Rabu, 26 September 2007

Konsep Ekonomi Berbagi

ekonomi pada dasarnya merupakan alat yang mempermudah hidup dan kehidupan manusia. ia menjadi disiplin ilmu yang kemudian membuat manusia semakin sadar akan fungsi dan posisi hidupnya untuk menyelesaikan permasalah kehidupan. sehingga, kata kunci berbagi memiliki beribu makna yang dapat merangkum apa hakikat ekonomi. (to be continued)

Selasa, 25 September 2007

Konsep Investasi dalam Islam


Dengan absennya bunga dalam perekonomian, hubungan investasi dan tabungan dalam perekonomian Islam tidak sekuat seperti yang ada dalam konvensional. Dalam konvensional hubungan investasi dan tabungan dihubungkan oleh peran bunga dalam perekonomian. Sehingga bunga menjadi indicator fluktuasi yang terjadi di investasi dan tabungan. Ketika bunga (bunga simpanan dan bunga pinjaman) tinggi maka kecenderungan tabungan akan meningkat, sementara investasi relatif turun. Begitu sebaliknya, ketika bunga rendah, maka tabungan akan menurun dan investasi akan meningkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi dalam aktivitas tabungan dan investasi dalam konvensional didominasi oleh motif keuntungan (returns) yang bisa didapatkan dari keduanya.

Sedangkan dalam perspektif ekonomi Islam, investasi bukanlah melulu bercerita tentang berapa keuntungan materi yang bisa didapatkan melalui aktivitas investasi, tapi ada beberapa faktor yang mendominasi motifasi investasi dalam Islam. Pertama, akibat implementasi mekanisme zakat maka asset produktif yang dimiliki seseorang pada jumlah tertentu (memenuhi batas nisab zakat) akan selalu dikenakan zakat, sehingga hal ini akan mendorong pemiliknya untuk mengelolanya melalui investasi. Dengan demikian melalui investasi tersebut pemilik asset memiliki potensi mempertahankan jumlah dan nilai assetnya. Berdasarkan argumentasi ini, aktifitas investasi pada dasarnya lebih dekat dengan prilaku individu (investor/muzakki) atas kekayaan atau asset mereka daripada prilaku individu atas simpanan mereka. Sejalan dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ada perbedaan yang mendasar dalam perekonomian Islam dalam membahas prilaku simpanan dan investasi, dalam Islam investasi lebih bersumber dari harta kekayaan/asset daripada simpanan yang dalam investasi dibatasi oleh definisi bagian sisa dari pendapatan setelah dikurangi oleh konsumsi.

Kedua, aktivitas investasi dilakukan lebih didasarkan pada motifasi social yaitu membantu sebagian masyarakat yang tidak memiliki modal namun memiliki kemampuan berupa keahlian (skill) dalam menjalankan usaha, baik dilakukan dengan bersyarikat (musyarakah) maupun dengan berbagi hasil (mudharabah). Jadi dapat dikatakan bahwa investasi dalam Islam bukan hanya dipengaruhi factor keuntungan materi, tapi juga sangat dipengaruhi oleh factor syariah (kepatuhan pada ketentuan syariah) dan factor sosial (kemashlahatan ummat).

Melihat praktek ekonomi kontemporer, definisi investasi cenderung meluas dari definisi orisinilnya. Definisi investasi kini juga digunakan dalam menggambarkan aktivitas penanaman sejumlah capital dalam pasar keuangan konvensional, dimana aktivitasnya berbeda jauh dengan maksud yang terkandung dalam kata investasi itu sendiri yang biasa digunakan dalam sector riil.[1]

Masuk pada makna investasi di sector keuangan tentu aktivitas ini lebih dekat dengan motivasi spekulasi dan capital gain. Prilaku investasi seperti ini tentu akan memberikan wajah atau corak ekonomi yang berbeda, bahkan konsekwensi terhadap interaksi dalam mekanisme ekonomi juga akan sangat berbeda dengan sistem ekonomi non-spekulasi (syariah). Dan yang pasti teori-teori yang terbangun dari analisa prilaku dan kecenderungan dalam mekanisme perekonomian konvensional tentu akan berbeda dengan perekonomian Islam (atau bahkan bertolak belakang). Jadi perlu ditegaskan kembali, bahwa dalam perekonomian Islam spekulasi dalam segala bentuknya atau menanamkan dana atas motif profit atau return dalam bentuk bunga (interest rate) bukanlah investasi!

