Selasa, 10 Juli 2007

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah : 11)


A. Pendahuluan
Sudah menjadi coretan sejarah, bahwa Islam sebagai sebuah nilai sekaligus sistem kehidupan pernah menghantarkan manusia pada satu periode kehidupan yang sejahtera, baik lahir maupun batin, baik materi maupun rohani. Islam memiliki sumber hukum dan pengetahuan yang sama sejak dahulu hingga kini, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Namun bagaimana mungkin peradaban ummat Islam bisa terpuruk saat ini? Atau bagaimana Islam dapat masuk pada semua sisi kehidupan manusia, mengatur dan menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan sehingga mereka sejahtera pada masa lalu? Padahal Qur’an dan Sunnah lembaran-lembarannya tak pernah bertambah dan berkurang sejak dulu hingga kini, atau dengan kata lain sejak dulu kita masih menggunakan sumber hukum dan pengetahuan yang sama kuantitas dan kualitasnya.

Sejak beberapa dekade lalu telah diidentifikasi kelemahan ummat Islam di masa kini. Rendahnya keimanan pada Allah SWT atau jauhnya ummat Islam dari kitab suci mereka yang tergambar dari kurangnya pemahaman mereka pada Qur’an dan Sunnah, ditengarai menjadi sumber kekacauan ummat Islam saat ini. Jauhnya jarak antara ummat dengan Islam, boleh jadi akibat kelalaian yang dimotivasi oleh nafsu syahwat dan keserakahan mereka sendiri, seperti pemimpin ummat yang cenderung hidup bermewah-mewah, tidak menjadikan Islam sebagai rujukan hukum atas setiap aktifitas hidup dan kehidupan, jalinan ukhuwah yang semakin tergerus egoisme pribadi dan lain sebagainya.

Namun disamping itu tidak kecil juga faktor eksternal diluar ummat Islam menyebabkan kecenderungan keterpurukan ini terjadi. Dominasi peradaban non-Islam yang saat ini diakui wujud boleh jadi menjadi faktor dominan dari kemunduran ummat Islam. Peradaban non-Islam atau konvensional memiliki pengaruh menyeluruh bagi kehidupan ummat Islam. Peradaban konvensional baik secara paradigma dan metoda maupun secara kultur memberikan referensi baru bagi ummat Islam. Terlebih lagi ternyata peradaban konvensional secara sadar menjaga dominasi peradaban mereka atas Islam, baik itu dimotivasi oleh idiologi atau keyakinan mereka (Nasrani dan Yahudi) ataupun oleh ego materialism mereka. Pengaruh dan motivasi diatas kemudian menjadi sistem yang saling menguatkan, menjadi bola salju yang kemudian menenggelamkan nilai-nilai Islam untuk muncul dikenali dan dijadikan referensi oleh ummatnya.

Cara yang terbaik untuk keluar dari kondisi terpuruk ini adalah menyadarkan kembali ummat akan keutamaan Islam dan keutamaan mereka sendiri bagi alam semesta ini. Keutamaan mereka adalah mereka pewaris tunggal nilai-nilai kebenaran yang bernama Islam. Nilai-nilai Tuhan yang sepatutnya dijalankan diatas dunia ini sehingga alam dan segala isinya sejahtera dan mensejahterakan.

Fakta-fakta kehidupan saat ini sepatutnya menjadi bekal dalam menyadarkan ummat Islam. Keterpurukan ummat manusia saat ini sepatutnya menjadi cermin atau pelajaran bagi mereka dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Lihatlah fakta tentang kehidupan manusia yang semakin individualistik, materialistik dan konsumeristik. Sehingga paradok-paradok kehidupan semakin jelas didepan mata kita. Katanya peradaban manusia kini ada pada masa keemasannya, namun kenyataanya data-data sosial manusia semakin menunjukkan peradaban ini semakin tidak beradab. Lihat saja angka kemiskinan, kekurangan gizi, kelaparan, konflik sosial, kriminalitas dan pengangguaran yang semakin tinggi padahal barang-barang mewah selalu habis di pasar, gedung-gedung mewah semakin menjamur dan menjulang tinggi, angka konsumsi semakin besar. Ternyata akar permasalahannya adalah moral atau keimanan pada Tuhan. Kekacauan sosial sepatutnya dientaskan bukan diawali oleh subsidi-subsidi yang bersifat sementara. Namun harus dimulai dengan menyadarkan hakikat hidup dan kehidupan manusia, urgensi mengetahui kekuasaan dan kehendak Tuhan atas manusia. Dan media yang mampu menghantarkan manusia pada pemahaman tersebut adalah ilmu pengetahuan yang benar. Ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya segala informasi (knowledge) yang memudahkan atau berguna bagi manusia dalam menjalani hidupnya serta nilai (value) moral yang menjaga prilaku hidupnya

Ilmu pengetahuan (science) dalam Islam memiliki definisi yang kental dengan nuansa spiritualitas, karena memang Islam sudah memandang setiap sisi kehidupan adalah aktifitas ibadah bagi manusia. Setiap elemen hidup dan alam berikut proses interaksinya sepatutnya mengikuti sistem keteraturan (kebenaran) yang telah digariskan sang pencipta. Dengan demikian setiap informasi yang berkaitan dengan hal tersebut yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan, merefleksikan kebenaran dan keagungan Tuhan. Sehingga setiap manusia yang semakin memiliki dan memahami ilmu pengetahuan sepatutnya semakin mengenal dan dekan dengan sang pencipta. Dengan begitu ilmu pengetahuan lebih dekat didefinisikan sebagai segala informasi yang mendekatkan pada Tuhan.

