Legenda industri automotive yang telah 77 tahun menjadi ikon industri modern US akhirnya tumbang! General Motors (GM) dan Chrysler, 2 dari 3 industri besar yang menjadi parameter program pemulihan ekonomi Obama akhirnya menyerah. Tentu saja yang hal ini membuat Obama tertunduk lesu, karena belum sampai satu semester kekuasaannya, pasar telah memberikan jawaban bahwa usahanya dan jualan kampanyenya tidak laku!
Kedahsyatan badai krisis keuangan betul-betul memporak-porandakan ekonomi negeri adi daya itu. Sampai-sampai badai bukan hanya menggilas infrastruktur ekonomi yang anyar, tetapi juga meluluh-lantakkan legenda-legenda ekonomi yang menjadi pilar keadi-dayaan perekonomian Amerika. Sungguh tragis.
Terbayang sudah berapa pengangguran baru terinjeksi kepasar, berapa potensi goncangan selanjutnya baik secara ekonomi maupun sosial, efek multiplier, sentimen negatif pada sektor riil lainnya. Duh, kasihan... Ups, kasihan? Ga la, secara sistem tidak ada alasan memberikan komentar kasihan. Mereka memang harus membayar dengan cara seperti ini, bahkan boleh jadi ini baru awal, proses kehancuran baru dimulai. Sehingga dimungkinkan kita masih akan menyaksikan tragedi-tragedi dramatis lain setelah ini.
Drama ini sudah berjalan, lebih dari 9 bulan sejak hancurnya Lehman Brothers. Setiap episodenya; episode krisis lembaga mortgage, perbankan, asuransi dan kini sektor riil, semakin hari semakin menarik. Hal-hal tak terduga diluar ekspektasi selalu memberikan kejutan yang membuat mata membelalak atau nafas tertahan.
Meskipun kini parameter ekonomi US dilaporkan semakin membaik; indeks dowjones dan parameter keuangan lainnya bergerak positif, tetapi kesulitan riil semakin menghantui rakyat Amerika khususnya kelas menengah kebawah. Obama, you are in the great danger! anda sedang menjadi nahkoda bahtera yang sedang diberikan pilihan; tenggelam perlahan atau meledak sebelum tenggelam :) wallahu a'lam.
Minggu, 31 Mei 2009
Globalizing for Real
Dear Ali Sakti,
One school of thought is that Islamic finance should primarily be for the 1.6 billion Muslims. Islamic finance, it has been said, should be regarded as an ambassador of Muslim modernization and a vehicle for economic and social development, in line with the aspirations of the Organization of Islamic Conference and the World Islamic Economic Forum. That’s an idealistic prospect.
However, in previous decades, when Islamic finance was largely confined to the Muslim community, it had made little contribution to their development; most of the projects used conventional financing. Even much of the wealth of the Muslims was in the conventional financial centers in the west.
It was only when the concept and practice permeated to the rest of society that Islamic finance really began to gain ground. This confirms the contention that diverse beliefs and cultures do not hinder the Islamic finance industry around the world. It also shows, yet again, that clients, regardless of their beliefs or origins, tend to deal with the bank — conventional or Islamic — that they trust and which practices professionalism.
Developments over recent years is evidence that globalization is the best, and perhaps only, direction for Shariah compliant financial practices. And for Islamic finance to grow, it needs four strong pillars, according to Muliaman D Hadad, deputy governor of Indonesia’s central bank. These are a broad individual customer base including on-lending to small lenders; expansion of corporate lending in high growth and labor-intensive sectors; private sector bonds for company expansion and small infrastructure; and large volume Sukuk to finance state budget deficits and large infrastructure.
Indeed, Islamic finance must break out of its over-reliance on the retail market and make more serious headway in taking on board large corporations as clients if it is to really make its mark on the global financial scene. Muliaman also noted that to move in this direction would require large increases in capital as well as capacity to handle clients, corporates, public-private partnerships and projects.
Conventional banking has several posers to ponder. How was a debt of US$11 trillion in subprime mortgages created when there is only US$1.3 trillion of currency notes available? In the UK, 97% of all the money supply is in the form of debt created as book entries by the banking system. Aberrations in the conventional financial system prompt the question: Shouldn’t the entry of Islamic banking be welcomed with open arms, as it is completely asset backed and shares profit as well as loss?
This is where perception management and promotional work kick in. The common ground that Islamic finance shares with other forms of ethical and religion-based finance should be made widely known. Innovation shouldn’t be focused only on products but also on forms of marketing that shatter the misperceptions about Islamic finance. The fact that a huge number of non-Muslims are satisfied clients must be well publicized. It’s not enough to keep saying over and over again how wonderful Islamic finance is — it must be shown to work, and work for all.
Best regards,
IFN team
One school of thought is that Islamic finance should primarily be for the 1.6 billion Muslims. Islamic finance, it has been said, should be regarded as an ambassador of Muslim modernization and a vehicle for economic and social development, in line with the aspirations of the Organization of Islamic Conference and the World Islamic Economic Forum. That’s an idealistic prospect.
However, in previous decades, when Islamic finance was largely confined to the Muslim community, it had made little contribution to their development; most of the projects used conventional financing. Even much of the wealth of the Muslims was in the conventional financial centers in the west.
It was only when the concept and practice permeated to the rest of society that Islamic finance really began to gain ground. This confirms the contention that diverse beliefs and cultures do not hinder the Islamic finance industry around the world. It also shows, yet again, that clients, regardless of their beliefs or origins, tend to deal with the bank — conventional or Islamic — that they trust and which practices professionalism.
Developments over recent years is evidence that globalization is the best, and perhaps only, direction for Shariah compliant financial practices. And for Islamic finance to grow, it needs four strong pillars, according to Muliaman D Hadad, deputy governor of Indonesia’s central bank. These are a broad individual customer base including on-lending to small lenders; expansion of corporate lending in high growth and labor-intensive sectors; private sector bonds for company expansion and small infrastructure; and large volume Sukuk to finance state budget deficits and large infrastructure.
Indeed, Islamic finance must break out of its over-reliance on the retail market and make more serious headway in taking on board large corporations as clients if it is to really make its mark on the global financial scene. Muliaman also noted that to move in this direction would require large increases in capital as well as capacity to handle clients, corporates, public-private partnerships and projects.
Conventional banking has several posers to ponder. How was a debt of US$11 trillion in subprime mortgages created when there is only US$1.3 trillion of currency notes available? In the UK, 97% of all the money supply is in the form of debt created as book entries by the banking system. Aberrations in the conventional financial system prompt the question: Shouldn’t the entry of Islamic banking be welcomed with open arms, as it is completely asset backed and shares profit as well as loss?