Selanjutnya melihat segmentasi masyarakat Islam, maka golongan masyarakat yang aktif melakukan aktifitas investasi adalah golongan masyarakat muzakki. Golongan masyarakat ini memiliki potensi melakukan investasi akibat sumber daya ekonominya berlebih setelah memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berjaga-jaga. Investasi ini tentu akumulasi dan perannya dalam perekonomian secara makro sangat besar. Dengan berfungsinya sistem zakat dan dilarangnya riba serta spekulasi, maka akumulasi dana besar yang dimiliki oleh golongan muzakki akan ditransfer menjadi investasi, sebagai reaksi untuk menghindari risiko berkurangnya harta mereka akibat kewajiban zakat dan motif ingin menjaga atau bahkan menambah jumlah kekayaan (harta) para muzakki. Berarti akumulasi investasi tersebut akan terus berputar dan berputar. Dengan begitu tingkat velocity akan terjaga atau bahkan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah akumulasi investasi.

Jadi dapat disimpulkan investasi dalam Islam ditentukan oleh beberapa variabel yang diantaranya adalah ekspektasi keuntungan pada sebuah projek, pendapatan dan kondisi perekonomian (bukan oleh tingkat bunga yang selama ini dikenal dalam teori ekonomi konvensional[2]).

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab tabungan, warga non-muslim yang memiliki kelebihan uang atau harta (idle money) tidak diberi kesempatan oleh sistem untuk bisa menanamkannya dalam pasar keuangan karena pasar tersebut tidak ada (no interest rate and speculative transaction). Pasar keuangan dalam arti konvensional tentunya. Sehingga kelebihan uang atau harta dari warga non-muslim akan mengalir pada aktifitas investasi.

Pembahasan prilaku tabungan dan investasi dalam perspektif Islam ini akan menjadi salah satu landasan dalam pendefinisian dan pengembangan sistem moneter Islam. Karena prilaku tabungan dan investasi dalam Islam jelas sekali berbeda dengan apa yang diyakini dalam ekonomi konvensional.

Menggunakan definisi dan mekanisme investasi yang telah disebutkan diatas, maka investasi menjadi sektor yang tidak kalah penting dalam perekonomian. Sector inilah yang menjelaskan bagaimana kegiatan ekonomi riil dapat bergerak melalui penyediaan instrument-instrumen investasi dan preferensi golongan pemilik modal untuk menggunakan dananya. Realisasi investasi tentu saja ditentukan oleh dua kekuatan pasar, yaitu penawaran investasi dan permintaan investasi.

Apa yang menjadi objek penawaran dan permintaan investasi? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi sangat penting dalam memahami konsep investasi, dimana konsep ini secara berulang dan intens dibahas pada bab – bab selanjutnya dalam buku ini. Secara sederhana yang menjadi objek dari pasar investasi adalah projek – projek investasi, yang menunjukkan berapa besar realisasi aktifitas usaha yang dilakukan oleh pemilik modal untuk memproduksi barang dan jasa. Merekalah, pemilik modal, yang menjadi inisiator wujudnya usaha – usaha yang menyediakan kebutuhan atau permintaan akan barang dan jasa. Namun dalam aktifitas pasar selama ini, ternyata terdapat segolongan pelaku ekonomi yang ingin ikut secara keuangan dalam proses usaha tersebut. Bahkan tak jarang keberadaan mereka menjadi urgen menentukan perkembangan kuantitas usaha (bisnis) yang ada, disamping memang inisiator tidak mampu memenuhi skala ekonomi dan produksi yang diinginkan oleh pasar, hal ini wujud akibat nature aktifitas ekonomi yang sejak dulu tidak pernah lepas dari kerangka kerjasama yang menguntungkan melalui proses sharing baik risiko, untung maupun rugi.

