Senin, 17 Desember 2012

Syair itu...


syair sepatutnya bukan hanya sekedar kalimat indah dari rangkaian kata yang harmoni untuk didengar, tetapi ia tersusun karena kejujuran hati, ungkapan yang tulus, dengan tidak memiliki syarat...

syair itu lahir dan diterima seperti saat kita memejamkan mata untuk menerima hembusan udara sejuk pada wajah... diujungnya ada senyum yang menyambut udara sejuk itu...

syair itu embun, yang datang untuk menyejukkan bukan untuk membasahi...

syair itu mentari pagi yang mengintip bukan untuk memanasi tetapi untuk menyemangati...

dan syair itu kau, yang datang untuk membuat tersenyum, menyejukkan dan menyemangati..

Sabtu, 08 Desember 2012

Kebijakan Fiskal Islam Melalui Zakat

Zakat sebagai pungutan yang bersifat wajib mungkin tidak begitu fleksibel untuk dijadikan satu kebijakan (fiscal) ekonomi. Profil zakat yang besar pungutan dan objeknya sudah cukup definitive ditentukan oleh syariat, membuat zakat tidak dapat “diutak-utik” mengikuti keinginan otoritas dalam suatu kebijakan untuk mempengaruhi dinamika ekonomi. Satu kebijakan fiskal ekonomi selalunya bersifat fleksibel, mudah disesuaikan dalam mempengaruhi prilaku pelaku ekonomi menuju satu kondisi tertentu ekonomi. Ketentuan zakat pada besaran pungutan (persentase atau rate zakat) sudah cukup jelas melekat pada jenis-jenis harta dan pendapatan, sementara objek zakat serta penerimanya juga jelas definisinya.



Namun ruang yang mungkin dapat dijadikan variable kebijakan oleh suatu otoritas melalui instrument ini adalah batasan tingkat harta minimal (nishab) yang terkena ketentuan pungutan zakat pada barang tertentu dan besarnya distribusi zakat pada masing-masing penerima zakat (mustahik). Otoritas memiliki ruang lebih banyak dalam menentukan batasan-batasan pada variable tersebut, mengingat syariat memang relative menyediakan beberapa ruang dimana penentuannya pada diskresi otoritas (negara). Kebijkaan ini dapat menjadi rujukan pemerintah dalam mengenakan rate untuk Kharaj dan Jizyah yang berfungsi seperti “zakat”-nya warga negara non-muslim. Bahkan untuk kharaj dan jizyah, pemerintah bukan hanya memiliki wewenang menetapkan nisbah harta wajib kharaj-jizyah tetapi juga memiliki wewenang dalam menentukan berapa besar rate pungutannya.



Berapa besar batas minimal harta (nisbah) yang terkena pungutan zakat tentu akan mempengaruhi prilaku ekonomi pemilik harta. Jika batas minimal itu ditinggikan maka akan mempersempit ruang pemilik harta untuk dapat melakukan aktifitas ekonomi. Sebaliknya jika batas minimal itu direndahkan tentu akan memberikan jumlah harta lebih besar untuk digunakan oleh pemilik harta (muzaki). Pengaruh kebijakaan ini terhadap prilaku konsumsi diperkirakan relative tidak begitu besar jika dibandingkan dengan pengaruhnya pada tingkat tabungan dan preferensi investasi komersil muzaki. Hal ini menjadi kondisi umum pada muzakki dimana prilaku konsumsi mereka biasanya tidak begitu sensitive (inelastic) terhadap penambahan dan pengurangan kekayaan. Di samping itu, kebijakan ini tentu akan mempengaruhi besarnya akumulasi zakat yang dikelola oleh otoritas atau besarnya dana yang diperuntukkan bagi mustahik. Dalam jumlah mustahik yang sedikit, kebijakan menaikkan nisbah dengan maksud mengurangi penerimaan/akumulasi zakat menyesuaikan jumlah mustahik yang ada, tentu akan meningkatkan ketersediaan harta bagi muzakki untuk tujuan-tujuan investasi.



Begitu juga ketika besaran distribusi zakat (termasuk kharaj dan jizyah dalam akumulasi yang dihimpun oleh pemerintah) pada masing-masing mustahik, penentuannya menjadi wewenang pemerintah, maka besarnya distribusi zakat dapat pula dijadikan instrument kebijakan (fiscal) oleh pemerintah. Besarnya istribusi zakat pada masing-masing mustahik yang dapat naik-turun mengikut diskresi pemerintah, tentu kebijakan pemerintah itu akan mempengaruhi volume konsumsi kelompok mustahik. Berbeda dengan muzakki, prilaku konsumsi mustahik begitu sensitive (elastic) dengan penambahan dan pengurangan harta mereka. Artinya meningkatnya jumlah distribusi zakat yang diterima oleh mustahik akan mendorong jumlah konsumsi dari kelompok ini. Sementara itu, pesan utama syariat dalam memberikan zakat kepada masing-masing mustahik adalah sebesar kebutuhan dasar mereka. Namun berapa besar tingkat kebutuhan dasar setiap individu tentu sangat dipengaruhi oleh taraf ekonomi masyarakat pada satu periode tertentu. Memperhatikan taraf ekonomi negara dan masyarakat termasuk jumlah mustahik serta jumlah akumulasi dana zakat yang dihimpun, otoritas atau negara dapat menaik-turunkan jumlah distribusi zakat ini.



Dalam masyarakat yang cukup baik tingkat perekonomiannya boleh jadi penerimaan atau akumulasi zakat meningkat, sehingga pemerintah memiliki peluang meningkatkan tingkat distribusi kepada masing-masing mustahik. Atau jika kondisi perekonomian tidak berubah, jika pemerintah bermaksud meningkatkan uang beredar atau mendorong tingkat konsumsi ekonomi, pemerintah dapat saja menambah tingkat distribusi kepada masing-masing mustahik dengan menggunakan harta negara yang lain (bukan hanya berasal dari dana zakat). Wallahu a’lam.



Rabu, 21 November 2012

vulnerable..

Selasa, 20 November 2012

forum riset

jumpa di forum riset di pekanbaru, 19-24 november 2012

Minggu, 11 November 2012

jangan-jangan..

hati-hati.. jangan-jangan satu-satunya amal shaleh yang bisa kita lakukan hanya DIAM. karena hanya ketika kita diam, dunia sedikit aman dari kelakuan kita... karena yang kita lakukan semuanya kemaksiatan.. kecuali DIAM!

Jumat, 09 November 2012

universitas Islam kok pakai bank riba

satu waktu dalam sebuah seminar saya sempat tertegun karena berkali-kali saya dihadapkan dengan pertanyaan “mengapa perbankan syariah nasional masih saja porsinya kecil?” Duh, kenapa selalu bertanya dan menuntut-nuntut sesuatu yang seharusnya kita usahakan bersama. Ketika itu kebetulan seminar diselenggarakan di satu universitas Islam terbesar. Iseng saya balik bertanya, “mohon maaf, universitas ini pembayaran SPP mahasiswa dan gaji dosen lewat bank mana ya?” Suasana ruangan mendadak riuh, tersadar kalau saya menjawab pertanyaan awal tadi secara tidak langsung, bahkan sedikit menyindir. Tuh kan, masa universitas Islam pakai bank riba, membatin saya. Bagaimana bisa besar bank syariah ini, kalau saat ini kita semua lebih suka menjadi penonton.



Setelah beberapa waktu, sindiran diatas itu sepantasnya dipertanyakan pula pada hal yang lain, seperti pengelolaan dana ormas Islam, pembayaran zakat, pengelolaan dana yayasan dakwah Islam, pengelolaan dana haji, KENAPA MASIH PAKAI BANK RIBA!!!??? Coba bayangkan, kalau saja semua pembayaran SPP dan pembayaran gaji guru di lembaga pendidikan Islam, dari madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah sampai aliyah, dari Sekolah Tinggi Agama Islam, Institut Agama Islam dan Universitas Islam baik swasta maupun negeri, semua-mua dilakukan melalui Bank Islam, seberapa besar industri perbankan syariah akan membesar.



Mau ibadah suci seperti haji kok mengelola dananya pakai bank riba? Katanya ormas Islam, kenapa mengurus asetnya pakai bank riba? Seperti shalat yang menjadi penghulunya ibadah, Zakat itu penghulunya muamalah dalam Islam, tapi kenapa mengelolanya dengan bank riba? Bagaimana bisa datangkan keberkahan untuk mencetak siswa-siswa yang shaleh, kalau kelolaan dana SPP dan gaji para gurunya pakai mekanisme dosa besar lewat bank riba?



Kenapa begitu sensitifnya kita dengan kandungan babi di es krim tapi kok ga sensitif sama dosa besar di tabungan dan transaksi-transaksi keuangan? Seberapa besar sih derajad kejijikan kita sama satu dosa besar ini? Sampai-sampai kita masih merasa lebih jijik melihat kandang babi daripada kandang riba! Sehingga kandang-kandang riba masih subur didirikan di halaman universitas-universitas Islam.



Halah, tulisan ini kok jadi ga jelas gaya penulisannya, ga jelas runutan kata dan isunya. Tapi mudah-mudahan jelas maksudnya.

Selasa, 23 Oktober 2012

Economy for the Needy

Ada beberapa pelajaran berharga yang cukup penting untuk diketahui dari Microfinance Conference 2012 yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM di Yogyakarta pada tanggal 22-23 Oktober 2012. Dari sekian pesan yang disampaikan oleh banyak narasumber, menurut saya pesan yang disampaikan oleh Presiden SBY dan Prof. Muhammad Yunus cukup berharga untuk direnungkan lebih dalam. Pokok-pokok pesan beliau adalah sebagai berikut:




Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono

1. Dengan tagline “Sustainable Growth with Equity” diharapkan pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya terlihat secara kuantitas tetapi juga secara kualitas yang dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

2. Aplikasi pembangunan dilakukan dengan berfokus pada; (i) pro-growth (pertumbuhan ekonomi); (ii) pro-job (penciptaan lapangan kerja/penurunan pengangguran); (iii) pro-poor (mengentaskan kemiskinan); (iv) pro-environment (menjaga kelestarian alam/ramah lingkungan).

3. Tantangan yang harus dihadapi adalah; upaya menurunkan angka kemiskinan bukanlah hal yang mudah dan potensi melebarnya kesenjangan antara golongan kaya dan miskin.

4. Diperlukan keterpaduan program dari semua lembaga pemerintah dan semua komponen masyarakat. Program tersebut harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat di pasar karena tidak selamanya mekanisme pasar (invisible hand) dapat bekerja dengan optimal (market failure) akibat fokus pada kepentingan business. Diperlukan program berupa government intervention (visible hand) seperti program-program yang berpihak pada rakyat miskin (pro-poor).

5. Salah satu program tersebut adalah program Kredit Usaha Rakyat (Kredit UMKM dengan garansi). KUR saat ini telah mencapai nominal Rp 87 triliun, melayani 7 juta unit usaha baru, NPL relatif menurun dari pada kredit non-KUR. Program ini diyakini mampu mendukung upaya penurunan tingkat kemiskinan yang kini menjadi 12% dan tingkat pengangguran 6%.

6. Dalam rangka menuju pada pencapaian sasaran ekonomi; Economic Security, maka program “keuangan untuk semua” (financial inclusion) diharapkan dapat optimal dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Program seperti “Tabunganku” yang telah menjaring 2 juta nasabah baru dan “Branchless Banking”, menjadi program yang signifikan dalam mendukung pencapaian tujuan program financial inclusion.

7. Beberapa negara dalam G-20 sepakat bahwa penting membangun global networking in financial inclusion. Namun kegiatan financial inclusion bukanlah tujuan akhir. Tujuan dari upaya ini adalah: (i) pengentasan kemiskinan; (ii) penurunan angka pengangguran; (iii) economic security; (iv) financial access; dan (v) pengembangan koperasi.

Prof. Muhammad Yunus

1. 36 tahun yang lalu ketika Grameen Bank dimulai tidak pernah terfikir bahwa isu financial incusion akan meng-global seperti yang terjadi saat ini. sama halnya, tidak pernah terfikirkan ketika itu runtuhnya satu negara besar Uni Soviet dan tembok Berlin yang menyatukan dua negara Jerman. 25 tahun yang lalu ekonomi China, India dan Indonesia belum begitu dikenal, sama halnya dimana Handphone belum sampai di tangan para petani di pedesaan. Tapi so many surprises happen.

2. Kini diperkirakan 20 tahun mendatang, ekonomi China akan menjadi ekonomi terbesar di dunia dan India akan menjadi terbesar kedua, sementara Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar kedelapan. Diperkirakan pula gabungan ekonomi China dan India akan mengalahkan ekonomi dunia sisanya. Fakta ini sepatutnya menjadi pelajaran yang berharga bagi semua pihak dalam mengupayakan perbaikan ekonomi, khususnya upaya mewujudkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat miskin.

3. Atas dasar pertimbangan tadi, inclusive banking system bukanlah hal yang mustahil. Terlebih lagi fakta yang ada saat ini dimana krisis keuangan dan perbankan (di Eropa dan Amerika) semakin merefleksikan kekacauan pada sistem yang ada. Kita tidak berbicara apakah kapitalisme akan hancur, tetapi kita sedang bicara bagaimana mewujudkan sistem yang lebih baik yang melayani dan bermanfaat bagi semua pihak (memang menarik berbicara apa yang sudah terjadi tetapi akan lebih bermanfaat untuk berbicara tentang masa depan). Oleh sebab itu, menyikapi kondisi yang ada, jangan melakukan apa-apa yang lazim dalam bingkai sistem yang ada. It is better we start to do something different.