This is where perception management and promotional work kick in. The common ground that Islamic finance shares with other forms of ethical and religion-based finance should be made widely known. Innovation shouldn’t be focused only on products but also on forms of marketing that shatter the misperceptions about Islamic finance. The fact that a huge number of non-Muslims are satisfied clients must be well publicized. It’s not enough to keep saying over and over again how wonderful Islamic finance is — it must be shown to work, and work for all.
Best regards,
IFN team
Sabtu, 30 Mei 2009
Usia, Jodoh dan Rizki
Sudah memang diketahui dari sabda Rasulullah sebuah ketetapan yang kemudian dimaklumi oleh kebanyakan manusia, bahwa Allah SWT telah menakdirkan bagi masing-masing manusia; usia, jodoh dan rizki mereka. Tapi malam ini tertarik saya untuk merenungkan takdir ini, dengan satu pertanyaan akhir, apakah kemudian saya akan berlaku pasif pada ketiga elemen penting dari hidup ini?
Usia sudah tertentu panjangnya, jodoh sudah pula tertentu siapa dia, dan rizki sudah tertentu takarannya, tetapi apakah cukup begitu saja. Apa peran dan posisi kita (sebagai manusia) kalau sudah seperti itu?
Aku teringat pelajaran Ibnu Khaldun tentang rizki padaku. Beliau katakan bahwa hakikat rizki itu adalah hartamu yang kau gunakan, kau pakai. Sehingga tersimpulkanlah di benakku, bahwa hakikat rizki yang baik itu diukur dari kemanfaatannya, bukan diukur dari berapa kenikmatan yang dapat diberikan olehnya. Sekali lagi, konsep kemanfaatan (kemashlahatan) membuat perspektifku tercerahkan tentang hakikat ekonomi dengan hartanya.
Maknanya, Allah sudah tetapkan takaran rizki bagi masing-masing manusia, tetapi manusialah kemudian yang menentukan seberapa besar kemanfaatan dapat diambil dari rizki yang mereka miliki. Ada orang yang melimpah jumlah rizkinya, tetapi ternyata kemanfaatan tidak ada dari semua kemegahan yang ia miliki, karena semua hartanya hanya ia nikmati sendiri, tak ada manfaatnya bagi orang lain, bagi agama dan bagi dirinya; harta tidak membuat dirinya semakin dekat dengan Allah SWT. Sementara itu, ada orang yang rizkinya sedikit saja, tapi hampir semuanya memiliki manfaat bagi dirinya, agama dan orang lain.
Usiapun begitu. Betul Allah sudah tentukan seberapa panjang usia masing-masing manusia, tetapi manusia itulah yang berkuasa untuk membuat seberapa panjang usianya penuh dengan keberkahan, bermanfaat bagi manusia lain dan seluruh makhluk juga alam.
Jodoh? Sama saja. Memang Allah sudah pilihkan dengan siapa kita menjalani hidup ini. Tetapi kita sebagai manusialah yang dapat memaknai perjodohan ini; apakah memang perjodohan ini semakin memberikan kemanfaatan bagi kita dan istri (suami), apakah perjodohan akan semakin menyempurnakan agama yang telah kita genggam, apakah perjodohan akan saling menguatkan keduanya dan mengantarkan kita ke taman-taman syurga.
Mari, saling nasehat-menasehati. Mari, kita isi usia, jodoh dan rizki yang sudah tertentu bilangannya ini, dengan sebanyak mungkin kemanfaatan. Semoga Allah SWT berikan kasih-sayang-Nya, mudahkan jalan kita dan ampunkan semua kesalahan juga kekhilafan yang telah menggunung dipundak kita ini. wallahu a'lam.
Usia sudah tertentu panjangnya, jodoh sudah pula tertentu siapa dia, dan rizki sudah tertentu takarannya, tetapi apakah cukup begitu saja. Apa peran dan posisi kita (sebagai manusia) kalau sudah seperti itu?
Aku teringat pelajaran Ibnu Khaldun tentang rizki padaku. Beliau katakan bahwa hakikat rizki itu adalah hartamu yang kau gunakan, kau pakai. Sehingga tersimpulkanlah di benakku, bahwa hakikat rizki yang baik itu diukur dari kemanfaatannya, bukan diukur dari berapa kenikmatan yang dapat diberikan olehnya. Sekali lagi, konsep kemanfaatan (kemashlahatan) membuat perspektifku tercerahkan tentang hakikat ekonomi dengan hartanya.
Maknanya, Allah sudah tetapkan takaran rizki bagi masing-masing manusia, tetapi manusialah kemudian yang menentukan seberapa besar kemanfaatan dapat diambil dari rizki yang mereka miliki. Ada orang yang melimpah jumlah rizkinya, tetapi ternyata kemanfaatan tidak ada dari semua kemegahan yang ia miliki, karena semua hartanya hanya ia nikmati sendiri, tak ada manfaatnya bagi orang lain, bagi agama dan bagi dirinya; harta tidak membuat dirinya semakin dekat dengan Allah SWT. Sementara itu, ada orang yang rizkinya sedikit saja, tapi hampir semuanya memiliki manfaat bagi dirinya, agama dan orang lain.
Usiapun begitu. Betul Allah sudah tentukan seberapa panjang usia masing-masing manusia, tetapi manusia itulah yang berkuasa untuk membuat seberapa panjang usianya penuh dengan keberkahan, bermanfaat bagi manusia lain dan seluruh makhluk juga alam.
Jodoh? Sama saja. Memang Allah sudah pilihkan dengan siapa kita menjalani hidup ini. Tetapi kita sebagai manusialah yang dapat memaknai perjodohan ini; apakah memang perjodohan ini semakin memberikan kemanfaatan bagi kita dan istri (suami), apakah perjodohan akan semakin menyempurnakan agama yang telah kita genggam, apakah perjodohan akan saling menguatkan keduanya dan mengantarkan kita ke taman-taman syurga.
Mari, saling nasehat-menasehati. Mari, kita isi usia, jodoh dan rizki yang sudah tertentu bilangannya ini, dengan sebanyak mungkin kemanfaatan. Semoga Allah SWT berikan kasih-sayang-Nya, mudahkan jalan kita dan ampunkan semua kesalahan juga kekhilafan yang telah menggunung dipundak kita ini. wallahu a'lam.
Konsistensi pada Motivasi dan Arah Hidup
Ingat-ingat masa lalu dulu, ketika sirkulasi uang yang ada di kantong mu masih ratusan ribu, seratus ribu rupiah saja ketika itu sudah kau nilai sebuah jumlah uang yang begitu besar dan berharga. Banyak rencana yang mungkin dapat disusun atas dasar jumlah uang itu. Namun kini, renungkanlah ketika sirkulasi sudah jutaan yang akrab di kantongmu. Uang seratus ribu hanya sejumlah uang remeh yang hanya cukup untuk sarapan atau sekedar belanja setengah hari.