Pada aplikasinya, keseimbangan keduanya kemudian akan membentuk tingkat ekspektasi keuntungan (expected return) pada pasar investasi. Keterlibatan pemilik modal (yang membentuk permintaan investasi) yang menanamkan dananya dalam projek investasi pada gilirannya akan membentuk informasi pasar tentang ekspektasi keuntungan dalam berusaha.[3]

[1] Dalam aplikasi investasi sector riil konvensional juga lazimnya memang berbeda dengan aplikasi syariah. Di konvensional aktifitas investasi lekat dengan konsep bunga dimana setiap investasi yang terjadi diasumsikan selalu berakhir untung (positif). Investasi konvensional tidak mengakomodasi kemungkinan rugi. Berbeda dengan syariah, system ini menggunakan konsep bagi hasil dimana asumsi dasarnya adalah kefitrahan usaha yang dapat untung dan dapat pula rugi.
[2] Hubungan investasi dengan tingkat bunga ini bukannya tak memiliki kelemahan, fungsi I = Io – gi sudah banyak dianalisa dan diungkapkan kelemahan-kelemahannya oleh pakar-pakar ekonomi konvensional itu sendiri. Dan bahkan beberapa pakar memiliki bukti empiris atau kesimpulan dalam beberapa artikel ilmiah mereka bahwa hubungan investasi dan tingkat bunga sangatlah lemah.
[3] Perlu diakui bahwa konsep pasar investasi ini perlu dikaji lebih mendalam relevansi dan kemapanan teorinya, namun penulis mengharapkan konsep ini mampu menjadi referensi pengembangan selanjutnya atau bahkan menjelaskan beberapa hal dalam hipotesa – hipotesa fenomena ekonomi Islam, baik prilaku ekonomi pada skala mikro maupun kecenderungan system pada skala makro.


Penawaran projek investasi dalam perspektif Islam secara garis besar bersumber dari investasi yang inisiatifnya berasal dari sektor swasta (Ip), pemerintah (Ig) dan social (Iso). Dari sector swasta, pelaku ekonomi akan memulai usaha dengan ekspektasi keuntungan yang mereka perhitungkan pada masa yang akan datang. Berapapun tingkat ekspektasi keuntungan sepanjang keuntungan tersebut tidak negative (≥ 0), maka seorang pengusaha akan melakukan usaha bisnis. Dengan kata lain inisiatif atau preferensi usaha seorang pelaku bisnis tidak terpaku pada tingkat keuntungan tertentu.[1] Disamping itu ada juga investasi yang ditawarkan oleh pemerintah (Ig), dengan karakteristik investasi yang lebih pada pembangunan infrastruktur atau fasilitas – fasilitas publik. Atau tidak jarang pada investasi di sektor-sektor sumber daya ekonomi yang vital bagi negara, seperti minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, informasi dan lain-lain. Selain itu investasi juga dapat berasal dari masyarakat itu sendiri melalui mekanisme sosial Islam (Iso). Dalam hal ini instrumen sosial Islam yang sangat lekat dengan investasi sosial adalah instrumen wakaf. Peran dan fungsi wakaf secara umum adalah sebagai sumber investasi sosial bagi masyarakat. Investasi sosial tersebut meliputi pengadaan pelayanan medis (klinik, puskesmas, obat murah dan lain-lain), tempat ibadah, jembatan, sekolah dan lain sebagainya. Keberadaan wakaf betul-betul merupakan inisiatif masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan tingkat keimanan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, penawaran investasi dapat digambarkan dengan menggunakan model investasi sebagai berikut:

Is = Ip + Ig + Iso

Penawaran investasi ini bersifat autonomous, dimana besarnya relatif tidak tergantung pada keuntungan ekspektasi (expected return – Er). Hal ini mengakibatkan gambaran kurva penawaran investasi menjadi vertikal, yang bermakna berapapun perubahan ekspektasi keuntungan tidak membuat jumlah penawaran investasi berubah. Jumlah penawaran investasi lebih disebabkan inisiatif pelakunya yaitu pelaku bisnis, pemerintah dan sektor sosial.

Sementara itu permintaan investasi cenderung terdiri atas dua komponen. Yang pertama komponen investasi autonomous (Io) yang tidak tergantung pada variabel lain, boleh jadi komponen ini ada akibat preferensi investor untuk berinvestasi dengan motif bersifat individual (keinginan diri sendiri - Iriil) dan sosial (amal shaleh – Iamal shaleh). Permintaan akan investasi sosial ini pula yang kemudian menimbulkan respon adanya penawaran projek – projek investasi bersifat sosial.

Sedangkan yang kedua investasi yang tergantung pada besar kecilnya ekspektasi keuntungan. Investasi ini muncul disebabkan oleh kecenderungan pemilik modal ingin mempertahankan (termasuk menambah) tingkat kekayaan yang mereka miliki, karena pada tingkat kekayaan tertentu para investor yang notabene adalah muzakki akan terekspose oleh risiko zakat. Artinya zakat akan mengurangi jumlah kekayaan mereka ketika kekayaan mereka mencapai atau melebihi jumlah tertentu (nishab). Oleh sebab itu, sebagai tindakan balik dalam rangka mempertahankan tingkat kekayaanya, maka seorang investor/muzakki memiliki pilihan yaitu memberdayakan kekayaannya untuk memperoleh keuntungan atau menambah kekayaan mereka. Dalam perspektif lain penggunaan kekayaan investor/muzakki sebenarnya adalah membuka peluang individu lain untuk memperoleh manfaat dari kekayaan mereka. Seperti mereka yang tidak memiliki modal tapi memiliki keahlian dalam berbagai usaha bisnis atau ekonomi. Dengan demikian, model permintaan investasi dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:

Id = Io + h(Er)

Dimana:
h = sensitifitas permintaan terhadap Er
Io = kW + lW; k + l = 1, atau
Io = Iriil + Iamal shaleh

Dimana:
Iriil = kW
Iamal Shaleh = lW
k = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif pribadi
l = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif sosial
W = kekayaan (Wealth)

Pada sisi permintaan investasi, keikutsertaannya kelompok pemilik modal tergantung pada keberadaan usaha yang telah ada dipasar, dimana mereka menempatkan sebagian modalnya (uang) pada usaha yang ada, sehingga besar – kecil jumlah investasi atau penanaman modal mereka pada projek investasi tergantung pada besar – kecil ekspektasi keuntungan yang ada. Semakin besar ekspektasi keuntungan, maka akan semakin besar permintaan terhadap projek investasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika ekspektasi keuntungan kecil, maka permintaan projek investasi pun akan turun. Seberapa besar penurunan permintaan investasi sangat tergantung pada tingkat sensitifitas permintaan tersebut terhadap pergerakan naik – turunnya ekspektasi keuntungan (h).

Dari interaksi keduanya, keseimbangan antara permintaan dan penawaran investasi membentuk atau menentukan ekspektasi keuntungan dipasar (investasi). Dari aktifitas investasi inilah kemudian mampu menjelaskan dukungan sektor ini terhadap aktifitas ekonomi riil di pasar barang dan jasa. Oleh karena aktifitas investasi merupakan aktivitas dominan dalam pasar modern saat ini, akan sangat beralasan memasukkan sektor ini dalam penjelasan keseimbangan umum ekonomi Islam. Pada bab – bab selanjutnya pembahasan sektor investasi ini akan semakin detil dijabarkan. Karena membahas sektor keuangan Islam tidak mungkin dijelaskan menggunakan model seperti apa yang konvensional miliki, sehingga diperlukan model yang yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam.