B. Agama dan Ilmu
Bagaimana dengan isu bebas nilainya sebuah ilmu? Bagaimana Islam memandang hal ini? Berdasarkan Al Qur’an, sebagai rujukan pertama dan utama dalam melihat segala hal, Islam memandang ilmu dari awal tidak bisa atau bahkan tidak boleh bebas dari nilai. Alasan pertama, dapat dilihat pada kalimat pertama dari wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Tuhan, yaitu kewajiban manusia untuk berilmu.

”Bacalah, dengan menyebut nama Rabb yang menciptakan. (QS. Al Alaq: 1)”

Dalam Islam Tuhan mewajibkan manusia untuk berilmu. Dari ayat yang diatas, jelas sekali perintah kewajiban itu. Bahkan urgensi memiliki ilmu ini ditempatkan Tuhan pada kalimat pertama-Nya pada manusia. Dan hal ini bukanlah tanpa makna. Ini menunjukkan signifikansi ilmu dalam mengetahui dan menjalankan ketentuan atau kebenaran Tuhan. Selain itu yang juga tidak kalah penting adalah dimana Tuhan menyatukan perintah berilmu (bacalah) dengan berpedoman atau bersandar pada Rabb yang menciptakan. Mengapa Tuhan menggunakan kata ”Rabb” dan kata keterangan ”Khalaq” (yang menciptakan)? Pertama, Rabb bermakna Dzat yang mengajarkan (segala hal), sehingga penggunaan kata Rabb sebenarnya merupakan penegasan posisi Tuhan bahwa Dialah yang (berperan) memberikan ilmu kepada manusia. Segala ilmu itu dari Tuhan, maka sudah sepatutnyalah si penerima ilmu terus mengingat siapa yang memberikan keutamaan (ilmu) itu pada mereka, sehingga mereka menjadi makhluk yang utama dari segala makhluk ciptaan-Nya di dunia ini.

Bahkan beberapa ayat dari Al Qur’an & As Sunnah menerangkan keutamaan-keutamaan manusia yang berilmu, seperti Allah SWT akan angkat derajat manusia yang berilmu dibandingkan dengan manusia yang tidak berlimu atau Rasulullah yang menyatakan keutamaan seorang yang ahli ilmu atas ahli ibadah. Bahkan karena ilmu itu pulalah manusia menjadi makhluk yang mulia dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan sebelumnya. Hal ini tergambar jelas pada sejarah kemanusiaan manusia, yaitu ketika malaikat dan iblis diperintahkan sujud kepada Adam a.s.

Penggunaan kata Rabb juga mengindikasikan bahwa ilmu dan spiritualitas (agama) bukanlah entitas yang berbeda. Selain itu sudah diingatkan dalam ayat tersebut, bahwa setiap pencarian dan usaha memahami ilmu haruslah tidak lepas dari pengakuan keberadaan Tuhan sebagai Pengajar, sebagai sumber ilmu. Kedua, penggunaan kata Khalaq yang bermakna ”yang menciptakan” pada dasarnya semakin menegaskan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu di alam semesta yang notabene Tuhan ciptakan. Manusia adalah salah satu partikel atau unsur di alam semesta yang juga Tuhan ciptakan, sehingga lumrah jika manusia patuh dan tunduk pada kuasa Tuhan seperti tunduknya benda-benda alam kepada ketentuan Tuhan. Terlebih lagi informasi tentang segala sesuatu di alam semesta ini yang kita kenal dengan pengetahuan, ada karena Tuhan menciptakan alam semesta tersebut. Dengan demikian ketika manusia berusaha mengetahui segala informasi tentang segala sesuatu yang tercipta sepatutnya merujuk saja pada Dzat yang menciptakan.

Alasan kedua, Islam mengenal dua sumber ilmu, pertama yang berasal dari observasi manusia (pengalaman) terhadap alam dan segala hal yang ada didalamnya termasuk prilaku manusia. Kedua berasal dari wahyu atau informasi langsung dari Tuhan (revelations). Sumber pertama (observations) pada dasarnya adalah menangkap atau mengidentifikasi kebenaran Tuhan yang tertuang dalam mekanisme alam raya yang Tuhan ciptakan. Hal ini lazim dikenal sebagai hukum alam atau hukum Tuhan yang tersirat. Gaya gravitasi, momentum, sifat air, udara, tanah, api dan semua dzat di alam berikut siklus dan reaksi kimia dari dzat tersebut, merupakan bagian dari hukum tadi yang bersifat kekal dan pasti. Informasi itulah kemudian yang tertuang dalam berbagai teori-teori eksakta semacam matematika, fisika, kimia, biologi dan berbagai teori eksakta turunannya.

