Selasa, 26 Juli 2011

Rasionalitas Fatwa Vs Rasionalitas Ekonomi Islam

Saya ingin kembali mengutip pendapat Dr. Mohammad Obaidullah (IRTI-IDB) dalam melihat permasalahan produk lembaga keuangan syariah yang saat ini semakin memudar karakter syariahnya. Pendapat beliau ini pula yang menjadi salah-satu inspirasi saya dalam merenungi apa yang saat ini sedang terjadi di industri perbankan syariah nasional.

Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan industri keuangan syariah terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam.

Oleh sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap aktifitas ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.

Beberapa akademisi seringkali mengalami kebingungan ketika sebuah fatwa men-drive produk bertingkah-laku dan berimplikasi bertolak belakang dengan logika ekonomi Islam yang selama ini diyakini. Bagaimana mungkin prinsip hukum syariah sebagai landasan fatwa atas sebuah produk bisa berlawanan arah destinasinya dengan rasionalitas implikasi ekonomi Islam. Bukankah menjadi pertanyaan yang sangat mendasar kenapa ini dapat terjadi? Bukankah prinsip hukum syariah memiliki semangat, substansi dan tujuan yang sama dengan ekonomi Islam? Kalau keduanya bertolak belakang posisinya, mana yang harus diikuti?

Saya sedang “bingung”, bagaimana mungkin di satu sisi saya berbangga-bangga pada ekonomi Islam karena substansinya yang melekat erat dengan aktifitas ekonomi produktif, namun di sisi yang lain saya “terbengong-bengong” melihat produk keuangan syariah ternyata begitu mesranya duduk berdampingan dengan produk-produk konvensional, dan akhir-akhir ini saya semakin susah membedakan kedua produk itu.

Tidak ada komentar: