emas dapat saja bertambah fungsinya menjadi pakaian dalam bentuknya berupa perhiasan. Namun emas tetaplah emas, dimana fungsinya sebagai penyimpan nilai, alat ukur dan alat tukar tetap melekat padanya. Oleh sebab inilah kemudian penjelasan Nabi pada proses bertransaksi emas (tanpa menjelaskan bentuk emas berupa koin emas, batangan atau perhiasan) terkesan begitu detilnya. Sekali lagi hal ini dipahami bahwa emas memiliki fungsi, peran dan posisi yang penting dalam muamalah. Dan pesan yang cukup keras untuk tidak memperdagangkan emas dengan cara tidak tunai (tangguh/cicil), sudah sepatutnya disikapi dengan hati-hati. Artinya tidak mudah begitu saja melakukan perdagangan yang bahkan bertentangan dengan substansi pesan Nabi ini. Karena sekali lagi, bahwa pesan yang menonjol dari Hadits-Hadits yang dijadikan dalil pada bagian “mengingat” dalam fatwa ini adalah pesan pelarangan memperdagangkan emas dengan cara tidak tunai.

Selanjutnya pada bagian “mengingat”, fatwa ini membahas Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih yang kemudian dijadikan sandaran penetapan kesimpulan fatwa ini. Kaidah Ushul menyebutkan bahwa “hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat”. Kaidah ini merupakan kaidah dalam syariah yang sifatnya merupakan kelaziman dalam mengambil hukum. Kaidah ini mereferensi dari buku yang ditulis Ali Ahmad al-Nadawiy. Sepanjang pengetahuan saya maksud dari kaidah ini adalah hukum boleh atau tidak boleh dari sebuah perbuatan atau transaksi akan tetap berlaku baik ada maupun tidak adanya illat (alasan).

Pada saya kaidah ushul ini semakin menegaskan bahwa perdagangan emas yang tidak dapat dilakukan dengan tidak tunai, atau tidak begitu saja dapat dianulir dengan illat yang dasarnya tidak kuat, apalagi rasionalitas atau logikanya yang tidak tepat dijadikan illat. Pembahasan ini nanti berhubungan erat dengan bagian selanjutnya yaitu ketika fatwa ini pada bagian “memperhatikan” mengemukakan alasan-alasan (dengan menjabarkan pendapat-pendapat ulama) bahwa saat ini dalam perekonomian formal emas bukanlah benda atau alat yang dijadikan uang secara resmi. Artinya pelarangan Nabi untuk tidak memperdagangkan emas secara tidak tunai tidak begitu saja dapat dianulir dengan alasan bahwa emas saat ini bukan uang resmi yang digunakan secara formal. Kesimpulan ini harus dianalisa dengan lebih mendalam, apakah benar emas bukan uang? Apakah kesimpulan itu hanya bersandar pada fakta hukum positif (formal) bahwa emas tidak digunakan sebagai uang resmi? Mengapa tidak melihat dan mempertimbangkan bahwa diresmikan atau tidak, emas secara kebendaan (alami) telah melekat padanya fungsi sebagai uang. Artinya, tidakkah sepatutnya fatwa mempertimbangkan fungsi substansi emas sebagai uang daripada fungsinya secara hukum positif (formal/resmi)? Nanti saya akan bahas lebih jauh ketika membahas bagian “memperhatikan”.

Setelah itu ada 4 kaidah fikih yang dikemukakan, dimana 3 diantaranya menyebutkan esensi kaidah yang sama yaitu kaidah bahwa adat atau kebiasaan masyarakat dijadikan dasar penetapan hukum. Sedangkan sisa terakhir menyebutkan kaidah fikih bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Menyebutkan bahwa adat atau kebiasaan dapat dijadikan dasar sebuah hukum, setidaknya pernyataan tersebut tidak diterima bulat-bulat (begitu saja) tanpa ada batasan-batasan yang valid, seperti:

a. Sepatutnya tetap mempertimbangkan hal-hal lain yang kesemuanya memiliki kepentingan yang sama, seperti kepentingan kemashlahatan. Artinya adat atau kebiasaan itu memiliki keselarasan tujuan atau semangat dengan dalil-dalil utamanya, seperti tujuan atau semangat memberikan kemashlahatan bagi urusan muamalah ummat.

b. Selain itu, dalam konteks perdagangan emas ini adat yang menjadi rujukan juga harus dilihat substansinya apakah perdagangan emas yang dimaksud sama dengan adat atau kebiasaan perdagangan yang didefinisikan (dilakukan masyarakat) sebagai rujukan. Misalnya apakah adat atau kebiasaan perdagangan emas yang dimaksud seperti perdagangan perhiasan emas secara tangguh sama dengan perdagangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan seperti perbankan syariah.

Sementara itu, pada kaidah fikih “bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”, haruslah juga disikapi dengan berhati-hati. Ketika mengambil kaidah ini sebagai sebuah dasar hukum, haruslah dipastikan bahwa kegiatan muamalah dimaksud betul-betul tidak masuk dalam ruang-lingkup transaksi yang dilarang (diharamkan). Untuk memastikan hal itu tentu akan sangat bergantung pada kemampuan analisa dalam melihat serta mengenali substansi transaksi tersebut, apakah secara substansi transaksi tersebut betul-betul tidak sama (atau sama) dengan kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh syariah.

Artinya kaidah ini mewajibkan pembuat hukum memahami dengan baik dan dalam ruang-lingkup pelarangan, bukan hanya sebatas dalil-dalilnya tetapi juga filosofinya, substansinya dan implikasinya. Sehingga dengan begitu mampu memilih dan memilah mana kegiatan yang dilarang dan mana yang boleh secara syariah. Dengan begitu pula akan terjaga keselarasan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah kemashlahatan, misalnya keselarasan antara fatwa (secara hukum) dengan logika implikasi ekonomi (secara kemashlahatan). Oleh sebab itulah, saya berpendapat dalam mengambil hukum sebaiknya jangan hanya melihat bentuk luaran dari satu transaksi tanpa melihat substansi (mengenali substansi kegiatan muamalah dapat dilakukan dengan melihat implikasi dari kegiatan muamalah tersebut), dan kemudian secara mudah menggunakan kaidah ini sebagai landasan. Misalnya melihat produk Commodity Murabaha di sisi pembiayaan perbankan syariah, secara bentuk aplikasi sepintas produk ini adalah produk jual-beli yang secara syariah dibenarkan, namun dilihat substansi aplikasinya, tujuan penggunaannya dan implikasinya, pada hakikatnya produk ini sama dengan transaksi kredit konvensional, dimana jual-beli dilakukan untuk menjustifikasi transaksi kreditnya.

“Memperhatikan”
Selanjutnya fatwa ini masuk pada bagian “memperhatikan” yang menjelaskan bahwa fatwa ini memperhatikan tiga hal, yaitu: (i) pendapat para ulama; (ii) pendapat ulama dalam rapat pleno DSN; dan (iii) surat dari Bank Mega Syariah No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas.

pada penjabaran pendapat ulama di bagian ini, fatwa ini mengemukakan pendapat dari lima ulama besar yaitu Syaikh ‘Ali Jumu’ah (mufti al-Diyar al-Mishriyah), Prof.Dr. Wahbah al-Zuhaily, Syekh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Dr. Khalid Mushlih dan Syaikh ‘Abd al-Hamid Syauqiy al-Jibaliy. Dari pendapat kelima ulama besar ini saya berkesimpulan:

1. Bahwa pendapat ulama tersebut semakin menegaskan kalau perdagangan emas dengan tidak tunai atau tangguh tidak diperkenankan secara syariah, baik emas tersebut dalam bentuk uang (koin pada masa lampau) maupun dalam bentuk bukan uang (batangan/goldbar atau perhiasan). Perlakuan yang berbeda hanyalah pada emas berbentuk perhiasan tetapi bukan perlakuan pembolehan perdagangan dengan tangguh tetapi pembolehan menambah jumlah nilai pembayaran dengan alasan value addition (effort merubah bentuk emas menjadi perhiasan). Kesimpulan ini merupakan pendapat mayoritas dari para ulama. Pendapat ini sejalan dengan alur fikir bahwa emas (harta ribawi – amwal ribawiyah) dalam bentuk apapun tetaplah memiliki fungsi alamiah sebagai uang, yang jika ditransaksikan secara tidak tunai akan berpeluang melanggar syariah.

2. Perdagangan emas dengan tidak tunai diperkenankan sepanjang dalam bentuk perhiasan dengan alasan bahwa emas tersebut dalam bentuk barang bukan uang. Pendapat ini dari perspektif ekonomi memang juga cukup mendasar mengingat emas dalam bentuk perhiasan ketika dibeli bukan hanya diinginkan kemuliaan logam emasnya tetapi juga bentuknya seperti gelang, cincin, kalung dan lain sebagainya. Dalam bentuk ini, emas dapat disamakan dengan pakaian, dan bagaimana memperdagangkannya pun akhirnya disamakan, yaitu dapat diperdagangkan dengan tangguh. Namun Alasan ini akan sangat valid jika prakondisi dari perdagangan ini juga terjaga dan terpenuhi seperti yang dimaksud oleh ulama-ulama yang berpendapat boleh tadi. Prakondisi tersebut seperti bahwa emas yang diperdagangkan berupa perhiasan, pembeli memang bermaksud mendapatkan sekaligus mengambil manfaat dari value addition emas tersebut. Validitasnya tentu akan dipertanyakan jika ternyata prakondisi ini tidak terpenuhi, tidak sama. Apalagi ternyata transaksi itu melibatkan atau dilakukan LKS dimana nature atau karakteristik transaksi yang dimaksud ulama-ulama diatas sangat mungkin jadi terkaburkan.

