Kamis, 30 April 2009
Jika Tidak...
Bersyukurlah akhi jika hari-harimu masih disibukkan dengan kerja-kerja amal shaleh. Jika tidak, bersyukurlah akhi karena masih ada kerja amal shaleh yang kita lakukan. Jika tidak, bersyukurlah karena kegelisahan masih ada dihatimu bila kerja-kerja amal shaleh masih belum (banyak) kau tunaikan. Jika tidak, bersyukurlah akhi jika kau masih memiliki rasa menyesal karena tidak bisa melakukan amal shaleh. Jika tidak, bersyukurlah akhi karena kau masih bisa membedakan amal shaleh dan amal bathil. Jika tidak, bersyukurlah akhi karena kau masih bisa menjaga dirimu dari prilaku sia-sia dan dosa. Jika tidak, bersyukurlah akhi karena Allah masih berikan waktu dan kesempatan di dunia ini untuk bertaubat dan memperbaiki diri.
Rabu, 29 April 2009
Global Financial Crisis: Apa Khabar Hari ini?
khabar menarik hati di layar kaca dini hari tadi. GDP Amerika pada triwulan pertama 2009 shrinking 6,1%, fantastis! perkembangan buruk yang lebih buruk dari semua prediksi pakar dan lembaga keuangan dunia. khawatir akan ada orang (entah kapasitasnya apa) mengatakan: loh kan ini pertanda baik, karena setelah tenggelam pasti dia akan timbul kembali, ini persiapan untuk melenting lebih tinggi, bukankah lambungan tinggi itu berkorelasi positif dengan ancang-ancang yang lebih dalam? kalau inipun sebuah proyeksi, pasar pasti akan memberikan jawabannya seperti yang sudah-sudah: kenyataan yang tak terduga!
laporan yang tidak kalah mengherankan mengiringi "prestasi" amerika ini adalah survey terhadap popularitas Obama yang masih relatif tinggi. hebat ya. mungkin Obama akan bilang jika bukan karena kerja saya dan tim ekonomi kami, mungkin pertumbuhan negatif Amerika akan lebih buruk dari itu. alasan klasik dan Amerika banget. lagunya CEO-CEO Amerika kan juga seperti itu, pake jurus yang sama untuk menjustifikasi bonus-bonus yang mereka dapatkan diluar gaji dan tunjangan, apapun kondisi perusahaan yang dia pimpin.
sementara itu di belahan dunia lain, di Eropa tidak kalah dahsyatnya fenomena ekonomi yang terjadi. raksasa ekonomi Eropa, Germany diperkirakan juga akan mengalami pertumbuhan minus 6,0%. raksasa industri Germany, VW mengalami penurunan profit 74%, Continental 57%, Bayer 44%. keren ga tuh?! sedangkan Italy mengalami penyusutan ekonomi kurang lebih sebesar 2%, tapi prestasi Italy yang membuat sedikit bangga adalah industri mobil Fiat-nya akan membantu Chrysler perusahaan raksasa otomotif Amerika yang sudah di ujung tanduk.
beda sama industri unyil disekitar rumah gue. warung-warung nasi uduk semakin menjamur, pasar pagi, pasar malam dan pasar kaget lainnya semakin meluber. pusat-pusat belanja, piknik, hobby semakin membludak penggemarnya. sementara itu tetanggaku ga cukup 1 mobil di rumahnya, bahkan ditambah sedikit demi sedikit beberapa motor, eh sepeda juga ding kan lagi tren. sementara saya baru aja jual motor buat tambah-tambah kontrakan rumah yang semakin meningkat rate-nya. tuh kan rate rumah kontrakan juga naik loh, jadi rumah kosong ga lama kok keadaannya. pasti ada penyewa yang akan datang. hebat ya ciputat eh Indonesia?!
laporan yang tidak kalah mengherankan mengiringi "prestasi" amerika ini adalah survey terhadap popularitas Obama yang masih relatif tinggi. hebat ya. mungkin Obama akan bilang jika bukan karena kerja saya dan tim ekonomi kami, mungkin pertumbuhan negatif Amerika akan lebih buruk dari itu. alasan klasik dan Amerika banget. lagunya CEO-CEO Amerika kan juga seperti itu, pake jurus yang sama untuk menjustifikasi bonus-bonus yang mereka dapatkan diluar gaji dan tunjangan, apapun kondisi perusahaan yang dia pimpin.
sementara itu di belahan dunia lain, di Eropa tidak kalah dahsyatnya fenomena ekonomi yang terjadi. raksasa ekonomi Eropa, Germany diperkirakan juga akan mengalami pertumbuhan minus 6,0%. raksasa industri Germany, VW mengalami penurunan profit 74%, Continental 57%, Bayer 44%. keren ga tuh?! sedangkan Italy mengalami penyusutan ekonomi kurang lebih sebesar 2%, tapi prestasi Italy yang membuat sedikit bangga adalah industri mobil Fiat-nya akan membantu Chrysler perusahaan raksasa otomotif Amerika yang sudah di ujung tanduk.
beda sama industri unyil disekitar rumah gue. warung-warung nasi uduk semakin menjamur, pasar pagi, pasar malam dan pasar kaget lainnya semakin meluber. pusat-pusat belanja, piknik, hobby semakin membludak penggemarnya. sementara itu tetanggaku ga cukup 1 mobil di rumahnya, bahkan ditambah sedikit demi sedikit beberapa motor, eh sepeda juga ding kan lagi tren. sementara saya baru aja jual motor buat tambah-tambah kontrakan rumah yang semakin meningkat rate-nya. tuh kan rate rumah kontrakan juga naik loh, jadi rumah kosong ga lama kok keadaannya. pasti ada penyewa yang akan datang. hebat ya ciputat eh Indonesia?!
Balada Orang Kaya & Orang Miskin (2)
dalam perspektif ekonomi Islam pencurian hak orang miskin memang dapat dikatakan terjadi karena keserakahan orang-orang kaya. pencurian karena orang kaya tidak punya hati untuk sedekah, infak apalagi wakaf, atau pencurian karena orang kaya termanjakan oleh gaya hidup mereka, oleh hobby, fashion, dan semua label-label kemegahan yang ingin mereka kunyah semua.
tetapi pada sisi lain pencurian hak orang miskin dapat terjadi karena memang sistem ekonomi yang mencuri hak mereka. sistem yang melegalkan keserakahan orang-orang kaya adalah sistem maling. sistem yang menjadikan bunga sebagai punggawa sistem adalah sistem yang melestarikan perampokan dalam ekonomi. karena pada hakikatnya bunga adalah hasil rampokan yang dilegalkan oleh sistem itu.
terlebih lagi ketika pajak orang kaya atau dalam islam dikenal sebagai zakat tidak berlaku dalam masyarakat, maka orang-orang miskin hanya jadi budak sistem dan keserakahan orang-orang kaya. hubungan kaya dan miskin menjadi sangat kasar, sangat tidak manusiawi, hubungan layaknya juragan dan budak.
apalagi dalam zaman modern seperti saat ini, ternyata kemiskinan dan mengemis ternyata telah menjadi salah satu sektor dalam industri. kemiskinan menjadi komoditi, kemasannya dibuat semenarik mungkin. produknya mulai sangat bervariasi, dari mengemis, ngamen hingga berkedok sumbangan. sehingga kemiskinan memiliki pasarnya sendiri, memiliki musimnya sendiri, demand - supply SDM-nya pun sudah dapat dimodelkan. bahkan harga kemiskinan saat ini terus mengalami inflasi. pernah saya lihat seorang anak membuang uang logam yang diberikan pengemudi kendaraan, mungkin ia berhitung kalau uang itu tidak layak dengan effort yang sudah dia keluarkan. wuihhh... edan negeri ini.