4. Pada dasarnya Grameen tidak fokus untuk mengaplikasikan kredit mikro, tetapi relatif fokus pada upaya untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin. Selain kebutuhan akses permodalan masalah utama yang dihadapi masyarakat Bangladesh adalah kondisi kesehatan yang buruk; misalnya maraknya masalah gizi dan lingkungan buruk berujung pada kondisi anak-anak yang banyak mengalami rabun senja dan diare. Sehingga perbaikan ekonomi dilakukan melalui perbaikan tingkat kesehatan masyarakat agar mereka mampu bekerja lebih maksimal dan biaya sosial keluarga dapat ditekan.

5. Oleh sebab itu, saat ini pengembangan Grameen bukan hanya disisi akses keuangan untuk usaha tetapi juga asuransi kesehatan (3 dollar pertahun per keluarga), akademi perawat (merespon kurangnya tenaga perawat dimana kondisi Bangladesh saat itu memliki rasio 3 dokter hanya tersedia 1 perawat, dalam programnya grameen mengajak anak-anak perempuan dari keluarga Grameen untuk dididik menjadi perawat di akademi perawat yang didirikan oleh Grameen) dan pendirian i-Care Hospital (kini sudah berkembang menjadi 3 rumah sakit).

6. Dengan paradigma melayani kebutuhan rakyat miskin itulah, kini Grameen mengembangkan “Social Business”, yaitu perusahaan yang relatif fokus pada pemecahan masalah rakyat (Problem Solving Company) dimana perusahaan tersebut lebih bergelut pada “solving problem business” dari pada “making money business”. Projek-projek yang dilakukan seperti: (i) projek pengadaan air bersih bagi rakyat miskin (kumuh) bekerjasama dengan perusahaan air swasta (kondisi Bangladesh memang menghadapi kondisi air permukaan yang terpolusi dan air tanah yang terkontaminasi/asin); (ii) projek pengadaan kelambu nyamuk bekerjasama dengan perusahaan kimia Jerman mengingat wilayah Bangladesh yang rentan dengan penyakit malaria; dan (iii) projek pengadaan sepatu murah bagi anak-anak sekolah bekerjasama dengan perusahaan sepatu Adidas.

7. Social Business yang dilakukan ini berbeda dengan kegiatan philanthropy. Social business cenderung memutarkan dana dalam bingkai usaha komersil namun bertujuan sosial, sementara philanthropy cenderung tidak ada perputaran dana (one way money use).

8. Dalam melayani masyarakat miskin perlu diingat bahwa tidak ada yang salah pada mereka rakyat miskin, yang salah terletak pada sistem yang memang tidak mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Manusia itu memiliki potensial yang tak terbatas, namun kadangkala sistemlah yang menekan potensi manusia tersebut. Jadi saat ini kita membutuhkan upaya untuk menciptakan suatu sistem yang baik. Dan memunculkan social business merupakan rangkaian upaya mewujudkan sistem yang baik tersebut.



Mudah-mudahan memberikan inspirasi.

Kamis, 18 Oktober 2012

ekonomi Islam bebas nilai?

dalam banyak diskusi tentang keilmuan ekonomi, banyak yang mengklaim bahwa ekonomi merupakan ilmu yang bebas nilai (value free). tetapi yang selalu tidak jelas adalah definisi dan ruang lingkup dari phrase "bebas nilai" tersebut. nilai preferensi manusiakah atau nilai dalam aspek moral? atau mungkin nilai yang melekat pada budaya, suku, atau mungkin agama? nilai yang mana?

berdasarkan objeknya, nilai dapat ditempatkan pada ruang lingkup pribadi (individual) manusia, nilai berdasarkan norma kolektif dari banyak manusia (budaya) dan nilai yang mengacu pada moral yang bersumber pada prinsip dan ajaran agama (wahyu). apakah ilmu ekonomi bebas dari semua nilai itu?

bebas nilai biasanya punya konotasi pada kebebasan dari agama dan budaya, tetapi susah untuk mengatakan bebas dari nilai yang ada pada masing-masing manusia. lihat saja bagaimana adam smith dan karl marx begitu berbeda mendefinisikan ekonomi termasuk definisi ekonomi yang ideal itu seperti apa.

definisi kedua mereka bersandar pada suatu keyakinan yang berbeda, menggunakan asumsi (ceteris paribus) yang tidak sama. adam smith membayangkan komunitas ekonomi adalah komunitas yang bebas dalam berdinamika di pasar, sementara karl marx berangan-angan pada pengagungan kelas pekerja sehingga value added ekonomi harus mengistimewakan kelas ini dalam ekonomi. dua perspektif ini bermuara pada sajian ilmu ekonomi yang berbeda. namun keduanya sama-sama membuktikan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas nilai itu menjadi tidak beralasan untuk diklaim.

nah, ekonomi Islam memiliki logikanya sendiri, memiliki "nilai"-nya tersendiri. penyerahan diri pada kehendak Tuhan membuat ekonomi Islam bersandar pada ceteris paribus yang diinginkan Tuhan. dinamika ekonomi tidak bersandar pada "mau"-nya manusia tetapi berdasarkan aturan main Tuhan, baik yang ada di ranah prilaku maupun hukum-hukum.

dengan begitu jika dilihat secara general, ekonomi menjadi tidak berbeda dengan disiplin ilmu lain dalam Islam, seperti hukum Islam, politik Islam, budaya Islam dan lain sebagainya. ilmu-ilmu itu hanya alat manusia untuk dekat dengan Tuhan. sehingga sederhananya ekonomi ditempatkan sebagai instrumen untuk mendekatkan diri pada Tuhan. inilah nilai tertinggi yang harus terus dijaga untuk selalu ada dalam ilmu termasuk ilmu ekonomi. tanpa nilai ini ilmu apapun menjadi hambar dan tak tentu arahnya.

jadi, ilmu (ekonomi) haruslah punya nilai, bukan malah harus bebas dari nilai.

Rabu, 17 Oktober 2012

duduk diam dan biarkan..

ada saat dimana kita harus duduk diam dan membiarkan semuanya berjalan di depan mata, menerima apa yang telah dan sedang terjadi. saat dimana kita tidak ditanya untuk melakukan "apa yang ingin" atau sekedar "apa yang dapat", tetapi ditanya untuk melakukan "apa yang musti". kedudukan "musti" menjadi lebih utama untuk dipatuhi daripada "ingin" dan "dapat".

oleh karenanya sedikit sisakan ruang di hati untuk menerima semua bentuk keikhlasan, baik itu berdalih patuh pada adat dan budaya maupun beralasan taat kepada adab dan norma.

mulailah percaya bahwa ada mekanisme yang sedang dan akan terus berlangsung di luar kontrol diri kita. mekanisme yang menyuguhkan peristiwa yang mungkin bertolak belakang atau sejalan dengan harapan dan cita-cita, atau bahkan yang menentukan arah dan tujuan hidup kita.

ketika semua ruang peristiwa sudah mampu kita jelajahi, ada saat dimana kita harus duduk diam dan biarkan semuanya terjadi.

inilah interpretasi saya terhadap pasrah dan ketawakalan yang menjadi prinsip hidup dan kehidupan..

Sabtu, 06 Oktober 2012

SAVE KPK SAVE INDONESIA

ada arogansi yang coba membendung kemuakan rakyat terhadap praktek kotor hukum juga terhadap praktek menjijikkan korupsi di negeri ini. arogansi yang kini dipertontonkan dengan sangat vulgar (jika tidak mau dikatakan primitif dan brutal) oleh garda penjaga hukum terdepan yaitu polisi.

perseteruan polri dan KPK sudah memposisikan polri sebagai pihak antagonis dalam drama yang sedang berlangsung. selain rakyat sudah cukup cerdas mencerna logika kejanggalan dan ketidak-rasionalan langkah-langah polri terhadap kasus korupsi yang membelit pimpinan-pimpinan mereka, rakyat juga dari sejak lama mengetahui "kelakuan" aparatur negara yang satu ini dari berbagai macam kesempatan ketika rakyat berinteraksi dengan mereka.

muaknya rakyat ini boleh jadi merupakan suatu proses akumulasi kegeraman terhadap tingkah laku penegak hukum pada banyak aspek. dari pedagang kaki lima yang harus di bayar upeti kepada preman yang dibeckingi oleh polisi, masyarakat berkasus yang harus mengeluarkan biaya-biaya siluman jika tidak mau berhadapan dengan konsekwensi hukum yang lebih besar, rekayasa kasus dan kriminalisasi demi kepentingan segelintir orang yang berkuasa dan kaya, kongkalikong aparatur dalam binkai mafia hukum yang sudah menjadi rahasia umum, sampai dengan pengendara motor dan mobil yang kerap "dikerjai" polisi di jalanan.

alih-alih polisi melakukan pembenahan diri dalam rangka memenuhi tuntutan rakyat pada kebersihan aparat dan keprofesionalan pelayanan serta menyikapi gelombang semangat perbaikan negeri, polisi malah melakukan langkah-langkah konyol yang mempertontonkan kearogansian, langkah yang memposisikan mereka sebagai musuh bersama (common enemy) dari rakyat.

tapi apapun itu, inilah momentum!!! inilah saat yang tepat rakyat menuntut perubahan dramatis ditubuh penegak hukum yang satu ini. SAATNYA MENYELAMATKAN DAN MEMUNCULKAN APARAT-APARAT BERSIH YANG JUGA MUAK DENGAN KEBOBROKAN SISTEM DAN PELAYANAN HUKUM BAGI RAKYAT. SAATNYA MENYELAMATKAN INDONESIA!!

Kamis, 04 Oktober 2012

berita perjuangan

berita hari ini masih sama seperti berita kemarin atau kemarin lusa atau tahun-tahun sebelumnya; keluhan ternyata bank syariah sama saja dengan bank konvensional. duh, kalo sama memangnya kenapa? apa perjuangan ini harus berhenti? kalaupun sama bukankah itu tanda bahwa perjuangan harus lebih digiatkan, bahwa kita butuh banyak pejuang. atau setidaknya itu tanda bahwa kita masih diberikan kesempatan untuk menjadi pejuang.

coba bayangkan, kalau kita dilahirkan di zaman keemasan Umar bin Abdul Aziz. perjuangan ekonomi Islam apa yang ada untuk kita saat itu? saat dimana pengusaha kaya kehabisan modal sudah didefinisikan sebagai mustahik! rasanya sulit membayangkan kemuliaan perjuangan yang ada saat itu dibandingkan dengan "medan tempur" akhir zaman yang saat ini tengah kita keluhkan setiap waktu.

jadi jika ternyata andalah yang mengeluhkan kondisi diatas itu. saya yakinkan anda, bahwa jawabannya boleh jadi hanya membutuhkan sedikit perenungan, renungan yang menggeser posisi sudut pandang, kalau masalah itu adalah peluang yang disediakan pada anda untuk segera dibetulkan, bahwa itulah kesempatan amal shaleh yang dapat memuliakan anda. jadi jangan malah meratapi dan mematikan motivasi, atau bahkan malah keluar dari barisan pejuang lalu bergabung dengan penonton di luar sana.

kedua, fikirkan kembali keluhan anda, mungkin keluhan anda hanyalah sebuah hasil keletihan yang juga bersumber dari penilaian yang sempit. melihat praktek satu aspek kecil dari bank syariah yang terlihat sama dengan bank konvensional lalu dengan gegabah menyimpulkan pada besaran makro bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. terlebih lagi ketika anda tidak melihat dengan lebih dalam substansi sesungguhnya. meskipun jika anda tetap pada keluhan anda itu, tidak ada hak saya memaksa-maksa atau sekedar mencemooh keputusan anda, itu terserah anda toh anda sendiri nanti yang akan memberikan alasan pada Tuhan atas keputusan anda itu. setidaknya Tuhan juga sudah berikan "arahan" bahwa tidak ada paksaan dalam agama ini (la iqraha fiddiin..), palagi cuma keluhan. tetapi arahan itu didahului dengan arahan "Iqra' bismirabbikalladzi khalaq..", mencari dan pahami ilmu dahulu sebagai dasar atau sebelum mengambil keputusan-keputusan penting, termasuk memilih agama atau sekedar menyingkir dari jalan perjuangan.

ketiga, anda dan saya harus menyadari bahwa pejuang jalannya tidaklah mulus dan landai. jalannya penuh aral dan terjal, bahkan kanan-kirinya penuh godaan dan ujian, sementara di dalam diri anda harus berhadapan dengan fitrah kemalasan dan keserakahan. itulah mengapa jalan ini begitu agung dan mulia.

nah, kini terserah anda jika mau menyingkir dari perjuangan ini ndak apa-apa, pejuang lain akan tentu akan mengucap hamdallah karena beban perjuangan sudah berkurang satu. kalau anda semakin bersemangat dan memutuskan untuk tetap dibarisan, pejuang lain pun akan tetap berucap hamdallah karena perjuangan dikuatkan oleh satu orang pejuang.

astaghfirullah, tulisan ini lebih utama ditujukan untuk saya sendiri..