Apa yang membedakan dua prilaku itu, kepekaan masing-masing prilaku itu terbentuk oleh pemahaman terhadap sebuah pedoman hidup. Oleh sebab itu konsistensi pada motivasi dan arah hidup menjadi penting, sangat penting bahkan. Dengan begitu, mendapatkan apa pedoman hidup sebagai referensi untuk mendapatkan apa motivasi hidup itu sesungguhnya, menjadi tidak kalah urgensinya.
Jika saya ditanya; apa pedoman hidup saya, maka saya sangat membutuhkan informasi tentang hakikat hidup dan tujuannya atau mungkin informasi kondisi masa depan final dari seorang manusia. Mungkin itu mengapa begitu pentingnya seseorang memiliki keyakinan tentang dimensi-dimensi masa depan. Salah satu dimensi masa depan (yang juga kemudian menjadi keyakinan saya) adalah eksistensi akhirat, dimana disitu akan ada pembedaan dua golongan manusia; manusia baik atau manusia buruk. Manusia baik akan bahagia selamanya dengan kenikmatan tiada tara, sementara manusia buruk sengsara selamanya dengan siksa yang juga tiada tara.
Keyakinan pada kenyataan masa depan akhirat itu yang kemudian membuat penting mengetahui apa yang menjadi parameter baik dan buruk (bagi akhirat). Rasionalnya, ketika informasi konsekwensi akhirat itu kita ketahui dan yakini dari Tuhan, tentu parameter baik dan buruk yang perlu dan patut diketahui adalah parameter yang berasal dari Tuhan. Nah, rasionalitas seperti inilah yang kita sebut dengan pedoman hidup. Dan rasionalitas yang paling komprehensif bagi saya adalah Islam.
Sebagai pedoman hidup, pesan Islam pada kehidupan ini relative sederhana, yaitu pengabdian yang utuh semampu masing-masing manusia kepada Tuhan. Dengan begitu diketahui bahwa hakikat dan tujuan hidup ini “hanyalah” beribadah (pengabdian dalam makna dan bentuk seluas-luasnya). Kuantitas dan kualitas ibadah terbanyak dan terbaik akan mengantarkan manusia pada derajat termulia.
Apa yang membedakan dua prilaku itu, kepekaan masing-masing prilaku itu terbentuk oleh pemahaman terhadap sebuah pedoman hidup. Oleh sebab itu konsistensi pada motivasi dan arah hidup menjadi penting, sangat penting bahkan. Dengan begitu, mendapatkan apa pedoman hidup sebagai referensi untuk mendapatkan apa motivasi hidup itu sesungguhnya, menjadi tidak kalah urgensinya.
Jika saya ditanya; apa pedoman hidup saya, maka saya sangat membutuhkan informasi tentang hakikat hidup dan tujuannya atau mungkin informasi kondisi masa depan final dari seorang manusia. Mungkin itu mengapa begitu pentingnya seseorang memiliki keyakinan tentang dimensi-dimensi masa depan. Salah satu dimensi masa depan (yang juga kemudian menjadi keyakinan saya) adalah eksistensi akhirat, dimana disitu akan ada pembedaan dua golongan manusia; manusia baik atau manusia buruk. Manusia baik akan bahagia selamanya dengan kenikmatan tiada tara, sementara manusia buruk sengsara selamanya dengan siksa yang juga tiada tara.
Keyakinan pada kenyataan masa depan akhirat itu yang kemudian membuat penting mengetahui apa yang menjadi parameter baik dan buruk (bagi akhirat). Rasionalnya, ketika informasi konsekwensi akhirat itu kita ketahui dan yakini dari Tuhan, tentu parameter baik dan buruk yang perlu dan patut diketahui adalah parameter yang berasal dari Tuhan. Nah, rasionalitas seperti inilah yang kita sebut dengan pedoman hidup. Dan rasionalitas yang paling komprehensif bagi saya adalah Islam.
Sebagai pedoman hidup, pesan Islam pada kehidupan ini relative sederhana, yaitu pengabdian yang utuh semampu masing-masing manusia kepada Tuhan. Dengan begitu diketahui bahwa hakikat dan tujuan hidup ini “hanyalah” beribadah (pengabdian dalam makna dan bentuk seluas-luasnya). Kuantitas dan kualitas ibadah terbanyak dan terbaik akan mengantarkan manusia pada derajat termulia.
Rabu, 27 Mei 2009
Diskusi sekitar akhlak ekonomi Islam
Tanya:kalo orang dan negaranya sekuler, ekonominya gimana? sekuler dan kapitalis rupanya gak luhur dan tak berbudi? sori banyak tanya. dari kemarin soalnya bertemu friksi antara teori dan kenyataan terus...
Jawab:
tergantung bowheer tu negara ekonominya mau apa, china yang politiknya sosialis-komunis, ekonominya kapitalis abis! :) tiap isme punya standard dan definisinya sendiri ttg budi luhur dan prilaku mulia bos.. di Islam kita temukan prinsip "sebaik-baik manusia adalah manusia yg bermanfaat untuk manusia lain", "harta yang terbaik adalah harta yang ada di tangan orang shaleh", & prinsip prilaku lainnya yang memiliki keterikatan kuat dengan keyakinan dan orientasi pada dunia setelah kematian, karena pasti akan ada pertanyaan untuk apa mengejar untuk menjadi orang baik, menjadi orang shaleh... alasannya: motivasi akhirat, orientasi syurga, ridha Tuhan... hakikatnya ketundukan pada Allah... so harus diakui logika ini tidak ada dalam kapitalisme - sekulerisme. wallahu a'lam.
Jawab:
tergantung bowheer tu negara ekonominya mau apa, china yang politiknya sosialis-komunis, ekonominya kapitalis abis! :) tiap isme punya standard dan definisinya sendiri ttg budi luhur dan prilaku mulia bos.. di Islam kita temukan prinsip "sebaik-baik manusia adalah manusia yg bermanfaat untuk manusia lain", "harta yang terbaik adalah harta yang ada di tangan orang shaleh", & prinsip prilaku lainnya yang memiliki keterikatan kuat dengan keyakinan dan orientasi pada dunia setelah kematian, karena pasti akan ada pertanyaan untuk apa mengejar untuk menjadi orang baik, menjadi orang shaleh... alasannya: motivasi akhirat, orientasi syurga, ridha Tuhan... hakikatnya ketundukan pada Allah... so harus diakui logika ini tidak ada dalam kapitalisme - sekulerisme. wallahu a'lam.
kalimat-kalimat terakhir di facebook...
untuk teman-teman fossei; tidak ada kapitalisme apalagi sekulerisme dalam ekonomi Islam, karena sejatinya ia adalah Islam dalam ekonomi. ia bukan hanya sekedar ekonomi halal yang bersandar pada hukum-hukum Tuhan, tetapi ia ekonomi dengan keluhuran budi dan prilaku mulia berdasar pada nilai-nilai akhlak dan moral Islam... bismillah ya ikhwati!
harga diri untuk hidup dan kehidupan, harga diri dari bumi untuk langit, harga diri... nilai dirimu di alam raya dan zaman... "buat teman-teman Fossei"
seperti manusia yang hakikatnya tamu dan karyanya hanyalah pinjaman, setiap tamu pasti akan pergi dan pinjaman pasti akan dikembalikan...
facebook adalah anak zaman, tetapi idealisme adalah semangat setiap zaman...
harga diri untuk hidup dan kehidupan, harga diri dari bumi untuk langit, harga diri... nilai dirimu di alam raya dan zaman... "buat teman-teman Fossei"
seperti manusia yang hakikatnya tamu dan karyanya hanyalah pinjaman, setiap tamu pasti akan pergi dan pinjaman pasti akan dikembalikan...
facebook adalah anak zaman, tetapi idealisme adalah semangat setiap zaman...