tidak kalah edannya prilaku orang kaya, meskipun kalau yang satu ini tidak perlu lagi dijabarkan dalam tulisan ini, karena boleh jadi kita semua terdakwanya. jangan lihat prilaku orang-orang VIP itu dalam menghabiskan malamnya di kamar-kamar sempit di hotel-hotel padahal rumahnya seluas lapangan upacara, untuk sekedar ingin geleng-geleng kepala melihat tingkah laku mereka. tapi mungkin kita bisa mulai dengan diri kita, yang lebih banyak menghabiskan uang untuk asesoris motor lebih besar dari harga motor itu sendiri, atau berganti-ganti merek dan kecanggihan handphone hanya karena alasan BOSAN!
cape gue! tiap hari harus nahan-nahan ga beli apa-apa karena mikirin semua ini. idealisme atau sekedar ingin riya dimata manusia lain, bahwa gue ga serakah loh, gue care sama saudara-saudara yang miskin loh, gue empati dengan mereka lewat gaya hidup gue yang ga fashionable...
hahaha... meminjam hasil renunganku yang ku posting di web yang berbeda... sabar itu cuma kesediaan menunggu hikmah. yupe akhirnya tulisan ini bukan artikel, tapi sebatas curhat. what do you think?
tetapi pada sisi lain pencurian hak orang miskin dapat terjadi karena memang sistem ekonomi yang mencuri hak mereka. sistem yang melegalkan keserakahan orang-orang kaya adalah sistem maling. sistem yang menjadikan bunga sebagai punggawa sistem adalah sistem yang melestarikan perampokan dalam ekonomi. karena pada hakikatnya bunga adalah hasil rampokan yang dilegalkan oleh sistem itu.
terlebih lagi ketika pajak orang kaya atau dalam islam dikenal sebagai zakat tidak berlaku dalam masyarakat, maka orang-orang miskin hanya jadi budak sistem dan keserakahan orang-orang kaya. hubungan kaya dan miskin menjadi sangat kasar, sangat tidak manusiawi, hubungan layaknya juragan dan budak.
apalagi dalam zaman modern seperti saat ini, ternyata kemiskinan dan mengemis ternyata telah menjadi salah satu sektor dalam industri. kemiskinan menjadi komoditi, kemasannya dibuat semenarik mungkin. produknya mulai sangat bervariasi, dari mengemis, ngamen hingga berkedok sumbangan. sehingga kemiskinan memiliki pasarnya sendiri, memiliki musimnya sendiri, demand - supply SDM-nya pun sudah dapat dimodelkan. bahkan harga kemiskinan saat ini terus mengalami inflasi. pernah saya lihat seorang anak membuang uang logam yang diberikan pengemudi kendaraan, mungkin ia berhitung kalau uang itu tidak layak dengan effort yang sudah dia keluarkan. wuihhh... edan negeri ini.
tidak kalah edannya prilaku orang kaya, meskipun kalau yang satu ini tidak perlu lagi dijabarkan dalam tulisan ini, karena boleh jadi kita semua terdakwanya. jangan lihat prilaku orang-orang VIP itu dalam menghabiskan malamnya di kamar-kamar sempit di hotel-hotel padahal rumahnya seluas lapangan upacara, untuk sekedar ingin geleng-geleng kepala melihat tingkah laku mereka. tapi mungkin kita bisa mulai dengan diri kita, yang lebih banyak menghabiskan uang untuk asesoris motor lebih besar dari harga motor itu sendiri, atau berganti-ganti merek dan kecanggihan handphone hanya karena alasan BOSAN!
cape gue! tiap hari harus nahan-nahan ga beli apa-apa karena mikirin semua ini. idealisme atau sekedar ingin riya dimata manusia lain, bahwa gue ga serakah loh, gue care sama saudara-saudara yang miskin loh, gue empati dengan mereka lewat gaya hidup gue yang ga fashionable...
hahaha... meminjam hasil renunganku yang ku posting di web yang berbeda... sabar itu cuma kesediaan menunggu hikmah. yupe akhirnya tulisan ini bukan artikel, tapi sebatas curhat. what do you think?
Selasa, 28 April 2009
Balada Orang Kaya & Orang Miskin: urgensi orang kaya yang zuhud dan orang miskin yang qona'ah
pagi ini saya agak tertegun dan merenung lebih jauh ketika membaca satu ayat yang dibahas dalam sebuah buku kecil yang bercerita tentang nafkah, ayat tersebut surah Al Mukminun ayat 64, dimana Tuhan berfirman:
"Hingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong."
menerawang saya pada kondisi perekonomian global terakhir ini, krisis keuangan telah membuat khabar kesusahan muncul dimana-mana. tapi kalo ingin sedikit lugu, dan kemudian bertanya, siapa sih yang susah? siapa sih yang terus rugi karena pasar mortgage tiarap, pasar modal rontok, bank-bank tumbang? hmmm... orang-orang kaya bukan?!
saksikanlah bagaimana sentilan Tuhan pada ayat di atas secara ringan betul-betul dipertontonkan oleh dunia saat ini. orang-orang kaya susah (kalau tidak ingin dikatakan diazab oleh Tuhan), dan teriakan mereka memekakkan telinga semua orang di dunia. kesusahan mereka menyusahkan semua penghuni bumi. padahal susah itu definisinya cuma kekayaan mereka berkurang, bukan nasi mereka tidak tersedia lagi di meja. setiap kali krisis terjadi, orang-orang kaya itu yang membuat sibuk semua pihak, dari pemerintah, praktisi, akademisi sampai dukun-dukun di pelosok desa.
padahal sepanjang waktu atau bahkan zaman, mereka yang miskin sudah teriak sekuat-kuatnya sampai suara terakhir yang mereka punya. mereka teriak karena mereka tak temukan sesuap nasi selama berhari-hari. namun teriakan mereka tenggelam oleh canda tawa kaum kaya. teriakan mereka seperti pantun-pantun jangkrik di waktu petang, tidak layak di perhatikan karena mungkin tidak penting. teriakan mereka dianggap sebagai suara lumrah kehidupan.
dan akhirnya, wajah ekonomi adalah wajah keserakahan orang-orang kaya. kalau sudah seperti itu jangan mengernyitkan dahi, jangan pula keluar tanya dari lisan; kenapa sih ada orang jahat yang nyolong laptop di mobil saya? alasannya sederhana kata iwan fals, para pencuri itu timbul karena nasinya di curi.
tidakkah ini cukup membuat ekonomi sepatutnya konsisten memihak pada kebutuhan mereka yang miskin. sementara mereka yang cukup dan kaya tergerak untuk berakrab-akrab dengan mereka yang miskin. percayalah arah ekonomi Islam ingin mengarahkan prilaku manusia dan sistem untuk ada di garis kecenderungan itu. sampai nanti bisa kita saksikan dan dunia akui, wujudnya secara masif orang-orang kaya yang zuhud dengan hartanya dan jikapun ada orang-orang miskin, mereka qona'ah dengan keadaan mereka. dengan begitu orientasi semua penduduk alam hanya tertuju pada Tuhan mereka. wallahu a'lam.
"Hingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong."
menerawang saya pada kondisi perekonomian global terakhir ini, krisis keuangan telah membuat khabar kesusahan muncul dimana-mana. tapi kalo ingin sedikit lugu, dan kemudian bertanya, siapa sih yang susah? siapa sih yang terus rugi karena pasar mortgage tiarap, pasar modal rontok, bank-bank tumbang? hmmm... orang-orang kaya bukan?!
saksikanlah bagaimana sentilan Tuhan pada ayat di atas secara ringan betul-betul dipertontonkan oleh dunia saat ini. orang-orang kaya susah (kalau tidak ingin dikatakan diazab oleh Tuhan), dan teriakan mereka memekakkan telinga semua orang di dunia. kesusahan mereka menyusahkan semua penghuni bumi. padahal susah itu definisinya cuma kekayaan mereka berkurang, bukan nasi mereka tidak tersedia lagi di meja. setiap kali krisis terjadi, orang-orang kaya itu yang membuat sibuk semua pihak, dari pemerintah, praktisi, akademisi sampai dukun-dukun di pelosok desa.
padahal sepanjang waktu atau bahkan zaman, mereka yang miskin sudah teriak sekuat-kuatnya sampai suara terakhir yang mereka punya. mereka teriak karena mereka tak temukan sesuap nasi selama berhari-hari. namun teriakan mereka tenggelam oleh canda tawa kaum kaya. teriakan mereka seperti pantun-pantun jangkrik di waktu petang, tidak layak di perhatikan karena mungkin tidak penting. teriakan mereka dianggap sebagai suara lumrah kehidupan.
dan akhirnya, wajah ekonomi adalah wajah keserakahan orang-orang kaya. kalau sudah seperti itu jangan mengernyitkan dahi, jangan pula keluar tanya dari lisan; kenapa sih ada orang jahat yang nyolong laptop di mobil saya? alasannya sederhana kata iwan fals, para pencuri itu timbul karena nasinya di curi.
tidakkah ini cukup membuat ekonomi sepatutnya konsisten memihak pada kebutuhan mereka yang miskin. sementara mereka yang cukup dan kaya tergerak untuk berakrab-akrab dengan mereka yang miskin. percayalah arah ekonomi Islam ingin mengarahkan prilaku manusia dan sistem untuk ada di garis kecenderungan itu. sampai nanti bisa kita saksikan dan dunia akui, wujudnya secara masif orang-orang kaya yang zuhud dengan hartanya dan jikapun ada orang-orang miskin, mereka qona'ah dengan keadaan mereka. dengan begitu orientasi semua penduduk alam hanya tertuju pada Tuhan mereka. wallahu a'lam.
Kamis, 23 April 2009
Islamic Finance News: Look East
Dear Ali Sakti,
Describing it as the most severe recession since World War II, the International Monetary Fund (IMF) projects the global economy to shrink by 1.3% in 2009, with a slow recovery expected next year. There will be declining output per capita in countries representing three-quarters of the global economy. Growth is projected to reemerge in 2010, but at 1.9% it would be sluggish relative to past recoveries.
IMF chief economist Olivier Blanchard sees growth in advanced countries becoming positive again in 2010, and returning to its normal level around the end of 2010. He said achieving the projected turnaround will depend on efforts being stepped up to heal the financial sector while continuing to support demand through monetary and fiscal easing.
The IMF reports that across the world, banks are limiting access to credit — and will continue to do so — as the overhang of bad assets and uncertainty about which institutions will remain solvent keep private capital on the sidelines. Many non-financial corporations are unable to obtain working capital, and some are having difficulty raising longer-term debt.
In the face of this difficult and uncertain outlook, it argues for forceful action on both the financial and macroeconomic policy fronts, with the greatest policy priority being financial sector restructuring.A bright spot is China. Its economy is reviving, with the three legs of growth — production, investment and consumption — all moving upward. There is confidence that the worst is over for China’s economy, with the first quarter’s gross domestic product growth of 6.1% said to mark the bottom of the country’s cycle.
This is good news for the world, since China will likely pull the global economy out of recession. The likely shape of the global recovery will be a revival in trade and growth among developing countries first, with rich countries following after a couple of years. China is carefully preparing for this role, signing trade and investment agreements with many emerging nations. China is extending trade credit in yuan and signing currency swap agreements with its largest trading partners in the developing world.
This is also significant news for the Islamic finance industry. China is being increasingly viewed as a fertile green field for the sector. It has an extensive economic and trade reach within the developing world, where Muslim states make up a sizeable number. All along, the industry has naturally gravitated to the west due to the ease of doing business there, but it has been finding it difficult to gain traction in a part of the world that is always sure that it knows best and that what it does is the best.
Hong Kong is already trumpeting that it is the Islamic finance gateway to the mainland even though it has yet to build its infrastructure. Labuan International Business and Financial Centre declares that as an offshore entity, it is best suited to serve China, while Singapore hopes to use its extensive economic network within China to best the others. Japan and Korea are at the starting block.
Hence, there are grounds for optimism for Islamic finance practitioners. Just look east.
Best regards,
IFN team
Describing it as the most severe recession since World War II, the International Monetary Fund (IMF) projects the global economy to shrink by 1.3% in 2009, with a slow recovery expected next year. There will be declining output per capita in countries representing three-quarters of the global economy. Growth is projected to reemerge in 2010, but at 1.9% it would be sluggish relative to past recoveries.
IMF chief economist Olivier Blanchard sees growth in advanced countries becoming positive again in 2010, and returning to its normal level around the end of 2010. He said achieving the projected turnaround will depend on efforts being stepped up to heal the financial sector while continuing to support demand through monetary and fiscal easing.
The IMF reports that across the world, banks are limiting access to credit — and will continue to do so — as the overhang of bad assets and uncertainty about which institutions will remain solvent keep private capital on the sidelines. Many non-financial corporations are unable to obtain working capital, and some are having difficulty raising longer-term debt.
In the face of this difficult and uncertain outlook, it argues for forceful action on both the financial and macroeconomic policy fronts, with the greatest policy priority being financial sector restructuring.A bright spot is China. Its economy is reviving, with the three legs of growth — production, investment and consumption — all moving upward. There is confidence that the worst is over for China’s economy, with the first quarter’s gross domestic product growth of 6.1% said to mark the bottom of the country’s cycle.
This is good news for the world, since China will likely pull the global economy out of recession. The likely shape of the global recovery will be a revival in trade and growth among developing countries first, with rich countries following after a couple of years. China is carefully preparing for this role, signing trade and investment agreements with many emerging nations. China is extending trade credit in yuan and signing currency swap agreements with its largest trading partners in the developing world.
This is also significant news for the Islamic finance industry. China is being increasingly viewed as a fertile green field for the sector. It has an extensive economic and trade reach within the developing world, where Muslim states make up a sizeable number. All along, the industry has naturally gravitated to the west due to the ease of doing business there, but it has been finding it difficult to gain traction in a part of the world that is always sure that it knows best and that what it does is the best.
Hong Kong is already trumpeting that it is the Islamic finance gateway to the mainland even though it has yet to build its infrastructure. Labuan International Business and Financial Centre declares that as an offshore entity, it is best suited to serve China, while Singapore hopes to use its extensive economic network within China to best the others. Japan and Korea are at the starting block.
Hence, there are grounds for optimism for Islamic finance practitioners. Just look east.
Best regards,
IFN team
Minggu, 19 April 2009
Islamic Finance News: Is A Single Voice Feasible?
Dear Ali Sakti,
Encouraging news concerning Islamic finance is sprouting. The Takaful industry could grow at between 30% and 40% annually in the next three to five years as more people switch from conventional to Islamic insurance after seeing the world’s largest insurer being exposed as just a house of cards. Another driver is the greater competitiveness among Takaful operators.
The Middle East’s asset management sector is set to grow 15% annually to up to US$300 billion by 2014 as investors seek new avenues for investing their money, a fund manager of Algebra Capital said. Retail investors are eager to find alternatives to equity investments after regional stock markets slumped as much as 70% last year.
Even major European insurers are said to be pondering gaining first-mover advantage by entering the Takaful market. Only timing is the prime consideration, according to PricewaterhouseCoopers.
Mergers and acquisitions to beef up Islamic financial institutions (IFIs) are in the offing, too, in not only the Gulf region but also in East and South Asia, and these involve not only those seeking to be rescued but also those banking on lower market prices due to the global financial woes. And that would spur even greater Islamic finance activity.