Rabu, 29 Agustus 2012

sedikit nostalgia

sudah 10 tahun sejak saya tinggalkan negeri ini setelah menyelesaikan study di International Islamic University Malaysia. dari sisi fisik kota Kuala Lumpur tentu banyak yang berubah khususnya daerah suburb. namun untuk pusat kota terkesan sama. dahulu daerah yang juga sering saya kunjungi adalah area Masid Jamek, saat ini sepertinya daerah itu masih sama. mengenang masa-masa lalu saya sempat membeli burger pinggir jalan yang yang ternyata rasanya masih sama seperti dulu, P Ramlee Burger.

ya, sampai jumat ini saya mendapat tugas dari kantor untuk menjadi narasumber di forum IFSB-BNM Seminar on Islamic Microfinance di Kuala Lumpur. semoga semuanya lancar.


disela-sela menikmati itu saya sedikit tersenyum mendengar dua kata yang kini di media khususnya televisi cukup ramai digunakan di Malaysia ini, yaitu kata "lebaran" dan "heboh". memang 10 tahun waktu yang cukup lama untuk perbauran budaya. dan pastinya akan terus berlangsung. semakin transparannya media dan terintegrasinya kawasan serumpun ASEAN, tentu tidak akan heran jika budaya akan juga semakin terintegrasi.

Rabu, 22 Agustus 2012

bukan saat Ramadhan tetapi setelah Ramadhan

Seperti yang sudah-sudah selama 4 tahun terakhir ini, setiap memasuki Ramadhan saya ikut mengurusi kegiatan Masjid komplek, dari peran sebagai pengurus, ketua DKM sampai ketua panitia Ramadhan. Ikut mengurusi kegiatan dari shalat tarawih, pengajian pekanan, pesantren kilat, i'tikaf, pengumpulan-penyaluran zakat sampai shalat Iedul Fitri, merupakan kesibukan yang sangat saya nikmati. Selain ikut dalam kerja-kerja amal shaleh, kegiatan itu menjadi tempat kami warga komplek untuk silaturahim dan memelihara kebersamaan.

Di penghujung Ramadhan, melewati shalat Iedul Fitri kali ini terasa sedikit berbeda, karena khutbah shalat Ied memberikan nasehat yang cukup berharga untuk diingat-ingat. Ustadz Manager Nasution yang menjadi khatib di lapangan komplek saya tinggal cukup sistematis menyampaikan khutbahnya. Khutbah belaiu begitu sederhana, namun bagi saya penting sekali. dibawah ini pokok nasehat beliau:

Pelajaran penting yang harus kita ambil dari Ramadhan yang lalu untuk menghadapi bulan-bulan selanjutnya adalah:
1. konsistensi untuk puasa, sehingga selalu mendapatkan keutamaan dan keistimewaan orang yang berpuasa


2. konsistensi tilawah Quran, sehingga senantiasa mendapatkan ketenangan jiwa

3. konsistensi qiyamullail, sehingga mampu memelihara serta meningkatkan derajad kemuliaan dan kewibawaan

4. konsistensi untuk bersedekah, sehingga kualitas hidup menjadi lebih baik karena sedekah dapat menolak bala, menggugurkan dosa dan melipatgandakan rizki

5. konsistensi sholat berjamaah di masjid, sehingga mampu menjaga dan memposisikan diri dengan benar karena shalat berjamaah di masjid merupakan pembeda antara orang beriman dan munafik

6. konsistensi imsak, imsak memberikan pelajaran agar kita mampu menjaga diri dari keserakahan, menanamkan qonaah, memantapkan ihsan/wara dan memperkuat keimanan; sehingga kita dididik untuk menjadi manusia yang tidak lagi bergantung atau takut pada makhluk, dan sadar betul hanya ALLAH-lah yang berkuasa

7. konsistensi menjaga diri dari godaan dan bujukan syetan: syetan jin maupun syetan manusia

Dengan demikian, sukses Ramadhan bukan ditentukan pada saat Ramadhan tetapi setelah Ramadhan, dimana ukurannya adalah KONSISTENSI ibadah.

Jumat, 10 Agustus 2012

Proses Memuliakan Manusia

Ikhlas dengan semua peristiwa dunia,dengan semua bentuk takdir yang dikehendaki Tuhan, menjadi satu kunci agar hidup menjadi lebih “nyaman” untuk dijalani. Ini renungan yang muncul saat saya mengendarai motor saya menuju kantor pagi tadi. Saya yakin pola fikir dan cara pandang menjadi simpul yang krusial agar ikhlas itu ada dan selalu ada.

Dan pola fikir yang saya kira paling penting adalah keyakinan pada maksud baik Tuhan atas setiap diri manusia. Tuhan sebagai Dzat Agung yang menguasai dan mengendalikan semua hal yang Beliau ciptakan, bermaksud baik dan memberikan terbaik pada hal itu, termasuk pada semua hal yang terjadi pada diri manusia. Bahkan kalau difikirkan lebih dalam seiring dengan usia dan waktu, apa-apa yang terjadi pada diri manusia adalah sebuah proses pemuliaan manusia.

Proses memuliakan manusia, boleh jadi inilah inti motivasi Tuhan atas semua yang terjadi pada diri manusia. Entah itu peristiwa baik atau buruk, semuanya merupakan satu hakikat, yaitu anugerah dan kasih sayang Tuhan untuk kebaikan manusia. Dari satu ujian ke ujian selanjutnya, dari satu musibah ke musibah selanjutnya, atau dari satu nikmat ke nikmat yang lainnya, merupakan proses berkelanjutan yang bertujuan memuliakan manusia dari satu jenjang ke jenjang kebaikan yang lebih tinggi.

Coba perhatikan, bukankah Tuhan acap kali memberikan sinyal-sinyal motivasi dan proses pemuliaan itu. Tuhan bilang dalam firmannya tak akan dikatakan beriman seseorang jika ia belum menjalani ujian-ujian. Di lain kesempatan melalui Nabi-Nya, Tuhan memberikan pesan bahwa kesusahan, gelisah, sakit dan semua musibah sesungguhnya menggugurkan dosa.

Bahkan tidak jarang satu peristiwa musibah hakikatnya sekaligus merupakan peristiwa perlindungan Tuhan atas hamba-Nya terhadap kemaksiatan yang mungkin sekali dilakukan oleh hamba-Nya itu. Tuhan mungkin berikan musibah kecelakaan mobil, sehingga kita tidak jadi ke tempat hiburan yang boleh jadi di dalamnya tidak ada kecuali kemaksiatan.

Nah proses pemuliaan ini, berlangsung sejak kita sadar sebagai manusia yang berakal. Terus sampai kematian mengakhiri cerita hidup. Ujian silih berganti, kenikmatan juga begitu, tapi yakinlah Tuhan bermaksud baik karena ingin kita menjadi manusia baik. Begitu kita selesai dari satu ujian maka akan menyusul ujian selanjutnya, begitu seterusnya. Kualitas ujian semakin meningkat ditandai dengan semakin berat beban yang dirasakan oleh setiap manusia yang memikulnya. Dan tiap-tiap ujian bukan hanya sekedar menjadi pengalaman tetapi juga menjadi pelajaran untuk bersiap menyelesaikan ujian selanjutnya.

Atas cara pandang seperti inilah saya berkeyakinan bahwa proses kehidupan manusia, pada tingkat apapun, hakikatnya merupakan proses pemuliaan oleh Tuhan.

Kamis, 09 Agustus 2012

Sedang Tak Bertabir Antara Bumi Dan Langit


10 hari terakhir Ramadan sedang berlangsung, 1o hari paling sakral di dalam bulan yang paling suci. Didalamnya ada fenomena fisik dan metafisik antara bumi dan langit. Keduanya ada pada jarak yang paling dekat. Bahkan ada satu malam diantara 10 malam pada masa-masa itu, penghuni langit turun memenuhi bumi, berjaga disetiap jengkal dan sudutnya. Mereka berjaga sepanjang malam untuk menebarkan kasih sayang Tuhan.

Dan ada sekelompok manusia yang “mengasingkan” diri untuk memanfaatkan kedekatan itu. mereka yang tidak ingin kehilangan momen sedetikpun dari periode tersuci itu. mereka ingin meneguk habis semua “hidangan” kasih sayang Tuhan yang mencurah-curah digelar oleh para pelayan langit, sampai pada cahaya terakhir dari mentari Ramadan.

Ada satu momen spesial yang disiapkan oleh Tuhan bagi manusia, momen itu berupa malam yang teristimewa. Jikalau Dzulhijjah memiliki siang hari yang spesial maka Ramadan memiliki malam yang spesial. Perbedaannya, Dzulhijjah hanya diperuntukkan bagi tamu Allah saja, ditempat dan waktu yang telah di tentukan, yaitu di Arafah dan pada hari kesembilan Dzulhijjah. Sedangkan Ramadan waktu spesial itu diperuntukkan bagi semua manusia yang beriman, tempatnya dimana saja diatas bumi ini, namun waktu malamnya itu tersembunyi di 10 malam rekahir Ramadan.

Inilah yang menjadi keunikan Ramadan. Keistimewaan 10 malam terakhir bersama 1 malam spesialnya menjadi daya tarik yang (seharusnya) membuat semua manusia beriman exited menunggu dan menjalani Ramadan hingga detik terakhir. Semakin bergulir semakin rakus mereka memakan semua hidangan yang disediakan Ramadan.

Pertanyaannya, sadarkah kita akan “pesta” yang sedang berlangsung ini? Menikmatikah kita atas siang dan malam dari detik-detik yang mendebarkan ini? Tahukah kita pada menu puncak berupa hidangan-hidangan ampunan semua dosa, kasih sayang tak terhingga, atau segudang kebaikan yang jumlahnya berkali-kali ganda dari usia yang kita punya? Kalau jawabannya “ya” mengapa masjid sebagai gelanggang resmi dari gegap gempita Ramadan semakin sepi?

Selasa, 07 Agustus 2012

...masih Ramadhan

Assalamu’alaikum WR WB.

Bapak-Ibu yang dimuliakan Allah SWT,

Puji syukur pada Allah SWT, yang telah menganugerahkan kita berbagai macam kemampuan, shalawat serta salam kepada Nabi Besar Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberikan pengajaran dan ketauladanan tolong-menolong dalam bingkai persaudaraan Islam.

Bapak-Ibu sekalian dalam rangka berlomba-lomba untuk berbuat baik dan memanfaatkan bulan suci Ramadhan, kami sampaikan dibawah ini dua lembaga yang hemat kami membutuhkan bantuan kita dalam menjalankan amanah membina dan membangun masyarakat golongan tidak mampu. Kedua lembaga ini adalah:

1. Yayasan Yatim Piatu Al Ikhlas, yang bergerak dalam bidang pemeliharaan dan pembinaan anak-anak yatim-piatu dan janda-lansia. Saat ini Yayasan Al Ikhlas membina sekitar 105 anak yatim-piatu dan 61 janda-lansia. Ketua yayasan Bp. Abdullah merupakan mantan preman/residivis yang mendapatkan hidayah dan mengabdikan sisa hidupnya untuk membantu kelompok masyarakat dhuafa dengan mendirikan Yayasan Al Ikhlas ini pada tahun 2007. Adapun alamat yayasan tersebut adalah:

Yayasan Yatim Piatu Al Ikhlas
RW 007 RT 012, Kampung Muara Bahari
Tanjung Priok, Jakarta Utara, 14310
No. HP. 087888377480, 085283496150

Profil lembaga ini ada pada kami berupa profil anak-anak yatim-piatu dan janda-lansia.

2. Yayasan Darma Islam Rahmatan Lil Alamin (Yasadir Alam), yang bergerak dalam bidang pendidikan cuma-cuma bagi masyarakat tidak mampu, baik mengajarkan baca tulis, pengajaran informal bersertifikat (paket A-C) berupa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Insan Mandiri maupun pengajaran setingkat sarjana dalam bentuk Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah Perbankan Syariah (STESYA) Yasadir Alam. Sekolah di lembaga ini biasa disebut “Sekolah Master” atau Sekolah Masjid Terminal. Berdasarkan laporan Kompas tanggal 6 Agustus 2012 halaman 1 & 15, 7 lulusan sekolah di Yasadir Alam alhamdlillah diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Lembaga ini di ketuai oleh Drs. Mgs. Heri Mulyana. Alamat lembaga ini:

Kampus A: Jl. Margonda Raya No. 58
Terminal Depok (Yabim Sekolah Master)
Depok, Jawa Barat
No Tlp. (021) 77211501
No. HP. 91075945

Demikian kami sampaikan, bagi Bapak-Ibu yang berkenan membantu kegiatan di lembaga tersebut silakan langsung menghubungi pengurus atau dapat menghubungi kami. Semoga Allah SWT mudahkan semua urusan kita. Amin.