Secara umum dapat dilihat dalam bagian ini pada fatwa ini, bahwa pendapat yang mayoritas dan masyhur adalah melarang perdagangan emas dengan secara tidak tunai atau tangguh. Bahkan secara eksplisit dan tegas disebutkan oleh Dr. Khalid Mushlih (diungkapkan di fatwa ini) bahwa jual-beli emas dengan uang kertas secara angsuran adalah haram dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Uang kertas dan emas (dalam bentuk apapun) merupakan tsaman (harga, uang). Bagi saya, baik merujuk pendapat ulama atau logika ekonomi terhadap emas, emas secara kebendaan tidak membutuhkan legitimasi atau legalisasi hukum formal untuk dikatakan sebagai uang.

Landasan yang selalu dirujuk dalam pembolehan perdagangan emas dengan tangguh ini adalah fatwanya Syaikh Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa jual-beli emas secara tangguh diperbolehkan selama perhiasan tersebut tidak dimaksud sebagai harga (uang). Dengan kata lain pembolehan itu diperkenankan sepanjang konsisten memelihara emas yang ditransaksikan tersebut berfungsi sebagai perhiasan atau sejenisnya (yang diambil manfaatnya secara kebendaan sekaligus bentuknya sebagai perhiasan). Namun prasyarat Syaikh Ibnu Taimiyah ini akan sangat mungkin terlanggar jika ternyata transaksi emas itu dilakukan dalam ruang-lingkup LKS yang bernuansa investasi, dimana emas akan berfungsi sebagai harga dalam konteks store of value atau unit of account. Apalagi hal ini semakin ditegaskan dengan bentuk emas yang diperdagangkan bukan lagi perhiasan tetapi batangan (goldbar).

Selanjutnya pada bagian “memperhatikan”, fatwa ini mengemukakan enam urutan alasan sampai dengan kesimpulan terkait perdagangan emas ini dari ulama yang hadir pada saat pleno DSN tanggal 20 Jumadil Akhir 1431 H/03 Juni 2010 M. Urutan alasan itu dimulai dengan: (i) pengaturan perdagangan emas, (ii) illat emas tidak bisa diperdagangkan dengan tidak tunai karena emas adalah tsaman (uang); (iii) uang (nuqud) adalah media pertukaran dan diterima secara umum atau diterbitkan oleh otoritas; (iv) dasar status sesuatu dinyatakan sebagai uang adalah adat atau kebiasaan; (v) emas saat ini diperlakukan oleh masyarakat umum (dunia) adalah bukan tsaman tetapi barang (sil’ah); (vi) disimpulkan dengan urutan alasan pada poin-poin sebelumnya, maka ketentuan perdagangan emas yang tidak memperkenankan secara tidak tunai menjadi tidak berlaku.

Ada beberapa hal yang bagi saya mengganjal pada alasan-alasan DSN diatas, beberapa hal itu diantaranya:

1. DSN mengambil kesimpulan bahwa illat pelarangan perdagangan emas secara tidak tunai karena emas sebagai tsaman, dari pendapat minoritas yang tidak masyhur. Padahal jika dikaji lebih dalam pelarangan itu pada hakikatnya melekat pada kebendaan emasnya (termasuk bentuknya) dan relative bukan karena fungsi tsaman-nya. Terlebih lagi mengingat fungsi tsaman itu melekat pada kebendaan emas, karena kemuliaan logam emas. Dan hal ini sebenarnya sudah secara eksplisit diungkap dalam fatwa ini. Lebih detil saya jelaskan pada poin selanjutnya.

2. Saya melihat definisi tsaman lebih luas dari sekedar nuqud (media pertukaran). Emas sebagai tsaman bukan hanya berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange) tetapi juga alat penyimpan nilai (store of value) serta alat perhitungan (unit of account). Sehingga tidak berarti jika emas tidak menjadi nuqud (alat tukar) secara resmi maka fungsi tsaman-nya terhapus, karena emas masih menjadi (digunakan) sebagai store of vaue dan unit of account yang paling tepat dan diminati sampai saat ini.

3. Artinya, emas boleh saja tidak menjadi uang secara resmi oleh otoritas tertentu, tetapi secara substansi emas masih diterima oleh masyarakat dunia dimana saja untuk dapat menjadi alat tukar (uang/nuqud). Emas dengan sifat kemuliaan logamnya akan sangat mudah menjadi alat tukar (nuqud) di wilayah otoritas manapun. Oleh sebab itu saya melihat pendapat DSN lebih menggunakan pendekatan legalisasi formal bukanlah substansi, padahal implikasi pengembangan aplikasi perdagangan emas lebih ditentukan oleh fungsi substansi emas bukan legalitasnya.

4. Dari pendapat-pendapat sebelumnya dan pendekatan yang dilakukan, sangat dimaklumi kemudian DSN berpendapat bahwa emas saat ini diklasifikasikan sebagai barang (sil’ah). Padahal landasan mengklasifikasikannya menurut saya berdasar pada analisa yang kurang dalam dan menggunakan pendekatan yang juga kurang tepat. Jikapun mau konsisten dengan paparan dalil yang dikemukakan, sepatutnya DSN konsisten membatasi sil’ah pada perhiasan dari emas atau sejenisnya, bukan men-generalisasi pada semua emas. Terlebih lagi jika ternyata emas ini ditransaksikan di LKS dimana emas tidak sekedar menjadi barang (sil’ah) pada umumnya, seperti motor, pakaian, rumah atau perhiasan sekalipun.

5. Akhirnya, menurut saya kesimpulan dari pleno DSN ini menjadi wajar seperti yang dituliskan diatas, karena kesimpulan tersebut diambil dengan pendekatan generalisasi dan legal formal dalam melihat emas. Selain itu kesimpulan ini tidak bersumber pada analisa yang tajam, transmisi logika yang relevan dalam melihat dan mengambil esensi dalil-dalil yang ada dan meramunya. Sehingga dari perspektif ekonomi kesimpulan ini berpotensi mengaburkan substansi ekonomi.

Akhirnya bagian ini ditutup dengan memperhatikan pula surat dari Bank Mega Syariah (BMS) No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas. Poin inilah yang menimbulkan kebingungan jika dikaitkan dengan pesan implicit pada bagian “menimbang”, bahwa fatwa ini seolah-olah member pesan kalau fatwa ini bukan untuk LKS, mengingat dalam bagian “menimbang” itu tidak disebutkan pertimbangan kebutuhan LKS sebagaimana biasanya fatwa-fatwa yang lain. Terlebih lagi, berdasarkan informasi dari beberapa anggota DSN fatwa ini memang memiliki catatan seperti itu; tidak untuk lembaga keuangan syariah. Tetapi mengapa poin memperhatikan surat BMS ini ada? Atau mengapa harus DSN yang mengeluarkan jika bukan untuk LKS? Bukankah DSN berfungsi sebagai otoritas fatwa bagi industry keuangan syariah?

Oleh karena pertimbangan itu, secara fungsi fatwa ini kebingungan akan beroperasi di ranah mana, karena ketidak-jelasan ia ditujukan untuk siapa dan untuk apa. Dari tampilannya yang di terbitkan oleh DSN-MUI, fatwa ini memiliki beberapa kejanggalan;

1. Tidak ada statement secara eksplisit yang menyebutkan fatwa ini ditujukan untuk siapa seperti yang biasa disebutkan pada fatwa-fatwa sebelumnya, khususnya pada poin “menimbang”.

2. Menurut keterangan dari beberapa anggota DSN fatwa ini pada dasarnya ditujukan untuk masyarakat yang selama ini telah melakukan transaksi emas dengan cicil, misalnya transaksi di took-toko perhiasan emas. Tetapi pertanyaannya mengapa DSN yang mengeluarkan fatwa, padahal eksistensi DSN lebih berfungsi untuk mengurusi fatwa yang dibutuhkan oleh industry keuangan syariah. Dengan kondisi seperti itu, salahkah LKS menggunakan fatwa ini sebagai dalil dari produknya?

3. Jika memang tidak ditujukan khusus untuk industry keuangan syariah atau bahkan untuk perbankan syariah, mengapa pada poin “mengingat” no. 3 pada fatwa ini secara eksplisit menyebutkan bahwa fatwa mempertimbangkan “surat dari Bank Mega Syariah No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas”. Poin ini seakan-akan menegaskan bahwa fatwa ini muncul sebagai respon dari permohonan Bank Mega Syariah.

“Memutuskan”
Pada bagian akhir, fatwa ini mengemukakan keputusannya berupa fatwa jual-beli emas secara tidak tunai dengan penjelasan hukum dan batasan ketentuan. Secara hukum dinyatakan bahwa berjual-beli emas secara tidak tunai boleh (mubah) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi. Menurut saya kesimpulan hukum akan berbeda jika pertimbangan-pertimbangan dilakukan berdasarkan penjelasan yang telah sampaikan pada masing-masing bagian dari fatwa ini. Sementara itu batasan pada kalimat “selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi”, menurut saya cenderung menyederhanakan prakondisi yang dimaksud oleh dalil-dalil yang telah dikemukakan. Sepatutnya pertimbangannya konsisten pada alasan utama yaitu selama emas dalam bentuk perhiasan atau sejenisnya. Karena emas secara kebendaan akibat kemuliaan logamnya, baik resmi atau tidak resmi akan tetap berfungsi sebagai alat tukar, dimana saja dan kapan saja.