It was also reported this week that IFIs in the Gulf region are eyeing bargains in Western markets hit by the global crisis. Of course, it’s not all hunky-dory, as there are some institutions which are on bended knees because of overexposure to the now-collapsed property market in the Gulf.
For sure, the biggest bugbear that dampens any dynamic growth for Islamic finance is the inability to have a set of universally accepted standards and practices. There are some organizations striving to realize this but they have met with limited success so far in gaining acceptance beyond their geographical spheres.
Hence, a proposal by Faisal Private Bank’s chief executive, Marco Rochat, is intriguing. He has suggested a body to oversee the market and ensure trading compliance, asserting that a regulated environment would help a lot of investors. Such a move could bridge the differences between accepted products in the Middle East, North Africa and Malaysia, he contends.
Sohail Zubairi, chief executive of Islamic consultancy firm Dar al-Sharia, chipped in with a remark that Islamic finance scholars are not doing enough to promote the industry globally. He argues that because they had not responded to the economic crisis with a unified voice, an opportunity to push the sector into Western financial centers is being missed.
What’s needed is a central voice in Islamic finance, he contends. That is indeed food for thought. But for a start, how about having a single set of Shariah rules, practices and principles on a national scale? A central bank or a similarly authoritative financial regulator could form a single Shariah board to vet and endorse all the products of a country’s IFIs.
Best regards,
IFN team
Encouraging news concerning Islamic finance is sprouting. The Takaful industry could grow at between 30% and 40% annually in the next three to five years as more people switch from conventional to Islamic insurance after seeing the world’s largest insurer being exposed as just a house of cards. Another driver is the greater competitiveness among Takaful operators.
The Middle East’s asset management sector is set to grow 15% annually to up to US$300 billion by 2014 as investors seek new avenues for investing their money, a fund manager of Algebra Capital said. Retail investors are eager to find alternatives to equity investments after regional stock markets slumped as much as 70% last year.
Even major European insurers are said to be pondering gaining first-mover advantage by entering the Takaful market. Only timing is the prime consideration, according to PricewaterhouseCoopers.
Mergers and acquisitions to beef up Islamic financial institutions (IFIs) are in the offing, too, in not only the Gulf region but also in East and South Asia, and these involve not only those seeking to be rescued but also those banking on lower market prices due to the global financial woes. And that would spur even greater Islamic finance activity.
It was also reported this week that IFIs in the Gulf region are eyeing bargains in Western markets hit by the global crisis. Of course, it’s not all hunky-dory, as there are some institutions which are on bended knees because of overexposure to the now-collapsed property market in the Gulf.
For sure, the biggest bugbear that dampens any dynamic growth for Islamic finance is the inability to have a set of universally accepted standards and practices. There are some organizations striving to realize this but they have met with limited success so far in gaining acceptance beyond their geographical spheres.
Hence, a proposal by Faisal Private Bank’s chief executive, Marco Rochat, is intriguing. He has suggested a body to oversee the market and ensure trading compliance, asserting that a regulated environment would help a lot of investors. Such a move could bridge the differences between accepted products in the Middle East, North Africa and Malaysia, he contends.
Sohail Zubairi, chief executive of Islamic consultancy firm Dar al-Sharia, chipped in with a remark that Islamic finance scholars are not doing enough to promote the industry globally. He argues that because they had not responded to the economic crisis with a unified voice, an opportunity to push the sector into Western financial centers is being missed.
What’s needed is a central voice in Islamic finance, he contends. That is indeed food for thought. But for a start, how about having a single set of Shariah rules, practices and principles on a national scale? A central bank or a similarly authoritative financial regulator could form a single Shariah board to vet and endorse all the products of a country’s IFIs.
Best regards,
IFN team
Kamis, 16 April 2009
Seruan Kembali
Jika ada kader dakwah yang diamanahkan “berjihad” di medan politik sebagai caleg, kemudian Allah belum berkehendak ia hadir di medan yang lebih tinggi yaitu parlemen, kemudian ia meminta balik infak politik yang telah ia keluarkan, maka pertanyaan yang kemudian ada dibenakku adalah; apa yang kalian serukan kepada ummat manusia?
Sejatinya memenangi hati manusia adalah menghidupkan pelita di jiwa mereka dengan cahaya Islam. Kader dakwah menyalakannya dengan amal shaleh dan seruan-seruan kebenaran dan kebaikan. Tetapi jika amal shaleh itu kader minta balik, maka sesungguhnya ia tidak dalam berdakwah, sudah pasti bukan berjihad. Kalian kader dakwah yang melakukan itu tak lebih dari mengumbar ambisi kekuasaan dan keduniaan.
Padahal dakwah mengamanahkan kita menghidupkan peradaban baru, termasuk peradaban politik, yaitu peradaban yang mencoba mengenalkan apa sebenarnya politik. Kita ingin memberitahukan kepada segenap ummat manusia seperti apa politik itu sesungguhnya, dari niat, kerja hingga menyikapi setiap takdir hasil kerja.
Tetapi jika telah keluar dari lisan kader dakwah kalimat seperti ini; ini politik akhi! Kita sedang berperang! Bagi saya sudah terputus tanggung jawab saya terhadap apa yang kader itu lakukan. Saya tidak setuju dengan kalimat itu, dan saya benci dalih-dalih semacam itu.
Dakwah ini memiliki kaidah, adab, budaya dan aturannya sendiri, ia memiliki iramanya sendiri. Mengapa kita harus menari dengan alunan musik peradaban lain, kaidah, adab, budaya atau aturan konsepsi lain? Wahai saudaraku kader-kader dakwah, jangan kau lemah. Jika kalian lemah, bagaimana nanti nasibku. Kekuatan dakwah adalah kekuatan jamaah, jangan lemahkan dakwah dengan melemahkan ikatan jamaah, dengan prilaku-prilaku tidak benar dalam dakwah.
Segera bangkit dari kekagetanmu pada suasana medan ini, jangan larut dengan alunan dan lantunan lagunya, jangan terlena dengan angin sejuk di sela-sela pohon rindangnya, jangan pula kau mengurung diri karena takut dengan tantangan itu. Mari berkumpul dan bergerak bersama. Kembali kita kibarkan panji-panji di setiap sudut negeri. Genderang perang telah ditabuh kembali. Mari ayyuhal ikhwah…
Saya serukan ini kepada kalian semua saudaraku seperjuangan, karena saya takut kembali sendiri dan sunyi. Saya serukan ini dengan penuh kecintaan dan kehangatan. Allahu Akbar!
Sejatinya memenangi hati manusia adalah menghidupkan pelita di jiwa mereka dengan cahaya Islam. Kader dakwah menyalakannya dengan amal shaleh dan seruan-seruan kebenaran dan kebaikan. Tetapi jika amal shaleh itu kader minta balik, maka sesungguhnya ia tidak dalam berdakwah, sudah pasti bukan berjihad. Kalian kader dakwah yang melakukan itu tak lebih dari mengumbar ambisi kekuasaan dan keduniaan.
Padahal dakwah mengamanahkan kita menghidupkan peradaban baru, termasuk peradaban politik, yaitu peradaban yang mencoba mengenalkan apa sebenarnya politik. Kita ingin memberitahukan kepada segenap ummat manusia seperti apa politik itu sesungguhnya, dari niat, kerja hingga menyikapi setiap takdir hasil kerja.
Tetapi jika telah keluar dari lisan kader dakwah kalimat seperti ini; ini politik akhi! Kita sedang berperang! Bagi saya sudah terputus tanggung jawab saya terhadap apa yang kader itu lakukan. Saya tidak setuju dengan kalimat itu, dan saya benci dalih-dalih semacam itu.