Wassalam
Ali Sakti

Minggu, 05 Agustus 2012

ga penting...

ga usah ngambek sama hal-hal yang ga penting! ini tagline utama yang saya sampaikan pada adik-adik pelajar di SMA almamater saya, saat akhir pekan lalu mereka mengikuti kegiatan pesantren kilat (Studi Islam Ramadhan - SIR). saya mencoba mengingat-ingat masa SMP - SMA, apa yang dulu membuat saya banyak menghabiskan energi dan saya sesali. salah satunya ya tagline itu, terlalu banyak ngambek dengan hal-hal yang tidak penting.

ngambek dengan hasil ulangan yang tidak sesuai dengan harapan, padahal belajar sudah dilakukan siang-malam. ngambek karena uang saku selalu tidak sebanyak yang diinginkan, meski sudah berkali-kali meyakinkan diri tentang keikhlasan. atau sekedar ngambek karena orang tua tidak membelikan sepatu yang saya idam-idamkan, padahal sudah pesan berulang-ulang.

semua itu menghabiskan energi atau mengurangi motivasi untuk kerja-kerja yang lain. ngambek tidak akan pernah merubah keadaan. dengan ngambek nilai ulangan tidak kemudian membaik, uang saku bertambah atau sepatu berubah bentuk dan mereknya.

saya juga jadi teringan nasihat Ustadz Hilman Rosyad dalam sebuah prolog nasyid yang salah satu kalimatnya menyebutkan; "jangan sibuk dengan hal-hal yang tidak penting!" anda mungkin sangat memahami makna dari kalimat ini, dan kita mungkin setuju dengan kalimat itu. kita mungkin setuju juga bahwa hal-hal yang tidak penting itu cukup sulit untuk disadari bahwa dia tidak penting. dan biasanya hal itu sangat menggoda untuk diurus dan menyibukkan kita. sehingga yang lebih sangat menantang adalah bagaimana dapat mengenali bahwa satu kegiatan itu tidak penting serta menjaga diri untuk tidak tergoda dengan kegiatan itu.

saya tersenyum-senyum mengingat wajah-wajah pelajar yang ada dihadapan saya ketika itu. entah apakah mereka bisa menerima logika-logika Islam yang saya ucapkan atau tidak. namun setidaknya saya sudah menyampaikan apa-apa yang harus saya ucapkan. dan saya lihat mereka masih antusias mendengarkan ocehan saya. setelah lewat kurang lebih satu jam, tanpa menunggu mereka mulai mengantuk, saya sudahi penyampaian materi saya.

dan pagi ini di ruang kantor, saya jadi sensitif dengan hal-hal yang tidak penting, dan mungkin menulis tulisan ini juga termasuk hal yang tidak penting. selesaikan pekerjaan kantor itu yang lebih penting! bismillah.

Selasa, 31 Juli 2012

definisi keberkahan ekonomi 2

ini renungan yang sedikit lebih tegas atas pertanyaan mengenai pilihan-pilihan kerja antara kerja yang baik dengan gaji kecil atau kerja yang mudharat dengan gaji besar. dengan kaca mata iman dan syariah, kedua pilihan kerja itu tidak sepatutnya diperbandingkan. karena tidak seharusnya kerja halal dibandingkan dengan kerja haram (mudharat sekalipun), yang kemudian menghabiskan energy kita dengan menimbang-nimbang kedua pilihan itu. sesuatu yang haram tetap haram, ia tidak setanding menggunakan parameter apapun dengan yang halal.

ketidak-layakan perbandingan itu ibarat membandingkan pilihan syurga dan neraka. mana yang harus anda pilih? ini tentu saja bukan pertanyaan yang layak dan benar. perbandingan yang menuntut pertimbangan untuk memilih seharusnya seperti memilih jalan mana yang saya harus ambil menuju syurga, lewat sebagai petani atau sebagai guru, lewat sebagai pegawai bank syariah atau pegawai lembaga zakat.

jika anda fikir nafkah haram itu akan menjadi baik jika dikeluarkan zakatnya, maka pahami dan sadarilah bahwa kewajiban zakat hanya melekat pada nafkah-nafkah halal. atas nafkah haram lebih utama ia merubah nafkahnya menjadi halal dari pada harus membayar zakat. sebagai manusia yang sadar pada kebutuhan iman dan patuh pada syariah, cukuplah ini menjadi alasan dalam memilih dari mana nafkah yang dapat memenuhi kebutuhan dunia. semoga Allah mudahkan jalan bagi kita semua.

definisi keberkahan ekonomi

mengingat beberapa sahabat sempat bertanya bagaimana pendapat saya tentang pilihan-pilihan kerja dimana ada tawaran kerja di bank atau lembaga keuangan syariah lain yang memberikan gaji rendah dan ada tawaran kerja di lembaga konvensional dengan gaji besar, membuat saya jadi berfikir lebih lama dan tertarik merenungkan lebih jauh. selalunya saya menjawab, meski gaji kecil ada keberkahannya. tapi logika jawaban saya masih kalah dengan argumen; "tapi kan tanggungan keluarga banyak, beban rumah tangga besar, cicilan utang juga masih ada, kebutuhan sekolah anak-anak semakin tinggi.."

jawaban saya hanya fokus pada variabel "gaji kecil" dengan konotasi kepasrahan yang negatif, sementara keberkahan tidak jelas bentuk dan definisinya, meski ia dihargai dan sedikit meneduhkan dan memberikan berat pada jawaban. namun akhirnya tetap saja jawaban saya itu tidak memberikan opini yang layak untuk ditimbang-timbang. begitu kah? sebentar, bagaimana kalau kita bedah lebih jauh apa itu keberkahan dalam kasus ini. karena saya percaya, hakikatnya keberkahan itu sepatutnya menjawab masalah-masalah yang menjadi kekhawatiran di atas, seperti biaya sekolah anak, cicilan utang, biaya rumah tangga atau beban keluarga lainnya. keberkahan itu paket yang sangat luas dimensinya namun tunggal fungsinya secara ekonomi, yaitu meliputi dan menjawab semua bentuk kesulitan.

logika matematika jawaban saya diatas terhadap perbandingan reward kerja di tempat yang baik (halal) dengan kerja di tempat yang mudharatnya banyak, menjadi seperti ini:

gaji kecil + keberkahan > gaji besar + utang

banyak yang menyangka bahwa gaji besar akan mengamankan kebutuhan-kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang, seperti sekolah anak, biaya dokter kalau keluarga sakit, pemeliharaan rumah dan kendaraan, cicilan utang atau bentuk-bentuk beban lainnya. tapi banyak yang tidak sadar kalau keberkahan itu meliputi itu semua, dengan keberkahan boleh jadi anak-anak dapat beasiswa sekolahnya, anggota keluarga dijaga Allah kesehatannya, rumah dan kendaraan dijauhkan dari musibah-musibah, utang dilunaskan, bahkan keberkahan mungkin memberikan pintu-pintu nafkah yang tidak ada dalam logika dan rasional kita.

tapi keberkahan tidak hanya menjawab masalah kuantitas seperti itu, keberkahan sangat mungkin memberikan kualitas hidup yang lebih baik; anak-anak menjadi pribadi yang shaleh dan shalehah, keluarga penuh dengan kehangatan sakinah mawaddah warrahmah, rumah dan kendaraah serta harta yang ada menjadi harta yang mengalirkan amal shaleh tiada putusnya, atau kenikmatan-kenikmatan lain yang membuat kita menjadi lebih "kaya" dari sebelumnya. rasionalitas ini yang seharusnya menjadi hasil dari pembelajaran-pembelajaran ekonomi menggunakan perspektif dan prinsip Islam. rasionalitas yang membentuk prilaku konsumsi, produksi dan distribusi berorientasi pada ketundukan pada Tuhan.

rasionalitas yang memandang infak dan sedekah bukanlah pengurang disposable income yang kemudian menekan tingkat kepuasan mereka, tetapi justru akan semakin meningkatkan kepuasan, karena kepuasan bagi mereka sudah didefinisikan lebih luas, lebih tepat dan benar. kepuasan dan kebahagiaan itu bukan saat dimana kita bisa tersenyum dan tertawa, tetapi kepuasan dan kebahagiaan itu adalah saat dimana kita bisa membuat orang lain tersenyum dan tertawa, saat ketika kita mampu membantu menyelesaikan masalah mereka. rasional ekonomi ini yang ingin dibangun dalam ekonomi, rasional yang meyakini manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain, dan harta hanyalah alat untuk menjadi lebih mulia. wallahu a'lam.

Senin, 30 Juli 2012

sudah dapat apa?

Ramadhan sudah sampai pada memasuki periode 10 hari kedua, sudah dapat apa kita dari Ramadhan? sudah berapa dosa yang berhasil kita gugurkan? berapa banyak pahala yang sudah kita tumpuk? sudah berhasilkah kita mencuri perhatian Tuhan? sudah sukseskah kita membuat Beliau sayang pada kita? kalau belum, masih tersedia cukup banyak malam Ramadhan untuk mendapatkan itu, masih terhampar cukup hari-hari Ramadhan untuk menghujani langit dengan rintihan doa ampunan, atau sekedar sapaan lembut kepada Tuhan agar Beliau melirik pada kita. tak usah pedulikan gengsi dan prasangka pada-Nya, ambil air wudhu lalu bersimpuhlah di depan-Nya. katakan saja apa yang menjadi alasan gengsi dan prasangka, yang membuat kita selama ini sungkan meminta kasih sayang, segan berharap ampun atau tidak tega merepotkan Tuhan dengan diri kita yang seperti sampah. ...ketika saya tersadar dari satu perjalanan panjang di lorong yang gelap, entah itu karena sengaja berkelana atau tersesat, saya selalu berharap Tuhan sedang menunggu saya sambil tersenyum... ...duh Tuhanku yang Maha Penyayang, aku malu...

Senin, 23 Juli 2012

Financial Inclusion atau Economic Inclusion?

Financial inclusion kini menjadi trending topic dalam dunia keuangan, baik di sektor syariah maupun konvensional. Arah angin dalam dunia keuangan kini sedang berhembus pada dimensi kualitas dari industri keuangan, seiring dengan perkembangan kuantitasnya yang babak belur dihantam krisis. Selain memang industri ini mulai dipertanyakan esensi kemanfaatannya daripada sekedar prestasi mencetak profit.

Ide financial inclusion pada dasarnya adalah membuka seluasnya akses terhadap jasa keuangan bagi masyarakat khususnya masyarakat golongan bawah yang punya preseden sebagai golongan unbank atau juga unbankable. Melihat rendahnya tingkat akses jasa keuangan Indonesia, maka isu financial inclusion menjadi sangat relevan untuk dimunculkan dan dioptimalkan. Dengan struktur pelaku usaha dalam perekonomian Indonesia yang didominasi oleh unit usaha mikro dan kecil yang mencapai 51,2 juta unit atau mencapai 99,91% dari pelaku usaha di Indonesia (data Kemenkop-UMKM), maka tentu saja dengan isu financial inclusion ini diharapkan sektor keuangan mampu menjawab dan melayani kebutuhan akses jasa keuangan segmen raksasa (dominan) sektor usaha Indonesia ini.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Bank, 60% penduduk Indonesia meminjam uang, namun hanya 26% yang meminjam dari bank atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Secara spesifik hanya 17% yang dilayani oleh perbankan, sisanya dilayani oleh lembaga keuangan semi-formal (9%). Selebihnya pinjaman yang didapatkan oleh penduduk Indonesia berasal dari sektor informal (34%), yaitu dari tetangga, teman dan keluarga. Sementara penduduk yang belum terlayani masih juga relatif besar yaitu 40%, dimana 60% dari kelompok ini dinilai tidak layak mendapatkan pinjaman karena tergolong miskin dan sangat miskin.

Khusus untuk lembaga keuangan sebagai lembaga intermediary, kemanfaatannya masih dirasakan oleh 26% penduduk Indonesia pada semua segmen usaha yang ada (usaha besar, menengah, kecil dan mikro). Kondisi ini tentu jauh dari ideal. Sebagai lembaga intermediary lembaga keuangan belum mampu menjalankan fungsinya dalam mendorong optimalisasi potensi ekonomi bangsa. Boleh jadi hal ini akibat infrastruktur yang belum lengkap, industri yang belum mapan atau sekedar karena preferensi komersial yang memusatkan pelayanan jasa keuangan terbatas pada kelompok masyarakat tertentu.

Data dan kondisi diatas semakin menguatkan alasan mengapa financial inclusion dibutuhkan. Namun pertanyaannya siapa yang sepatutnya melakukan dan bagaimana caranya? Bank atau lembaga keuangan non-bank atau kembali menjadi tugas pemerintah? Jika dimintakan kepada lembaga keuangan komersial, baik bank maupun non-bank, apa mungkin, mengingat financial inclusion akan menyasar masyarakat usaha kecil yang notabene berisiko tinggi secara komersial atau bahkan masyarakat miskin yang membutuhkan akses keuangan relatif untuk start-up business.

Ini masalah besar yang tidak sendirian harus dijawab oleh lembaga keuangan komersial, tetapi bersama pihak lain khususnya pemerintah. Dengan nature kelompok masyarakat unbankable itu tentu dibutuhkan pemerintah dalam men-support program pendukung seperti program jaminan atau subsidy bunga. Tanpa mengurangi penghargaan atas upaya meningkatkan kualitas sektor keuangan melalui program financial inclusion ini, namun akan sangat berguna jika masalah ini juga dipahami menggunakan perspektif ekonomi Islam.

Dalam ekonomi Islam secara garis besar menggunakan konsep zakat, masyarakat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan kemampuan zakatnya, yaitu masyarakat muzakki (kaya) dan masyarakat mustahik (fakir-miskin). Khusus bagi masyarakat (ekonomi) miskin, treatments yang diberlakukan (masih berdasarkan pada konsep zakat) relatif lengkap, yaitu penyediaan kebutuhan pokok mereka dan kebutuhan berusaha. Masyarakat miskin tidak hanya memiliki masalah akses modal untuk usaha, tetapi cenderung kompleks pada masalah lain seperti masalah kebutuhan pokok (basic necesities), integritas dan kompetensi, masalah keluarga dan bentuk masalah lainnya.

Konsep zakat Islam menyadari itu dan kemudian ia terjawab secara baik, karena konsep zakat secara prinsip mengakomodasi treatments untuk kebutuhan tersebut. Secara build-in, treatments itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konsep zakat. Oleh karena itu, istilah economic inclusion akan relatif lebih cocok digunakan dibandingkan dengan financial inclusion. Bersandar pada konsep zakat masyarakat miskin yang tidak punya apa-apa tidak hanya di berdayakan sebagai pelaku usaha dengan disediakan akses permodalan (financial), tetapi juga diberikan solusi dalam menjawab kebutuhan dasar mereka seperti makanan, pakaian, rumah atau pendidikan.

Konsep Islam bukan hanya ingin memposisikan masyarakat usaha mikro dan miskin sebagai aktif dalam industri keuangan dengan membuka akses bagi mereka memperoleh modal, tetapi lebih luas ingin memposisikan mereka aktif secara ekonomi, baik di sisi demand maupun di sisi supply dari ekonomi. Itu mengapa tolak ukur kemajuan ekonomi bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga dari tingkat partisipasi masyarakat dalam ekonomi atau tingkat keikutsertaan ekonomi (economic involvement level).

Pilar utama untuk memastikan masyarakat aktif secara ekonomi dalam Islam adalah zakat. Keberadaan zakat yang diwajibkan (dengan derajad kewajiban setara dengan shalat), pada dasarnya akan selalu memelihara kemampuan atau daya beli (purchasing power) dari kelompok masyarakat paling bawah dalam piramida ekonomi. Sehingga, dengan kondisi masyarakat indonesia yang masih besar kelompok masyarakat miskinnya, mungkin lebih tepat bagi pemerintah untuk menggulirkan program economic inclusion. Dengan program ini dipastikan tidak ada seorangpun warga fakir miskin indonesia yang terabaikan secara ekonomi.

Isu sentral dari logika ini sebenarnya berasal dari prinsip ekonomi islam yang ingin memelihara proses distribusi kekayaan dan pendapatan (wealth and income distribution) berjalan dengan maksimal. Tidak heran jika Ibnu Khaldun berpendapat bahwa sebuah wilayah yang penduduknya banyak akan memberikan kemakmuran yang lebih baik, sepanjang proses distribusi kekayaan dan pendapatan berlangsung dengan baik (anti teori dari Robert Malthus).

Logika Ibnu Khaldun sangat sederhana, sepanjang economic inclusion berjalan dengan maksimal, tentu sektor demand ekonomi akan tetap terjaga pada level yang baik, dengan tingkat purchasing power dari masyarakat mustahik sebagai level minimum dari demand ekonomi, maka diharapkan sektor supply akan dapat juga terpelihara. Dengan begitu interaksi dasar ekonomi dapat terjaga untuk selalu berjalan, sepanjang tidak terjadi pengacauan sistem melalui aktifitas keuangan menggunakan riba dan spekulasi. Praktek Riba dan spekulasi cenderung mengganggu putaran ekonomi melalui misalokasi produksi dalam ekonomi, akibat uang beredar (potensi modal) tidak sepenuhnya bergerak menghasilkan barang dan jasa (economic value added).

Minggu, 22 Juli 2012

Satu Lagi Tentang Optimisme

Satu lagi tentang optimisme, ditengah preseden opini yang selalu ada pada lisan kita sebagai seorang muslim. Opini lazim yang biasa keluar dari kita adalah pesimisme pada Islam dan ummatnya. Memandang skeptik terhadap apa-apa yang berkaitan dengan perkembangan ke-Islaman dan keummatan. Islam yang terpecah-belah, saling menuding keburukan, menepuk dada menunjuk diri yang paling benar, budaya berhalaisme, ummat pemalas atau ummat yang kacau balu tidak tahu skala prioritas, tidak paham prinsip dan idealisme, tidak menjunjung harga diri dan kehormatan, baik pada dimensi akidah, akhlak maupun syariah.

Rasanya anda semua familiar dengan maksud saya ini. preseden dan opini lazim ini tidak jarang mematikan semangat untuk bergerak maju dan sibuk dengan kerja-kerja kebaikan atau perbaikan. Tapi sebentar dulu, saya termasuk orang yang tidak serta-merta mengamini kelayakan apalagi kebenaran preseden ini. saya merasa selalu ada sudut pandang yang berbeda, dan boleh jadi sudut pandang itu yang nyaman untuk digunakan dalam memandang segala hal. Salah satunya adalah sudut pandang optimisme.

Jangan lihat terlalu jauh kalau ingin menilai ummat Islam akhir zaman ini. Sekali Tuhan sudah nobatkan kita sebagai ummat terbaik dengan kalimat “pelantikan” yang terkenal itu; “kuntum khairu ummah...”, maka tak elok kita menjelek-jelekkan diri sendiri. Terlebih lagi ketika diakhir zaman ini ummat butuh sekali manusia-manusia Islam yang bersemangat dalam berjuang, berkorban dan terus bergerak mengabarkan serta mencontohkan kebaikan-kebaikan.

Mari lihat saja apa yang ada disekitar kita, semakin burukkah Islam itu. Jangan jauh-jauh. Lihat anak-anak kita, bandingkan dengan kita dahulu ketika seusia dengan mereka. Saya yakin banyak anak-anak kita kondisi ke-Islamannya jauh lebih baik dari kita dahulu. Dengan membandingkan usia yang sama, mereka lebih dulu bisa baca atau bahkan tulis Al Qur’an, lebih banyak hafalan surah-surah, aktif di TPA/TPQ. Anak-anak kita lebih mengenal akhlak dan akidah lebih baik, mendapatkan wawasan ke-Islaman lebih banyak karena saat ini lebih banyak sekolah-sekolah Islam untuk dijadikan pilihan, dari PAUD, TK, SD, SMP sampai SMA. Bahkan tidak sedikit dari kita yang memasukkan anak-anak kita ke pesantren sehingga saat ini santri jauh lebih banyak dari masa-masa terdahulu.

Selain itu, lihat rak-rak buku yang ada di ruang kerja atau ruang tamu, saya kok yakin lebih banyak buku-buku agama kini yang tersedia dirumah anda dibandingkan rumah ayah anda dahulu. Meskipun akan ada yang mengatakan; “banyak buku Islam, bukan berarti dibaca kan?!” Ya betul, tetapi lebih ga jelas dibaca kalo dahulu di rak tak ada buku Islam kan?! Itu mengapa sudah lebih dari 10 tahun ini, buku Islam menjadi buku terlaris di negeri ini. lihat istri dan kaum wanita di sekitar kita, mulai lebih banyak yang menggunakan kerudung bukan? Dan hiduplah industri-industri pakaian muslim-muslimah. Lihat dompet anda, sudah mulai ada kartu ATM bank syariah ya? bank-bank pun mulai berdandan syariah akibat tuntutan anda, teman anda, tetangga anda yang ingin kebutuhan jasa keuangannya sesuai tuntunan Islam. Efeknya, sekolah, universitas, kurikulum dan silabus mata kuliah sekarang akrab dengan syariah, sehingga akhirnya Islam menjadi familiar pada semua hal, langkah men-syaamil mutakammil-kan Islam sudah mulai diayunkan. Begitu juga dengan upaya-upaya me-rahmatan lil alamin-kan Islam.

Sekarang lihat jumlah jamaah haji Indonesia, mulai banyak kaum muda yang berangkat ke tanah suci, nyadar ga sih? Shaf-shaf shalat wajib berjamaah di masjid pun dibanyaki oleh orang-orang muda. Memang iman tidak otomatis berkorelasi positif dengan angka dan jumlah-jumlah itu, tetapi tentu akan sangat tidak beralasan keimanan yang baik dikaitkan dengan variabel-variabel diatas dengan jumlah yang kosong bukan? Numbers and figures tell a thousand words.

Nah hal-hal kecil yang dekat dengan saya itulah yang membuat saya tetap optimis, dan saya berusaha tidak keluar dari gerbong optimisme itu, semoga begitu juga dengan Anda. Mari sebarkan otimisme ini, mari tetap menjaga motivasi, atau bahkan membangkitkan inspirasi untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik. Meski akhirnya itu hanya berguna untuk diri kita sendiri, kerana kerja kebaikan dan perbaikan setidaknya menghentikan diri kita dari kesibukan pada keburukan dan memburukkan. Bismillah..

Kamis, 19 Juli 2012

Selamat Datang Ramadhan..

Bulan itu sedang berkunjung, bulan suci bak samudera atau badai kesejukan yang yang mampu menelan semua dosa. Jangan sia-siakan setiap detik penggalan waktunya. Semoga Ramadhan kali ini menjadi ramadhan yang terbaik yang pernah hadir dalam hidup kita.

Maaf Lahir Bathin

Ali Sakti & Keluarga

Rabu, 18 Juli 2012

Alam Semesta yang Kutelan

Kutimang-timang dunia dengan seluruh isinya

Sesekali kupeluk dan rasakan kelembutannya dengan pipiku

Tapi setiap kali pula ada rasa tak nyaman di dada ini

Akhirnya, kutelan ia sekaligus dengan jagat raya



Kutelan alam semesta berikut ruang-ruang tak terhingganya

Kutelan dunia agar tak ada lagi yang ditimang dan mengganggu

Kutelan ia agar tak ada ingin dan mau yang tersisa



Karena kutahu hanya dunia yang membuatku memiliki ingin dan mau

Akhirnya aku menjadi makhluk tunggal dihadapan Tuhanku

Menjadi satu-satunya dzat yang diperhatikan dan disayangi

Rabu, 27 Juni 2012

Kematian


Kematian, satu hal yang mungkin banyak dihindari untuk didiskusikan, diingat-ingat atau bahkan direnungkan. Kematian menjadi satu topic yang hanya menarik jika menyangkut sejarah, dongeng suatu ketika atau menyangkut orang yang jauh dari kita. Kematian menjadi sangat tidak menarik ketika ia menjadi peristiwa yang berkaitan dengan orang-orang disekitar kita, mereka yang kita kenal, saudara, bagian keluarga, apalagi diri kita. Tapi siapa saja akan sangat menyetujui, kalau kematian memiliki kekuatan untuk merubah keadaan, membuat perbedaan antara sebelum dan setelahnya, khususnya bagi mereka yang masih hidup.

Kematian menjadi satu kepastian bagi semua mereka yang hidup, dari tumbuhan, hewan hingga manusia. Kematian menjadi siklus akhir yang harus dihadapi oleh semua mereka yang hidup. Bagi manusia kematian bukan hanya sekedar peristiwa dunia terakhir yang harus dihadapi di penghujung cerita hidup mereka, tetapi kematian juga menjadi kejadian tunggal yang memberikan banyak sekali pelajaran dan hikmah bagi mereka yang hidup.

Bagi anda yang memang tidak suka memikirkan kematian, maaf kalau dua paragraph diatas sudah membuat anda berfikir tentang itu. Tapi seperti itulah, uniknya membaca salah satunya adalah memang membuat anda mau tak mau harus melakukan satu kerja lagi (sekaligus), yaitu berfikir. Membaca dan berfikir jadi satu paket yang tidak terpisahkan. Nah ketika anda membaca artikel tentang kematian maka otomatis anda akan berfikir tentang kematian siapa saja dan kematian diri anda nanti.

Coba diingat-ingat, kematian siapa yang sangat mempengaruhi anda. Mungkin saja bukan hanya sekali tetapi sudah beberapa kali. Karena peristiwa kematian itu, entah siapa, hidup anda menjadi berbeda, pandangan hidup anda menjadi berubah. Dunia anda terasa lain dan menjadi tidak sama dengan sebelumnya. Atau boleh jadi belum ada, karena semua yang anda kenal, anda sayangi masih hidup dan kematian masih menjadi berita-berita dari drama didepan mata tapi tidak berada di dunia anda.

Namun tidak ada salahnya sedikit berimaginasi cerita soneta hidup anda, bagaimana jika tiba-tiba orang yang paling dekat dengan hidup mati, pagi ini orang tua anda meninggal karena stroke, siang nanti anak tewas karena kecelakaan di sekolah, sore nanti istri atau suami anda mati karena tabrakan kendaraan. Mereka meninggal dan kemudian tidak lagi ada dalam sisa hidup anda. Pertanyaan yang mungkin paling menggoda untuk diketahui jawabannya adalah apakah setelah itu anda akan berjalan dengan langkah yang ayunan kakinya sama, arahnya tidak berubah? Atau kematian mereka membuat anda terduduk dan kemudian bangkit melangkah ke arah yang berbeda dengan ayunan kaki lebih cepat?

Atau mungkin sebaiknya anda sedikit masuk dalam lingkaran lamunan yang lebih dalam, melamunkan andalah yang mati. Melamunkan bagaimana dan seperti apa proses kematian anda, menerka-nerka peristiwa terakhir hidup anda. Jika sudah bisa di khayalkan, kini pertanyaannya; apakah lamunan-lamunan itu bisa sering beredar di benak dan rasa, sehingga kematian mampu mendesak perbaikan anda saat ini, saat ketika kematian dan tanda-tandanya belum sampai pada keseharian anda. Ya kemampuan untuk dapat menghadirkan atmosfer kematian itulah mungkin titik penting untuk diperhatikan. Karena jika tidak bisa, maka tulisan ini boleh jadi kemanfaatannya hanya berusia sampai noktah “titik” setelah kalimat akhir ini ditulis.