Sementara itu untuk penjelasan batasan dan ketentuan, fatwa ini menjelaskan batasan-batasan atau mungkin implikasi lanjutan yang dimungkinkan dari pembolehan emas diperjual-belikan secara tidak tunai, yaitu: (i) harga jual tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian; (ii) emas yang dibeli dapat dijadikan jaminan (rahn); (iii) emas yang dijaminkan tidak boleh diperjual-belikan atau dijadikan objek akad lain. Yang paling menarik dari penjelasan batasan dan ketentuan ini adalah poin kedua (ii), dimana telah menjadi pengetahuan bersama saat ini emas dapat digadaikan ke bank syariah, dan kombinasi rahn dengan jual-beli tangguh emas inilah yang kemudian tampil dengan produk gadai emas (berkebun emas) di bank-bank syariah.

Fatwa DSN no. 79 tahun 2011
Belum jelas betul fatwa DSN 77 ini pada jual-beli emas secara tidak tunai, namun fakta lapangannya ternyata sudah bergerak jauh dari yang diperkirakan. Inilah yang kemudian membuat kekhawatiran semakin memuncak pada diri saya. Menggabungkan akad jual-beli secara tidak tunai dengan rahn akan berpotensi menimbulkan kekacauan aspek kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah. Mengapa?

Karena pada penjaminan menggunakan rahn jika dilakukan oleh LKS khususnya bank, maka di dalam rahn itu bank akan menggunakan akad qardh, dimana bank menggunakan dana nasabah (DPK) untuk memberikan dana kepada nasabah yang menjaminkan emasnya. Padahal dalam Fatwa DSN no 19 tahun 2001, qardh tidak diperkenankan menggunakan dana nasabah. Membingungkan!

Mungkin karena menyadari potensi ini akhirnya dalam rapat pleno DSN pada tanggal 03 Rabi’ul Akhir 1432 H/08 Maret 2011 dikeluarkanlah Fatwa DSN no. 79 tahun 2011 tentang Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah. Pada Fatwa DSN no. 79 ini singkatnya diputuskan bahwa akad qardh untuk tujuan social seperti pada Fatwa DSN no. 19 tentang al Qardh, tidak boleh menggunakan dana nasabah, tetapi akad qardh untuk tujuan pertukaran dan dapat bersifat komersilal seperti pada Fatwa DSN no. 26 tahun 2002 tentang Rahn Emas, no. 29 tahun 2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, no. 31 tahun 2002 tentang Pengalihan Utang, no. 42 tahun 2004 tentang Syariah Charge Card, no. 54 tahun 2006 tentang Syariah Card dan no. 67 tahun 2008 tentang Anjak Piutang Syariah, boleh menggunakan dana nasabah.

Saya tidak habis fikir fatwa DSN no. 79 tahun 2011 ini dapat keluar. Karena fatwa ini jelas-jelas merubah wajah keuangan syariah Indonesia yang selama ini dikenal sangat konservatif, sangat dibangga-banggakan karena mampu menjaga harmonisasi sector keuangannya dengan sector riil. Tapi dengan munculnya fatwa DSN no. 79 tahun 2011 ini, Indonesia menjadi Negara yang sangat liberal dalam industry keuangan syariahnya! Dan minta maaf jika pertanyaan yang sangat sederhana akan keluar dari lisan saya: apa bedanya keuangan syariah dengan konvensional? Apa jawab saya kalau orang konvensional menisbahkan kredit mereka sebagai qardh dan bunga itu sebagai biaya administrasi plus margin?

Pertanyaan saya berlanjut jika dihubungkan dengan Fatwa DSN no 77 tahun 2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai; apakah fatwa no. 79 ingin memuluskan aplikasi fatwa no 77 oleh bank-bank syariah berupa produk gadai emas yang saat ini sudah berjalan? Meskipun dibantahnya peruntukan fatwa no. 77 untuk LKS, tetapi pertanyaan saya menjadi tidak terbendung karena hubungan yang sangat kuat di dalamnya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka saya secara pribadi mengusulkan beberapa rekomendasi perbaikan dalam menganalisa pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh DSN:

1. DSN sebaiknya menggunakan pendekatan substansi dalam melihat teknis operasional sebuah produk yang diajukan untuk dimintakan fatwanya.

2. DSN tidak hanya menyandarkan keshahihan syariah pada fatwa-fatwa pada pendapat-pendapat yang diambil dari aspek hukum saja, tetapi juga melihat aspek lain seperti aspek ekonomi, dimana spek tersebut dapat menjadi control agar fatwa betul-betul memberikan kemanfaatan yang optimal bagi ummat.

3. Dari beberapa kelemahan yang ada dalam analisa fatwa, sudah menjadi kebutuhan DSN untuk mempertimbangkan alasan implikasi-implikasi ekonomi sebagai bagian dari pertimbangan maqashid asy-syariah yang juga akhirnya mempengaruhi pengambilan kesimpulan atau keputusan fatwa.

Disamping semua kekhawatiran saya pada implikasi ekonomi secara luas akibat dasar-dasar aplikasi yang tidak kuat landasannya, karakteristik industry keuangan dan perbankan syariah serta kemanfaatan praktek ekonomi Islam terhadap system ekonomi Islam akan menjadi dikhawatirkan juga semakin hilang. Saya mengajak semua pihak, terutama para akademisi untuk turut berkontribusi memberikan masukan kepada DSN berupa pandangan-pandangan seperti analisa dari perspektif ekonomi terhadap fatwa-fatwa yang akan dikeluarkan, sedang diproses atau bahkan fatwa yang telah dikeluarkan. Dengan begitu tercipta mekanisme check and recheck yang semakin meningkatkan kualitas aplikasi khususnya praktek keuangan syariah dan ekonomi Islam secara keseluruhan.

Tulisan inilah bentuk perlawanan saya pada kecenderungan yang ada. Tetapi saya berharap tulisan ini juga menjadi kontribusi saya pada perjuangan ini. dan saya tidak akan meninggalkan perjuangan ini. kekecewaan memang ada tetapi saya berdoa kekecewaan ini tidak akan mampu memaksa saya meninggalkan idealisme untuk terus berjuang. Obsesi perjuangan saya di medan muamalah dunia ini hanya satu yaitu menghilangkan riba dan semua transaksi zalim sejenisnya. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Kematian..

Saya mungkin pernah bertutur ini di blog ini, bahwa ketika usia semakin bertambah maka berita yang sering sampai kepada kita adalah berita kematian. Entah karena kita yang semakin sadar dan mulai memperhatikan berita-berita semacam itu atau mungkin karena memang orang-orang yang kita kenal sudah sampai pada akhir cerita hidupnya.

Berita kematian kakek-nenek, paman-bibi, kerabat jauh, tetangga, atau bahkan orang tua. Berita itu seakan sambung menyambung dan seolah terus menjadi lonceng-lonceng peringatan bagi kita yang hidup. Hal itu mulai sering terjadi pada saya. Dalam beberapa tahun ini, saya sudah alami kehilangan kakek dan nenek, adik dan kakak dari kakek-nenek, paman dan bibi, kerabat jauh dan tentu saja tetangga. Diakhir renungan dari peristiwa itu saya selalu bertanya pada diri sendiri; kapan giliran saya?

Kematian untuk banyak orang sudah menjadi topik utama dalam lamunan mereka. Ada yang merindu-rindu kapan kematian itu tiba baginya, tetapi sangat banyak yang masih memandang kematian sebagai momok yang menakutkan, sehingga dengan sengaja topik kematian ia enyahkan dan usir dari beranda lamunannya.

Saya sendiri kadangkala berharap kematian segera tiba, ketika saya merasa begitu dekat dengan Tuhan. Tapi seringkali kematian memaksa saya untuk meneteskan air mata, karena kengerian yang ada dibelakangnya. Kengerian itu membuat kematian menjadi begitu menakutkan. Dan itu ada ketika saya begitu asyik dengan nikmat-nikmat dosa.

Kematian memiliki dua dimensi fungsi. Untuk sebagian orang, kematian dapat melecut semangat untuk cepat-cepat mendapatkan apa yang diharap-harap. Tetapi untuk sebagian lainnya, kematian mampu menghentikan putaran waktu, menihilkan motivasi dan membuat wajah tertunduk lesu.

Kematian adalah pasti, lebih pasti dari karir dan jabatan, lebih niscaya dari cita-cita dan harapan, lebih selalu dari obsesi dan kesuksesan. Kematian ya tetap kematian, suka tidak suka, siap tidak siap, ia akan sampai kepada kita..

Rasionalitas Fatwa Vs Rasionalitas Ekonomi Islam

Saya ingin kembali mengutip pendapat Dr. Mohammad Obaidullah (IRTI-IDB) dalam melihat permasalahan produk lembaga keuangan syariah yang saat ini semakin memudar karakter syariahnya. Pendapat beliau ini pula yang menjadi salah-satu inspirasi saya dalam merenungi apa yang saat ini sedang terjadi di industri perbankan syariah nasional.

Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan industri keuangan syariah terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam.

Oleh sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap aktifitas ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.

Beberapa akademisi seringkali mengalami kebingungan ketika sebuah fatwa men-drive produk bertingkah-laku dan berimplikasi bertolak belakang dengan logika ekonomi Islam yang selama ini diyakini. Bagaimana mungkin prinsip hukum syariah sebagai landasan fatwa atas sebuah produk bisa berlawanan arah destinasinya dengan rasionalitas implikasi ekonomi Islam. Bukankah menjadi pertanyaan yang sangat mendasar kenapa ini dapat terjadi? Bukankah prinsip hukum syariah memiliki semangat, substansi dan tujuan yang sama dengan ekonomi Islam? Kalau keduanya bertolak belakang posisinya, mana yang harus diikuti?