“Dan di antara kamu ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (QS. Al Hajj: 8)

Sementara itu sumber ilmu kedua (revelations), selain mengabarkan hukum-hukum alam, pada hakikatnya ia menjadi pedoman atau rujukan dari seperti apa sepatutnya prilaku manusia. Karena pada dasarnya manusia merupakan elemen penting dalam kehidupan. Alam akan berjalan dalam fungsi dan porsi semestinya yang akan menyediakan segala fasilitas hidup bagi manusia ketika manusia dapat sejalan mengikuti petunjuk Tuhan dalam prilakunya. Sumber ilmu inilah yang memberikan rambu-rambu prilaku, pada sesama manusia, hewan tumbuhan dan lingkungan sekitar. Dalam hubungan sesama manusia, Al Qur’an menjelaskan seperti apa sebaiknya berakhlak dengan orang tua, saudara, tetangga, orang fakir-miskin, orang non-Islam dan kerabat lainnya atau bertindak terkait dengan jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, memutuskan perkara; menghukum dan mengadili serta bernegara[1].

Dalam konteks ibadah (worship), menjalankan ketentuan Tuhan yang tertuang dalam kalimat-kalimat wahyu, merupakan syarat dari kesejahteraan abadi yang manusia ingin dapatkan pada hari setelah kematiannya[2]. Oleh sebab itu wahyu kemudian menjadi sumber informasi bagi mereka yang meyakini hal tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wahyu kemudian menjadi sumber ilmu yang mempengaruhi prilaku hidup dan kehidupan manusia.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa dua sumber ilmu tadi menjelaskan satu hal yang sama yaitu kebenaran Tuhan. Ketika keduanya sesuai dengan apa yang seharusnya, maka keharmonian antara mekanisme alam dan prilaku manusia akan menghasilkan kesejahteraan, baik bagi alam maupun bagi manusia itu sendiri.

Dari penjelasan diatas setidaknya semakin jelas posisi ilmu dalam Islam, bahwa ilmu dan Islam (agama) tidak dapat dipisah-pisahkan, apalagi sampai dibenturkan dan diperbandingkan hingga salah satunya dapat membantah yang lainnya. Dalam perspektif Islam, ilmu adalah agama dan agama adalah ilmu. Keduanya pada hakikatnya terangkum dalam satu ungkapan yaitu kebenaran Tuhan. Dengan demikian manusia yang berilmu berarti mahfum akan kebenaran Tuhan. Semakin manusia berilmu sepatutnya semakin dekan ia dengan Tuhan.

Kalau begitu, apa parameter dari ilmu? Berdasarkan pengelompokan sumber ilmu, telah diketahui ada dua sumber ilmu yaitu observation dan revelation. Yang pertama terhimpun di dalamnya hasil-hasil observasi yang menjelaskan hukum-hukum alam. Yang kedua terhimpun didalamnya segala ketentuan atau pedoman bagi manusia untuk berprilaku dalam hidup dan kehidupannya. Maka berdasarkan sumber dan fungsinya tersebut, diidentifikasi ada dua karakter keilmuan, pertama ilmu eksakta (alam) dan yang kedua ilmu sosial (prilaku manusia). Ilmu eksakta memiliki parameter yang sudah baku dan pasti, seperti gaya gravitasi (magnet) yang dibuktikan dengan benda-benda yang selalu jatuh mendekati bumi. Hukum-hukum eksakta akan berlaku abadi pada semua ruang dan waktu, layaknya kebenaran Tuhan yang abadi dan pasti. Karena karakternya yang tetap dan pasti itu, ilmu jenis ini selalunya dijelaskan dan memiliki parameter yang bersifat empiris atau kuantitatif.

Bagaimana dengan ilmu sosial? Ukuran ilmu ini diantaranya adalah keseimbangan, keadilan, keharmonisan dan kemanfaatan atau kemaslahatan yang dihasilkan dari prilaku manusia yang merujuk pada ilmu sosial tadi. Dalam Islam ilmu sosial berawal dari pengetahuan tentang dan pengakuan akan Tuhan (tauhid) yang kemudian menjadi pedoman (akidah) pada tindakan-tindakan manusia selanjutnya. Selanjutnya setelah akidah adalah pengetahuan tentang kefitrahan atau hakikat manusia seperti hakikat penciptaannya, tujuan hidupnya, sifat dan kecenderungannya serta nilai-nilai yang Tuhan inginkan ada dalam setiap diri manusia (akhlak). Dan terakhir pengetahuan tentang ketentuan atau hukum-hukum berprilaku (syariah), baik ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya (hukum ibadah) maupun ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia (hukum muamalah). Dari pondasi pengetahuan inilah muncul cabang-cabang ilmu sosial seperti ekonomi, politik, hukum dan lain-lain. Namun sekali lagi semua cabang ilmu turunan itu ada dalam satu konsep keilmuan yaitu kebenaran Tuhan (Islamic Methodology; prinsip Unity of God, Unity of Creation, Unity of Truth & Knowledge, Unity of Life, Unity of Humanity & Complimentary Nature of Rvelation and Reason)[3]. Dan tentu berakhir pada satu muara yaitu pengakuan keagungan Tuhan. Berbeda dengan ilmu eksakta penjelasan ilmu jenis ini lazimnya bersifat kualitatif.