Nilai – nilai moral berikut ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam dapat dilihat modelnya atau realisasinya jika ia diwujudkan dalam prilaku – prilaku ekonomi. Dan sebenarnya proses memadankan prilaku ekonomi manusia dengan nilai moral dan ketentuan hukum syariah Islam inilah yang merupakan titik krusial dalam teori prilaku ekonomi Islam. Proses tersebut bahkan sewajarnya menjadi asumsi dasar atas bangunan teori ekonomi Islam.


[1] Hal ini terjadi juga atas asumsi bahwa individu yang memahami nilai – nilai Islam melakukan inisiatif usaha, selain mempertimbangkan tingkat keuntungan tapi juga melihat kemashlahatan yang bias diberikan kepada individu lain disekitarnya. Mungkin dengan tingkat keuntungan sama dengan 0 pun seorang pelaku bisnis akan memulai usahanya jika pada saat yang sama ia merasa akan banyak keuntungan yang diambil oleh lingkungannya.

Konsep Tabungan dalam Islam

Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir.[1] Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.

Dalam bahasan tabungan pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa tabungan merupakan selisih dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa dijelaskan secara detil apa yang menjadi motifasi dari tabungan tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat bahwa tabungan merupakan sebuah konsekwensi dari pendapatan yang tidak digunakan. Sehingga fungsi tambahan menabung atau kecenderungan menabung marjinal (marginal propensity to save; MPS) menjadi MPS = 1 – MPC, dimana MPC merupakan kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to consume) dari seorang individu.

Penjelasan kecenderungan tabungan ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang (money demand). Kita ketahui bahwa dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki tiga motif utama, yaitu motif transaksi (transaction), motif berjaga-jaga (precautionary) dan motif spekulasi (speculation). Dalam Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas ekonomi berupa spekulasi (maisir) dilarang secara syariah. Sehingga motif yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan berjaga-jaga, atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan) dan menabung.

Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib[2] pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.

Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.

Sementara itu apa yang diyakini dalam konvensional bahwa tabungan atau excess income yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan menjadi ”potensi investasi” dapat saja dibenarkan dalam Islam, sepanjang memang kebutuhan mereka pada konsumsi pokok dan motif berjaga-jaga telah terpenuhi. Walaupun begitu menyebutkan kelebihan tersebut sebagai tabungan juga mungkin kurang tepat, karena memang ada intensi dari si pemilik untuk menggunakan kelebihan tersebut sebagai modal untuk men-generate keuntungan selanjutnya (investasi)[3]. Sehingga tabungan jenis ini merupakan potensi investasi yang harus menjadi perhatian para regulator dalam rangka membuat sebuah kebijakan, baik di sektor riil maupun di sektor moneter. Secara sederhana para regulator harus memastikan tersedianya usaha-usaha ekonomi atau produk keuangan syariah yang mampu menyerap ”potensi investasi”, sehingga waktu memegang uang oleh setiap pemilik dana akan ditekan seminimal mungkin. Dengan kata lain penyediaan regulasi berupa peluang usaha atau produk-produk keuangan syariah akan semakin meningkatkan velocity dalam perekonomian. Dengan demikian perhatian regulasi moneter tidak tertuju pada konsep money supply seperti yang dianut konvensional, tapi lebih pada velocity perekonomian.

Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.
Selain itu, satu hal yang juga patut mendapat perhatian adalah prilaku menabung dari masyarakat non-muslim dimana mereka tidak terekspos oleh risiko zakat. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam, masyarakat non-muslim akan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga muslim namun dalam bentuk yang berbeda. Perlindungan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil lainnya tak berbeda dengan warga muslim, tapi mereka juga dikenakan kewajiban membayar kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak individu) layaknya muslim membayarkan kewajibannya berupa zakat. Dengan begitu warga non-muslim juga menghadapi risiko harta idle-nya berkurang, sehingga menabung akan juga tetap terjaga pada porsi yang sama dengan tabungan warga muslim dengan motif berjaga-jaga. Sementara kelebihan uang atau harta warga non-muslim akan ”dipaksa” untuk masuk dalam mekanisme investasi yang sebenarnya. Yaitu investasi yang berkaitan dengan usaha produktif di sektor riil.
[1] Kondisi dimana diyakini akan meningkatkan potensi manusia untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan akidah dan akhlak Islam (kufur).
[2] Pajak ini sifatnya kondisional atau berlaku sementara, artinya diberlakukan sepanjang kondisi masyarakat memerlukan pajak ini. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, maka pajak ini pun tidak lagi dipungut. Lihat M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.
[3] Definisi tabungan disini bermakna dua; pertama tabungan yang ditujukan untuk berjaga-jaga dan tabungan yang ditujukan untuk investasi. Tentu saja investasi yang produktif, bukan investasi dalam makna luas yang dilakukan oleh konvensional, dimana aktivitas spekulasi masuk dalam definisi investasi ini.