Kamis, 21 Mei 2009
Tinggalkan Prasangka & Tersenyumlah
Prihatin rasanya melihat saudara-saudaraku sesama punggawa dakwah terakhir ini. Semakin tak tersisa prasangka baik dalam hati dan lisan mereka. Sampai-sampai mudah baginya untuk mengeluarkan kata-kata tuduhan hina bagi sesama saudaranya, yang ia tahu aktif dalam perjuangan Islam seperti diri mereka. Sebaliknya semakin mudah baginya untuk mengagumi mereka yang jelas kafir dan belum ada kebaikannya bagi dakwah. Di pandangannya seakan-akan kaum kafir itu kaum yang hanif dan bersahaja, sementara para aktifis Islam itu kaum yang penuh ambisi dengan niat-niat tersembunyi.
Ada sekelompok manusia yang berusaha memberikan amal shaleh terbaik, tetapi dituduhnya menyembunyikan ambisi mendapatkan jabatan dan kuasa. Padahal mereka sama-sama mengaji, sama-sama melantunkan bait syahadat yang tak berbeda, sama-sama memahami kewajiban dan rukun-rukun dakwah di dalam Islam.
Habis sudah prasangka baik di langit Indonesia, kini yang tersisa adalah curiga, curiga dan curiga. Punah sudah senyum tulus yang memperindah pergaulan kita di pentas negeri tercinta. Sehingga orientasi tidak lagi jernih dalam memandang masalah dengan semua serba-serbinya. Semua argumentasi telah memiliki arahnya yang pasti, yaitu arah yang memang telah didominasi oleh prasangka-prasangka.
Sebab apa semua ini bisa terjadi? Mungkin ada kejenuhan dan keletihan dalam kerja-kerja dakwah yang panjang ini, mungkin ada kekeliruan dalam memahami hidup dan kehidupan, atau mungkin kita semakin jauh dari Islam yang kita perjuangkan ini.
Kepada mereka yang telah jenuh dan letih, pada mereka yang kehilangan orientasi, pada mereka yang selalu berprasangka, ingin kukatakan kalimat ini; perjuangan dakwah bukanlah ditujukan untuk dunia, atau sekedar jabatan dan harta yang bersifat sementara. Ambisi puncak semua itu adalah syurga, dimana wajah kita akan menatap pesona wajah Allah Dzat yang maha perkasa. Jikapun kerja dakwah ini menghantarkan seseorang pada jabatan dan harta, tak lebih itu semua hanya konsekwensi dan amanah. Kerja dakwah bukanlah kerja untuk fulan atau fulanah, kerja dakwah juga bukan sekedar penunaian beban-beban dan kewajiban. Kerja dakwah adalah kehormatan dan kemuliaan, kerja yang membuat kita dihormati oleh seluruh makhluk alam raya, kerja yang membuat kita dimuliakan atas malaikat dan syetan. Kerja ini hanya untuk Tuhan!
Ingat prinsip ini! Tujuan kerja dakwah adalah mewujudkan peradaban mulia lagi bersih, tidak mungkin ia tegak dengan cara-cara hina dan kotor. Tapi pahami bahwa kita adalah jamaah manusia, kelemahan dan kealpaan sudah menjadi fitrah dan kelaziman kita, tetapi bukan berarti kita tidak mampu mewujudkan peradaban bersih itu. Kita sangat mampu. Tetapi kini yang sangat penting adalah tanggalkan semua prasangka, bersatu barislah dengan mereka yang saat ini tengah berjuang, baik berjuang menundukkan kelemahan diri sendiri maupun berjuang merangkai rantai peradaban Islam sepenggal demi sepenggal. Dan setelah ini, tersenyumlah, karena Islam tak lagi menemukan curiga dalam perjuangannya. Allahu Akbar!
Ada sekelompok manusia yang berusaha memberikan amal shaleh terbaik, tetapi dituduhnya menyembunyikan ambisi mendapatkan jabatan dan kuasa. Padahal mereka sama-sama mengaji, sama-sama melantunkan bait syahadat yang tak berbeda, sama-sama memahami kewajiban dan rukun-rukun dakwah di dalam Islam.
Habis sudah prasangka baik di langit Indonesia, kini yang tersisa adalah curiga, curiga dan curiga. Punah sudah senyum tulus yang memperindah pergaulan kita di pentas negeri tercinta. Sehingga orientasi tidak lagi jernih dalam memandang masalah dengan semua serba-serbinya. Semua argumentasi telah memiliki arahnya yang pasti, yaitu arah yang memang telah didominasi oleh prasangka-prasangka.
Sebab apa semua ini bisa terjadi? Mungkin ada kejenuhan dan keletihan dalam kerja-kerja dakwah yang panjang ini, mungkin ada kekeliruan dalam memahami hidup dan kehidupan, atau mungkin kita semakin jauh dari Islam yang kita perjuangkan ini.
Kepada mereka yang telah jenuh dan letih, pada mereka yang kehilangan orientasi, pada mereka yang selalu berprasangka, ingin kukatakan kalimat ini; perjuangan dakwah bukanlah ditujukan untuk dunia, atau sekedar jabatan dan harta yang bersifat sementara. Ambisi puncak semua itu adalah syurga, dimana wajah kita akan menatap pesona wajah Allah Dzat yang maha perkasa. Jikapun kerja dakwah ini menghantarkan seseorang pada jabatan dan harta, tak lebih itu semua hanya konsekwensi dan amanah. Kerja dakwah bukanlah kerja untuk fulan atau fulanah, kerja dakwah juga bukan sekedar penunaian beban-beban dan kewajiban. Kerja dakwah adalah kehormatan dan kemuliaan, kerja yang membuat kita dihormati oleh seluruh makhluk alam raya, kerja yang membuat kita dimuliakan atas malaikat dan syetan. Kerja ini hanya untuk Tuhan!