Saya sedang “bingung”, bagaimana mungkin di satu sisi saya berbangga-bangga pada ekonomi Islam karena substansinya yang melekat erat dengan aktifitas ekonomi produktif, namun di sisi yang lain saya “terbengong-bengong” melihat produk keuangan syariah ternyata begitu mesranya duduk berdampingan dengan produk-produk konvensional, dan akhir-akhir ini saya semakin susah membedakan kedua produk itu.

Senin, 25 Juli 2011

Kepentingan Hukum Syariah Vs Kepentingan Maqhasid Asy-Syariah

Setelah mendapat respon dari beberapa kawan atas tulisan saya tentang “Quo Vadis Fatwa DSN No 77 tahun 2010” sebelum ini, saya semakin tertarik untuk secara khusus meluangkan waktu untuk mengkaji lebih jauh fatwa-fatwa DSN-MUI yang telah keluar untuk keperluan Industri Perbankan Syariah. Baik fatwa-fatwa yang ditujukan untuk operasional maupun untuk produk bank syariah.

Pertanyaan-pertanyaan yang ingin saya jawab adalah, seberapa jauh fatwa DSN mendukung fungsi dasar bank syariah sebagai katalisator sektor riil? Seberapa optimal fatwa mendorong fungsi intermediasi industri perbankan syariah? Harmonikah kepentingan hukum syariah berdasarkan dalil-dalil hukumnya dengan kepentingan maqhasid asy-syariah berdasarkan transmisi sebab akibat atau implikasi ekonomi yang tertuang dalam fatwa-fatwa?

Apakah menarik bagi anda pertanyaan-pertanyaan di atas? Jika iya, mari analisa lebih jauh semua fatwa DSN yang diperuntukkan bagi industri perbankan syariah. Jadikan alternatif topik skripsi, thesis atau bahkan desertasi kuliah anda!

Minggu, 24 Juli 2011

Belajar..


Beberapa waktu terakhir ini saya berkesempatan untuk beberapa kali berkunjung ke beberapa daerah. Entah berkunjung untuk tujuan penelitian, edukasi, silaturahim atau sekedar diskusi , tapi intinya satu; banyak yang dilihat, banyak pelajaran yang didapat. Belajar banyak kebijaksanaan dari orang-orang yang sederhana atau belajar kesederhanaan dari orang-orang yang bijaksana. Ada seorang Guru Besar di Medan yang sangat bersahaja menjamu kami makan duren di tepi jalan, ada seorang doctor ketua jurusan satu perguruan tinggi di Jogjakarta yang begitu sederhana mengajak duduk sebentar di rumahnya untuk menikmati hidangan mie bakar yang telah disiapkan, atau ada seorang ibu rumah tangga yang masih menyisihkan waktunya untuk mengurus koperasi syariah demi meningkatkan taraf hidup petani desanya di pelosok Sukabumi.

Belajar dengan sedikit melihat lebih dalam, dengan sedikit merenung lebih jauh atau dengan sedikit diam lebih lama, menjadi proses mendapatkan hikmah dari lingkungan sekitar atau dari manusia lain, yang selalu terasa berbeda, menarik dan asyik untuk dinikmati. Dengan cara yang sama, saya tidak jarang mampu pula mengenali kesalahan diri, menginsyafinya, dan kemudian menemukan tindakan-tindakan yang (saya kira) bijak untuk membayar kesalahan itu. Menjadi manusia yang bersahaja dan bijaksana bukan selalu diukur oleh lingkungan sekitar dengan mengira-kira berapa harum dan masyhurnya nama diantara manusia-manusia lain, tetapi sepatutnya diukur oleh diri sendiri seberapa jauh kita mampu mengenali kealpaan diri dan mampu ”menghukum” diri sendiri.

Hmmm.. jadi proses belajar itu sebuah paket yang terdiri dari mengenali hikmah dan menyikapinya, seperti mengenali sebuah amal shaleh dan kemudian melakukannya, atau menyadari kekeliruan dan kemudian mengkoreksinya. Itu yang selanjutnya saya begitu memaklumi petuah orang tua dahulu, perbanyaklah belajar, perbanyaklah referensi kebijaksanaan, perbanyaklah tamsil-tamsil kehidupan, agar ruang kesahajaan dan kebijaksanaan di hati semakin luas, agar semakin mudah melihat hakikat-hakikat peristiwa, agar semakin legawa menerima kehendak-kehendak Sang Maha Kuasa. Kepada semua anda yang mengenal saya, maafkan semua kesalahan saya...

Selasa, 19 Juli 2011

CALL FOR PAPERS: FORUM RISET PERBANKAN SYARIAH - 2011



TUJUAN
1. Mendapatkan ide atau gagasan terkait pengembangan keuangan dan perbankan syariah nasional dari kalangan akademisi dan peneliti.

2. Menjadi forum tetap bagi para akademisi dan peneliti untuk mengeksplorasi ide atau gagasan dalam bentuk kajian-kajian ilmiah, serta mengukur kedalaman pengetahuan dan keahlian para akademisi dalam bidang keuangan dan perbankan syariah.

3. Menjadi sarana bagi akademisi dan peneliti untuk turut aktif dalam proses pengembangan keuangan dan perbankan syariah nasional.

KUALIFIKASI PAPER

1. Paper perbankan syariah tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Tulisan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditentukan dengan menggunakan format dan kaidah penulisan ilmiah yang lazim dan dengan elaborasi sumber-sumber pustaka yang memadai; yaitu minimal memiliki ruang lingkup pembahasan:
i. Abstrak
ii. Latar Belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian
iii. Literatur Review (jurnal dan buku mutakhir)
iv. Metode Penelitian
v. Analisa
vi. Kesimpulan dan Rekomendasi
vii. Daftar Pustaka

b. Ditulis dalam kertas ukuran A4, 1,5 spasi, font 12 Times New Roman dan minimal 20 halaman (tidak termasuk tabel atau grafik dan daftar pustaka). Penjelasan tambahan (note) ditulis dalam bentuk footnote (bukan endnote).

2. Paper yang akan dinilai apabila paper tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Paper harus berisi solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah perbankan syariah Indonesia terkini. Sehingga paper juga harus mampu dengan baik mengidentifikasi masalah yang krusial dalam industri perbankan syariah nasional.

b. Menggunakan bahasa akademik atau paper ilmiah, bukan gaya bahasa populer seperti buku populer atau artikel koran.

c. Pada bab analisis dan implikasi kebijakan sepatutnya lebih banyak pembahasannya dibandingkan bab pendukung seperti literature review dan metode riset.

d. Gaya penulisan termasuk judul juga menunjukkan bahwa paper menawarkan solusi dan bukan hanya berupa penerapan dari suatu teori seperti aplikasi model matematika atau statistika atau ekonometrika pada pembiayaan, giro, tabungan dan deposito, tanpa jelas solusi apa yang ditawarkan dari penerapan model-model tersebut.

3. Tulisan dan softfile-nya paling lambat kami terima paling lambat FRPS I tanggal 13 Agustus 2011, FRPS II tanggal 12 November 2011, dan dikirimkan ke Kantor Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah, Jl Setiabudi Tengah No. 29, Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan - 10220, E-mail: sekretariat@ekonomisyariah.org.

4. FRPS 2010 dibuka untuk para peneliti dengan kategori:
a. Peneliti Pemula (Mahasiswa S1, Sarjana (S1), Mahasiswa S2 atau setingkat)
b. Peneliti Madya/Utama (Master (S2), Mahasiswa Doktoral, PhD/Dr. (S3) atau setingkat)

5. Paper yang disampaikan oleh akademisi dan peneliti akan dipilih 6 paper terbaik (3 paper peneliti pemula dan 3 peneliti madya/utama) yang harus dipresentasikan oleh penulis pada FRPS 2011. 6 paper tersebut adalah paper terbaik untuk masing-masing topik, dengan rincian 1 paper terbaik dari masing-masing klasifikasi peneliti (peneliti pemula dan peneliti madya/utama) untuk masing-masing topik.

6. Kepada penulis diberikan kompensasi masing-masing sebesar:
a. Rp. 8.000.000,00 (termasuk pajak) untuk Peneliti Pemula.
b. Rp. 12.000.000,00 (termasuk pajak) untuk Peneliti Madya.

7. DPbS-BI akan menanggung biaya akomodasi dan transportasi untuk penulis yang berasal dari luar kota (penerbangan langsung/perjalanan domestik kelas ekonomi, termasuk dari Malaysia dan Singapura) .

8. Kompensasi finansial pemenang paper terbaik akan ditransfer ke rekening penulis pada Bank Syariah yang ditunjuk, setelah diterima hasil tulisan yang terpilih untuk dipresentasikan pada FRPS 2011.

9. Paper yang terpilih akan menjadi hak Bank Indonesia untuk keperluan apapun dalam bentuk apapun.

PELAKSANAAN FORUM RISET

Forum Riset I 2011, 29 – 30 September 2011 di IAIN Sumatera Utara, Medan
Forum Riset II 2011, 15 – 16 Desember 2011 di Universitas Padjadjaran, Bandung

Tema Besar:
“Meningkatkan Kualitas dan Daya Saing Industri Perbankan Syariah Nasional Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”

Sub-Tema untuk Call for Paper FRPS I 2011:
1. Inovasi produk perbankan syariah dalam rangka meningkatkan size dan daya saing serta memenuhi kebutuhan masyarakat luas, seperti isu: (i) Produk pembiayaan yang menyasar sektor ekonomi diluar perdagangan dan jasa; (ii) Strategi berdirinya bank syariah khusus untuk sektor ekonomi tertentu; (iii) Meningkatkan penempatan dana pemerintah atau perusahaan-perusahaan BUMN di bank syariah; dan lain-lain

2. Strategi pemenuhan kebutuhan SDM industri perbankan syariah secara jangka pendek dan jangka panjang, dalam rangka merespon beberapa isu seperti; (i) Daya saing SDM perbankan syariah nasional serta pasar keuangan syariah menjelang era MEA; (ii) Merespon kecenderungan bajak-membajak SDM diantara bank syariah nasional; (iii) Kesenjangan tingkat remunerasi perbankan syariah dan perbankan konvensional; dan lain-lain

3. Strategi pengaturan segmentasi pasar antara BPRS (lembaga keuangan mikro syariah) dan BUS/UUS dalam rangka merespon meningkatnya perhatian Perbankan Syariah di pasar pembiayaan mikro-kecil, seperti isu; (i) Strategi usaha dalam pembiayaan masing-masing untuk BPRS (LKMS) dan BUS/UUS; (ii) Mekanisme dan bentuk-bentuk linkage BUS/UUS dengan BPRS atau dengan lembaga keuangan mikro syariah lainnya seperti BMT; dan lain-lain.