Dalam dunia konvensional, dikotomi atau pertentangan agama dan ilmu berawal dari ketidakpuasan para kaum intelektual terhadap dominasi gereja atas setiap sisi aktivitas kehidupan di Eropa. Dan sudah menjadi pengetahuan sejarah bahwa ketika perkembangan ilmu bertentangan dengan doktrin-doktrin gereja, maka gereja tidak segan-segan menuduh atau bahkan menghakimi para kaum intelektual sebagai pendosa. Dan tidak jarang hukuman yang diberikan adalah hukuman mati. Masa-masa pertentangan ini akhirnya dimenangkan oleh kaum intelektual yang ditandai dengan munculnya gerakan pencerahan (enlightment) atau yang biasa dikenal di tanah Eropa sebagai gerakan reneisance atau aufklarung. Selain menempatkan ilmu pengetahuan yang mengandalkan kreatifitas intelejensi sebagai rujukan dominan dalam kehidupan manusia, efek dari kemenangan pertarungan intelektual dan gereja juga berupa sikap antipati (jika tidak ingin dikatakan alergi) pada agama. Akhirnya wilayah agama dipersempit hanya pada masalah keyakinan dan peribadatan tanpa pernah menyentuh wilayah lain. Dari sinilah kemudian gerakan sekularisme muncul dan berkembang, dan ilmu pengetahuan dipercaya atau selalu dipelihara untuk bebas nilai (bebas dari kepentingan agama?).

Kekhawatiran atau lebih tepat disebut ketakutan pada kembalinya dominasi gereja atau agama atas ilmu pengetahuan yang dimaknakan sebagai intimidasi pihak gereja terhadap kaum intelektual, membuat sekularisme menjadi acuan yang sakral bagi pengembangan setiap sisi kehidupan manusia. Implikasi ini jelas terlihat dalam perkembangan sistem hukum, politik atau bahkan budaya ummat manusia setelah reneisance. Terlebih lagi ketika peradaban yang dibangun Eropa – Amerika (barat) kini mendominasi dunia, otomatis paham sekularisme kemudian menjadi inspirasi atau bahkan panduan utama dalam berkehidupan.

Dari sudut pandang yang lain, paradigma barat berikut prinsip – prinsip rasionalitas yang bersifat humanistik ternyata memiliki pengaruh kausalitas dua arah. Pada satu sisi prilaku individu yang membentuk peradaban mereka merujuk pada paradigma dan prinsip berkehidupan yang individualistic – materialism. Namun pada sisi yang lain peradaban tersebut dijadikan bukti dan alasan – alasan rasional bahwa paradigma dan prinsip berkehidupan mereka sangat kuat landasannya. Pada akhirnya kebenaran yang dianut oleh keduanya; paradigma/prinsip dan peradaban, adalah kebenaran yang tidak memiliki landasan yang valid. Kebenaran sekaligus parameternya selalu bergeser mengikuti pergeseran kelaziman prilaku dan kecenderungan manusia menurut zamannya. Kebenaran menjadi tidak mutlak atau sekedar mendekati mutlak. Sehingga puncaknya peradaban manusia akan menafikan keberadaan Tuhan sebagai prima kausa yang memiliki hak dijadikan tolak ukur sebuah parameter kebenaran.

Penafikan agama ini juga disinggung oleh Bryan S. Turner, dalam bukunya Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat[4]. Turner mengungkapkan bahwa terkikisnya keyakinan pada Tuhan yang direpresentasikan agama bukan hanya terjadi akibat telaah kritis rasional ilmiah kontemporer yang dilakukan oleh mereka yang disebut intelektual, tetapi juga oleh prilaku sehari – hari dari manusia yang kemudian memunculkan keyakinan – keyakinan baru yang membuat keyakinan pada Tuhan menjadi tidak relevan atau bahkan mustahil. Bahkan interaksi keseharian melalui gaya hidup, interaksi budaya atau bahkan proses multikulturalisasi yang terhasilkan lewat proses globalisasi budaya dan segenap aspek kehidupan, membuat faktor telaah kritis rasional intelektual menjadi tidak dominan dalam menggeser agama sebagai variabel penting kehidupan.

Dengan demikian, kebenaran universal yang digembar – gemborkan barat baik berbentuk isu hak asasi manusia (HAM) maupun globalisasi, pada dasarnya merupakan kecenderungan manusia mendewakan keinginan – keinginan untuk memaksimalkan kepuasan mereka. Kebenaran universal pada semua sisi aplikasi kehidupan dan segala bentuk turunannya seperti ilmu pengetahuan, interaksi pergaulan (budaya), infrastruktur serta suprastruktur kemasyarakatan, sebenarnya bersifat tidak universal. Kebenaran universal itu sekedar faham lokal barat yang ingin (dipaksakan) ditancapkan pada segenap ruang dan waktu peradaban manusia karena keserakahan, atau akibat dari kekhawatiran akan ketertindasan mereka pada masa lampau.