Rabu, 19 September 2007

CAPITALISM BEHAVIOR


Self-Interest =
Egoism = Utilitarianism = Individualism
= Materialism = Rationalism
= CAPITALISM
Disarikan dari
Spencer J. Pack (1999)
F.Y Edgeworth (1881)
Adam Smith (1776)
Jeremy Bentham (1748-1823)

Iman & Kepuasan


Selasa, 18 September 2007

HAKIKAT EKONOMI


Selasa, 11 September 2007

Baitul Mal dalam Keuangan Publik


Insitusi Baitul Mal
Baitul mal merupakan institusi yang dominan dalam perekonomian Islam. Institusi ini secara jelas merupakan entitas yang berbeda dengan penguasa atau pemimpin negara. Namun keterkaitannya sangatlah kuat, karena institusi Baitul Mal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari sebuah negara Islam. Dalam banyak literatur sejarah peradaban dan ekonomi Islam klasik, mekanisme Baitul Mal selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah sebagai kepala negara. Artinya berbagai keputusan yang menyangkut baitul mal dan segala kebijakan institusi tersebut secara dominan dilakukan oleh khalifah.

Fungsi dan eksistensi Baitul Mal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat. Namun secara konkrit pelembagaan Baitul Mal baru dilakukan pada masa Umar Bin Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Lembaga Baitul Mal itu berpusat di ibukota Madinah dan memiliki cabang di profinsi-profinsi wilayah Islam.[1]

Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.

Dari penjelasan bab-bab sebelumnya telah dijabarkan peran dan fungsi lembaga Baitul Mal sebagai bendahara negara (dalam konteks perekonomian modern, lembaga ini dikenal dengan Departemen Keuangan – treasury house of the state) secara panjang lebar. Fungsi Baitul Mal pada hakikatnya mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan seperti Zakat, Kharaj, Jizyah, Khums, Fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, penyebaran fikrah Islam melalui diplomasi luar negeri dan semua program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.

Eksistensi lembaga Baitul Mal pada awalnya merupakan konsekwensi profesionalitas manajemen yang dilakukan pengelola zakat (amil). Namun ia juga merefleksikan ruang lingkup Islam, dimana Islam didefinisikan juga sebagai agama dan pemerintahan, qur’an dan kekuasaan, sehingga Baitul Mal menjadi salah satu komponen yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan kekuasaan dari negara.[2] Jadi ketika juga negara harus mengelola penerimaan-penerimaan negara baik yang diatur oleh syariah maupun yang didapat berdasarkan kondisi pada saat itu, negara membutuhkan lembaga yang menghimpun, mengelola dan mendistribusikan akumulasi dana negara tersebut untuk kepentingan negara, baik penggunaan yang memang diatur oleh syariah atau juga yang merupakan prioritas pembangunan ketika itu. Lebih lengkapnya penggunaan dana-dana yang terkumpul dalam Baitul Mal sudah dijabarkan pada bahasan anggaran negara pada bab ini.

G.1.1. Hirarki Organisasi dan Operasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam oparasionalnya institusi Baitul Mal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul Mal sebagai bendahara negara. Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola khums, Jizyah, Kharaj dan seterusnya.[3]

Yusuf Qardhawy (1988)[4] membagi baitul mal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaannya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik :
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat).
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3. Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz.
4. Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan).