Ingat prinsip ini! Tujuan kerja dakwah adalah mewujudkan peradaban mulia lagi bersih, tidak mungkin ia tegak dengan cara-cara hina dan kotor. Tapi pahami bahwa kita adalah jamaah manusia, kelemahan dan kealpaan sudah menjadi fitrah dan kelaziman kita, tetapi bukan berarti kita tidak mampu mewujudkan peradaban bersih itu. Kita sangat mampu. Tetapi kini yang sangat penting adalah tanggalkan semua prasangka, bersatu barislah dengan mereka yang saat ini tengah berjuang, baik berjuang menundukkan kelemahan diri sendiri maupun berjuang merangkai rantai peradaban Islam sepenggal demi sepenggal. Dan setelah ini, tersenyumlah, karena Islam tak lagi menemukan curiga dalam perjuangannya. Allahu Akbar!
Are Islamic Finance “Supermarkets” on the Way?
Dear Ali Sakti,
Islamic finance’s main promotional pitch is that it wasn’t sucked in by the whirlpool that the global financial crisis turned into. Why? Because “the system is transparent, which helps risk-taking and profit-sharing among all, which in turn guides the market in a better direction,” is the stock response.
However, reality is sinking in; several Gulf Islamic financial institutions (IFIs) have been recapitalized by their governments while major player Investment Dar defaulted on its Sukuk. Ratings of these institutions have been lowered as the real estate sector just about collapsed, stock markets saw prices tumbling and the liquidity flow turned into a trickle.
It’s a picture of contrast half a world away. The economic crisis that developed from the credit crunch has many Asian countries futilely fighting recession. Conventional banks are husbanding their capital resources and battling to minimize non-performing loans. However, the Islamic finance sector is experiencing little detrimental effect. Even though income levels are down, IFIs in the region are far from seeing red.
They are in fact stepping up their level of competitiveness. Countries with tiny Muslim population ratios, such as Korea and Japan, are moving to introduce Islamic finance on their own turf after their multinationals used it to further their businesses in the Middle East and elsewhere. The much lower oil prices may lead to a reduced volume of petrodollars but private wealth in the Middle East remains a huge bounty that Asian IFIs are vying to tap.
Asia is abuzz with talk of mega Islamic banks to be formed with capitalization of US$1 billion. The door has also been opened for law firms to undertake international Islamic finance practice out of Asia.
A fly in the ointment is Shariah interpretation. Because the different schools of thought come into play, “correct” interpretations of products and services being compatible with the Shariah are often a subject of debate. The Middle East market, for example, has the perception that products developed in Asia have only a Shariah “camouflage” and are not truly Shariah in nature.
The newcomers to the sector in Asia are looking to adopt a novel approach, which can be termed as being “all things to all people.” Products could be developed that can accommodate a variety of adaptations to suit particular schools of thought. The basic platform will be the standards set by the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, with the variations kicking in to suit the target jurisdictions. For instance, a single product can be adapted to meet the requirements in Saudi Arabia, and can be reconfigured for another client in a more lenient jurisdiction.
One country, intending to fast track its Islamic finance industry, is marketing its products in the Middle East by assuring that they will be compatible with the more conservative Shariah interpretation there. It then repackages the same products for other countries with more tolerant Shariah demands. Meeting a client’s Shariah compliance needs has become the primary marketing tool.
It’s too early to say how the market will respond to such a “supermarket” style of marketing Islamic finance products and services when it has become accustomed to “specialty” shops.
Best regards,
IFN team
Islamic finance’s main promotional pitch is that it wasn’t sucked in by the whirlpool that the global financial crisis turned into. Why? Because “the system is transparent, which helps risk-taking and profit-sharing among all, which in turn guides the market in a better direction,” is the stock response.
However, reality is sinking in; several Gulf Islamic financial institutions (IFIs) have been recapitalized by their governments while major player Investment Dar defaulted on its Sukuk. Ratings of these institutions have been lowered as the real estate sector just about collapsed, stock markets saw prices tumbling and the liquidity flow turned into a trickle.
It’s a picture of contrast half a world away. The economic crisis that developed from the credit crunch has many Asian countries futilely fighting recession. Conventional banks are husbanding their capital resources and battling to minimize non-performing loans. However, the Islamic finance sector is experiencing little detrimental effect. Even though income levels are down, IFIs in the region are far from seeing red.
They are in fact stepping up their level of competitiveness. Countries with tiny Muslim population ratios, such as Korea and Japan, are moving to introduce Islamic finance on their own turf after their multinationals used it to further their businesses in the Middle East and elsewhere. The much lower oil prices may lead to a reduced volume of petrodollars but private wealth in the Middle East remains a huge bounty that Asian IFIs are vying to tap.
Asia is abuzz with talk of mega Islamic banks to be formed with capitalization of US$1 billion. The door has also been opened for law firms to undertake international Islamic finance practice out of Asia.
A fly in the ointment is Shariah interpretation. Because the different schools of thought come into play, “correct” interpretations of products and services being compatible with the Shariah are often a subject of debate. The Middle East market, for example, has the perception that products developed in Asia have only a Shariah “camouflage” and are not truly Shariah in nature.
The newcomers to the sector in Asia are looking to adopt a novel approach, which can be termed as being “all things to all people.” Products could be developed that can accommodate a variety of adaptations to suit particular schools of thought. The basic platform will be the standards set by the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, with the variations kicking in to suit the target jurisdictions. For instance, a single product can be adapted to meet the requirements in Saudi Arabia, and can be reconfigured for another client in a more lenient jurisdiction.
One country, intending to fast track its Islamic finance industry, is marketing its products in the Middle East by assuring that they will be compatible with the more conservative Shariah interpretation there. It then repackages the same products for other countries with more tolerant Shariah demands. Meeting a client’s Shariah compliance needs has become the primary marketing tool.
It’s too early to say how the market will respond to such a “supermarket” style of marketing Islamic finance products and services when it has become accustomed to “specialty” shops.
Best regards,
IFN team
Senin, 18 Mei 2009
Presiden & Penerimaan Pasar: Gak Lucu!!
Mendekati pemilu presiden, semua pihak mulai mencermati dan berhitung-hitung sejauh mana peluang masing-masing pasangan kandidat. Dalam hiruk-pikuk diskusi itu, satu isu yang menarik perhatianku adalah satu headline media cetak dan beberapa media informasi yang menuliskan tingkat penerimaan pasar terhadap kandidat tertentu.
Sispa sih yang dimaksud pasar itu? Apakah tingkat penerimaannya layak dinilai positif atau negatif? Melihat karakteristik pasar dan struktur pemain pasar, maka tidak salah bahwa penerimaan pasar akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa judul headline itu menjadi misleading; maksudnya positif padahal hakikatnya sempit dan cenderung negatif.
Sederhana saja, bahwa yang dijadikan parameter dari tingkat penerimaan pasar adalah nilai tukar dan indeks harga saham. Karena mungkin pasar itu yang memang sensitif terhadap isu atau rumor, sekalipun itu tidak terkait dengan info ekonomi (bahkan isu flu babi saja mampu merontokkan saham, meskipun korelasi dan transmisinya sangat panjang untuk sampai pada variabel-variabel ekonomi, apalagi isu politik).
Misleading menggunakan parameter pasar valas dan pasar modal akan kita sadari jika kemudian kita lihat posisi dan struktur pelaku pasar tersebut. Meskipun ia mewakili volume dan nilai transaksi yang triliunan rupiah, tetapi berapa sih pelaku di pasar seperti itu? Segelintir!! Siapa mereka? Ya hanya orang-orang kaya yang benar-benar kaya!
Jadi, yang dimaksud dengan penerimaan pasar itu adalah tidak lebih dari penerimaan segelintir orang-orang kaya terhadap kandidat pasangan presiden. Akhirnya, kandidat-kandidat itu dapat dikatakan (pada perspektif lain) begitu "care" dengan persepsi segelintir orang kaya daripada persepsi orang - orang miskin. Dan karena misleading tadi, persepsi nasional akhirnya digerakkan oleh persepsi atau lebih tepatnya kepentingan orang-orang kaya.
Akhirnya kita semua saksikan, bagaimana logika dan mekanisme "gak lucu" ekonomi menular dalam mekanisme politik. Capek deh...
Sispa sih yang dimaksud pasar itu? Apakah tingkat penerimaannya layak dinilai positif atau negatif? Melihat karakteristik pasar dan struktur pemain pasar, maka tidak salah bahwa penerimaan pasar akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa judul headline itu menjadi misleading; maksudnya positif padahal hakikatnya sempit dan cenderung negatif.
Sederhana saja, bahwa yang dijadikan parameter dari tingkat penerimaan pasar adalah nilai tukar dan indeks harga saham. Karena mungkin pasar itu yang memang sensitif terhadap isu atau rumor, sekalipun itu tidak terkait dengan info ekonomi (bahkan isu flu babi saja mampu merontokkan saham, meskipun korelasi dan transmisinya sangat panjang untuk sampai pada variabel-variabel ekonomi, apalagi isu politik).
Misleading menggunakan parameter pasar valas dan pasar modal akan kita sadari jika kemudian kita lihat posisi dan struktur pelaku pasar tersebut. Meskipun ia mewakili volume dan nilai transaksi yang triliunan rupiah, tetapi berapa sih pelaku di pasar seperti itu? Segelintir!! Siapa mereka? Ya hanya orang-orang kaya yang benar-benar kaya!
Jadi, yang dimaksud dengan penerimaan pasar itu adalah tidak lebih dari penerimaan segelintir orang-orang kaya terhadap kandidat pasangan presiden. Akhirnya, kandidat-kandidat itu dapat dikatakan (pada perspektif lain) begitu "care" dengan persepsi segelintir orang kaya daripada persepsi orang - orang miskin. Dan karena misleading tadi, persepsi nasional akhirnya digerakkan oleh persepsi atau lebih tepatnya kepentingan orang-orang kaya.
Akhirnya kita semua saksikan, bagaimana logika dan mekanisme "gak lucu" ekonomi menular dalam mekanisme politik. Capek deh...
Senin, 11 Mei 2009
sudah sederhanakah kita pagi ini?
prinsip kesederhanaan apa yang sudah kita lakukan pagi ini? sarapan apa pagi ini? kekantor naik apa? sudah pesan apa untuk makan siang? memang setiap pilihan memiliki alasannya sendiri-sendiri, dan setiap alasan memiliki keshahihannya masing-masing. tetapi apa salahnya kita memiliki kegelisahan setiap saat pada setiap spending kita, pada setiap mau kita. karena setidaknya itu sebagai "risk management" kita untuk hari esok.
Minggu, 10 Mei 2009
Indonesia Memimpin Dunia
Tersenyum-senyum aku melihat sisi lain dinamika pemilu negaraku tercinta ini. Begitu banyak ternyata putra-putra terbaik bangsa yang bersemangat menjadi pemimpin negeri ini. Aku berhusnudzan dengan keinginan mereka. Mereka semua berharap mampu mempersembahkan pengabdian yang terbaik, pelayanan politik yang prima hingga negara ini menjadi negara besar yang sesungguhnya, yang setara dengan potensi yang dimilikinya.
Baik politisi veteran maupun baru telah menggenapkan warna pelangi politik di langit Indonesia. Masing-masing memiliki visinya tentang Indonesia masa depan. Ada yang bervisi kebesaran nasionalisme, perekonomian rakyat, kejujuran dan keutamaan moral bangsa, serta nafas relijius dalam berbangsa. Tetapi aku melihat satu warna yang dominan, yaitu antusiasme membangun bangsa.
Pak SBY merasa pengabdiannya belum maksimal memakmurkan negeri, setelah 5 tahun memberikan apa yang beliau mampu, beliau merasa kerja kerasnya akan maksimal jika dilanjutkan beberapa waktu lagi, sehingga beliau minta restu untuk mengabdi satu masa tugas lagi. Pak JK pun tak mau kalah dalam upaya “berlomba-lomba dalam berbuat baik” ini. Tidak puas melayani rakyat sebagai wakil presiden, beliau secara santun menyampaikan niatnya untuk juga mengabdi secara maksimal bagi negeri, yaitu mencalonkan diri sebagai presiden.
Ibu Megawati, yang telah merasakan susah-payahnya mengabdi pada bangsa, pun tidak ingin ketinggalan menawarkan pengabdiannya secara maksimal sebagai anak negeri. Pengalaman dan semangat telah memberikan keyakinan bahwa beliau mampu memberikan kondisi bangsa yang lebih baik. Sementara itu Pak Wiranto, semangat pengabdian tidak padam hanya karena lima tahun lalu gagal dalam perlombaan amal shaleh yang sama. Bahkan kini peluang melayani bangsa sebagai wakil presiden pun bagi beliau bukanlah sebuah kemunduran. Pengabdian tetap pengabdian, dan beliau betul-betul menunjukkan semangat untuk mengabdi.
Sedangkan Pak Prabowo menjadi pelaku baru yang berapi-api menunjukkan kepeduliannya pada negeri yang beliau sangat sayangi. Beliau tak rela negaranya yang kaya harus terhina dipentas dunia, beliau tak tega melihat bangsanya yang ramah harus selalu menderita. Beliau maju ke gelanggang meminta restu kepada semua elemen bangsa, menawarkan diri bahwa beliau sanggup melayani kebutuhan negeri ini.
Sederet lagi nama putra-putra terbaik negeri ini bersedia maju di barisan terdepan untuk mengabdi kepada bangsa ini. Pak Hidayat Nur Wahid, Pak Budiono, Pak Sutrisno Bachir dan lain-lain sudah bersedia pada posisinya, jika sewaktu-waktu negeri ini membutuhkan pengabdian maksimal mereka.
Aku bertanya dalam hati, kenapa perlombaan ini tidak dirubah saja menjadi rembukan bangsa, seperti musyawarah RT-ku yang hasilnya maksimal dengan melibatkan semua warga yang ada. Kenapa Pak SBY, Pak JK, Bu Mega, Pak Wiranto, Pak Prabowo, Pak Budiono dan Pak sutrisno Bachir serta siapapun anak bangsa unggul lainnya, duduk satu meja merumuskan upaya-upaya apa yang dapat membesarkan bangsa dan negara ini.
Terbayang olehku SBY menjadi panglima tertinggi yang mengarahkan bahtera hendak kemana, dengan gaya kesantunannya keputusan majunya negara ada ditangannya. Hidayat Nur Wahid mendampinginya sebagai penjaga moral bangsa. Wiranto menjadi panglima pertahanan yang sedia mengembalikan wibawa bangsa. Pak JK menjadi panglima ekonomi yang memastikan negara mendapatkan haknya dari tanah air yang kaya raya. Pak Prabowo dengan semangat progresifnya selalu menjaga kepentingan masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan kebutuhannya dan hak untuk juga maju. Ibu Mega menjadi pengemong layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya, seperti kakak perempuan yang welas asih, menyokong serta mengingatkan pada adik-adiknya yang tengah berjuang. Begitu seterusnya...
Aku tak ingin ada orang yang kecewa dalam usaha amal shaleh yang disebut politik ini...
Yang seharusnya terjaga adalah semangat, berbuat, berbuat dan berbuat, hingga Tuhan ridha atas kemakmuran bagi bangsa dan negara besar ini. Terbayang olehku Indonesia mampu memimpin dunia; dengan semangatnya yang membara, dengan senyumnya yang ramah, dengan sikapnya yang santun, dan kerja-kerasnya yang tak putus-putus...
Plak! Wake up! Tugas kantor dah selesai belum?!? Bosku sudah berdiri disampingku...
Baik politisi veteran maupun baru telah menggenapkan warna pelangi politik di langit Indonesia. Masing-masing memiliki visinya tentang Indonesia masa depan. Ada yang bervisi kebesaran nasionalisme, perekonomian rakyat, kejujuran dan keutamaan moral bangsa, serta nafas relijius dalam berbangsa. Tetapi aku melihat satu warna yang dominan, yaitu antusiasme membangun bangsa.
Pak SBY merasa pengabdiannya belum maksimal memakmurkan negeri, setelah 5 tahun memberikan apa yang beliau mampu, beliau merasa kerja kerasnya akan maksimal jika dilanjutkan beberapa waktu lagi, sehingga beliau minta restu untuk mengabdi satu masa tugas lagi. Pak JK pun tak mau kalah dalam upaya “berlomba-lomba dalam berbuat baik” ini. Tidak puas melayani rakyat sebagai wakil presiden, beliau secara santun menyampaikan niatnya untuk juga mengabdi secara maksimal bagi negeri, yaitu mencalonkan diri sebagai presiden.
Ibu Megawati, yang telah merasakan susah-payahnya mengabdi pada bangsa, pun tidak ingin ketinggalan menawarkan pengabdiannya secara maksimal sebagai anak negeri. Pengalaman dan semangat telah memberikan keyakinan bahwa beliau mampu memberikan kondisi bangsa yang lebih baik. Sementara itu Pak Wiranto, semangat pengabdian tidak padam hanya karena lima tahun lalu gagal dalam perlombaan amal shaleh yang sama. Bahkan kini peluang melayani bangsa sebagai wakil presiden pun bagi beliau bukanlah sebuah kemunduran. Pengabdian tetap pengabdian, dan beliau betul-betul menunjukkan semangat untuk mengabdi.
Sedangkan Pak Prabowo menjadi pelaku baru yang berapi-api menunjukkan kepeduliannya pada negeri yang beliau sangat sayangi. Beliau tak rela negaranya yang kaya harus terhina dipentas dunia, beliau tak tega melihat bangsanya yang ramah harus selalu menderita. Beliau maju ke gelanggang meminta restu kepada semua elemen bangsa, menawarkan diri bahwa beliau sanggup melayani kebutuhan negeri ini.
Sederet lagi nama putra-putra terbaik negeri ini bersedia maju di barisan terdepan untuk mengabdi kepada bangsa ini. Pak Hidayat Nur Wahid, Pak Budiono, Pak Sutrisno Bachir dan lain-lain sudah bersedia pada posisinya, jika sewaktu-waktu negeri ini membutuhkan pengabdian maksimal mereka.
Aku bertanya dalam hati, kenapa perlombaan ini tidak dirubah saja menjadi rembukan bangsa, seperti musyawarah RT-ku yang hasilnya maksimal dengan melibatkan semua warga yang ada. Kenapa Pak SBY, Pak JK, Bu Mega, Pak Wiranto, Pak Prabowo, Pak Budiono dan Pak sutrisno Bachir serta siapapun anak bangsa unggul lainnya, duduk satu meja merumuskan upaya-upaya apa yang dapat membesarkan bangsa dan negara ini.
Terbayang olehku SBY menjadi panglima tertinggi yang mengarahkan bahtera hendak kemana, dengan gaya kesantunannya keputusan majunya negara ada ditangannya. Hidayat Nur Wahid mendampinginya sebagai penjaga moral bangsa. Wiranto menjadi panglima pertahanan yang sedia mengembalikan wibawa bangsa. Pak JK menjadi panglima ekonomi yang memastikan negara mendapatkan haknya dari tanah air yang kaya raya. Pak Prabowo dengan semangat progresifnya selalu menjaga kepentingan masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan kebutuhannya dan hak untuk juga maju. Ibu Mega menjadi pengemong layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya, seperti kakak perempuan yang welas asih, menyokong serta mengingatkan pada adik-adiknya yang tengah berjuang. Begitu seterusnya...
Aku tak ingin ada orang yang kecewa dalam usaha amal shaleh yang disebut politik ini...
Yang seharusnya terjaga adalah semangat, berbuat, berbuat dan berbuat, hingga Tuhan ridha atas kemakmuran bagi bangsa dan negara besar ini. Terbayang olehku Indonesia mampu memimpin dunia; dengan semangatnya yang membara, dengan senyumnya yang ramah, dengan sikapnya yang santun, dan kerja-kerasnya yang tak putus-putus...
Plak! Wake up! Tugas kantor dah selesai belum?!? Bosku sudah berdiri disampingku...
Hidup Sederhana Campaign: "identifikasi kebutuhan-mu"
Terima kasih mas Rahmadan, jadi tertarik saya menulis apakah sudah waktunya masing-masing kita mengidentifikasi kebutuhan kita sesungguhnya.
