PERNYATAAN: "Joseph Stiglitz boleh mengkritik sampe berbusa2 sistemyang ada di negara maju. Dunia barat boleh mengalami krisis, jangankata 20 kali, 1 juta kali krisis pun boleh terjadi. Yang jadi acuansaya cuma satu: BUKTI EMPIRIS mereka MASIH BERJAYA. Negara-negarabarat itu TAK RUNTUH. Negara-negara barat itu MASIH BERJAYA hinggahari ini."
Menganalisa "sistem" sepatutnya melihat semua elemen yang terangkum dalam mekanisme interaksi dalam himpunan sistem tadi, sehingga menilai bahwa sistem tersebut berjaya atau tidak sangat tidak valid hanya diukur dari kesuksesan satu elemen/komponen/pelaku dalam sistem tadi. Terkait dengan sistem ekonomi, maka akan sangat relevan ketika ingin menilai sistem tersebut baik atau tidak, lihat ia pada skala implikasi yang bersifat global tidak dari skala mikro (satu pelakunya saja). karena sistem ekonomi pada dasarnya ada aktivitas interaksi, mekanisme sebab-akibat, dari fenomena ketergantungan hingga fenomena trade-off.
Amerika, eropa, khusus lagi negara-negara skandinavia yang saat ini selalu menjadi rujukan kesuksesan sistem konvensional menjadi tidak valid berdasarkan landasan fikir tadi, mereka merupakan salah satu pemain dari sekian pemain yang ada, yang berinteraksi dalam sistem ekonomi (konvensional). mekanisme sebab-akibat, membuat mereka ada pada posisi "berjaya" (lihat Roy Culpeper, New Economic Architecture: Getting The Right Specs, Remarks to the Canadian American Research Centre Faculty of Law, University of Windsor, The North-South Institute, February 15, 1999. atau Peter Barberton dan Allen Lane, Excerpts from Debt and Delusion, The Pinguin Press, 1999). Kalau dilihat pada skala global, mohon cek data-data sosial ekonomi dunia (mungkin world bank bisa dijadikan rujukan), apakah data pengangguran semakin menurun, data kelaparan, gelandangan, social unrest, kriminalitas, kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi (ketimpangan sektor riil dan keuangan yangrasionya sudah mencapai 6:500).
Umer Chapra (2000) mengungkapkan dalam sistem ekonomi konvensional terdapat kesenjangan atau lebih tepat disebut kontradiksi antara kecenderungan pribadi pada tingkat mikroekonomi dengan tujuan-tujuan kolektif makroekonomi. Masalah yang ditimbulkan akibat kontradiksi ini, seperti tak tercapainya full employment dan pertumbuhan ekonomi yang sustainable, juga tidak dapat dipecahkan oleh pemikir konvensional baik mazhab klasik maupun Keynessian.Namun perlu diakui bahwa ekonomi konvensional mengandung kebenaran-kebenaran yang bersifat universal. Tapi perlu dibedakan kebenaran-kebenaran tersebut dengan konsekwensi-konsekwensi logis dari filosofi, nilai dasar dan paradigma ekonomi konvensional, sehingga dalam membangun mekanisme ekonomi Islam tidak terjadi kebingungan dan kerancuan, seperti terjebak pada usaha-usaha pemadanan apa yang ada di konvensional.
Tak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi peradaban ummat manusia. Kemudahan fasilitas hidup, perkembangan teknologi, variasi produk, infrastruktur, menjadi bukti bahwa kapitalisme menunjukkan perannya yang signifikan dalam sejarah peradaban ummat manusia. Namun terlepas dari hal itu semua, tak juga salah ketika ternyata dalam analisa, dibalik kesuksesan kapitalisme memberikan kemajuan ekonomi bagi manusia, ada kerancuan atau bahkan kontradiktif yang pada hakikatnya menghancurkan kesuksesan tadi.