4. Pengaturan dan (Shariah) Governance dalam rangka menjaga kepatuhan industri keuangan/perbankan syariah terhadap nilai-nilai GCG dan prinsip syariah serta menjaga kontribusi yang optimal bank syariah terhadap perekonomian nasional, seperti isu; (i) Tata kelola SDM DPS, DSN dan lembaga terkait dalam menjaga good governance dalam industri perbankan syariah; (ii) Regulasi operasional atau kelembagaan bank syariah yang mengedepankan kepentingan perekonomian nasional dalam rangka liberalisasi perbankan era MEA; dan lain-lain

Sub-Tema untuk Call for Paper FRPS II 2011:
1. Inovasi produk perbankan syariah dalam rangka meningkatkan size dan daya saing serta memenuhi kebutuhan masyarakat luas, seperti isu: (i) Produk pembiayaan yang menyasar sektor ekonomi diluar perdagangan dan jasa; (ii) Strategi mendorong peningkatan produk berbasis bagi-hasil (mudharabah & musyarakah);

2. Harmonisasi kebutuhan SDM industri perbankan syariah dan penyediaannya oleh sektor pendidikan formal nasional, dalam rangka merespon beberapa isu seperti; (i) Merespon kelangkaan sarjana (S1) yang memahami keahlian teknis dan pengetahuan kesyariahan sesuai dengan kebutuhan industri perbankan syariah; (ii) Merespon kelangkaan sarjana yang memahami keuangan mikro syariah; (iii) Langkanya SDM BPRS (lembaga keuangan mikro syariah); dan lain-lain

3. Strategi sosialisasi, promosi dan marketing perbankan syariah yang optimal khususnya di luar Jawa, seperti isu; (i) Mendorong pemerintah daerah dalam mendorong bank syariah di daerah melalui program-program lokal atau pembukaan BPRS; (ii) Strategi edukasi komunitas-komunitas potensial daerah untuk bertransaksi dengan bank syariah; dan lain-lain.

4. Pengaturan kelembagaan bank syariah asing dan SDM asing dalam rangka menyambut liberalisasi sektor perbankan pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), seperti isu: (i) Pengaturan bank asing atau bank yang dimiliki asing dalam rangka optimalisasi kontribusi industri perbankan syariah terhadap perekonomian nasional; (ii) Pengaturan SDM asing yang masuk dalam industri perbankan syariah; dan lain-lain

mari berdiskusi...

buat teman-teman yang mengunjungi blog ini, sekedar ingin mengangkat isu sedikit sensitif mengingat belum pernah ada diskusi yang menyeluruh tentang kritisi atas fatwa-fatwa DSN, tetapi mudah-mudahan atas niat baik untuk mendapatkan yang terbaik bagi aplikasi ekonomi/keuangan/perbankan Islam di tanah air, tulisan dibawah ini mampu memberikan kontribusi dengan segala keterbatasan yang dimiliki. selamat membaca..

untuk semakin memudahkan teman-teman memahami apa yang menjadi objek diskusi pada tulisan saya, berikut ini alamat website yang teman-teman dapat browsing untuk mendapatkan fulltext Fatwa yang dibicarakan dalam tulisan saya:

Fatwa DSN no 77 tahun 2010:
http://esharianomics.com/wp-content/uploads/2011/04/Fatwa-DSN-MUI-No-77-Tentang-Murabahah-Emas.pdf

Kumpulan Fatwa
http://esharianomics.com/publicantions/regulation/fatwa-mui/fatwa-dsn-mui/

Senin, 18 Juli 2011

vakum..

memang vakum lama saya dari blog ini. saya memang membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan tulisan dibawah ini. dan saya memang bertekad tidak akan menulis apapun di blog ini sebelum tulisan tentang pendapat saya terhadap fatwa DSN no 77 tahun 2010 selesai saya susun. dibawah ini hasil dari analisa saya terhadap fatwa itu. saya tahu dan sangat sadar banyak kelemahan, mungkin akibat ketidak tahuan atau bahkan karena emosi yang tidak tertahankan, tetapi mudah-mudahan ada manfaatnya. mari berkontribusi...

Quo Vadis Fatwa DSN No 77 tahun 2010

Saya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mempertimbangkan apa yang saya harus lakukan untuk merespon kecenderungan terkini dari praktek ekonomi Islam khususnya keuangan dan perbankan syariah yang semakin jauh dari jati dirinya. Kecenderungan itu meliputi apa-apa yang tengah berlangsung di industry dan infrastruktur pendukungnya. Bahwa isu semakin kaburnya batas pemisah antara praktek keuangan syariah dan konvensional sudah menjadi wacana yang ramai didiskusikan pada tingkat global. Namun dengan penentrasi bisnis menuju integrasi pasar keuangan syariah yang semakin kencang, dimana Indonesia juga tidak dapat mengelak dari globalisasi pasar itu, maka mau tidak mau isu tadi juga kini menjadi perhatian stakeholder industry keuangan syariah tanah air. Mencermati ini tentu ada kegundahan dalam hati saya.

Kegelisahan ini sebenarnya telah lama saya tuangkan dalam tulisan, tulisan yang mengungkapkan perkembangan praktek ekonomi Islam tidak diikuti oleh pemahaman yang mendalam dan kolektif pelaku usaha serta masyarakat terhadap nilai-nilai moral ekonomi Islam (akidah dan akhlak). Sementara di sisi industry keuangan syariah perkembangan operasional dan aplikasi produk dikhawatirkan semakin pudar distinction-nya atau karakteristik unik Islam yang berdasar pada prinsip-prinsip syariah, akibat pemahaman yang tak dalam pada prinsip syariah dan kecenderungan pelaku industry yang pragmatis dalam berstrategi bisnis. Hal ini mengakibatkan watak dan bentuk industry perbankan syariah semakin co-integrated (comingling) dengan apa yang dilakukan konvensional.

Hal itu berlanjut ketika beberapa waktu lalu secara spesifik saya menuangkan kegelisahan saya dengan mengkritik wacana penerapan produk jual-beli emas secara tangguh. Saya menulis tentang produk ini dengan analisa berdasarkan perspektif ekonomi, latar belakang dan implikasinya. Puncaknya ketika saya ikut hadir dalam rapat pleno DSN pada tanggal 3 Juni 2010 di gedung MUI jalan Diponegoro Jakarta. Sebelum rapat saya menyiapkan bahan presentasi tentang latar belakang dan praktek produk jual-beli emas secara tangguh. Dalam rapat pleno tersebut dibahas setidaknya dua draft fatwa, yang pertama fatwa tentang praktek satu produk di pasar modal dan selanjutnya produk jual-beli emas secara tangguh di perbankan syariah.

Dalam rapat pleno tersebut kami dari Bank Indonesia (yang di undang) berhasil meyakinkan bahwa produk tersebut memiliki risiko yang cukup besar dan berimplikasi buruk bagi industry. Dan atas pertimbangan maqashid asy-syariah, maka disepakati bahwa produk tersebut tidak tepat untuk perbankan syariah. Seingat saya ketika itu jika draft produk tersebut disepakati menjadi fatwa maka fatwa tersebut akan bernomor 71.

Namun beberapa waktu kemudian ternyata fatwa untuk produk tersebut tetap keluar dengan nomor 77, dengan alas an yang juga konsisten diungkapkan pada rapat pleno tanggal 3 Juni 2010, yaitu mengakomodasi praktek masyarakat yang telah berlangsung selama ini. Fatwa ini ketika ditanyakan apakah ditujukan untuk perbankan syariah, beberapa sumber dari anggota DSN mengungkapkan secara garis besar bahwa ada kesepakatan bahwa fatwa ini tidak diperuntukkan bagi perbankan syariah. Saya secara pribadi jadi bertanya-tanya, jika tidak ditujukan untuk perbankan syariah mengapa dikeluarkan oleh DSN? Mengapa tidak oleh Komisi Fatwa MUI, seperti fatwa-fatwa umum lainnya? Bukankah keberadaan DSN diperuntukkan khusus bagi industry keuangan syariah? Apakah pelaku industry dilapangan tahu dan memaklumi maksud peruntukan fatwa itu? Bagaimana jika kalangan perbankan syariah menggunakan fatwa itu sebagai dasar sebuah produk?

Dengan alasan kegundahan yang tercermin pada pertanyaan-pertanyaan ini dan semakin maraknya produk jual-beli emas secara tangguh di perbankan syariah yang mengkhawatirkan risikonya, maka saya ingin sekali melihat kembali dan menganalisa dengan lebih detil fatwa DSN nomor 77 ini. Mari kita lihat satu-persatu batang tubuh fatwa DSN nomor 77 hingga sampai pada kesimpulan membolehkan praktek jual-beli emas secara tangguh.

“Menimbang”
Fatwa ini dimulai lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya yaitu mengungkapkan hal-hal yang menjadi pertimbangan (“menimbang”). Ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan, yaitu praktek masyarakat yang saat sudah berlangsung, perbedaan pendapat dikalangan umat dan pandangan DSN yang merasa perlu menetapkan fatwa atas praktek tersebut. Setidaknya ada dua hal yang dapat disimpulkan dari bagian pertimbangan ini, pertama tidak seperti fatwa sebelum-sebelumnya, fatwa kali ini tidak mengungkapkan pertimbangan kebutuhan lembaga keuangan syariah (LKS) terhadap produk atau akad yang dibahas dalam fatwa dimaksud. Kedua (terkait dengan kesimpulan pertama) fatwa secara implicit memberikan pesan bahwa fatwa ini tidak diperuntukkan bagi LKS khususnya perbankan syariah.

Dari bagian ini, saya jadi bertanya; siapa yang bisa menjamin bahwa fatwa ini tidak akan dijadikan landasan produk LKS, ketika fatwa ini tidak secara tegas menyebutkan batasan-batasan tersebut. Terlebih lagi fatwa ini hadir ketika saat ini LKS khususnya perbankan syariah tengah marak-maraknya menggulirkan produk emas, seakan-akan fatwa ini menjadi pembenaran dari kehadiran produk emas tersebut dan menjadi jawaban atas polemic yang muncul dimasyarakat akibat produk emas tersebut. Alih-alih fatwa ini mampu memberikan jawaban yang kemudian mendamaikan atau memberikan kemashlahatan, saya khawatir sekali malah berpotensi mempertajam polemik muamalah yang sudah ada.

“Mengingat”
Bagian selanjutnya adalah “mengingat”, didalam bagian ini dijabarkan tiga landasan fatwa, yaitu Al Qur’an (Al Baqarah: 275) tentang pembolehan jual beli, Al Hadits tentang jual-beli dan transaksi emas serta kaidah syariah tentang kaidah dasar berlakunya hukum (ushuliyah) dan kaidah mengambil hukum (1 qa’idah ushuliyah dan 4 qa’idah fiqhiyah). Dalil Qur’an yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual-beli yaitu surat Al Baqarah ayat 275. Sementara dalil-dalil dari Hadits mulai menarik untuk dianalisa lebih jauh. Pada landasan dalil hadits ini disebutkan ada enam hadits yang menjadi landasan; (i) jual-beli yang harus berdasar kerelaan pihak yang bertransaksi; (ii) jual-beli emas dengan emas haruslah secara tunai; (iii) jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai; (iv) jangan menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya dan tidak menambah sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak tunai dengan yang tunai; (v) Nabi melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai); (vi) musyawarah dilakukan bukan untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Dari enam hadits yang dijadikan dalil, empat diantaranya secara eksplisit dan tegas melarang transaksi emas dengan cara tidak tunai (tangguh/cicil). Sementara hadits sisanya bukan hadits yang membolehkan tetapi hadits dasar (pegangan) dalam berjual-beli dan hadits yang menerangkan bagaimana proses musyawarah dalam mengambil sebuah hukum (termasuk hukum berjual-beli), yang mengisyaratkan bahwa pengampilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Empat hadits yang melarang berjual-beli emas dengan tidak tunai, secara implicit menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga tata-cara mentransaksikannya diingatkan dengan begitu detilnya oleh Nabi. Emas tidak seperti benda komoditas lainnya yang lazim diperjual-belikan di pasar. Nabi menyadari betul hal ini, mengingat emas sebagai logam mulia secara kebendaan memiliki sifat kualitas yang stabil sehingga melekat padanya fungsi sebagai benda yang menyimpan nilai (store of value), sebagai ukuran menilai barang lain (unit of account), dan dengan begitu emas menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran (jual-beli) atau uang (medium of exchange).

Meski karena kemuliaan secara benda emas dapat saja bertambah fungsinya menjadi atau sebagai pakaian dalam bentuknya berupa perhiasan, namun emas tetaplah emas, dimana fungsinya sebagai penyimpan nilai, alat ukur dan alat tukar tetap melekat padanya. Oleh sebab inilah kemudian penjelasan Nabi pada proses bertransaksi emas (tanpa menjelaskan bentuk emas berupa koin emas, batangan atau perhiasan) terkesan begitu detilnya. Sekali lagi hal ini dipahami bahwa emas memiliki fungsi, peran dan posisi yang penting dalam muamalah. Dan pesan yang cukup keras untuk tidak memperdagangkan emas dengan cara tidak tunai (tangguh/cicil), sudah sepatutnya disikapi dengan hati. Artinya tidak mudah begitu saja melakukan perdagangan yang bahkan bertentangan dengan substansi pesan Nabi ini. Karena sekali lagi, bahwa pesan yang menonjol dari Hadits-Hadits yang dijadikan dalil pada bagian “mengingat” pada fatwa ini adalah pesan pelarangan memperdagangkan emas dengan cara tidak tunai.

Selanjutnya pada bagian “mengingat”, fatwa ini membahas Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih yang kemudian dijadikan sandaran penetapan kesimpulan fatwa ini. Kaidah Ushul menyebutkan bahwa “hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat”. Kaidah ini merupakan kaidah dalam syariah yang sifatnya merupakan kelaziman dalam mengambil hukum. Kaidah ini mereferensi dari buku yang ditulis Ali Ahmad al-Nadawiy. Sepanjang pengetahuan saya maksud dari kaidah ini adalah hukum boleh atau tidak boleh dari sebuah perbuatan atau transaksi akan tetap berlaku baik ada maupun tidak adanya illat (alasan).

Pada saya kaidah ushul ini semakin menegaskan bahwa perdagangan emas yang tidak dapat dilakukan dengan tidak tunai, atau tidak begitu saja dapat dianulir dengan illat yang dasarnya tidak kuat, apalagi rasionalitas atau logikanya yang tidak tepat dijadikan illat. Pembahasan ini nanti berhubungan erat dengan bagian selanjutnya yaitu ketika fatwa ini pada bagian “memperhatikan” mengemukakan alasan-alasan (dengan menjabarkan pendapat-pendapat ulama) bahwa saat ini dalam perekonomian formal emas bukanlah benda atau alat yang dijadikan uang secara resmi. Artinya pelarangan Nabi untuk tidak memperdagangkan emas secara tidak tunai tidak begitu saja dapat dianulir dengan alasan bahwa emas saat ini bukan uang resmi yang digunakan secara formal. Kesimpulan ini harus dianalisa dengan lebih mendalam, apakah benar emas bukan uang? Apakah kesimpulan itu hanya bersandar pada fakta hukum positif (formal) bahwa emas tidak digunakan sebagai uang resmi? Mengapa tidak melihat dan mempertimbangkan bahwa diresmikan atau tidak, emas secara kebendaan (alami) telah melekat padanya fungsi sebagai uang. Nanti saya akan bahas lebih jauh ketika membahas bagian “memperhatikan”.

Setelah itu ada 4 kaidah fikih yang dikemukakan, dimana 3 diantaranya menyebutkan esensi kaidah yang sama yaitu kaidah bahwa adat atau kebiasaan masyarakat dijadikan dasar penetapan hukum. Sedangkan sisa terakhir menyebutkan kaidah fikih bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Menyebutkan bahwa adat atau kebiasaan dapat dijadikan dasar sebuah hukum, setidaknya pernyataan tersebut tidak diterima bulat-bulat (begitu saja) tanpa ada batasan-batasan yang valid, seperti:

a. Sepatutnya tetap mempertimbangkan hal-hal lain yang kesemuanya memiliki kepentingan yang sama, seperti kepentingan kemashlahatan. Artinya adat atau kebiasaan itu memiliki keselarasan tujuan atau semangat dengan dalil-dalil utamanya, misalnya tujuan atau semangat memberikan kemashlahatan bagi urusan muamalah ummat.

b. Selain itu, dalam konteks perdagangan emas ini adat juga harus dilihat substansinya apakah perdagangan emas yang dimaksud sama dengan adat atau kebiasaan perdagangan yang didefinisikan (dilakukan masyarakat) sebagai rujukan. Misalnya apakah adat atau kebiasaan perdagangan emas yang dimaksud seperti perdagangan perhiasan emas secara tangguh sama dengan perdagangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan seperti perbankan syariah.

Sementara itu, pada kaidah fikih “bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”, haruslah juga disikapi dengan berhati-hati. Ketika mengambil kaidah ini sebagai sebuah dasar hukum, haruslah dipastikan bahwa kegiatan muamalah dimaksud betul-betul tidak masuk dalam ruang-lingkup transaksi yang dilarang (diharamkan). Untuk memastikan hal itu tentu akan sangat bergantung pada kemampuan analisa dalam melihat serta mengenali substansi transaksi tersebut, apakah secara substansi transaksi tersebut betul-betul tidak sama (atau sama) dengan kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh syariah.

Artinya kaidah ini mewajibkan pembuat hukum memahami dengan baik dan dalam ruang-lingkup pelarangan, bukan hanya sebatas dalil-dalilnya tetapi juga filosofinya, substansinya dan implikasinya. Sehingga dengan begitu mampu memilih dan memilah mana kegiatan yang dilarang dan mana yang boleh secara syariah. Dengan begitu pula akan terjaga keselarasan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah kemashlahatan, misalnya keselarasan antara fatwa (secara hukum) dengan logika implikasi ekonomi (secara kemashlahatan). Oleh sebab itulah, saya berpendapat dalam mengambil hukum sebaiknya jangan hanya melihat bentuk luaran dari satu transaksi tanpa melihat substansi (mengenali substansi kegiatan muamalah dapat dilakukan dengan melihat implikasi dari kegiatan muamalah tersebut), dan kemudian secara mudah menggunakan kaidah ini sebagai landasan. Misalnya melihat produk Commodity Murabaha di sisi pembiayaan perbankan syariah, secara bentuk aplikasi sepintas produk ini adalah produk jual-beli yang secara syariah dibenarkan, namun dilihat substansi aplikasinya, tujuan penggunaannya dan implikasinya, pada hakikatnya produk ini sama dengan transaksi kredit konvensional, dimana jual-beli dilakukan untuk menjustifikasi transaksi kreditnya.