Dakwah ini memiliki kaidah, adab, budaya dan aturannya sendiri, ia memiliki iramanya sendiri. Mengapa kita harus menari dengan alunan musik peradaban lain, kaidah, adab, budaya atau aturan konsepsi lain? Wahai saudaraku kader-kader dakwah, jangan kau lemah. Jika kalian lemah, bagaimana nanti nasibku. Kekuatan dakwah adalah kekuatan jamaah, jangan lemahkan dakwah dengan melemahkan ikatan jamaah, dengan prilaku-prilaku tidak benar dalam dakwah.
Segera bangkit dari kekagetanmu pada suasana medan ini, jangan larut dengan alunan dan lantunan lagunya, jangan terlena dengan angin sejuk di sela-sela pohon rindangnya, jangan pula kau mengurung diri karena takut dengan tantangan itu. Mari berkumpul dan bergerak bersama. Kembali kita kibarkan panji-panji di setiap sudut negeri. Genderang perang telah ditabuh kembali. Mari ayyuhal ikhwah…
Saya serukan ini kepada kalian semua saudaraku seperjuangan, karena saya takut kembali sendiri dan sunyi. Saya serukan ini dengan penuh kecintaan dan kehangatan. Allahu Akbar!
Definisi & Posisi Moneter dalam Ekonomi Islam (2)
Kedudukan moneter dalam ekonomi Islam tentu tidak seperti konvensional. Oleh sebab itu, peran dan fungsi serta tabiat moneter dalam Islam tidak seperti apa yang ada dalam konvensional. Sebagai sector yang melekat dan mendukung kinerja sector riil, maka moneter Islam sejatinya menjadi sector yang menjadi alat pendorong sector riil. Bagaimana caranya?
Moneter Islam harus sebanyak dan selebar mungkin memberikan peluang berupa outlet/produk/instrumen bagi pemilik asset untuk ikut terlibat dalam perekonomian. Pada sisi bisnis moneter Islam memiliki transmisi untuk mendukung sector penawaran dari ekonomi. Kinerja moneter pada sisi ini akan tergambar pada fluktuasi agregat supply dari perekonomian. Sementara pada sisi sosial (Zakat, infak, sedekah) cenderung akan memperkuat sector permintaan. Seperti apa instrumennya?
Dengan karakteristik yang ada dan latar belakang mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, maka instrument moneter Islam yang tepat adalah instrument-instrumen semacam sertifikat investasi, misalnya yang sangat popular adalah sukuk. Pemerintah sebagai otoritas berkewajiban memberikan sebanyak mungkin pilihan kepada warga negara pemilik asset bagaimana mereka terlibat dalam ekonomi dengan asset-aset mereka, khususnya asset likuid mereka. Bentuk pilihan instrument itu dapat berupa berbagai macam jenis sukuk.
Dengan karakteristik ini tentu akan ada pertanyaan, jika instrument yang digunakan adalah sukuk dan ekonomi berjalan normal, seperti apa kebiajakan ekspansi moneter dan kontraksi moneternya dalam rangka mengendalikan inflasi, logika kebijakan yang selama ini terbangun di dunia moneter konvensioal. Secara sederhana, memang dalam moneter Islam logikanya tidak sama, isu inflasi dalam Ekonomi Islam dikembalikan pada konsekwensi kekuatan demand dan supply, sehingga isu kontraksi dan ekspansi relative tidak relevan. (bersambung)
Moneter Islam harus sebanyak dan selebar mungkin memberikan peluang berupa outlet/produk/instrumen bagi pemilik asset untuk ikut terlibat dalam perekonomian. Pada sisi bisnis moneter Islam memiliki transmisi untuk mendukung sector penawaran dari ekonomi. Kinerja moneter pada sisi ini akan tergambar pada fluktuasi agregat supply dari perekonomian. Sementara pada sisi sosial (Zakat, infak, sedekah) cenderung akan memperkuat sector permintaan. Seperti apa instrumennya?
Dengan karakteristik yang ada dan latar belakang mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, maka instrument moneter Islam yang tepat adalah instrument-instrumen semacam sertifikat investasi, misalnya yang sangat popular adalah sukuk. Pemerintah sebagai otoritas berkewajiban memberikan sebanyak mungkin pilihan kepada warga negara pemilik asset bagaimana mereka terlibat dalam ekonomi dengan asset-aset mereka, khususnya asset likuid mereka. Bentuk pilihan instrument itu dapat berupa berbagai macam jenis sukuk.
Dengan karakteristik ini tentu akan ada pertanyaan, jika instrument yang digunakan adalah sukuk dan ekonomi berjalan normal, seperti apa kebiajakan ekspansi moneter dan kontraksi moneternya dalam rangka mengendalikan inflasi, logika kebijakan yang selama ini terbangun di dunia moneter konvensioal. Secara sederhana, memang dalam moneter Islam logikanya tidak sama, isu inflasi dalam Ekonomi Islam dikembalikan pada konsekwensi kekuatan demand dan supply, sehingga isu kontraksi dan ekspansi relative tidak relevan. (bersambung)
Rabu, 15 April 2009
Definisi & Posisi Moneter dalam Perspektif Ekonomi Islam
Dalam logika ekonomi Islam, absensi bunga sejatinya telah menempatkan sektor barang dan jasa (real sector) sebagai puncak aktifitas ekonomi. Semua aktifitas ekonomi, konsumsi, investasi, perdagangan international atau belanja pemerintah semua akan terekam dan tergambarkan dalam sektor riil. Gambaran ini hakikatnya dijelaskan oleh interaksi permintaan dan penawaran dalam pasar riil.
Jika begitu, apa itu moneter dalam Islam? Dimana posisinya? Jika memang penjelasan apa itu moneter, dan sejauh mana nanti urgensi sektor ini daam mendukung perekonomian, maka yang harus dilakukan memang mendefiisikan dahulu apa itu moneter dalam Islam. Dan kemudian mengidentifikasi posisinya dimana dalam perekonomian.
Perlu dimaklumi bahwa pasar yang modern adalah pasar yang begitu besar, luas, complicated, dimana pelaku pasar memiliki ketidaktahuan terhadap semua informasi pasar. Ketidaktahuan itu termasuk ketidaktahuan pada sektor perekonomian mana yang bisa menjadi venue aset-aset mereka yang menganggur. Padahal aset yang menganggur milik mereka terekspos banyak risiko, baik risiko hilang, terkurangi dan lain sebagainya. Artinya, dalam Islam diakui pula bahwa dibutuhkan sektor yang menghubungkan antara pelaku pemilik aset dengan para pelaku bisnis riil yang membutuhkan modal.
Dengan kata lain, moneter dalam Islam dapat didefinisikan sebagai segala aktifitas yang berkaitan dengan uang atau aset likuid lainnya yang dilakukan dalam rangka menopang aktifitas riil (baik aktifitas di sisi demand maupun supply). Sukar untuk memisahkan moneter Islam dengan sektor riil, karena memang eksistensi moneter akan sangat tergantung oleh keberadaan sektor riil.
Absesnsi riba hanya meninggalkan pilihan konsep bagi hasil untuk aktifitas moneter. Dan memang inilah yang menjadi pilar moneter Islam. Dengan konsep ini, perekonomian memperoleh implikasi yang berbeda jika dibandingkan dengan konsep bunga (riba). Konsep bunga membuat perekonomian terdikotomi pada dua sektoral besar yang mandiri; riil dan keuangan.