Kita Ini Pekerja Dakwah Bukan Penikmat Dakwah

Judul diatas itu ingin langsung menyampaikan apa tujuan tulisan kali ini. Judul itu ingin menjawab kegelisahan banyak aktifis dakwah yang muncul dalam kerja-kerja mereka. Entah gelisah itu muncul karena begitu lamanya kerja dakwah yang dilakukan atau karena belum tercapainya harapan-harapan dakwah. Bagi saya ini penting dan inilah logika saya dalam mencerna dan mencari akar masalah mengapa banyak sekali kekecewaan terhadap aplikasi Islam khususnya ekonomi.


Kegelisahan itulah yang mendorong para pekerja dakwah menetapkan ukuran-ukuran pragmatis atas kerja-kerja dakwah. Dan ketika ukuran pragmatis itu muncul dari ketidaksabaran, keterburu-buruan dan kegelisahan lainnya, maka ukuran itu malah membuat kerja dakwah kehilangan substansi fungsinya. Dengan ukuran-ukuran pragmatis itu orientasi pekerja dakwah relative berubah; dari orientasi proses kerja menjadi orientasi hasil kerja, dari orientasi pekerja menjadi orientasi penikmat dan dari orientasi pencapaian sistematik menjadi orientasi pencapaian instan.

Dengan strategi yang optimal, konsistensi kerja harusnya ada pada proses kerja berdasarkan prinsip dan substansi Islam bukan pada konsistensi pencapaian hasil tertentu. Untuk kesekian kali, ingin saya tegaskan kepada para pekerja dakwah, bahwa hasil kerja itu hak Tuhan. Yang dituntut dari pendakwah hanyalah proses kerja yang maksimal, berhasil atau tidak itu hak tuhan.

Memang sudah menjadi hukum Tuhan kalau kerja yang keras memiliki korelasi kuat dengan hasil yang diharapkan. Tetapi akan menjadi tidak benar jika orientasi langsung melompat pada hasil kerja dengan mengabaikan proses kerja yang benar. Orientasi hasil kerja bahkan akhirnya mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran dalam proses kerjanya. Apa saja dilakukan yang penting hasil kerja memberikan apa yang diharapkan.

Sepatutnya yang dilakukan adalah orientasi pada proses kerja, dengan menggunakan tingkat inovasi yang maksimal, strategi yang tepat, dan mengerahkan semua kemampuan. Hasilnya bagaimana? Dengan orientasi ini hasil kerja diserahkan menjadi domain Tuhan, kita mungkin tidak perlu care dengan hasil itu, kita serahkan saja kepada Tuhan. Sepanjang proses kerja sudah dilakukan dengan maksimal kita sudah memenuhi prinsip umum Tuhan, bahwa kerja maksimal menjadi prasyarat memperoleh hasil kerja yang baik.

Tetapi dengan menyerahkan sepenuhnya hasil kerja kepada Tuhan, kita membuka diri untuk semua bentuk hasil terutama hasil yang mungkin tidak diharapkan. Namun, jika memang kita yakini hasil itu dari Tuhan, boleh jadi hasil yang tidak baik itu adalah yang terbaik bagi dakwah. Jadi hasil apapun dari kerja dakwah, berhasil atau tidak, itu semua adalah anugerah terbaik dari Tuhan. Nah, kalau seperti ini logikanya kenapa harus gelisah dengan hasil, kenapa harus menghabiskan energy lebih banyak akibat hasil yang tidak memuaskan. Kenapa tidak konsentrasi saja pada proses, dan jika gelisah atau kecewa, gelisah dan kecewalah jika kita tidak maksimal dalam berproses. Gelisah dan kecewa tidak ada hubungannya dengan hasil.

Diluar itu semua, orientasi ini pada akhirnya akan menjaga kesadaran bahwa tujuan utama kerja dakwah terletak pada proses-proses kerja dakwah itu sendiri, bukan pada hasil kerja. Pekerja dakwah sampai pada kepuasannya cukup jika ia sudah melakukan kerja dakwah dengan maksimal. Kepuasan bukan pada hasil kerja dan saat-saat menikmatinya. Inilah yang saya maksud dengan judul di atas, kita ini pekerja dakwah bukan penikmat dakwah.

Rabu, 13 Juni 2012

saya sedang tidak ingin menulis atau menyampaikan apa-apa, saya hanya ingin membaca apa saja dan menerima nasehat dari siapa saja. termasuk dari diri saya sendiri. dan saya sedang membaca nasehat dari diri saya tiga tahun yang lalu, yang pernah menulis nasehat dibawah ini.

Diam Sejenak




Ikhwatifillah, melihat kemarau yang berkepanjangan dalam kehidupan manusia, dimana perbuatan baik dan ketauladanan semakin hari semakin kering dan hampir-hampir tidak ada, seharus membuat kita berhenti sejenak dari kesibukan kita saat ini. Letakan pena, tutup laptop, kantongkan blackberry, matikan komputer, sisihkan perkakas anda dan diamlah.



Mari renungkan, sudah berapa lama wajah tak tersentuh air wudhu, berapa lama dahi tak menyentuh ujung sajadah, berapa lama buku-buku tarbiyah teronggok berdebu di sudut ruang, berapa lama kaki tak melangkah ke majelis-majelis ilmu dan hikmah, berapa lama bibir tidak khusyuk berdzikir dan berapa lama dakwah sudah kita tidak serius tekuni.



Ikhwatifillah, manusia disekitar kita butuh hujan amal shaleh dan ketauladanannya. Sudah lama rasanya keshalehan tidak menjadi denyut peradaban. Ia butuh dihidupkan. Dan kita, putra-putra Islam yang tersisa di akhir zaman ini, yang paling berhak sekaligus wajib menunaikan tugas kehidupan, tugas mulia yang telah menjadi garis sejarah, yaitu menjadi penyeru dan pejuang.



Mari ingatkan diri untuk sadar pada amanah, untuk kembali merapat pada barisan, untuk kembali melakukan perbaikan dan penyelamatan. Banyak amanah yang sudah menunggu, menunggu putra-putra Islam akhir zaman, yang bisa menghantarkan manusia dan seluruh dzat alam semesta pada fitrahnya yang sejati, yaitu menghamba dengan sepenuh kehambaan pada Tuhan.


Diam sejenak (2)


Ketika kita letih dengan semua dosa, apa yang paling ingin kita lakukan? Atau ketika kita letih dengan semua kerja amal shaleh, apa yang paling ingin kita lakukan? Penat dengan dosa karena apa? Karena sadar, menyesal atau hanya sekedar letih saja? Atau penat dengan amal shaleh karena monoton, tidak nikmat atau sekedar bosan? Apapun itu, sebaiknya yang kemudian anda lakukan adalah diam sejenak. Dengan diam, kumpulkan tenaga melalui mencermati alam semesta, mencari hikmah dari embun dan hujan, dari pesona keindahan alam dan dahsyatnya bencana-bencana, dari disiplinnya benda-benda langit serta tertatanya penghuni-penghuni bumi. Himpun kebijaksanaan dengan memahami manusia di hidup dan kematiannya, merenungi kemuliaan dan kehinaan mereka. Jika belum anda dapatkan tenaga dan kebijaksanaan itu, tetaplah diam setidaknya anda tidak menambah dosa. Wallahu a’lam.

Senin, 21 Mei 2012

Semakin Dekat..

Selepas acara Workshop OIC member countries (hari pertama saya dinas di Istanbul – Turkey), saya dan Mr. Jahangir Alam makan siang bersama. Mr. Alam adalah seorang Executive Director dari Central Bank of Bangladesh. Beliau merupakan teman yang selalu bersama saya sepanjang acara di Swissotel, baik di acara OIC maupun IFSB. Mr. Alam hanya seorang diri, tidak ada kolega lain yang hadir dari Bangladesh pada kedua acara itu, kecuali Dr. Jaseem Ahmed yang merupakan Secretary General of IFSB. Antusias kami diskusi tentang praktek keuangan mikro Islam di dunia, di Bangladesh dan Indonesia. Pada diskusi itu saya banyak menggali praktek di Bangladesh. Dari beliau saya tahu meski pelaku atau institusi keuangan mikro masih sedikit di Bangladesh tetapi otoritas tersendiri untuk industri keuangan mikro tersebut sudah berdiri. Namun Grameen Bank sebagai pelopor praktek keuangan mikro tidak masuk dalam ruang lingkup pengaturan oleh otoritas ini. Sepertinya sebagai pelopor Grameen mendapat prevelages dalam sektor keuangan Bangladesh.




Kami juga diskusi beberapa isu “remeh” terkait Grameen sebagai trend setter dalam praktek keuangan mikro dunia. Salah satunya isu banyaknya ibu-ibu sebagai nasabah Grameen yang konon khabarnya bercerai dari para suami mereka lantaran merasa mandiri dengan usaha mereka yang didanai oleh Grameen. Mr. Jahangir Alam membantah keras isu tersebut, namun mengetahui banyak sekali isu-isu seperti itu sebagai kampanye negatif terhadap Grameen sebagai institusi pelopor dan sukses dalam membantu masyarakat kecil di Bangladesh.



Sebaliknya Mr. Alam antusias mendengarkan betapa marak dan banyaknya institusi keuangan mikro khususnya yang syariah dalam melayani masyarakat kecil di Indonesia. Meski sama-sama bekerja di bank sentral kami memiliki kepedulian yang sama dalam memandang praktek keuangan mikro syariah. tantangan yang muncul dalam praktek keuangan mikro antara Bangladesh dan Indonesia relatif sama, seperti kurangnya dukungan politik, birokrasi yang panjang dan rumit serta jangkauan yang belum melayani semua masyarakat kecil. Pada hari selanjutnya kami sama-sama menjadi pembicara dalam IFSB special session on Islamic Microfinance. Saya menjadi pembicara pada sesi pertama bersama Dr. Azmi Omar (General Director of IRTI-IDB), sedangkan beliau menjadi pembicara pada sesi kedua bersama Michael Tarazi dari GTZ dan Dr. Mohamed Khair Ahmed Elzubaer (Governor) dari Central Bank of Sudan.



Hari kedua IFSB Summit di Swissotel Bosphorus, Istanbul – Turki atau hari keempat saya di Istanbul, pagi itu seperti biasa saya jalan kaki dari penginapan dan setelah 20-25 menit saya sampai di lobby Swissotel Bosphorus. Karena acara belum dimulai saya bersama rekan-rekan Bank Indonesia yang lain berbincang-bincang di sofa lobby hotel. Tidak lama saya lihat Mr. Jahangir Alam masuk ke lobby dan menyapa saya. Ada yang berbeda saya lihat dari Mr. Jahangir Alam pagi itu, beliau terlihat tidak bugar dan wajahnya pucat. Tak lama beliau mengajak saya untuk menuju Hall tempat acara berlangsung. Saya katakan padanya kalau dia tampak pucat. Beliau mengaku merasa tidak enak badan sejak pagi tadi. Dan beliau juga mengatakan belum sarapan. Menuju Hall saat menuruni tangga, entah kenapa Mr. Alam memegang tangan saya, tangan beliau dingin. Tapi saya tidak ingin berprasangka apa-apa, mungkin beliau merasa akrab saja. Sampai di depan Hall, karena coffee break sudah disiapkan, saya ajak beliau untuk makan dulu, khawatir nanti beliau tambah sakit. Apalagi coffee break yang disiapkan selalu cukup untuk sarapan, karena penuh dengan sajian beragam roti.



Hari kedua IFSB Summit itu hanya setengah hari, selesai acara saya menuju ruang makan siang. Mr. Jahangir Alam sudah duduk siap menyantap makan siangnya, dia mengajak saya untuk duduk disebelahnya, tapi saya katakan saya ingin makan dengan teman-teman Indonesia, karena memang kami ada rencana mengunjungi grand bazaar di pusat kota Istanbul lepas acara IFSB ini. Setelah makan Mr. Alam mendekati meja saya dan berpamitan, beliau tidak ikut rombongan IFSB yang akan mengadakan tour di selat Bosphorus. Beliau sebelumnya meminta agar saya mengirimkan email softfile materi presentasi saya. Saya pun pamit padanya dan mengucapkan semoga selamat sampai tujuan.



Tak lama kami rombongan Indonesia meninggalkan ruang makan menuju lobby untuk bergabung dengan rombongan IFSB yang akan menuju selat Bosphorus. Betapa kagetnya saya karena ketika melewati sofa tempat biasa peserta IFS meeting istirahat, saya melihat Mr. Jahangir Alam diturunkan dari sofa ke lantai dan kemudian diberikan bantuan pernapasan, dadanya dipompa. Terlihat semua dilantai itu panik, dari tenaga medis, panitia, pegawai hotel sampai teman-teman partisipan yang lain. Saya dan teman-teman Indonesia sama-sama berdoa agar tidak terjadi apa-apa. Saya tidak beranjak menuju lobby, saya ingin disitu melihat bagaimana perkembangan Mr. Alam. Kurang lebih 30 menit, tenaga medis memberikan pertolongan sekeras mungkin, pompa jantung, alat kejut jantung, bantuan pernapasan, tabung oksigen. Akhirnya, Mr. Alam meninggal dunia.