Hal ini sebenarnya juga telah diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah[5], beliau mengungkapkan bahwa dalam adminstrasi keuangan Negara, dalam Baitul Mal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1. Diwan al Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri dan tentara.
2. Diwan al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan harta tanpa ahli waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi mengkoleksi pajak bulanan[6].

Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan strategi pengkoleksian dan penggunaan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada satu waktu tertentu. Artinya pengembangan institusi dan kebijakan ekonomi tidaklah terikat pada apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin terdahulu, peran ijtihad dengan mempertimbangkan keadaan kontemporer menjadi sangat menentukan arah dan bentuk institusi dan kebijakan ekonomi.

Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak dan upeti. Namun pada masa klasik Islam hal ini dilakukan dengan skema hutang, artinya jika suatu saat departemen sedekah sudah memiliki kecukupan dana, maka hutang tadi harus dilunasi pada departemen pajak dan upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema takaful, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
[1] Ibid.
[2] Yusuf Qardhawy, Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988. pp. 743.
[3] Hasanuzzaman, Op. Cit.
[4] Yusuf Qardhawy, Op. Cit. pp. 743-744.
[5] Lihat Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, The Islamic foundation, Leicester – UK, 1996/1417 H, pp. 204.
[6] Perlu dipahami bahwa penggunaan kata pajak terkadang misleading karena literature ekonomi Islam atau sejarah Islam banyak menyebutkan pungutan yang dibenarkan atau dianjurkan oleh syariat seperti zakat, kharaj, ushr dan jizyah seringkali diwakili dengan istilah pajak. Padahal dalam Islam juga diketahui bahwa dalam keadaan normal pajak yang biasa dikenal dalam dunia konvensional tidak dianjurkan untuk diberlakukan. Untuk itu diperlukan ketelitian dari setiap pembaca ekonomi dan sejarah Islam dalam memahami konteks pembahasan pajak dalam berbagai jenis literature.

Senin, 10 September 2007

Prilaku Konsumsi Islam

Menggunakan konsep konsumsi yang selama ini dikenal dalam ekonomi mainstream (konvensional) terlepas dari konsep final spending, mungkin penggambaran prilaku konsumsi Islam menjadi sebagai berikut:

C = Co + bYd

Dimana:
b = preferensi konsumsi dari pendapatan (marginal propensity to consume)
Yd = pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income)

Dari model diatas, dapat diidentifikasi dua jenis konsumsi berdasarkan jenis golongan masyarakat dalam mekanisme zakat, yaitu konsumsi golongan mustahik (golongan masyarakat yang berhak menerima zakat) dan konsumsi golongan muzakki (golongan masyarakat yang wajib membayar zakat).

Konsumsi mustahik: C = Z = Co
Konsumsi muzakki: C = Co + b(Y – Z) atau C = Co + b(Y – Z – Nw)[1]
Nw = Nawaib (semacam pajak bagi para orang kaya yang bersifat temporer)[2]
Nw dikenakan kepada golongan masyarakat kaya (muzakki) karena perekonomian memburuk, dimana pendapatan pemerintah lainnya tidak mencukupi

Dengan pertimbangan bahwa golongan mustahik atau muzakki dapat saja berasal dari golongan non-muslim dan perkembangan perekonomian tidak begitu baik, maka variasi model konsumsi diatas dapat menjadi sebagai berikut:

Konsumsi mustahik muslim/non muslim: C = Za = Co
Dimana:
Za = Z + Kh + Jz atau Za = Z + Kh + Jz + Nw
Kh = Kharaj (semacam zakat pertanian bagi non muslim)
Jz = Jizyah (semacam zakat penghasilan/harta bagi non muslim)

Sementara itu konsumsi “muzakki” non muslim: C = Co + b(Y – Kh – Jz – Nw)