Sementara konsep bagi hasil, membuat ekonomi cenderung terkonsentrasi pada aktifitas perekonomian riil, dimana moneter bagi hasil menjadi sektoral pendukung dari aktifitas riil tadi. Lihat saja akad-akad yang kemudian digunakan konsep bagi hasil; mudharabah atau musyarakah atau bahkan murabahah, semuanya akan yang mensyaratkan keberadaan aktifitas riil. (bersambung)
Jika begitu, apa itu moneter dalam Islam? Dimana posisinya? Jika memang penjelasan apa itu moneter, dan sejauh mana nanti urgensi sektor ini daam mendukung perekonomian, maka yang harus dilakukan memang mendefiisikan dahulu apa itu moneter dalam Islam. Dan kemudian mengidentifikasi posisinya dimana dalam perekonomian.
Perlu dimaklumi bahwa pasar yang modern adalah pasar yang begitu besar, luas, complicated, dimana pelaku pasar memiliki ketidaktahuan terhadap semua informasi pasar. Ketidaktahuan itu termasuk ketidaktahuan pada sektor perekonomian mana yang bisa menjadi venue aset-aset mereka yang menganggur. Padahal aset yang menganggur milik mereka terekspos banyak risiko, baik risiko hilang, terkurangi dan lain sebagainya. Artinya, dalam Islam diakui pula bahwa dibutuhkan sektor yang menghubungkan antara pelaku pemilik aset dengan para pelaku bisnis riil yang membutuhkan modal.
Dengan kata lain, moneter dalam Islam dapat didefinisikan sebagai segala aktifitas yang berkaitan dengan uang atau aset likuid lainnya yang dilakukan dalam rangka menopang aktifitas riil (baik aktifitas di sisi demand maupun supply). Sukar untuk memisahkan moneter Islam dengan sektor riil, karena memang eksistensi moneter akan sangat tergantung oleh keberadaan sektor riil.
Absesnsi riba hanya meninggalkan pilihan konsep bagi hasil untuk aktifitas moneter. Dan memang inilah yang menjadi pilar moneter Islam. Dengan konsep ini, perekonomian memperoleh implikasi yang berbeda jika dibandingkan dengan konsep bunga (riba). Konsep bunga membuat perekonomian terdikotomi pada dua sektoral besar yang mandiri; riil dan keuangan.
Sementara konsep bagi hasil, membuat ekonomi cenderung terkonsentrasi pada aktifitas perekonomian riil, dimana moneter bagi hasil menjadi sektoral pendukung dari aktifitas riil tadi. Lihat saja akad-akad yang kemudian digunakan konsep bagi hasil; mudharabah atau musyarakah atau bahkan murabahah, semuanya akan yang mensyaratkan keberadaan aktifitas riil. (bersambung)
Sabtu, 11 April 2009
Ekonomi Pemilu Indonesia
Beberapa laporan outlook ekonomi dari beberapa lembaga ekonomi, bank atau lembaga keuangan lainnya menempatkan situasi pemilu sebagai variabel negatif dari laju pertumbuhan ekonomi. Dari kacamata sosial politik boleh jadi hiruk pikuk pemilu memiliki korelasi yang negatif terhadap aktifitas ekonomi, namun dari kaca-mata ekonomi pemilu Indonesia kali ini menjadi salah jika ditempatkan sebagai variabel negatif.
Pemilu Indonesia yang memiliki masa kampanye terpanjang di dunia yaitu selama 9 bulan telah memberikan kesempatan peningkatan volume ekonomi akibat suntikan dana-dana kampanye. Baik dana kampanye yang dikeluarkan oleh partai, caleg atau simpatisan partai. Jika ekonomi formal memiliki istilah stimulus fiskal, yang saat ini tengah dilakukan menghadapi dampak krisis keuangan global, pemilu memiliki stimulus politik yang dampaknya tidak bisa dianggap remeh oleh perekonomian.
Dana kampanye yang dikeluarkan dalam dinamika politik secar langsung akan meningkatkan volume konsumsi agregat perekonomian. Selanjutnya peningkatan itu tentu akan direspon oleh penyediaan barang dan jasa (supply), dimana at the end of the day volume ekonomi akan meningkat tentu saja.
Mari kita berhitung, berdasarkan data yang ada calon anggota legislatif Indonesia yang mencapai 1,7 juta orang selama masa kampanye pasti telah mengeluarkan dana kampanye dalam mempromosikan diri mereka kepada masyarakat. Kalau saja diasumsikan setiap caleg rata-rata mengeluarkan dana kampanye Rp 100 juta, maka sedikitnya uang kampanye yang beredar yang berasal dari caleg mencapai Rp 170 triliun. Bayangkan, stimulus politik jauh melebihi stimulus fiskal pemerintah bukan?
Angka ini baru berasal dari calon anggota legislatif. Bagaimana jika uang yang digelontorkan oleh parta-partai juga dihitung, begitu juga dana-dana yang dikeluarkan oleh simpatisan baik perorangan, pengusaha, kelompok, lembaga maupun perusahaan. Sebuah dinamika ekonomi yang bervolume fantastis bukan?
Pasa sisi yang lain, ekonomi pemilu telah memaksa para caleg yang mayoritas orang kaya harus mendistribusikan aset, simpanan atau deposito mereka yang selama ini idle di rekening-rekening tabungan, deposito, surat berharga, tanah, gedung dan bentuk-bentuk harta lainnya. Dengan begitu pemilu telah berjasa melakukan pemerataan pendapatan dan kekayaan (wealth-income distribustion) dalam ekonomi.
Jika benar asumsi bahwa banyak koruptor di kalangan masyarakat kaya Indonesia, maka pemilu juga menjadi ajang "Money Laundring" yang efektif bagi para koruptor untuk menggelontorkan semua kekayaannya dalam bentuk dana kampanye. Dari kaca-mata positif, penggelontoran ini sebenarnya adalah kondisi dimana para koruptor "dipaksa" oleh pemilu untuk menyerahkan kembali dana-dana korupsinya ke dalam perekonomian.
Meskipun ada peluang koruptor itu akan menarik kembali "investasi" mereka ketika mereka berhasil menjadi anggota legislatif atau setidaknya dari proyek-proyek yang diberikan oleh jagoan politik yang mereka sokong, tetapi harapannya rakyat tidak memilih mereka atau memilih orang-orang yang mereka sokong. Dengan begitu pemilu sedikit-banyak menjadi alat ekonomi yang menetralisir kecenderungan money concentration akibat prilaku korupsi masyarakat kaya.
Bayangkan, pemilu di indonesia bukan hanya pemilu yang dilaksanakan 5 tahun sekali. Tetapi juga pilkada-pilkada yang boleh jadi dilangsungkan sepanjang tahun di seluruh Indonesia. Kesimpulan sederhananya, pemilu betul-betul telah membuat ekonomi hidup pada tingkat tertentu, asal pemilu tersebut berlangsung secara baik. Jika tidak, pemilu bisa menjadi variabel perusak yang juga maha dahsyat bagi perekonomian. Wallahu a'lam.
Pemilu Indonesia yang memiliki masa kampanye terpanjang di dunia yaitu selama 9 bulan telah memberikan kesempatan peningkatan volume ekonomi akibat suntikan dana-dana kampanye. Baik dana kampanye yang dikeluarkan oleh partai, caleg atau simpatisan partai. Jika ekonomi formal memiliki istilah stimulus fiskal, yang saat ini tengah dilakukan menghadapi dampak krisis keuangan global, pemilu memiliki stimulus politik yang dampaknya tidak bisa dianggap remeh oleh perekonomian.
Dana kampanye yang dikeluarkan dalam dinamika politik secar langsung akan meningkatkan volume konsumsi agregat perekonomian. Selanjutnya peningkatan itu tentu akan direspon oleh penyediaan barang dan jasa (supply), dimana at the end of the day volume ekonomi akan meningkat tentu saja.