“Memperhatikan”
Selanjutnya fatwa ini masuk pada bagian “memperhatikan” yang menjelaskan bahwa fatwa ini memperhatikan tiga hal, yaitu: (i) pendapat para ulama; (ii) pendapat ulama dalam rapat pleno DSN; dan (iii) surat dari Bank Mega Syariah No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas.

pada penjabaran pendapat ulama di bagian ini, fatwa ini mengemukakan pendapat dari lima ulama besar yaitu Syaikh ‘Ali Jumu’ah (mufti al-Diyar al-Mishriyah), Prof.Dr. Wahbah al-Zuhaily, Syekh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Dr. Khalid Mushlih dan Syaikh ‘Abd al-Hamid Syauqiy al-Jibaliy. Dari pendapat kelima ulama besar ini saya berkesimpulan:

1. Bahwa pendapat ulama tersebut semakin menegaskan kalau perdagangan emas dengan tidak tunai atau tangguh tidak diperkenankan secara syariah, baik emas tersebut dalam bentuk uang (koin pada masa lampau) maupun dalam bentuk bukan uang (batangan/goldbar atau perhiasan). Perlakuan yang berbeda hanyalah pada emas berbentuk perhiasan tetapi bukan perlakuan pembolehan perdagangan dengan tangguh tetapi pembolehan menambah jumlah nilai pembayaran dengan alasan value addition (effort merubah bentuk emas menjadi perhiasan). Kesimpulan ini merupakan pendapat mayoritas dari para ulama. Pendapat ini sejalan dengan alur fikir bahwa emas (harta ribawi – amwal ribawiyah) dalam bentuk apapun tetaplah memiliki fungsi alamiah sebagai uang, yang jika ditransaksikan secara tidak tunai akan berpeluang melanggar syariah.

2. Perdagangan emas dengan tidak tunai diperkenankan sepanjang dalam bentuk perhiasan dengan alasan bahwa emas tersebut dalam bentuk barang bukan uang. Pendapat ini dari perspektif ekonomi memang juga cukup mendasar mengingat emas dalam bentuk perhiasan ketika dibeli bukan hanya diinginkan kemuliaan logam emasnya tetapi juga bentuknya seperti gelang, cincin, kalung dan lain sebagainya. Dalam bentuk ini, emas dapat disamakan dengan pakaian, dan bagaimana memperdagangkannya pun akhirnya disamakan, yaitu dapat diperdagangkan dengan tangguh. Namun Alasan ini akan sangat valid jika prakondisi dari perdagangan ini juga terjaga dan terpenuhi seperti yang dimaksud oleh ulama-ulama yang berpendapat boleh tadi. Prakondisi tersebut seperti bahwa emas yang diperdagangkan berupa perhiasan, pembeli memang bermaksud mendapatkan sekaligus mengambil manfaat dari value addition emas tersebut. Validitasnya tentu akan dipertanyakan jika ternyata prakondisi ini tidak terpenuhi, tidak sama. Apalagi ternyata transaksi itu melibatkan atau dilakukan LKS dimana nature atau karakteristik transaksi yang dimaksud ulama-ulama diatas sangat mungkin jadi terkaburkan.

Secara umum dapat dilihat dalam bagian ini pada fatwa ini, bahwa pendapat yang mayoritas dan masyhur adalah melarang perdagangan emas dengan secara tidak tunai atau tangguh. Bahkan secara eksplisit dan tegas disebutkan oleh Dr. Khalid Mushlih (diungkapkan di fatwa ini) bahwa jual-beli emas dengan uang kertas secara angsuran adalah haram dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Uang kertas dan emas (dalam bentuk apapun) merupakan tsaman (harga, uang). Bagi saya, baik merujuk pendapat ulama atau logika ekonomi terhadap emas, emas secara kebendaan tidak membutuhkan legitimasi atau legalisasi hukum formal untuk dikatakan sebagai uang.

Landasan yang selalu dirujuk dalam pembolehan perdagangan emas dengan tangguh ini adalah fatwanya Syaikh Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa jual-beli emas secara tangguh diperbolehkan selama perhiasan tersebut tidak dimaksud sebagai harga (uang). Dengan kata lain pembolehan itu diperkenankan sepanjang konsisten memelihara emas yang ditransaksikan tersebut berfungsi sebagai perhiasan atau sejenisnya (yang diambil manfaatnya secara kebendaan sekaligus bentuknya sebagai perhiasan). Namun prasyarat Syaikh Ibnu Taimiyah ini akan sangat mungkin terlanggar jika ternyata transaksi emas itu dilakukan dalam ruang-lingkup LKS yang bernuansa investasi, dimana emas akan berfungsi sebagai harga dalam konteks store of value atau unit of account. Apalagi hal ini semakin ditegaskan dengan bentuk emas yang diperdagangkan bukan lagi perhiasan tetapi batangan (goldbar).

Selanjutnya pada bagian “memperhatikan”, fatwa ini mengemukakakn enam urutan alasan sampai dengan kesimpulan terkait perdagangan emas ini dari ulama yang hadir pada saat pleno DSN tanggal 20 Jumadil Akhir 1431 H/03 Juni 2010 M. Urutan alasan itu dimulai dengan: (i) pengaturan perdagangan emas, (ii) illat emas tidak bisa diperdagangkan dengan tidak tunai karena emas adalah tsaman (uang); (iii) uang (nuqud) adalah media pertukaran dan diterima secara umum atau diterbitkan oleh otoritas; (iv) dasar status sesuatu dinyatakan sebagai uang adalah adat atau kebiasaan; (v) emas saat ini diperlakukan oleh masyarakat umum (dunia) adalah bukan tsaman tetapi barang (sil’ah); (vi) disimpulkan dengan urutan alasan pada poin-poin sebelumnya, maka ketentuan perdagangan emas yang tidak memperkenankan secara tidak tunai menjadi tidak berlaku.

Ada beberapa hal yang bagi saya mengganjal pada alasan-alasan DSN diatas, beberapa hal itu diantaranya:

1. DSN mengambil kesimpulan bahwa illat bahwa pelarangan perdagangan emas secara tidak tunai karena emas sebagai tsaman, dari pendapat minoritas yang tidak masyhur. Padahal jika dikaji lebih dalam pelarangan itu pada hakikatnya melekat pada kebendaan emasnya dan relative bukan karena fungsi tsaman-nya. Terlebih lagi mengingat fungsi tsaman itu melekat pada kebendaan emas, karena kemuliaan logam emas. Dan hal ini sebenarnya sudah secara eksplisit diungkap dalam fatwa ini. Lebih detil saya jelaskan pada poin selanjutnya.

2. Saya melihat definisi tsaman lebih luas dari sekedar nuqud (media pertukaran). Emas sebagai tsaman bukan hanya berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange) tetapi juga alat penyimpan nilai (store of value) serta alat perhitungan (unit of account). Sehingga tidak berarti jika emas tidak menjadi nuqud (alat tukar) secara resmi maka fungsi tsaman-nya terhapus, karena emas masih menjadi (digunakan) sebagai store of vaue dan unit of account yang paling tepat dan diminati sampai saat ini.

3. Artinya, emas boleh saja tidak menjadi uang secara resmi oleh otoritas tertentu, tetapi secara substansi emas masih diterima oleh masyarakat dunia dimana saja untuk dapat menjadi uang. Emas dengan sifat kemuliaan logamnya akan sangat mudah menjadi alat tukar (nuqud) di wilayah otoritas manapun. Oleh sebab itu saya melihat pendapat DSN lebih menggunakan pendekatan legalisasi formal bukanlah substansi, padahal implikasi pengembangan aplikasi perdagangan emas lebih ditentukan oleh fungsi substansi emas bukan legalitasnya.

4. Dari pendapat-pendapat sebelumnya dan pendekatan yang dilakukan, sangat dimaklumi kemudian DSN berpendapat bahwa emas saat ini diklasifikasikan sebagai barang (sil’ah). Padahal landasan mengklasifikasikannya menurut saya berdasar pada analisa yang kurang dalam dan menggunakan pendekatan yang juga kurang tepat. Jikapun mau konsisten dengan paparan dalil yang dikemukakan, sepatutnya DSN konsisten membatasi sil’ah pada perhiasan dari emas atau sejenisnya, bukan men-generalisasi pada semua emas. Terlebih lagi jika ternyata emas ini ditransaksikan di LKS dimana emas tidak sekedar menjadi barang (sil’ah) pada umumnya, seperti motor, pakaian, rumah atau perhiasan sekalipun.

5. Akhirnya, menurut saya kesimpulan dari pleno DSN ini menjadi wajar seperti yang dituliskan diatas, karena kesimpulan tersebut diambil dengan pendekatan generalisasi. Selain itu kesimpulan ini tidak bersumber pada analisa yang tajam, transmisi logika yang relevan dalam melihat dan mengambil esensi dalil-dalil yang ada dan meramunya. Sehingga dari perspektif ekonomi kesimpulan ini berpotensi mengaburkan substansi ekonomi.