Jika memang kita butuh motor, mungkin mio lebih baik dari motor gede (moge); inova sudah lebih dari cukup daripada jaguar atau mercy; biaya perawatan motor dan mobil sudah cukup daripada terus menambah-nambah atau berganti-ganti asesoris mereka; 1 handphone sudah memenuhi kebutuhan daripada 2 atau 3 HP; adakah yang lain???
lihatlah lemari kita, berapa set pakaian yang selama berbulan-bulan tidak kita pakai. cek di rak sepatu, berapa pasang sepatu kita yang terus teronggok disana. lihat kotak simpanan jam tangan kita, berapa banyak yang akhirnya hanya jadi koleksi dan sekedar menyedapkan mata. lihat giwang dan kalung yang kita punya, ternyata tidak pernah digunakan karena kita berkerudung. tengok sepeda gunung kita, nyatanya tak pernah beranjak sejak kita pindahkan dari toko bahkan sudah berniat untuk menambah dengan jenis sepeda yang sedang tren. periksa T-Shirt, baju atau jaket kita yang setiap tahunnya bertambah karena pemberian kantor pada acara-acara tertentu, ternyata secara rutin kita tetap membeli barang itu di mall-mall yang kita ziarahi.
Duh Gusti, ternyata orang-orang lapar disekitar kami terpelihara ada karena prilaku kami yang mengutamakan hobby, belanja kami karena bosan, atau sekedar keluar uang karena iseng, yang semua itu kami lakukan hanya untuk memuaskan mau kami...
what should we do now?
Jika memang kita butuh motor, mungkin mio lebih baik dari motor gede (moge); inova sudah lebih dari cukup daripada jaguar atau mercy; biaya perawatan motor dan mobil sudah cukup daripada terus menambah-nambah atau berganti-ganti asesoris mereka; 1 handphone sudah memenuhi kebutuhan daripada 2 atau 3 HP; adakah yang lain???
lihatlah lemari kita, berapa set pakaian yang selama berbulan-bulan tidak kita pakai. cek di rak sepatu, berapa pasang sepatu kita yang terus teronggok disana. lihat kotak simpanan jam tangan kita, berapa banyak yang akhirnya hanya jadi koleksi dan sekedar menyedapkan mata. lihat giwang dan kalung yang kita punya, ternyata tidak pernah digunakan karena kita berkerudung. tengok sepeda gunung kita, nyatanya tak pernah beranjak sejak kita pindahkan dari toko bahkan sudah berniat untuk menambah dengan jenis sepeda yang sedang tren. periksa T-Shirt, baju atau jaket kita yang setiap tahunnya bertambah karena pemberian kantor pada acara-acara tertentu, ternyata secara rutin kita tetap membeli barang itu di mall-mall yang kita ziarahi.
Duh Gusti, ternyata orang-orang lapar disekitar kami terpelihara ada karena prilaku kami yang mengutamakan hobby, belanja kami karena bosan, atau sekedar keluar uang karena iseng, yang semua itu kami lakukan hanya untuk memuaskan mau kami...
what should we do now?
Hidup Sederhana Campaign: "sederhana dalam hidup tapi kaya dalam amal shalehnya"
Komentar menarik dari Mas Rahmadan tentang Hidup Sederhana
Hidup sederhana bukan berarti hidup miskin tapi hidup sesuai kebutuhan. Sederhana dalam kehidupan dan kebutuhannya, tapi kaya dalam amal shalehnya. Mustahik gaya hidupnya,tapi muzakki dalam sedekahnya. Sederhana pakaiannya, tapi kaya imannya. sederhana kebutuhannya, tapi kaya pemasukan dan amal jariyahnya.... Saya Setuju dengan pak Ali Sungguh indah jika para pejabat dan orang kaya hidup sederhana, tidak ada ketimpangan dan kemiskinan...harta yang mereka dapatkan disalurkan kepada yang berhak.... Hidup gerakan SEDERHANA!!!!!
Hidup sederhana bukan berarti hidup miskin tapi hidup sesuai kebutuhan. Sederhana dalam kehidupan dan kebutuhannya, tapi kaya dalam amal shalehnya. Mustahik gaya hidupnya,tapi muzakki dalam sedekahnya. Sederhana pakaiannya, tapi kaya imannya. sederhana kebutuhannya, tapi kaya pemasukan dan amal jariyahnya.... Saya Setuju dengan pak Ali Sungguh indah jika para pejabat dan orang kaya hidup sederhana, tidak ada ketimpangan dan kemiskinan...harta yang mereka dapatkan disalurkan kepada yang berhak.... Hidup gerakan SEDERHANA!!!!!
Rabu, 06 Mei 2009
Financial Crisis
Check out this SlideShare Presentation:
Financial Crisis
View more presentations from Max Olson.
Hidup Sederhana
Paul Kennedy menulis sesuatu yang berharga dalam bukunya yang berjudul "Rise & Fall World Imperium", yaitu pelajaran bahwa ekonomilah yang membuat banyak peradaban lahir dan berkembang. tetapi ekonomi pula yang kemudian membuat peradaban kuat itu hancur dan musnah.
betul, semangat kemegahan membuat sebuah peradaban terbangun. tetapi kemegahan kemudian membuat semua elemennya terkulai asyik dengan kenikmatannya, hingga ia mematikan semangat yang dulu ada. dan akhirnya mati.
dari banyak cerita hidup manusia shaleh terdahulu, sejarah telah mempertontonkan pada kita kehidupan-kehidupan bersahaja mereka. sederhana dalam makanannya, pakaiannya, rumahnya, hartanya, tetapi tidak dalam infak sedekahnya. megah sekali amal mereka.
menyikapi itu, salah satu seruan moral dan akhlak dalam ekonomi Islam adalah hidup sederhana. saya mencoba untuk mulai dengan diri sendiri dan kemudian membangun "komunitas hidup sederhana". anda tertarik?
saya mengajak semua pengunjung blog ini (please), sedikit meluangkkan waktunya untuk memberikan komentar tentang ide ini, atau setidaknya memberikan pendapat pribadi tentang apa itu hidup sederhana. silakan.
betul, semangat kemegahan membuat sebuah peradaban terbangun. tetapi kemegahan kemudian membuat semua elemennya terkulai asyik dengan kenikmatannya, hingga ia mematikan semangat yang dulu ada. dan akhirnya mati.
dari banyak cerita hidup manusia shaleh terdahulu, sejarah telah mempertontonkan pada kita kehidupan-kehidupan bersahaja mereka. sederhana dalam makanannya, pakaiannya, rumahnya, hartanya, tetapi tidak dalam infak sedekahnya. megah sekali amal mereka.
menyikapi itu, salah satu seruan moral dan akhlak dalam ekonomi Islam adalah hidup sederhana. saya mencoba untuk mulai dengan diri sendiri dan kemudian membangun "komunitas hidup sederhana". anda tertarik?
saya mengajak semua pengunjung blog ini (please), sedikit meluangkkan waktunya untuk memberikan komentar tentang ide ini, atau setidaknya memberikan pendapat pribadi tentang apa itu hidup sederhana. silakan.
Langganan:
Postingan (Atom)