Satu lagi peringatan dari sekian peringatan Tuhan untuk saya, bahwa giliran saya semakin dekat, karena kematian semakin hari semakin tertuju pada orang-orang yang dekat dengan saya, dan satu saat akan sampai pada saya.

in memoriam Mr Mohammad Jahangir Alam

Rabu, 09 Mei 2012

diam dan memungut hikmah..

mencoba diam dan memungut hikmah dari mana saja. dan saya baru saja mencoba memungutnya dari syair lagu iwan di bawah ini... Pulang Kerja Kucing hutan ibu dan anak berang berang Tikus salju dan harimau kumbang berwarna coklat Mereka berkelahi untuk kehidupan Yang aku rasakan adalah keseimbangan Kucing hutan lari karena kalah berkelahi Ibu berang berang pulang kerumah Kucing hutan bertemu tikus salju Ibu berang berang bercanda dengan anak anaknya Karena lapar kucing hutan menerkam tikus salju Tikus salju malah mendapatkan teman Kucing hutan yang gagal gagal lagi Tikus salju biasa saja sudah nasibnya selamat Dari balik bukit dikaki cemara Aku melihat mulut harimau berlumuran darah Kucing hutan yang gagal ia terkapar Akhirnya mati Sudah takdir harimau mendatangi berang berang Tetapi berang berang sudah pulang Sementara tikus salju entah pergi kemana Harimau itu kesepian Aku terkesima Aku terkesima Aku terkesima terkesima Duhai langit Duhai bumi Duhai alam raya Kuserahkan ragaku padamu Duhai ada Duhai tiada Duhai cinta Ku percaya

Selasa, 17 April 2012

Prasangka Baik pada Bangsa dan Negara

Menyempatkan diri untuk sedikit lama di depan televisi, menyimak berita tentang apa saja yang terjadi di negeri ini, dari berita politik, hukum, budaya, ekonomi sampai dengan olah raga dan selebriti, membuat saya menjadi kecil hati dan sedikit demotivasi. Berita politik yang mengabarkan gegap-gempita politisi dengan nafsu politik dan prilaku serakah korupsinya. Cerita hukum yang selalu memojokkan rakyat kecil yang tak punya kuasa, paradoks dengan kongkalikong penguasa dan orang kaya yang mempu membeli sengketa dari para hakim, jaksa dan polisi, yang memang sudah tenggelam dalam samudera korupsi. Budaya yang tercipta bukan lagi representasi keluhuran budi dan tingginya daya kreasi, tetapi kini berubah orientasi berupa inovasi korupsi dan drama-drama konflik sosial hampir disemua segmen masyarakat.

Sementara di jagad ekonomi nasional tak habis-habisnya dituturkan cerita sedih kelompok dhuafa bangsa ini, mereka yang tidak diterima dan diusir dari rumah-rumah sakit, sementara tata-kelola uang rakyat dihamburkan bagi kelompok kaya yang berteriak karena tumpukan harta mereka pertambahannya menurun. Sedangkan dunia olah raga dimeriahkan dengan perseteruan antara pengurus, tata-kelola dan pembinaan yang tak jelas serta pengadaan fasilitas dan prasarana yang menjadi objek pungli dan korupsi. Di dunia selebriti, tak habis-habis cerita aib seseorang, dari pribadinya sampai keluarganya, di eksplorasi dalam kemasan industri.

Melihat dan mendapatkan berita seperti itu bukannya mencerahkan apalagi membangkitkan semangat hidup dan motivasi kerja, tetapi membuat semakin suntuk, bad-mood untuk melakukan apa saja. Namun, apakah seperti itu bangsa ini? Apa mungkin kesan itu hanya salah bangsa ini dalam bercerita dan berbagi berita? Jangan-jangan perasaan pesimis, pandangan skeptik dan prasangka buruk terhadap bangsa sendiri yang telah begitu kronisnya, yang menjadi masalah utama bangsa ini?

Bukankah bangsa dan negara Indonesia ini begitu besarnya, melimpah anugerah Tuhan berupa kekayaan alam diberikan hampir di setiap pulau yang berbaris dari ujung Sabang hingga pulau Papua. Lautan, selat, dan sungai pun tak kalah kayanya. Tak mampukah itu semua membuat kita sembuh dari penyakit kronis tadi? Apalagi kini, ekonomi berjalan lebih baik dari yang sudah-sudah, pencapaian kesejahteraan boleh dikatakan terbaik dalam sejarah bangsa ini. Mengapa ini belum dapat menjadi momentum untuk menjadi bangsa yang penuh optimis, saling menyemangati, saling membantu, saling menasehati dan saling menjaga.

Mungkin generasi yang ada belum menyadari ini atau mungkin belum siap menjadi bangsa yang dominan dan besar untuk diteladani. Potensi besar bangsa belum diikuti kebesaran jiwa bangsanya untuk menjadi negara yang pantas untuk ditonton dan dipanuti. Sekian lama bangsa ini hanya menjadi penonton dan terbiasa mengekor bangsa lain.

Kalau seperti itu, mungkin sudah waktunya kita bangkitkan generasi yang memiliki jiwa yang berbeda. Generasi yang menatap positif dan optimis masa depannya, berjiwa besar untuk siap menjadi generasi yang mengantarkan bangsanya menjadi bangsa yang dihormati dan diteladani. Melihat setiap kelemahan yang ada pada rakyat dan semua yang ada di dekatnya sebagai sebuah kesempatan baginya untuk berbuat baik dan menumpuk kebaikan. Tidak ada gelisah, cemas atau khawatir, karena generasi ini yakin bahwa setiap langkahnya selalu dibantu Sang Kuasa. Kegagalan dan keberhasilan dipercayai sebagai satu set skenario baik dari Tuhan. Musibah dan bencana hanyalah bagian dari “perhatian” Tuhan untuk mendidik diri mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Kesalahan dan kealpaan tidak menyurutkan semangat atau bahkan menghentikan langkah mereka, karena mereka sangat sadar kalau itu menjadi kefitrahan yang setiap waktu harus diperbaiki.

Sudah saatnya Indonesia memiliki generasi yang berprasangka baik pada Tuhan, pada bangsa dan negaranya, pada lingkungan dan semua yang terjadi pada dirinya. Tetapi pertanyaannya, siapa mereka itu?

Kamis, 12 April 2012

Pedoman Islami dalam Islamic Wealth Management

Memahami logika pengelolaan kekayaan berdasarkan prinsip Islam, dapat dilakukan menggunakan penjelasan pemaksimalan kepuasan (utility function) individu Islam dalam mengalokasikan pendapatannya. Orientasi penggunaan pendapatan (kekayaan) secara sederhana akan tertuju pada dua motif. Pertama, orientasi pada alokasi barang dan jasa (barang X; sebagai konsekwensi kebutuhan hidup), dan yang kedua orientasi pada alokasi amal shaleh (G; good deeds). Seiring dengan pemahaman pada ketentuan syariat dan keyakinan pada nilai-nilai akidah dan akhlak, maka diyakini kecenderungan prilaku individu pemilik kekayaan adalah mengalokasikan pendapatannya untuk barang dan jasa maksimum sebatas kebutuhan dasarnya (BN; basic needs), sehingga sebagai trade-off sisa pendapatannya teralokasikan pada amal shaleh. Dan pada kondisi itu alokasi amal shaleh akan mencapai tingkat yang maksimal.

seiring dengan maksimalnya alokasi pendapatan untuk amal shaleh, individu tersebut yakin bahwa Allah akan melipatgandakan rizkinya, sehingga pada masa yang akan datang garis Budget Constraint (M) akan semakin meningkat. Secara ekstrem, bagi individu mukmin (muslim yang beriman), peningkatan pendapatan tidak merubah tingkat alokasi pendapatannya untuk barang dan jasa (karena ia akan memelihara pada tingkat kebutuhan dasarnya yang sejak awal telah teridentifikasi), tetapi yang berubah dan meningkat adalah amal shaleh. Ini yang disebut dengan pengelolaan kekayaan yang berorientasi pada pemaksimalan kemanfaatan diri (diukur berdasarkan kekayaannya (belum termasuk waktu, pikiran dan tenaga).

Dibawah ini pedoman dalam aplikasi pengelolaan kekayaan secara Islam.

Mencari Harta
1. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
2. Mendukung Ibadah dan amal shaleh bukan menghambat Ibadah dan amal shaleh
3. Mempertimbangkan optimalisasi kontribusi secara waktu, tenaga dan harta bagi; dakwah, masyarakat dan keluarga

Membelanjakan Harta
1. Mempertimbangkan kebutuhan dasar
2. Mempertimbangkan kemanfaatan atau optimalisasi amal shaleh; kepentingan dakwah dan masyarakat
3. Mempertimbangkan kepentingan dakwah, masyarakat dan keluarga yang bersifat mendesak

Menyisihkan Harta
1. Menabung
i. Kebutuhan (bukan keinginan) di masa depan
ii. Kebutuhan sekarang yang mendesak
iii. Tidak bermotif menumpuk harta

2. Investasi/Usaha
i. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan (syariat) dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
ii. Mempertimbangkan kontribusi kemanfaatan atau amal shaleh yang maksimal bagi manusia lain; lingkungan keluarga dan masyarakat
iii. Mendukung kesejahteraan (kemandirian ekonomi ummat) dan dakwah

Aktivitas pengelolaan harta juga harus dilandasi oleh prinsip keyakinan bahwa setiap harta yang dibelanjakan dijalan Allah akan Allah lipat gandakan balasannya, baik berupa pahala maupun balasan harta materil (monetary gain). Keyakinan ini pula yang nanti pada pembahasan pengelolaan kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi nilainya, menjadi sangat krusial. Karena salah satu cara melindungi nilai kekayaan dalam Islam (Islamic Hedging) adalah menginfakkannya di jalan Allah. Aneh? Ya seperti itulah sebenarnya logika ekonomi Islam yang seharusnya menjadi keyakinan para pelakunya, yang kemudian menjadi built in dalam prilaku ekonomi. Mari renungkan kalimat mulia di bawah ini.

"Allah SWT tidak mewahyukan kepadaku untuk mengumpulkan harta benda dan menjadi pedagang. Namun aku diperintahkan sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al Hijr: 98-99). (HR. As Suyuthi) Lihat Bab 13 Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali.

HAKIKAT ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT

Munculnya outlet-outlet berikut produk yang semakin bervariasi jasa pelayanan keuangan Syariah ternyata secara perlahan memunculkan bentuk industri keuangan Syariah baru, yaitu pengelolaan kekayaan pribadi secara Syariah (Islamic Wealth Management). Atau dalam beberapa aspek pembahasan pengelolaan kekayaan ini dikenal pula sebagai perencanaan keuangan keluarga secara syariah (Islamic Financial Planning). Beragam portfolio keuangan Syariah berupa deposito, reksadana, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya menjadi pilihan keluarga muslim kelas menengah keatas dalam pengelolaan harta mereka. Perkembangan industri tersebut mampu melayani golongan masyarakat tersebut terhadap kebutuhan aktifitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip syaria. Kebutuhan tersebut muncul seiring dengan semakin merekahnya populasi muslim menengah keatas Indonesia yang merefleksikan pula semangat keislaman yang tumbuh diantara mereka.

Penghasilan cukup memadai dan tingkat saving yang semakin meningkat dikalangan keluarga-keluarga muslim, semakin merangsang industri jasa pengelolaan kekayaan, terlebih lagi kondisi tersebut didukung kondisi dimana pribadi-pribadi muslim tersebut semakin sempit memiliki waktu luang untuk mengurusi kekayaan mereka. Kehadiran pengelola kekayaan tentu saja akan sangat membantu kebutuhan segmentasi masyarakat ini. Bahkan pengelolaan kekayaan ini bukan hanya bersifat pada pengelolaan yang berorientasi profit tetapi juga orientasi sosial dan kebutuhan keluarga lainnya, seperti alokasi kekayaan untuk membayar kewajiban zakat, infak, sedekah atau wakaf. Selain itu pengeluaran kebutuhan keluarga seperti alternatif dan alokasi biaya sekolah Islami untuk anak, rekreasi,

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa praktek Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning sejauh ini belum mencerminkan hakikat pengelolaan kekayaan dalam Islam. Nilai-nilai moral dalam akidah dan akhlak, belum tergambar secara utuh dalam aktifitas industri baru tersebut. Oleh sebab itu, selintas praktek Islamic wealth management terkesan sebatas ”pengelolaan harta para pemilik orang kaya untuk memelihara atau bahkan menggandakan kekayaan mereka secara syariat/halal (jika tidak ingin didefinisikan aktifitas penumpukan harta secara syariat)”. Kondisi ini tentu akan mengkerdilkan makna Islamic wealth management terbatas hanya aktifitas berorientasi materil, tanpa “ruh”, tanpa “jiwa” keislaman yang lebih kental nuansa ibadah pada setiap aktifitas muamalah.

Dengan demikian, sebelum memahami secara lebih menyeluruh apa hakikat Islamic wealth management dan menanamkan jiwa keislaman dalam muamalah-muamalah ekonomi-keuangan, sebaiknya diidentifikasi dulu nilai-nilai moral Islam yang berkaitan erat dengan harta. Beberapa nilai dari nasehat Nabi yang bisa dijadikan pedoman adalah:

“Harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh”
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain”

Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti terkait dengan wealth management ini, pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan pelaku atau pemilik harta. Apa indikasinya? Indikasinya adalah harta tersebut dikelola dengan niat, cara-cara dan tujuan untuk kepentingan Allah SWT semata. Nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Terkait dengan wealth menagement, kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau memaksimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaannya yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Artinya harta itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi manusia yang paling mulia.

Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelola hartanya berdasarkan syariah Islam akan berorientasi utama pada dua hal. Yang pertama, pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya, sebagai sebuah kebutuhan yang wajib berdasarkan kefitrahannya sebagai manusia. Yang kedua adalah pemanfaatan harta tersebut bagi manusia diluar keluarga, atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shaleh sebagai alat dalam rangka mendapatkan gelar kemuliaan dari Tuhan berdasarkan standard-standard yang dikhabarkan juga oleh Tuhan.