Akhirnya bagian ini ditutup dengan memperhatikan pula surat dari Bank Mega Syariah (BMS) No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas. Poin inilah yang menimbulkan kebingungan jika dikaitkan dengan pesan implicit pada bagian “menimbang”, bahwa fatwa ini seolah-olah member pesan kalau fatwa ini bukan untuk LKS, mengingat dalam bagian “menimbang” itu tidak disebutkan pertimbangan kebutuhan LKS sebagaimana biasanya fatwa-fatwa yang lain. Terlebih lagi, berdasarkan informasi dari beberapa anggota DSN fatwa ini memang memiliki catatan seperti itu; tidak untuk lembaga keuangan syariah. Tetapi mengapa poin memperhatikan surat BMS ini ada? Atau mengapa harus DSN yang mengeluarkan jika bukan untuk LKS? Bukankah DSN berfungsi sebagai otoritas fatwa bagi industry keuangan syariah?

Oleh karena pertimbangan itu, secara fungsi fatwa ini kebingungan akan beroperasi di ranah mana, karena ketidak-jelasan ia ditujukan untuk siapa dan untuk apa. Dari tampilannya yang di terbitkan oleh DSN-MUI, fatwa ini memiliki beberapa kejanggalan;

1. Tidak ada statement secara eksplisit yang menyebutkan fatwa ini ditujukan untuk siapa seperti yang biasa disebutkan pada fatwa-fatwa sebelumnya, khususnya pada poin “menimbang”.
2. Menurut keterangan dari beberapa anggota DSN fatwa ini pada dasarnya ditujukan untuk masyarakat yang selama ini telah melakukan transaksi emas dengan cicil, misalnya transaksi di took-toko perhiasan emas. Tetapi pertanyaannya mengapa DSN yang mengeluarkan fatwa, padahal eksistensi DSN lebih berfungsi untuk mengurusi fatwa yang dibutuhkan oleh industry keuangan syariah. Dengan kondisi seperti itu, salahkan lembaga keuangan syariah menggunakan fatwa ini sebagai dalil dari produknya?
3. Jika memang tidak ditujukan khusus untuk industry keuangan syariah atau bahkan untuk perbankan syariah, mengapa pada poin “mengingat” no. 3 pada fatwa ini secara eksplisit menyebutkan bahwa fatwa mempertimbangkan “surat dari Bank Mega Syariah No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas”. Poin ini seakan-akan menegaskan bahwa fatwa ini muncul sebagai respon dari permohonan Bank Mega Syariah.

“Memutuskan”
Pada bagian akhir, fatwa ini mengemukakan keputusannya berupa fatwa jual-beli emas secara tidak tunai dengan penjelasan hukum dan batasan ketentuan. Secara hukum dinyatakan bahwa berjual-beli emas secara tidak tunai boleh (mubah) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi. Menurut saya kesimpulan hukum akan berbeda jika pertimbangan-pertimbangan dilakukan berdasarkan penjelasan yang telah sampaikan pada masing-masing bagian dari fatwa ini. Sementara itu batasan pada kalimat “selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi”, menurut saya cenderung menyederhanakan prakondisi yang dimaksud oleh dalil-dalil yang telah dikemukakan. Sepatutnya pertimbangannya konsisten pada alasan utama yaitu selama emas dalam bentuk perhiasan atau sejenisnya. Karena emas secara kebendaan akibat kemuliaan logamnya, baik resmi atau tidak resmi akan tetap berfungsi sebagai alat tukar, dimana saja dan kapan saja.

Sementara itu untuk penjelasan batasan dan ketentuan, fatwa ini menjelaskan batasan-batasan atau mungkin implikasi lanjutan yang dimungkinkan dari pembolehan emas diperjual-belikan secara tidak tunai, yaitu: (i) harga jual tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian; (ii) emas yang dibeli dapat dijadikan jaminan (rahn); (iii) emas yang dijaminkan tidak boleh diperjual-belikan atau dijadikan objek akad lain. Yang paling menarik dari penjelasan batasan dan ketentuan ini adalah poin kedua (ii), dimana telah menjadi pengetahuan bersama saat ini emas dapat digadaikan ke bank syariah, dan kombinasi rahn dengan jual-beli tangguh emas inilah yang kemudian tampil dengan produk gadai emas (berkebun emas) di bank-bank syariah.

Fatwa DSN no. 79 tahun 2011
Belum jelas betul fatwa DSN 77 ini pada jual-beli emas secara tidak tunai, namun fakta lapangannya ternyata sudah bergerak jauh dari yang diperkirakan. Inilah yang kemudian semakin membuat kekhawatiran semakin memuncak pada diri saya. Menggabungkan akad jual-beli secara tidak tunai dengan rahn akan berpotensi menimbulkan kekacauan aspek kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah. Mengapa?

Karena pada penjaminan menggunakan rahn jika dilakukan oleh LKS khususnya bank, maka di dalam rahn itu bank akan menggunakan akad qardh, dimana bank menggunakan dana nasabah (DPK) untuk memberikan dana kepada nasabah yang menjaminkan emasnya. Padahal dalam Fatwa DSN no 19 tahun 2001, qardh tidak diperkenankan menggunakan dana nasabah. Membingungkan!

Mungkin karena menyadari potensi ini akhirnya dalam rapat pleno DSN pada tanggal 03 Rabi’ul Akhir 1432 H/08 Maret 2011 dikeluarkanlah Fatwa DSN no. 79 tahun 2011 tentang Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah. Pada Fatwa DSN no. 79 ini singkatnya diputuskan bahwa akad qardh untuk tujuan social seperti pada Fatwa DSN no. 19 tentang al Qardh, tidak boleh menggunakan dana nasabah, tetapi akad qardh untuk tujuan pertukaran dan dapat bersifat komersilal seperti pada Fatwa DSN no. 26 tahun 2002 tentang Rahn Emas, no. 29 tahun 2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, no. 31 tahun 2002 tentang Pengalihan Utang, no. 42 tahun 2004 tentang Syariah Charge Card, no. 54 tahun 2006 tentang Syariah Card dan no. 67 tahun 2008 tentang Anjak Piutang Syariah, boleh menggunakan dana nasabah.

Saya tidak habis fikir fatwa DSN no. 79 tahun 2011 ini dapat keluar. Karena fatwa ini jelas-jelas merubah wajah keuangan syariah Indonesia yang selama ini dikenal sangat konservatif, sangat dibangga-banggakan karena mampu menjaga harmonisasi sector keuangannya dengan sector riil. Tapi dengan munculnya fatwa DSN no. 79 tahun 2011 ini, Indonesia menjadi Negara yang sangat liberal dalam industry keuangan syariahnya! Dan minta maaf jika pertanyaan yang sangat sederhana akan keluar dari lisan saya: apa bedanya keuangan syariah dengan konvensional? Apa jawab saya kalau orang konvensional menisbahkan kredit mereka sebagai qardh dan bunga itu sebagai biaya administrasi plus margin?

Pertanyaan saya berlanjut jika dihubungkan dengan Fatwa DSN no 77 tahun 2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai; apakah fatwa no. 79 ingin memuluskan aplikasi fatwa no 77 oleh bank-bank syariah berupa produk gadai emas yang saat ini sudah berjalan? Meskipun dibantahnya peruntukan fatwa no. 77 untuk LKS, tetapi pertanyaan saya menjadi tidak terbendung karena hubungan yang sangat kuat di dalamnya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka saya secara pribadi mengusulkan beberapa rekomendasi perbaikan dalam menganalisa pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh DSN:

1. DSN sebaiknya menggunakan pendekatan substansi dalam melihat teknis operasional sebuah produk yang diajukan untuk dimintakan fatwanya.
2. DSN tidak hanya menyandarkan keshahihan syariah pada fatwa-fatwa pada pendapat-pendapat yang diambil dari aspek hukum saja, tetapi juga melihat aspek lain seperti aspek ekonomi, dimana spek tersebut dapat menjadi control agar fatwa betul-betul memberikan kemanfaatan yang optimal bagi ummat.
3. Dari beberapa kelemahan yang ada dalam analisa fatwa, sudah menjadi kebutuhan DSN untuk mempertimbangkan alasan implikasi-implikasi ekonomi sebagai bagian dari pertimbangan maqashid asy-syariah yang juga akhirnya mempengaruhi pengambilan kesimpulan atau keputusan fatwa.

Disamping semua kekhawatiran saya pada implikasi ekonomi secara luas akibat dasar-dasar aplikasi yang tidak kuat landasannya, karakteristik industry keuangan dan perbankan syariah serta kemanfaatan praktek ekonomi Islam terhadap system ekonomi Islam akan menjadi dikhawatirkan juga semakin hilang. Saya mengajak semua pihak, terutama para akademisi untuk turut berkontribusi memberikan masukan kepada DSN berupa pandangan-pandangan seperti analisa dari perspektif ekonomi terhadap fatwa-fatwa yang akan dikeluarkan, sedang diproses atau bahkan fatwa yang telah dikeluarkan. Dengan begitu tercipta mekanisme check and recheck yang semakin meningkatkan kualitas aplikasi khususnya praktek keuangan syariah dan ekonomi Islam secara keseluruhan.

Tulisan inilah bentuk perlawanan saya pada kecenderungan yang ada. Tetapi saya berharap tulisan ini juga menjadi kontribusi saya pada perjuangan ini. dan saya tidak akan meninggalkan perjuangan ini. kekecewaan memang ada tetapi saya berdoa kekecewaan ini tidak akan mampu memaksa saya meninggalkan idealisme untuk terus berjuang. Obsesi perjuangan saya di medan muamalah dunia ini hanya satu yaitu menghilangkan riba dan semua transaksi zalim sejenisnya. Semoga tulisan ini bermanfaat.