Dari model konsumsi mustahik dan muzakki diketahui bahwa MPC mustahik lebih besar dari MPC muzakki. Hal ini disebabkan oleh sensisitifitas konsumsi mustahik lebih besar akibat kenaikan pendapatan mereka dibandingkan dengan muzakki. Dari perspektif lain ini dijelaskan oleh alasan bahwa distribusi dana zakat (termasuk kharaj, jizyah dan nawaib) bagi mustahik jumlahnya harus sama dengan kebutuhan pokok mereka, sehingga secara sempurna pendapatan mereka dari dana tersebut secara sempurna (MPC mustahik cenderung sama dengan 1). Sementara besarnya MPC muzakki cenderung berada diantara 0 dan 1. Hal ini karena kebutuhan pokok mereka relatif telah terpenuhi. Dengan pemahaman ini sebenarnya dari model konsumsi muzakki, variabel “bYd” merepresentasikan kebutuhan sekunder, tersier atau bahkan luxury dari muzakki. Dengan demikian – menggunakan pemahaman ini – dapat saja dikatakan bahwa semakin beriman seorang individu atau sekelompok orang maka MPC individu atau kolektif akan semakin kecil mendekati 0, karena seorang yang beriman akan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok mereka saja. Namun jika MPC juga berarti segala preferensi konsumsi muzakki termasuk konsumsi untuk individu lain (motif beramal shaleh), maka mungkin sebaiknya MPC muzakki dibedakan menjadi 2 yaitu MPC untuk konsumsi diri sendiri (MPC riil) dan MPC untuk orang lain seperti infak - shadaqah (MPC amal shaleh). Dengan begitu MPC dapat dituliskan menjadi:

MPCmuzakki = MPCriil + MPCamal shaleh

Kadar keimanan seorang muzakki akan cenderung membentuk komposisi besar MPC-nya menjadi MPC riil < MPC amal shaleh. Atau dengan kata lain, semakin beriman seseorang (muzakki), maka MPC-nya akan didominasi oleh prilaku amal shaleh yang digambarkan oleh dominasi MPC amal shalehnya. Memasukkan amal shaleh dalam model konsumsi muzakki, maka secara spesifik model konsumsi muzakki menjadi sebagai berikut:

C = Co + b Yd

Jika b = MPCmuzakki; c = MPCriil; d = MPCamal shaleh; maka

C = Co + (c + d) Yd
C = Co + cYd + dYd

Model konsumsi muzakki diatas menunjukkan tiga komponen atau motif utama konsumsi seorang atau sekelompok muzakki, yaitu motif konsumsi kebutuhan pokok (Co), kebutuhan sekunder/tersier/luxury (cYd) dan kebutuhan untuk beramal shaleh (dYd).

Dari analisa ini terlihat bagaimana faktor keimanan mempengaruhi prilaku konsumsi seseorang khususnya muzakki. Sementara itu analisa yang sama tidak dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh keimanan terhadap prilaku konsumsi mustahik, karena asumsi mustahik tidak dapat beramal shaleh menggunakan pendapatannya yang bersumber dari zakat. Hal ini sekali lagi menunjukkan kesesuaian potensi prilaku manusia muzakki untuk dapat memaksimalkan diri beramal shaleh dengan anjuran Rasulullah SAW agar semua manusia berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, sehingga dapat memaksimalkan kemanfaatan dirinya bagi orang lain. Argumentasi ini tentu saja berasumsi bahwa besarnya amal shaleh dilakukan berdasarkan besarnya sumber daya ekonomi/harta/pendapatan yang dimiliki seseorang, sehingga kemudian disimpulkan bahwa kemampuan beramal shaleh muzakki lebih besar dari kemampuan beramal shaleh mustahik.
[1] Dalam persamaan ini tidak dimasukkan pajak dengan asumsi bahwa pajak yang dikenal dalam Islam adalah pajak-pajak yang memiliki ketentuannya secara syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, ushr, nawaib dan lain sebagainya. Secara detil pembahasan instrument – instrument ini akan dijelaskan dalam pembahasan kebijakan fiscal.
[2] Variabel-variabel ini akan dijelaskan secara detil pada bab-bab selanjutnya.