Selama abad 20, yaitu masa pembangunan ekonomi kapitalisme, selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, ternyata terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan bahwa sistem kapitalisme memberikan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-implikasi negatif. Jeratan hutang di hampir seluruh negara berkembang, kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga, dan krisis-krisis ekonomi khususnya sektor keuangan tak putus-putusnya menyerang perekonomian dunia. Bahkan krisis-krisis ekonomi tersebut, setelah runtuhnya kesepakatan Breeton Woods (1971) atau runtuhnya Smithsonian Agreement (1973), semakin tinggi frekuensi kekerapannya. Dalam interaksi ekonomi internasional terlihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dalam percaturan ekonomi dunia, bahkan wujud kecenderungan eksploitasi ekonomi dari sekelompok negara terhadap sekelompok negara yang lain. Sehingga kekacauan ekonomi yang cenderung diciptakan oleh ekonomi kapitalis, wujud bukan hanya dalam perekonomian lokal tapi juga menggurita dalam perekonomian dunia secara menyeluruh. Ketimpangan ekonomi diantara negara-negara dunia bahkan kemudian bukan sekedar menjelma menjadi eksploitasi ekonomi tapi meluas pada wilayah hukum, social budaya dan bahkan politik.
Ada yang mengungkapkan kontraksi-kontraksi ekonomi merupakan sebuah kewajaran, baik berupa krisis ekonomi, resesi atau bahkan depresi. Kontraksi ekonomi tersebut dipercayai mampu memperkokoh sistem ekonomi pada masa selanjutnya. Artinya bahwa sebuah krisis secara logis menunjukkan kelemahan yang ada dalam struktur ekonomi yang ada, sehingga diperlukan sebuah kebijakan (treatments) yang kemudian secara tak langsung memperkokoh bangunan ekonomi. Namun kenapa krisis kini semakin sering terjadi ? Hal ini kontradiktif dengan hipotesa pakar ekonomi di atas. Kesimpulan yang sangat masuk akal adalah ada yang salah dengan sistem yang dianut.
Kontradiksi kemajuan ekonomi pada dasarnya bersumber dari paradigma dasar pengembangannya, disini saya ingin mengungkapkan sedikit apa yang menjadi definisi, motivasi, paradigma ekonomi konvensional:Definisi yang menyebutkan ekonomi adalah segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan factor-faktor produksi yang terbatas. Dari definisi ini ada dua makna yang dapat kita simpulkan; pertama, definisi ini menyiratkan tingkah laku manusia tersebut terfokus sebagi tingkah laku yang bersifat individual. Kedua, bahwa tingkah laku manusia itu bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas. Definisi ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi konvensional. F.Y. Edgworth (1881) merupakan tokoh utama yang mengemukakan motif self interest (egoism) dari prilaku ekonomi manusia . Namun hal ini juga sebenarnya sudah dijelaskan secara garis besar oleh Herbert Spencer (1879) dan Henry Sidgwick (1874) . Sebenarnya hal ini merupakan kelanjutan dari pemikiran Jeremy Bentham (1748-1823) tentang utilitarianism. Menurut Jeremy Bentham (1748-1823) rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing pain. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik.
Dari diskusi intelektual mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth memiliki alasan kuat bahwa hanya egoismelah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi prilaku manusia (egoistic behaviour). Alasan ini juga yang menjawab hipotesa-hipotesa yang dikemukakan Herbert Spencer dalam menganalisa hubungan antara egoisme (individualistic) dan altruisme (collectivity).Prilaku ekonomi yang diwarnai oleh moral sebenarnya pernah menjadi diskusi hangat dalam ekonomi konvensional, namun karena kesulitan menentukan alat ukurnya maka wacana beralih dari moralitas ke sesuatu yang lebih materi/kuantitatif yaitu egoisme. Beberapa tulisan yang berguna untuk dijadikan referensi diantaranya “Short Introduction to Moral Philosophy”-nya Francis Hutcheson (konon guru dari Adam Smith) atau “The Crisis in Economics Theory: Model and Reality in Economics”-nya Daniel Bell (edited by Daniel Bell & Irving Kristol). Berdasarkan beberapa literatur diakui sejak Alfred Marshall menulis bukunya “Principles of Economics” (1890) ekonomi memisahkan aktivitas moral dalam pembahasan dan pengembangan ekonomi. Pada akhirnya ekonomi hanya mengenal “instrumental” yang bersifat terukur dan konsisten dalam pengembangannya, oleh sebab itu nilai dasarnya cenderung menggunakan egoism dan utilitarianism yang focus pada pengejaran kepentinganpribadi. Transformasi pemikiran ini juga tergambar dari tulisan Bapak Ekonomi modern Adam Smith yaitu dari “Theory of Moral Sentiments” ke “Wealth of Nations”.
Landasan nilai egoisme ini menurut A.K. Sen kemudian menjadi motif ekonomi menggunakan pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan rasional ini sebenarnya menunjukkan konsistensi internal dari seorang individu dalam berprilaku. Dan dengan landasan inilah kemudian secara substansi ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan.
Kamis, 22 November 2007
Senin, 12 November 2007
Zakat & Konsumsi
C = Co + b Yd
Co = konsumsi yang tak tergantung income
b = MPC
Yd = income yang bisa dibelanjakan
Dimana dalam konvensional Yd = Y – Tx
Dalam Islam Tx konvensional tidak dikenal (lihat Al Kharaj, Abu Yusuf), maka, Yd = Y – Z. karena kewajiban bukan hanya untuk muslim (berupa zakat) tetapi juga non muslim (berupa Kharaj & Jizyah), maka Yd = Y – Z – Jz – Kh.
Dengan demikian konsumsi menjadi
C = Co + b (Y – Z –Jz – Kh)
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Berarti Z (zakat) berkorelasi negative terhadap C (konsumsi), dimana Z naik maka C berkurang? Betul! Karena persamaan diatas tepat bagi golongan muzakki (orang kaya) dimana zakat akan mengurangi income yang mereka bisa belanjakan, sehingga secara keseluruhan zakat akan mengurangi kemampuan konsumsi mereka. Kalau begitu konsumsi dalam Islam ada dua: konsumsi untuk muzakki (orang kaya) yaitu Ci dan konsumsi untuk mustahik (fakir-miskin) yaitu Ck, dimana:
C total = Ci + Ck.
Ci = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Ck = Z + Jz + Kh
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh + (Z + Jz + Kh)
C = Co + bY + Z(1 – b) + Jz(1 – b) + Kh(1 – b) atau
C = Co + bY + (Z + Jz + Kh) (1 – b)
Selalunya MPC bernilai: 0 <> 0, maka Z akan selalu berkorelasi positif dengan C, zakat naik pastinya C naik. Secara makro zakat naik, konsumsi naik, output nasional juga naik. Ada zakat volume ekonomi bertambah. Kenapa akhirnya zakat berpengaruh positif padahal ia negatif ditangan orang-orang kaya? Kuncinya pada perbedaan sensitifitas konsumsi orang kaya dan orang fakir-miskin terhadap zakat (sebagai pemotong dan sumber income). Karena ada MPC, maka korelasi negatif zakat terhadap konsumsi pada muzakki akan lebih kecil daripada korelasi positif zakat terhadap konsumsi pada mustahik. Wallahu a’lam.
Co = konsumsi yang tak tergantung income
b = MPC
Yd = income yang bisa dibelanjakan
Dimana dalam konvensional Yd = Y – Tx
Dalam Islam Tx konvensional tidak dikenal (lihat Al Kharaj, Abu Yusuf), maka, Yd = Y – Z. karena kewajiban bukan hanya untuk muslim (berupa zakat) tetapi juga non muslim (berupa Kharaj & Jizyah), maka Yd = Y – Z – Jz – Kh.
Dengan demikian konsumsi menjadi
C = Co + b (Y – Z –Jz – Kh)
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Berarti Z (zakat) berkorelasi negative terhadap C (konsumsi), dimana Z naik maka C berkurang? Betul! Karena persamaan diatas tepat bagi golongan muzakki (orang kaya) dimana zakat akan mengurangi income yang mereka bisa belanjakan, sehingga secara keseluruhan zakat akan mengurangi kemampuan konsumsi mereka. Kalau begitu konsumsi dalam Islam ada dua: konsumsi untuk muzakki (orang kaya) yaitu Ci dan konsumsi untuk mustahik (fakir-miskin) yaitu Ck, dimana:
C total = Ci + Ck.
Ci = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Ck = Z + Jz + Kh
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh + (Z + Jz + Kh)
C = Co + bY + Z(1 – b) + Jz(1 – b) + Kh(1 – b) atau
C = Co + bY + (Z + Jz + Kh) (1 – b)
Selalunya MPC bernilai: 0 <> 0, maka Z akan selalu berkorelasi positif dengan C, zakat naik pastinya C naik. Secara makro zakat naik, konsumsi naik, output nasional juga naik. Ada zakat volume ekonomi bertambah. Kenapa akhirnya zakat berpengaruh positif padahal ia negatif ditangan orang-orang kaya? Kuncinya pada perbedaan sensitifitas konsumsi orang kaya dan orang fakir-miskin terhadap zakat (sebagai pemotong dan sumber income). Karena ada MPC, maka korelasi negatif zakat terhadap konsumsi pada muzakki akan lebih kecil daripada korelasi positif zakat terhadap konsumsi pada mustahik. Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)