Motif kebutuhan primer dan amal shaleh menjadi dua sasaran utama penggunaan atau pemanfaatan harta. Karena lazimnya kebutuhan primer tersebut relatif tetap bagi setiap individu, maka pertambahan kekayaan sepatutnya mempengaruhi penambahan amal shaleh atau pemanfaatan kekayaan tersebut bagi manusia lain. Dan tentu saja, paradigma ini akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam mencari kekayaan. Diyakini bahwa semangat mencari harta pada hakikatnya adalah refleksi dari semangat memaksimalkan amal shaleh, bukan semangat memaksimalkan penikmatan atasnya.

Lihatlah contoh-contoh yang disajikan oleh kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, Sahabat dan para Wali, meskipun sejarah mengenali mereka sebagai saudagar-saudagar yang melimpah perniagaannya, tetapi sejarah tak luput memotret kehidupan keseharian mereka yang bersahaja. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlaskan untuk manusia lain, untuk ummat, untuk Tuhan mereka. Seseoarang diantara mereka yang mulia itu pernah berkata: ”manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”

Dengan begitu tujuan pengelolaan harta tidak dilimitasi pada kegiatan penumpukan harta sesuai syariat tetapi lebih dari itu adalah pengelolaan harta untuk memaksimalkan diri menjadi manusia yang terbaik di mata Allah SWT. Orientasi kepemilikan harta tidak pada orientasi penikmatan atasnya tetapi berorientasi pada pemanfaatan demi sebuah kebahagiaan sejati.

Disamping itu tanpa upaya penjagaan secara disiplin kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah termasuk nilai-nilai moral Islam, kecenderungan system berikut aplikasi ekonomi – keuangan syariah akan mimicry dengan apa yang ada dalam konvensional. Karena pelaku industri akhirnya hanya concern dengan penyediaan produk dalam rangka pengelolaan kekayaan ataupun likuiditas yang merujuk pada preferensi (lebih berorientasi pada produk halal daripada produk Islami) para pemilik harta. Bahkan pada skala yang lebih luas prilaku penyediaan produk oleh praktisi keuangan syariah di pasar tidak memperhatikan hubungan atau implikasi sector kuangan Syariah terhadap aktifitas dan kinerja perekonomian secara luas. Portfolio-portfolio sebagai produk-produk keuangan syariah yang digunakan dalam pengelolaan kekayaan akhirnya hanya outlet keuangan layaknya konvensional yang semakin memperpanjang labirin uang disektor keuangan yang sedikit saja bermuara pada aktifitas produktif penciptaan barang dan jasa (sebagai esensi tujuan ekonomi Islam). Dengan begitu, at the end of the day, system ekonomi-keuangan Syariah kehilangan karakternya, kabur fungsinya dan tak jelas maksud serta tujuannya.

Ketidakpedulian praktisi keuangan syariah terhadap substansi prinsip-prinsip keuangan syariah apalagi pada nilai-nilai moral Islami-nya, ditambah dengan tingkat edukasi dan preferensi masyarakat (sebagai pengguna produk-produk keuangan syariah untuk kebutuhan pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga) yang masih rendah, membuat aplikasi ekonomi atau keuangan syariah masih sebatas aplikasi halal saja. Aplikasi ekonomi atau keuangan syariah yang kualitasnya masih sangat rendah. Aplikasi keuangan yang hanya fokus pada aplikasi yang free dari Riba atau judi (spekulasi) hemat saya adalah aplikasi minimum dari praktek ekonomi - keuangan syariah, mungkin kita sebut saja levelnya ada pada aplikasi ekonomi halal, tetapi jika kita ingin praktek ekonomi Islam naik pada level selanjutnya yang lebih tinggi (“aplikasi ekonomi Islami”), etika dan nilai-nilai prilaku ekonomi dalam Islam haruslah mulai diperkenalkan. Prilaku-prilaku seperti mencari harta bukan untuk ditumpuk tapi untuk memperluas kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat dhuafa. Prilaku-prilaku ini adalah prilaku yang berbekal dengan keyakinan pada janji Tuhan bahwa Tuhan akan semakin menambah memperlancar rezeki bagi mereka yang membelanjakan hartanya dijalan Tuhan.

Semoga kedepan, seiring dengan pembelajaran dan peningkatan keyakinan atau pemahaman terhadap akidah dan akhlak, dilengkapi dengan pengetahuan dan skill Syariah yang memadai, akan muncul manusia-manusia yang mampu memelihara ruh Islam terjaga dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi-keuangan Islam. Khusus bagi Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning, harapannya adalah industri ini menjadi industri yang shaleh, yang memproduksi dan menyebarkan keshalehan dan semakin membentuk serta melayani golongan orang-orang kaya yang shaleh. Bismillah.

Selasa, 10 April 2012

Semakin rumit semakin berkah

Pernah berhitung, anda hidup pada berapa ruang komunitas? Ada komunitas keluarga, baik keluarga sendiri maupun keluarga pasangan hidup kita. Ada pula komunitas kantor, komunitas tetangga dan komunitas pengajian. Atau ada komunitas sahabat, dari alumni SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 atau alumni program-program tertentu yang membuat jalinan pertemanan dimulai dan terpelihara, seperti komunitas alumni haji. Selain itu mungkin anda memiliki kesibukan dalam ruang komunitas yang terbentuk karena faktor-faktor unik, seperti komunitas hobi.

Nah, coba lihat, banyak bukan komunitas yang anda harus sikapi, harus perhatikan, harus luangkan waktu? Jikalau pada semua komunitas itu kita juga harus menjaga tingkah laku, memelihara idealisme sekaligus melakukan kerja-kerja yang menjadi tuntutan komunitas itu, begitu rumit dan meletihkan bukan? Kecuali jika anda memang tidak mau peduli dengan tuntutan itu atau sama sekali tidak mau tahu dengan keberadaan komunitas-komunitas semacam itu. Anda sibuk dengan dunia anda sendiri, melihat dunia dengan kaca mata “aku centris”. Tapi, maaf saya tidak sedang ingin bicara tipe manusia seperti ini, saya ingin bicara tentang mereka yang sibuk dengan begitu beragam ruang kehidupan, rumit dan meletihkan.

Disatu sisi memang meletihkan tetapi disisi yang lain jumlah komunitas itu mencerminkan seberapa luas ladang amal shaleh yang dapat dinikmati, semakin luas pintu-pintu keberkahan bisa anda peroleh. Bayangkan, kalau ternyata anda memiliki amanah pada setiap komunitas pergaulan anda itu, betapa besarnya potensi anda untuk menjadi manusia baik dan disayangi oleh Tuhan. Harus diakui, akan banyak yang harus difikirkan, diperhatikan dan digeluti, sehingga menguras waktu, tenaga, harta atau bahkan mempertaruhkan keselamatan. Tapi saya percaya, kehidupan seperti itu bukan tanpa imbalan. Pilihan skenario hidup oleh Tuhan seperti ini bukanlah tanpa maksud.

Satu masalah yang datang harus diyakini sebagai satu bentuk “perhatian” Tuhan. Dan jika dalam perjuangan masalah bertubi-tubi datang bukankah bermakna Tuhan tak henti-hentinya memperhatikan sang pejuang. Oleh sebab itu, menjaga kesadaran akan rasionalitas kausalitas, seperti amal dan pahala, istiqamah dan janji-janji Tuhan, pengorbanan dan kasih-sayang atau sabar dan syurga, menjadi begitu berharga. Kesadaran itu akan menetralisir racun godaan dan nafsu, memberikan keletihan istirahat yang cukup dan menjaga orientasi untuk selalu lurus dan bergerak maju.

Saya sedang ingin menghibur mereka yang letih dengan jargon-jargon perjuangan dan pengorbanan, mereka yang bosan atau mungkin hampir muak dengan pilihan hidup yang hingga saat ini belum memberikan apa-apa. Namun pada saat yang sama saya sebenarnya sedang angkat topi, salut pada mereka yang masih terus bersabar meski letih berkali-kali menggoda mereka untuk beralih orientasi. Karena saya baru saja tersadar bahwa prestasi bukanlah sebuah momen dimana seseorang mampu mencapai sesuatu, tetapi boleh jadi prestasi itu saat dimana ia mampu diam, bersabar untuk tidak mengambil apa-apa yang tidak baik dimata Tuhan.

Dan prestasi juga dapat disematkan pada mereka yang selama ini terus konsisten untuk memberikan manfaat pada semua ruang komunitas yang dimanahkan padanya. Dan akhirnya saya juga sadar, ternyata begitu banyak manusia-manusia berprestasi disekitar saya, dengan berbagai bentuk kerja-kerja meletihkan yang mereka geluti disemua ruang komunitas yang mereka tempati. Mungkin ini yang menjadi pelajaran dan penjelasan mengapa orang mulia dahulu menasehati, bahwa sungguh berbeda orang yang beramal dengan orang yang asyik dengan dirinya sendiri.

Rabu, 04 April 2012

Saya adalah Aktifis


Saya adalah aktifis. Statement ini bisa terkesan narsis, lebay atau mungkin terlalu berlebihan. Tetapi statement ini akan relevan saja ketika ditujukan untuk meyakinkan diri sendiri. Ya ini seruan untuk mengingatkan diri saya sendiri. Mengingatkan bahwa saya bukanlah pribadi bebas yang bisa melakukan apa saja, mendapatkan apa saja dengan cara apa saja. Saya ini pribadi yang sudah mengikatkan dan mewakafkan diri berikut semua yang melekat dan saya miliki, dengan sebuah nilai yang saya yakini. Saya ini aktifis. Dan seorang aktifis memiliki motivasi dan kepentingan kerja yang berakar pada idealisme. Motivasinya adalah keyakinan pada sebuah nilai dan ingin menempatkan diri sebagai bagian dari pengusung nilai-nilai itu. Sementara kepentingannya adalah kepentingan nilai itu sendiri.

Dengan begitu, saya juga ingin mengatakan pada diri sendiri, bahwa yang menggerakkan diri saya untuk semua kerja-kerja bukanlah orientasi material benefit, jabatan, status social, harum nama atau sekedar kondite kerja. Yang menggerakkan saya adalah keyakinan pada pengusungan nilai-nilai, yang akan memberikan imbal berupa keselamatan dan kedamaian yang sejati pada kehidupan saya setelah mati. Memang akan terkesan mengawang-awang seruan ini, tidak realistis dengan kelaziman zaman, berlebihan dalam memandang dan menjalani hidup, sehingga boleh jadi seruan ini hanya tepat diteriakkan dalam forum-forum motivasi yang seremonial untuk tujuan-tujuan tertentu. Seruan ini tidak tepat untuk menjadi motivasi aktifitas harian sepanjang hidup.

Setiap kita memiliki cara sendiri-sendiri dalam menentukan harapan dan menghimpun semangat, kita juga memiliki alasan sendiri-sendiri dalam bertindak, menyikapi setiap peristiwa yang terjadi di depan mata, menyesuaikan diri dengan keterbatasan dan kelebihan, merespon masalah atau kenikmatan. Cara dan alasan itulah hal yang harus diputuskan dengan hati-hati. Ketika saya menyerukan diri bahwa jalan yang saya pilih adalah sebagai seorang aktifis, maka saya harus sadar bahwa harapan saya tidak bebas saya tentukan, karena nilai-nilai yang saya yakini punya kontribusi dominan dalam membentuk harapan itu. Sementara semangat, akan datang dengan sendirinya ketika harapan sudah diobsesikan dalam setiap aspek hidup. Barulah setelah itu kerja-kerja berupa tindakan dilakukan.

Saya selalu merenungi, betapa hari-hari yang dilewati begitu berat ketika nilai-nilai yang diyakini selalu mempertanyakan keinginan yang muncul dalam diri. Betapa kehidupan menjadi semakin berat saat idealisme harus digugat oleh kelaziman yang ada. Ada yang kokoh bertahan dan berhasil menjaga idealismenya, memelihara ke-aktifis-an jalan hidupnya, tetapi tidak sedikit yang tersungkur dan tersingkir, karena tidak mampu menahan keinginan “manusiawi”nya dan tidak mampu bertahan dari badai kelaziman zaman.

Itulah mengapa kesimpulan saya sampai sejauh ini, jalah hidup aktifis pada hakikatnya akan sangat bergantung pada belas kasihan Tuhan, karena sebagai manusia seorang aktifis pasti tidak akan sanggup menanggung besarnya amanah nilai yang dia usung. Jika tersungkur seorang aktifis berharap Tuhan menghiburnya dengan nikmat yang tidak disangka-sangka baik bentuk dan dari mana datangnya, atau dihadiahi realisasi harapan dari janji-janji Tuhan yang selama ini menjadi semangat mereka. Ketika tak mampu menahan ingin dan nafsu dari hal-hal yang hakikatnya mudharat, Tuhan berikan peristiwa-peristiwa yang menghalangi mereka dari bala dan petaka, Tuhan berikan kantuk dan tidur, Tuhan berikan lupa dan segudang masalah yang menghijab mereka dari benda-benda seperti itu. Jikapun ia tersingkir, Tuhan tidak akan melupakannya dan segera membangkitkan dirinya, kembalikan dengan cara yang penuh pelajaran dan hikmah Dan ketika mereka bersalah Tuhan terima istighfar dan taubat mereka.