Mari kita berhitung, berdasarkan data yang ada calon anggota legislatif Indonesia yang mencapai 1,7 juta orang selama masa kampanye pasti telah mengeluarkan dana kampanye dalam mempromosikan diri mereka kepada masyarakat. Kalau saja diasumsikan setiap caleg rata-rata mengeluarkan dana kampanye Rp 100 juta, maka sedikitnya uang kampanye yang beredar yang berasal dari caleg mencapai Rp 170 triliun. Bayangkan, stimulus politik jauh melebihi stimulus fiskal pemerintah bukan?
Angka ini baru berasal dari calon anggota legislatif. Bagaimana jika uang yang digelontorkan oleh parta-partai juga dihitung, begitu juga dana-dana yang dikeluarkan oleh simpatisan baik perorangan, pengusaha, kelompok, lembaga maupun perusahaan. Sebuah dinamika ekonomi yang bervolume fantastis bukan?
Pasa sisi yang lain, ekonomi pemilu telah memaksa para caleg yang mayoritas orang kaya harus mendistribusikan aset, simpanan atau deposito mereka yang selama ini idle di rekening-rekening tabungan, deposito, surat berharga, tanah, gedung dan bentuk-bentuk harta lainnya. Dengan begitu pemilu telah berjasa melakukan pemerataan pendapatan dan kekayaan (wealth-income distribustion) dalam ekonomi.
Jika benar asumsi bahwa banyak koruptor di kalangan masyarakat kaya Indonesia, maka pemilu juga menjadi ajang "Money Laundring" yang efektif bagi para koruptor untuk menggelontorkan semua kekayaannya dalam bentuk dana kampanye. Dari kaca-mata positif, penggelontoran ini sebenarnya adalah kondisi dimana para koruptor "dipaksa" oleh pemilu untuk menyerahkan kembali dana-dana korupsinya ke dalam perekonomian.
Meskipun ada peluang koruptor itu akan menarik kembali "investasi" mereka ketika mereka berhasil menjadi anggota legislatif atau setidaknya dari proyek-proyek yang diberikan oleh jagoan politik yang mereka sokong, tetapi harapannya rakyat tidak memilih mereka atau memilih orang-orang yang mereka sokong. Dengan begitu pemilu sedikit-banyak menjadi alat ekonomi yang menetralisir kecenderungan money concentration akibat prilaku korupsi masyarakat kaya.
Bayangkan, pemilu di indonesia bukan hanya pemilu yang dilaksanakan 5 tahun sekali. Tetapi juga pilkada-pilkada yang boleh jadi dilangsungkan sepanjang tahun di seluruh Indonesia. Kesimpulan sederhananya, pemilu betul-betul telah membuat ekonomi hidup pada tingkat tertentu, asal pemilu tersebut berlangsung secara baik. Jika tidak, pemilu bisa menjadi variabel perusak yang juga maha dahsyat bagi perekonomian. Wallahu a'lam.
Kamis, 09 April 2009
bersih dari awal hingga akhir
alhamdulillah, saya bisa ikut kontribusi memberikan suara sekaligus menjadi saksi dalam perjuangan siyasi (politik). melihat antusiasme masyarakat dan bagaimana "usaha-usaha" yang mereka lakukan dalam rangka mendapatkan kemenangan, membuat saya memiliki emosi ganda; malu dan bangga.
malu aku, masih melihat banyak masyarakat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. kerja mulia yang ingin dibebankan kepada calon wakil mereka di parlemen, dicemari oleh cara-cara yang tidak pantas. kemenangan ternyata berada diatas kecurangan dan kelicikan.
aku bangga, aku masih bisa menjaga kebersihan kerja-kerjaku. bersih yang menjadi brand barisan kami, ingin saya wujudkan dari awal hingga akhir. kemenangan itu hak Allah, kewajiban saya hanya memastikan berikhtiar dengan bersih dan mengawal usaha itu dengan doa, selebihnya urusan Allah.
teman-teman, sahabat-sahabat, saudara-saudara, sebuah kebanggaan tersendiri ketika godaan telah memuncak untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dengan segala cara, kita mampu menahan diri, menjaga emosi dan mengawal emosi. kami adalah barisan yang jikapun susah untuk dikatakan bersih, setidaknya kami berusaha keras untuk menjadi barisan yang mencoba untuk (tetap) bersih.
malu aku, masih melihat banyak masyarakat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. kerja mulia yang ingin dibebankan kepada calon wakil mereka di parlemen, dicemari oleh cara-cara yang tidak pantas. kemenangan ternyata berada diatas kecurangan dan kelicikan.
aku bangga, aku masih bisa menjaga kebersihan kerja-kerjaku. bersih yang menjadi brand barisan kami, ingin saya wujudkan dari awal hingga akhir. kemenangan itu hak Allah, kewajiban saya hanya memastikan berikhtiar dengan bersih dan mengawal usaha itu dengan doa, selebihnya urusan Allah.
teman-teman, sahabat-sahabat, saudara-saudara, sebuah kebanggaan tersendiri ketika godaan telah memuncak untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dengan segala cara, kita mampu menahan diri, menjaga emosi dan mengawal emosi. kami adalah barisan yang jikapun susah untuk dikatakan bersih, setidaknya kami berusaha keras untuk menjadi barisan yang mencoba untuk (tetap) bersih.
Senin, 06 April 2009
How PKS are You?
pagi ini saya dapat sms yang menarik, dan saya tidak tahan untuk tidak menuliskan kedalam blog ini. isi sms dari temen itu kurang lebih seperti ini:
"tau gak, ternyata SBY itu PKS loh, Presiden Keren Sekali, Mega juga PKS, Putri Keturunan Sukarno, Jusuf Kalla juga PKS, Putra Kelahiran Sulawesi, Prabowo PKS juga, Putra Kesayangan Sumitro. dan yang lebih mengejutkan lagi Rasulullah juga PKS, Panutan Kita Semua. Gimana, kamu juga PKS kan?
How PKS are You?
"tau gak, ternyata SBY itu PKS loh, Presiden Keren Sekali, Mega juga PKS, Putri Keturunan Sukarno, Jusuf Kalla juga PKS, Putra Kelahiran Sulawesi, Prabowo PKS juga, Putra Kesayangan Sumitro. dan yang lebih mengejutkan lagi Rasulullah juga PKS, Panutan Kita Semua. Gimana, kamu juga PKS kan?
How PKS are You?
aku ingin syahid muda
pernahkah membara semangat di hati dan seluruh jiwa kita, ketika dikhabarkan pada kita tentang perjuangan dan syurga dalam majelis ilmu dan kumpulan-kumpulan orang shaleh? tetapi ia kemudian padam dengan tiba-tiba begitu kita keluar dari majelis dan kumpulan itu. lihatlah semangat itu hanya "mampir" dan kemudian tidak memiliki bekas di fikiran apalagi hati. yang selalu konsisten terjaga semangatnya dalam diri kita adalah dunia, dunia dan dunia.
perhatikanlah, bagaimana kegundahan karena tidak bersedekah pagi hari sudah punah dalam atmosfer ingatan kita setiap paginya. rasakanlah, keyakinan pada janji-janji Tuhan tentang pelipatgandaan harta kita yang ditunaikan dijalan dakwah sudah menguap entah kemana. bahkan kini kesibukan dan keletihan dakwah saja sudah tidak menjadi alasan keringat kita mengalir. karena mungkin kita sendiri sudah tidak tahu lagi apa itu dakwah apalagi kerja-kerjanya.
duhai diri yang kau kira kau ramai bersama mereka yang baik, sebenarnya kau sendiri sunyi. kalian semakin menjauh dari cita-citamu sendiri. kalian bahkan dengan sadar dan sengaja menjauh dari Tuhan dan Syurga-Nya.