Padahal, sekali lagi, kebenaran universal sepatutnya merepresentasikan keharmonisan, keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan manusia pada makna yang sebenarnya. Dan kebenaran universal berikut parameter kebenaran tidak mungkin secara utuh diproduksi oleh manusia. Karena in-nature manusia tidak bebas dari kontaminasi kepentingan individual mereka berupa nafsu dan preferensi buruk. Dengan demikian, sangat bijak jika kebenaran universal berikut parameternya diberikan pada Tuhan sebagai entitas sempurna.

C. Agama dan Ekonomi
Layaknya penjelasan hubungan antara agama dan ilmu, ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara otomatis tidak dapat dipisahkan dengan agama. Terlebih lagi Al Qur’an & As Sunnah sebagai sumber hukum dari semua perkara, memberikan porsi yang cukup besar dalam membahas berbagai hal berkaitan dengan ekonomi. Bahkan prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan Islam sebagai agama. Misalnya saja mekanisme zakat, zakat dalam Islam merupakan salah satu rukun atau pilar utama agama, dimana urgensi zakat dapat dipersamakan dengan empat pilar utama lainnya yaitu dua kalimat syahadat, shalat lima waktu, puasa ramadhan dan haji. Mengabaikan zakat sama saja dengan mengamputasi Islam sebagai agama, karena zakat menjadi salah satu rukunnya.

Demikian sebaliknya, dalam ekonomi zakat menjadi pilar penting agar mekanisme atau proses ekonomi dapat terus berlangsung. Zakat pada dasarnya menjaga agar daya beli masyarakat khususnya golongan bawah (mustahik) selalu ada. Atau zakat memberikan kesempatan pada masyarakat yang tidak memiliki akses pada ekonomi, sehingga semua elemen masyarakat dapat terlibat aktif dalam aktifitas ekonomi. Dengan kata lain, zakat adalah satu instrumen ekonomi yang menjaga agar tingkat minimum permintaan yang dibutuhkan oleh pasar agar pasar dapat berjalan dapat selalu terpelihara. Zakat juga secara tidak langsung mampu menekan atau bahkan menghindarkan masyarakat dari masalah-masalah sosial lainnya, seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan konflik sosial.

Berdasarkan alasan ini, sukar untuk mendikotomikan agama dan ekonomi dalam Islam, karena memang ekonomi menjadi salah satu sistem berkehidupan yang diatur oleh agama, agar harmonisasi, keseimbangan dan kesejahteraan dapat dicapai dan terjaga keberlangsungannya. Terlebih lagi diyakini bahwa Islam merupakan nilai atau sistem komprehensif yang mampu mengatur secara baik semua aktifitas hidup dan kehidupan manusia.[5]

Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, dalam dunia konvensional nafas sekularisme pun berhembus dalam pembahasan ekonomi. Pemisahan agama dari disiplin ilmu ekonomi sudah tentu menjadi prasyarat sekularisme. Pemikiran dari para pakar ilmu sosial setelah periode reneisance menggambarkan kondisi dikotomi ini. Pemisahan bukan hanya terjadi antara ekonomi dangan agama, bahkan terjadi pada ekonomi dengan segala bentuk nilai moral, entah itu yang berasal dari nilai-nilai ilahiyyah ataupun dari pemikiran manusia.

Karena ekonomi merupakan bagian dari kelompok disiplin ilmu social yang banyak bicara tentang prilaku manusia, maka dalam membahas ekonomi dari sisi konvensional akan relative kurang lengkap jika tidak membahas akar teori prilaku ekonomi dalam dunia sosiologi. Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Alex Lanur[6], Jeremy Bentham (1748-1823) sebagai Bapak Utilitarianisme, cukup tegas dalam menjelaskan motivasi dan batasan berprilaku manusia (tentu saja dalam pandangan konvensional). Menurut Lanur, dasar Benthanisme adalah hedonisme psikologis yaitu bahwa setiap manusia menurut kodratnya berusaha untuk mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain).[7] Pernyataan Bentham yang sangat terkenal berkaitan dengan hal ini adalah “alam menempatkan manusia di bawah dua kekuasaan yang berdaulat, yakni rasa sakit dan kesenangan”. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; pertama, kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). Kedua, tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Pada akhirnya asumsi ini membentuk prinsip yang oleh Bentham disebut sebagai prinsip manfaat atau Prinsip Etis Terakhir (ultima principia). Selanjutnya Bentham menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi ukuran dari kesenangan ini (cara menentukan, menilai atau menghitung), yaitu meliputi intensitasnya, lamanya, pasti-tidak pastinya dan jauh dekatnya kesenangan atau rasa sakit untuk seseorang. Ternyata Bentham juga tidak membatasi prinsip manfaat pada wilayah individual tapi juga kepentingan umum, dimana faktor yang dapat menjadi ukurannya adalah faktor luasnya atau besar jumlah atau banyaknya orang yang mengalami kesenangan ataupun rasa sakit itu. Penerus pemikir Benthamisme yang paling dikenal adalah John Stuart Mill, dimana Mill mencoba untuk menjelaskan perbedaan kualitatif intrinsik pelbagai macam kesenangan.

Tidak lengkap rasanya jika membahas filosofi dasar kapitalisme tanpa menyinggung apa yang menjadi pemahaman Adam Smith (1776) tentang prinsip-prinsip dasar ekonomi kapitalis. Adam Smith sebagai Bapak ekonomi, dalam buku Spencer J. Pack[8], disebutkan berkeyakinan bahwa kapitalisme berkembang berdasarkan kepentingan pribadi pelaku ekonomi. Smith mengidentifikasi bahwa sentimen, perasaan dan nafsu adalah motivator utama manusia dalam bertindak. Bahkan Smith berkeyakinan bahwa teologi (agama,) dalam hal ini Smith merujuk pada Bible, bukanlah merupakan sumber yang terjamin kebenarannya. Oleh sebab itu menurut Smith, kapitalisme muncul dan berkembang secara dominan akibat proses respon kolektif masyarakat terhadap prilaku-prilaku individual (the constant feedback of society to the actions of the individual) bukan karena hasil dari proses sistematis yang terencana (conscious planning). Disini secara implicit Smith mengesampingkan peran dan fungsi agama (terlebih Islam) yang nyata-nyata memiliki konsep dan hukum sistematis dalam perekonomian.[9]

Pemikiran Bentham, Mill dan Smith ini kemudian diketahui sebagai nilai dasar dari ekonomi oleh para ekonom-ekonom klasik seperti Alfred Marshall dan F.Y Edgeworth. Elaborasi hal ini akan dibahas pada bab-bab selanjutnya, khususnya pada pembahasan prilaku ekonomi (economic behavior). Berdasarkan nilai dasar keilmuan sosial Barat tentang prilaku manusia, maka dapat dengan jelas dilihat bahwa Islam sebagai sebuah sistem nilai dan hukum yang menjadi inspirasi dan panduan dari semua cabang ilmu cukup berbeda dengan apa yang dikembangkan oleh Barat. Sudah cukup tegas yang berkembang dalam keilmuan Barat adalah keilmuan yang sangat bersifat materi dengan instrumen pengukurnya metode-metode empirik kuantitatif. Sementara Islam dengan nilai-nilai tauhid dan akhlak atau moral seta hukum syariah muamalah yang sangat menentukan prilaku dan praktek ekonomi, membuat ekonomi sukar untuk dipisahkan dengan agama. Karena bisa dikatakan ekonomi merupakan salah satu bagian dari agama Islam itu sendiri. Sehingga pada akhirnya yang membedakan keduanya adalah keyakinan pada unity atau dichotomy antara agama dan ilmu termasuk didalamnya ekonomi.

D. Pengajaran Ilmu
Sebagai sebuah nilai dan sistem, moral dan pengetahuan, serta teori dan aplikasi,Islam mensyaratkan proses pengajaran yang khas. Dalam pengajarannya bukan hanya fokus pada proses transfer of knowledge tetapi juga proses transfer of value. Maknanya, proses pengajaran tidak terbatas pada pencapaian individu yang menguasai pengetahuan dan keahlian (knowledge and skill), tapi juga pada pencapaian moral, akhlak atau prilaku yang terpuji.

Dengan demikian, dalam memahami Islam bukan hanya memahami pengetahuan dan nilai-nya yang benar, namun proses memahami pun sepatutnya sesuai dengan apa yang ingin disampaikan, sehingga akan maksimal proses transfer tersebut begitu juga hasil yang akan didapat. Islam sebagai sebuah nilai yang terkandung didalamnya hukum dan pengetahuan yang paling tepat untuk dijadikan rujukan bagi hidup dan kehidupan manusia, haruslah secara utuh dipahami bentuknya. Dari nilai akidah, nilai akhlak sampai pada ketentuan syariahnya. Dengan demikian, proses penyampaian Islam sebagai sebuah nilai haruslah sesuai dengan kaidah Islam itu sendiri, terlebih lagi ketika Islam memiliki panduan dalam berprilaku termasuk prilaku belajar dan mengajar. Otomatis panduan tersebut sangat mempengaruhi mekanisme pengajaran ilmu.

Saat ini sudah begitu banyak usaha untuk menemukan cara pengajaran keilmuan Islam dengan tepat yang memaksimalkan proses transfer knowledge dan value. Saat ini telah berkembang institusi pengajaran Islam dari konsep pengajaran play group, taman kanak-kanan, sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Belum termasuk sekolah-sekolah klasik yang selama ini dikenal dalam masyarakat tradisional Islam seperti pondok pesantren atau ma’had-ma’had dipelosok negeri Islam. Variasi konsep pendidikan berupa lembaga-lembaga pendidikan ternyata juga semakin diperkaya dengan keberagaman kurikulum yang diajarkan. Ada yang secara konsisten mencoba konsep institusi dan kurikulum orisinil Islam, namun mayoritas lebih mengadopsi apa yang dilakukan dan dikembangkan oleh Barat. Beberapa pakar mengkritik strategi “kompromi” yang mengikuti Barat. Mengadopsi konsepsi barat sama saja menggunakan semangat dan paradigma keilmuan barat yang pada hakikatnya berusaha selalu bebas dari unsur-unsur agama. Dengan demikian konsepsi barat secara logis bagi mereka para pakar pendidikan Islam, hanya akan memandulkan Islam sebagai objek pembelajaran. Dengan demikian, menurut mereka kembali menggali konsepsi dan kurikulum genuine Islam sepatutnya terus dilakukan dan diaplikasikan terutama oleh negara-negara muslim.