kepada kalian yang masih diberikan nikmat oleh Tuhan untuk tetap sadar, saksikanlah saudaraku, begitu melimpahnya amal shaleh yang disediakan untuk kita. kita hanya diminta untuk memungutnya! jaga pelita kebaikan dihatimu, dan kemudian jika kau siap, mari kita hidupkan pelita-pelita yang sama di hati saudara-saudara kita yang asyik dengan lelapnya. sadarkan mereka!
jika cukup jumlahmu, maka berbenahlah, susun barisan rapi, tertiblah dengan kaidah-kaidah kebersamaan dan ukhuwah. dan jika sampai waktu yang dijanjikan Tuhan kita, dimana jumlah dan kekuatan jiwa sudah sampai pada titik yang sepatutnya, mulailah berjuang menegakkan panji-panji kebenaran. dan saat itu aku ingin syahid muda.
perhatikanlah, bagaimana kegundahan karena tidak bersedekah pagi hari sudah punah dalam atmosfer ingatan kita setiap paginya. rasakanlah, keyakinan pada janji-janji Tuhan tentang pelipatgandaan harta kita yang ditunaikan dijalan dakwah sudah menguap entah kemana. bahkan kini kesibukan dan keletihan dakwah saja sudah tidak menjadi alasan keringat kita mengalir. karena mungkin kita sendiri sudah tidak tahu lagi apa itu dakwah apalagi kerja-kerjanya.
duhai diri yang kau kira kau ramai bersama mereka yang baik, sebenarnya kau sendiri sunyi. kalian semakin menjauh dari cita-citamu sendiri. kalian bahkan dengan sadar dan sengaja menjauh dari Tuhan dan Syurga-Nya.
kepada kalian yang masih diberikan nikmat oleh Tuhan untuk tetap sadar, saksikanlah saudaraku, begitu melimpahnya amal shaleh yang disediakan untuk kita. kita hanya diminta untuk memungutnya! jaga pelita kebaikan dihatimu, dan kemudian jika kau siap, mari kita hidupkan pelita-pelita yang sama di hati saudara-saudara kita yang asyik dengan lelapnya. sadarkan mereka!
jika cukup jumlahmu, maka berbenahlah, susun barisan rapi, tertiblah dengan kaidah-kaidah kebersamaan dan ukhuwah. dan jika sampai waktu yang dijanjikan Tuhan kita, dimana jumlah dan kekuatan jiwa sudah sampai pada titik yang sepatutnya, mulailah berjuang menegakkan panji-panji kebenaran. dan saat itu aku ingin syahid muda.
Kamis, 02 April 2009
Islamic Finance News: Let’s Wait for the Real Deal
Dear Ali Sakti,
At the ongoing G-20 summit meeting, while the US and UK are pushing for a global plan for economic recovery and reform, France and Germany are insisting on a new global financial architecture that would create transnational oversight and regulation, plus a crackdown on unregulated hedge funds and tax havens that have strong banking secrecy laws. The G-20 represents about 90% of global gross national product, 80% of world trade as well as two-thirds of the world’s population.
At this all-important meeting of all-important countries, both developed and developing, Islamic finance has only a bit role: the Islamic Development Bank (IDB) and three of its member states — Saudi Arabia, Indonesia and Turkey — are among those participating in sub-Group 4 of the G-20 structure. The upside is that this unit deals with reforming international financial structures.
However, the IDB is demanding a bigger and more prominent voice for Islamic finance on G-20’s main table. Its president, Ahmed Mohamed Ali, said: “The opportunities offered by Islamic finance in promoting global financial stability and financial inclusion are worth assessment by the leadership of the G-20 countries.”
He said it is time that the wider world considers mainstreaming Islamic financial services. And the best way to do this is to accord the relevant Islamic finance stakeholders “observer status” within the main framework of the G-20 and the expanded Financial Stability Forum of the International Monetary Fund (IMF).
Meanwhile, the IDB has taken the initiative to set up its own Islamic finance and global financial stability task force to report on the impact of the global financial crisis on the Islamic financial services industry. This panel, chaired by Malaysian central bank governor Zeti Akhtar Aziz, is publishing documents relating to the intrinsic strengths of Islamic financial services and its potential role in contributing to global financial stability.
These papers will be presented to the G-20 leaders and to the IMF’s Financial Stability Forum to back the call for Islamic finance stakeholders to be involved in the top-level deliberations. Zeti is on the United Nations Secretary-General’s Global Financial Stability Committee as well, which is also looking at drawing up a framework for the financial sector.
The UK government is already moving to restructure its financial system so that it serves the real economy, exactly what Islamic finance does. Now that the world is demanding prudence, good governance and a stable system based on values and principles for the financial sector, the G-20 could do worse than to assimilate Islamic finance into the mainstream financial architecture.
However, in this rush to gain widespread acceptance of Islamic finance, the proponents need to ensure that any cross-system and globalized cooperation with conventional finance has as its platform a new or reformed framework.
If the outcome of the G-20 summit is more of the same and becomes a case of treating the symptoms rather than the disease, it would be better for the Islamic finance stakeholders to bide their time. And in the meantime, put more effort into beefing up the real alternative to the current international financial system so that it can no longer be ignored.
Best regards,
IFN team
At the ongoing G-20 summit meeting, while the US and UK are pushing for a global plan for economic recovery and reform, France and Germany are insisting on a new global financial architecture that would create transnational oversight and regulation, plus a crackdown on unregulated hedge funds and tax havens that have strong banking secrecy laws. The G-20 represents about 90% of global gross national product, 80% of world trade as well as two-thirds of the world’s population.
At this all-important meeting of all-important countries, both developed and developing, Islamic finance has only a bit role: the Islamic Development Bank (IDB) and three of its member states — Saudi Arabia, Indonesia and Turkey — are among those participating in sub-Group 4 of the G-20 structure. The upside is that this unit deals with reforming international financial structures.
However, the IDB is demanding a bigger and more prominent voice for Islamic finance on G-20’s main table. Its president, Ahmed Mohamed Ali, said: “The opportunities offered by Islamic finance in promoting global financial stability and financial inclusion are worth assessment by the leadership of the G-20 countries.”
He said it is time that the wider world considers mainstreaming Islamic financial services. And the best way to do this is to accord the relevant Islamic finance stakeholders “observer status” within the main framework of the G-20 and the expanded Financial Stability Forum of the International Monetary Fund (IMF).
Meanwhile, the IDB has taken the initiative to set up its own Islamic finance and global financial stability task force to report on the impact of the global financial crisis on the Islamic financial services industry. This panel, chaired by Malaysian central bank governor Zeti Akhtar Aziz, is publishing documents relating to the intrinsic strengths of Islamic financial services and its potential role in contributing to global financial stability.
These papers will be presented to the G-20 leaders and to the IMF’s Financial Stability Forum to back the call for Islamic finance stakeholders to be involved in the top-level deliberations. Zeti is on the United Nations Secretary-General’s Global Financial Stability Committee as well, which is also looking at drawing up a framework for the financial sector.
The UK government is already moving to restructure its financial system so that it serves the real economy, exactly what Islamic finance does. Now that the world is demanding prudence, good governance and a stable system based on values and principles for the financial sector, the G-20 could do worse than to assimilate Islamic finance into the mainstream financial architecture.
However, in this rush to gain widespread acceptance of Islamic finance, the proponents need to ensure that any cross-system and globalized cooperation with conventional finance has as its platform a new or reformed framework.
If the outcome of the G-20 summit is more of the same and becomes a case of treating the symptoms rather than the disease, it would be better for the Islamic finance stakeholders to bide their time. And in the meantime, put more effort into beefing up the real alternative to the current international financial system so that it can no longer be ignored.
Best regards,
IFN team
Langganan:
Postingan (Atom)