Dominasi barat dalam periode kontemporer sewajarnya tidak menjadikan pakar pendidikan muslim menjadi silau dan kemudian secara buta mencontek apa yang mereka lakukan. Secara bijak mereka harus menilai bahwa kemajuan peradaban yang dibangun oleh Barat sebenarnya secara konsisten menunjukkan tingkat ketimpangan antara moral dan pembangunan fisik ekonomi. Lihat saja bagaimana angka kriminalitas yang tidak semakin menurun, kesenjangan sosial yang jurangnya semakin dalam, kemiskinan semakin menggurita, padahal pada ketika yang sama fasilitas-fasilitas mewah semakin bertebaran, produk-produk mewah habis diburu pembeli, tempat-tempat perbelanjaan yang memanjakan hasrat konsumtif golongan berduit tumbuh bak jamur di musim hujan. Apa yang salah dari semua itu? Tentu saja yang bertama kali diidentifikasi adalah prilaku para pelakunya, namun pada akhirnya yang kemudian menjadi perhatian adalah sistem pendidikan berikut perangkat dan elemen yang terkandung dalam sistem tersebut. Dan tentu saja sistem pendidikan Islam diharapkan (atau dapat juga dikatakan diharapkan) mampu menjadi obat mujarab awal dari semua langkah pembangunan peradaban.

E. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pembahasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya telah memiliki wilayah dan ruang eksklusif tersendiri yang dilakukan oleh para pemikir Islam dan beberapa golongan pemikir non-muslim pemerhati perkembangan keilmuan di dunia ini. Sehingga mungkin akan terkesan tidak bermakna jika kemudian penulis mencoba mengangkat isu ini dalam sub-bab pada buku ini. Namun maksud penulis bukanlah untuk secara komprehensif memberikan pengetahuan tentang latar belakang, proses islamisasi, strategi dan lain sebagainya yang menjadi ruang lingkup bidang keilmuan ini, namun hanya sekedar ingin memberikan wawasan tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan terkait dengan disiplin Ekonomi Islam. Namun harus diakui bahwa disiplin ekonomi Islam merupakan buah atau hasil dari diskusi panjang tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Sehingga dalam situasi tertentu pemahaman tentang Islamisasi ilmu pengetahuan ini sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi Islam sebagai ilmu.

Terdapat tiga arus besar pemikiran yang masing-masing memiliki konsepsi sekaligus strategi implementasi Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun yang perlu digaris-bawahi adalah ketiganya memiliki kesamaan bahwa urgensi penyesuaian pengembangan berikut proses pembelajaran ilmu dalam Islam memiliki karakter dan sasaran yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Barat. Ketiga arus besar pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut diusung masing-masing oleh Ismail Raji Al faruqi, Ziauddin Sardar dan Syed Muhammad Naquib Al Attas. Ketiganya pada dasarnya berbeda dalam strategi mewujudkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Secara sederhana Al Faruqi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang saat ini tengah berkembang tidak semuanya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, Faruqi menyarankan proses Islamisasi adalah melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Jika semua aspek ilmu tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka otomatis ilmu tersebut dapat dipakai dan dikembangkan lebih lanjut. Namun jika ada beberapa unsur dalam suatu ilmu tertentu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sebaiknya dilakukan proses penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Metode ini oleh Louay Safi dianggap sebagai metode integrasi antara teori dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler (yang saat ini tengah eksis)[10]

Karya Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan yang banyak menjadi referensi para pemikir adalah Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, yang diterbitkan oleh The International Institute of Islamic Thought (1989). Karya Faruqi ini banyak menjadi rujukan pakar lain dalam memahami dan mengembangkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena konsep Faruqi dinilai sangat aplikatif dibandingkan dengan konsep Al Attas dan Sardar. Konsep Faruqi secara teknis tidak menafikan ilmu pengetahuan yang saat ini sedang eksis yaitu keilmuan sekuler, yang dilakukan hanyalah pemilihan dan pemilahan apa yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Implementasi dari pemikiran Faruqi ini terwujud dengan berdirinya International Islamic University (IIU) di Kuala Lumpur Malaysia dan Islamabad Pakistan.

Sedangkan Ziauddin Sardar berkeyakinan bahwa proses Islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses yang memulai pengembangan semua cabang ilmu dari awal sekali. Pengembangan dengan strategi ini akan menghindari kontaminasi dari pemikiran Barat yang memang memiliki paradigma dan semangat yang berbeda dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelum ini bahwa sekularisme menjadi semangat atau bahkan panduan bagi pakar-pakar ilmu Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma yang memelihara jarak antara agama dan ilmu menjadi sangat tidak relevan untuk kemudian diikuti oleh pakar ilmu Islam. Dan ini dinilai Sardar cukup vital dalam menentukan strategi pengembangan ilmu. Oleh sebab itulah Sardar merekomendasikan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang telah ada. Dibandingkan dengan dua pemikiran lainnya yaitu Faruqi dan Al Attas, pemikiran Sardar ini hingga kini kurang mendapat sambutan karena kesulitan implementasinya.

Sementara itu Syed Muhammad Naquib Al Attas memiliki alasan yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Sardar, namun dengan implementasi yang berbeda. Al Attas berpendapat proses Islamisasi haruslah menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik keilmuan Islam yang ada. Perbedaan yang cukup mendasar antara struktur keilmuan Islam dan Barat membuat Al Attas berkeyakinan bahwa proses yang diusulkan oleh Faruqi menjadi sangat tidak relevan. Tetapi juga tidak setuju dengan apa yang direkomendasikan oleh Sardar. Al Attas secara sederhana mengusulkan proses pembelajarannya adalah melanjutkan apa yang telah diakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Beliau berpendapat bahwa dominasi intelektual Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran yang tidak tepat serta tidak didukung oleh kurikulum yang benar akan menghasilkan output yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam dalam mengeluarkan ummat Islam dari keterpurukannya saat ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara pemikiran Al Attas dan Faruqi, salah satunya terletak pada strategi implementasi. Al Attas cenderung memilih strategi Islamisasi dengan islamisasi nilai-nilai individual manusia. Sementara Faruqi relatif lebih mengutamakan strategi yang bermula pada prilaku kolektif. Oleh sebab itu titik tekan ini menentukan perbedaan selanjutnya pada turunan-turunan pemikiran lainnya. Karya monumental Al Attas yang menggambarkan gagasan besar Islamisasi ilmu pengetahuan diantaranya Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Islam dan Sekularisme, Islam dan Filsafat Sains dan Konsep Pendidikan Islam. Dan gagasan besar ini Al Attas wujudkan dalam bentuk pendirian International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur Malaysia.

Dari tiga arus utama pemikiran ini, perlu dipahami bahwa ketiganya memiliki semangat yang sama dalam menampilkan Islam sebagai satu sistem hidup dan kehidupan manusia. Pada ketiganya Islam diyakini sebagai satu sistem yang relevan bagi pengaturan kehidupan manusia menuju pada kebaikan yang hakiki. Kesejahteraan, keseimbangan dan keadilan menjadi muara dari penerapan sistem yang benar, inilah ide dari keyakinan ini. Dan Islam memiliki kriteria yang shahih dan valid untuk memberikan hasil kesejahteraan, keseimbangan dan keadilan. Sementara ketiga pemikiran diatas hanyalah sekedar strategi bagaimana mengejawantahkan sistem Islam dalam kehidupan manusia. Dan strategi ini membutuhkan sikap yang bijaksana dalam aplikasinya. Perbedaan pada ketiganya tidak kemudian mengaburkan semangat yang terkandung pada ketiga pemikiran tersebut.
[1] Sehingga pada akhirnya disimpulkan tak ada sisi hidup dan kehidupan manusia yang tak diatur oleh Islam.
[2] Oleh karena itu keyakinan pada hari setelah kematian (hereafter) menjadi elemen penting dalam Islam. Ia diposisikan sebagai salah satu rukun iman.
[3] Ismail Raji Al Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, The International Institute of Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series No. 1, 3rd Edition, 1997, pp. 33 – 53.
[4] Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana Atas: Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, Ar Ruzz, Jogjakarta, 2006, pp. 342 – 343.
[5] Kalaupun ada yang meyakini bahwa ekonomi merupakan ilmu yang bebas nilai (pemikiran konvensional), perlu dipahami bahwa “value free” ini pun pada akhirnya akan dianggap sebagai sebuah nilai, apapun bentuknya (lihat Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: an Anatomy of World’s Beliefs, London, Harper Collins, 1996). Karena pada dasarnya jika seorang tidak merujuk pada agama proper, maka sebetulnya ia memeluk suatu “pengganti agama”, dan sebagai konsekwensinya ia juga memilih, memilah, menghukumi dan menilai (Paul Tillich, Christianity and the Encounter of the World Religions, NY & London, Columbia University Press, 1963)

[6] Alex Lanur, Pengantar Edisi Indonesia, On Liberty: Perihal Kebebasan, John Stuart Mill, Yayasan Obor Indonesia, 2005, pp. x – xxiv.
[7] Menurut Lanur, pendapat ini bukanlah hal yang baru karena telah juga diutarakan Epicurus (341-271 SM), Claude (Adrian) Helvetius (1715 – 1771) dan David Hartley (1705 – 1757). Namun Bentham membuat teori ini menjadi monumental.
[8] Spencer J. Pack, Smith’s Moral…
[9] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, www.blackmask.com
[10] Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, International Islamic University and International Institute of Islamic Thought, 1996, pp. 5-9.

Tidak ada komentar: