Dear Ali Sakti,
“Green shoots” is the term that is being increasingly bandied about by analysts, policymakers and investors, who have seemingly developed 20/20 vision in spotting a nascent economic recovery. In clutching at these straws of good news, let’s not neglect the realities: up to 239 million people will be jobless by year-end; 200 million workers are at risk of joining the ranks of people living on less than US$2 a day; the cost of hunger is estimated in some countries to be as high as 11% of gross domestic product (GDP); and the number of people on the brink of starvation is set to reach a record high of 1.02 billion or one-sixth of the global population.
This week’s United Nations conference on the world financial and economic crisis noted that the problems go beyond the conduct of monetary policy and regulation of the financial sector; they involve deeper inadequacies in areas such as corporate governance and competition policies. Many of these failings, in turn, have been supported by a flawed understanding of the functioning of markets. It also alleges that globalization was based on the flawed hypothesis that unfettered markets are quickly self-correcting and efficient.
The conference has, of course, produced a lengthy list of measures essential for global recovery, many of which will never reach the implementation stage. There is no mention of Islamic finance, but its practitioners need not rely on such talk shops; the world’s social and economic demands and inequities — as well as the financial difficulties of governments — can be eased considerably with the careful planning and implementation of development projects which make use of Islamic finance. In other words, let’s practice Islamic finance viably to meet the objectives it was created for, rather than focus only on the arena that conventional finance has defined, purely to use money to make money.
Is this feasible? A recent report relates how India can make use of Islamic finance to beat its debt trap, which came about because its GDP growth rate fell to 6.7% in 2008-09 against 9% in 2007-08, and its debt servicing rose to 58.83% of total expenditure or 15.87% of the GDP. Even the interest payments were 21.39% of the Indian government’s total expenditure and 5.77% of the GDP.
The report found that Islamic finance can reduce the fiscal deficit even if revenue receipts decline and expenditures increase. That’s because Islamic financial products can replace the debt-based investments for infrastructure with funds mobilized through equity-based government securities. The government, says the report, can issue sovereign Sukuk to mobilize non-debt funds for the consolidation of public finance. Countries can set up Islamic infrastructure funds using sovereign and even corporate Sukuk (for development projects initiated by the private sector) to bring about development in a cost-effective manner.
UN Secretary-General Ban Ki-moon pointed out that the developed world could mobilize more than US$18 trillion to keep its financial sector afloat, but was tardy in meeting its pledge to provide US$18 billion to developing African nations. This is the real world, but it provides Islamic finance practitioners with vast opportunities to do good for those in need in a win-win manner.
Best regards,
IFN team
Selasa, 30 Juni 2009
kita tidak kemana-mana
di sela hiruk-pikuk kemegahan dan semangat usaha ekonomi saat ini, ada yang mengatakan pada saya kalau tujuan ekonomi Islam hanya sekedar utopia, obsesi tanpa perhitungan dan kemampuan. ekonomi Islam hanya sekedar representasi kejenuhan dari kondisi ekonomi yang tak tahu menuju kemana, atau representasi ketidakmampuan baik individu maupun sistem yang selalu termarginalkan oleh peristiwa-peristiwa ekonomi.
untuk keraguang seperti ini, saya ingin katakan ini: saya tidak ragu atas kebenaran yang terkandung dalam nilai dan sistem Islam. karena ekonomi Islam memiliki logika yang utuh tentang hakikatnya, tujuannya, definisinya, tentang prilaku manusia, tentang interaksi bersama atau tentang kebenaran ekonomi yang sesungguhnya.
fikirkan sekali lagi, kalau saja prinsip marginal utility itu menjadi kecenderungan sistem bukankah pada tataran prilaku ekonomi akan menderita karena semua pelakunya menjadi serigala yang selalu lapar. jika ada serigala yang terluka atau terkulai lemah (baca: miskin dan papa), maka ia akan menjadi santapan empuk bagi serigala yang lainnya. dan sistem (ekonomi) akhirnya kita lihat hakikatnya menggunakan hukum rimba yang primitif dan barbar, yang kemudian kita dalihkan itu dengan sebutan manis "mekanisme pasar".
melihat dari perspektif ini saja saya terkadang tersenyum pahit, karena ternyata sejarah manusia tidak pernah beranjak dari tempatnya. karena seiring dengan waktu manusia baik individu maupun kolektif tidak pernah menjadi lebih baik. prilaku dan interaksi mereka sama, mereka memakan atau dimakan. hidup dan kehidupan manusia tidak pernah menjadi lebih baik dan mulia. kita masih ada di tempat yang sama, tempat dimana sudah ratusan atau bahkan ribuan ummat sudah pernah hancur karena ulah mereka.
untuk keraguang seperti ini, saya ingin katakan ini: saya tidak ragu atas kebenaran yang terkandung dalam nilai dan sistem Islam. karena ekonomi Islam memiliki logika yang utuh tentang hakikatnya, tujuannya, definisinya, tentang prilaku manusia, tentang interaksi bersama atau tentang kebenaran ekonomi yang sesungguhnya.
fikirkan sekali lagi, kalau saja prinsip marginal utility itu menjadi kecenderungan sistem bukankah pada tataran prilaku ekonomi akan menderita karena semua pelakunya menjadi serigala yang selalu lapar. jika ada serigala yang terluka atau terkulai lemah (baca: miskin dan papa), maka ia akan menjadi santapan empuk bagi serigala yang lainnya. dan sistem (ekonomi) akhirnya kita lihat hakikatnya menggunakan hukum rimba yang primitif dan barbar, yang kemudian kita dalihkan itu dengan sebutan manis "mekanisme pasar".
melihat dari perspektif ini saja saya terkadang tersenyum pahit, karena ternyata sejarah manusia tidak pernah beranjak dari tempatnya. karena seiring dengan waktu manusia baik individu maupun kolektif tidak pernah menjadi lebih baik. prilaku dan interaksi mereka sama, mereka memakan atau dimakan. hidup dan kehidupan manusia tidak pernah menjadi lebih baik dan mulia. kita masih ada di tempat yang sama, tempat dimana sudah ratusan atau bahkan ribuan ummat sudah pernah hancur karena ulah mereka.
Selasa, 23 Juni 2009
Underground Economy: Kehancuran Peradaban
Pada awal tahun 2008 Music Television atau yang dikenal oleh para remaja di seluruh pelosok dunia sebagai MTV, menayangkan satu iklan layanan masyarakat di negeri pengusung kebebasan terdepan (katanya) yaitu Amerika. Dalam iklan tersebut disebutkan ada 2863 manusia yang mati karena tragedy WTC New York, dan kemudian ada kampanye global yang menghabiskan triliunan US dollar dan ribuan (bahkan ratusan ribu) lagi manusia yang terkorban.
Seakan-akan MTV mengejek kampanye global pemerintah mereka sendiri, karena pada saat yang sama terdapat 40 juta manusia pengidap HIV – AIDS, 824 juta manusia yang kelaparan dan 630 juta gelandangan, tetapi tidak ada kampanye yang sama terhadap masalah ini. Kemana hati nurani melihat masalah ini, kecuali ternyata hanya kepentingan saja yang selalu kekal diantara kejadian dan peristiwa dunia.
Apa yang anda lihat dari 824 juta manusia yang kelaparan atau 630 juta manusia yang menjadi gelandangan dari sekitar lebih dari 6 miliar manusia di dunia? Mungkin ada yang akan menjawab bahwa ada sekitar hamper 1 miliar orang yang tidak produktif dalam ekonomi, ada hamper 1 miliar manusia yang menjadi beban bagi manusia lain.
Saya sendiri melihat dari kaca mata prilaku ekonomi. Data itu menunjukkan ada potensi hamper 1 miliar manusia yang akan bermaksiat pada Allah SWT karena kondisi kelemahan dalam ekonomi. Keterdesakan ekonomi berupa kesulitan bertahan hidup, membuat pintu-pintu nafkah melalui cara-cara yang dibenci oleh Allah, akan dengan mudah menjadi pilihan mereka; pelacuran, premanisme, tipu-menipu, bisnis narkoba, korupsi dan lain sebagainya.
Akhirnya kita musti tahu, bahwa kehancuran kita sebagai manusia terjadi karena ulah ketidakpedulian, karena kekacauan akhlak secara kolektif. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban kita, khususnya mereka yang sadar akan posisi dan urgensi dakwah, untuk mengambil kesempatan amal shaleh yaitu berupaya keras memperbaiki atmosfer kehidupan ini.
Seakan-akan MTV mengejek kampanye global pemerintah mereka sendiri, karena pada saat yang sama terdapat 40 juta manusia pengidap HIV – AIDS, 824 juta manusia yang kelaparan dan 630 juta gelandangan, tetapi tidak ada kampanye yang sama terhadap masalah ini. Kemana hati nurani melihat masalah ini, kecuali ternyata hanya kepentingan saja yang selalu kekal diantara kejadian dan peristiwa dunia.
Apa yang anda lihat dari 824 juta manusia yang kelaparan atau 630 juta manusia yang menjadi gelandangan dari sekitar lebih dari 6 miliar manusia di dunia? Mungkin ada yang akan menjawab bahwa ada sekitar hamper 1 miliar orang yang tidak produktif dalam ekonomi, ada hamper 1 miliar manusia yang menjadi beban bagi manusia lain.
Saya sendiri melihat dari kaca mata prilaku ekonomi. Data itu menunjukkan ada potensi hamper 1 miliar manusia yang akan bermaksiat pada Allah SWT karena kondisi kelemahan dalam ekonomi. Keterdesakan ekonomi berupa kesulitan bertahan hidup, membuat pintu-pintu nafkah melalui cara-cara yang dibenci oleh Allah, akan dengan mudah menjadi pilihan mereka; pelacuran, premanisme, tipu-menipu, bisnis narkoba, korupsi dan lain sebagainya.
Akhirnya kita musti tahu, bahwa kehancuran kita sebagai manusia terjadi karena ulah ketidakpedulian, karena kekacauan akhlak secara kolektif. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban kita, khususnya mereka yang sadar akan posisi dan urgensi dakwah, untuk mengambil kesempatan amal shaleh yaitu berupaya keras memperbaiki atmosfer kehidupan ini.
Kamis, 18 Juni 2009
Islamic Finance News: Light and Sound Show
Dear Ali Sakti,
President Barack Obama has proposed a sweeping regulatory overhaul for the US financial sector, claiming that it can stop future crashes and deter lax oversight, greed and huge debts. New discipline and transparency are to be injected into these markets.
Critics have been quick to point out that Obama is merely loading more regulation on top of the huge pile of laws and rules that already exist, and has missed the opportunity for a genuine reform of the financial system. Independent Senator Bernie Sanders, in calling for greater action, said: "We need to enact a national usury law so that big banks can't charge outrageous interest rates and sky-high fees. If a bank is too big to fail, it is too big to exist."
What’s of greater concern to the international financial community is Obama’s effort to also impose his brand of regulation on the rest of the world, which inevitably includes the Islamic finance sector. He said that “to ensure that our own safeguards are not undermined abroad”, the US is demanding “strong, modern regulation and supervision around the world”. On the face of it, his proposals are portrayed as being sensible, but the underlying concern is how far the US will go in pushing its brand of banking regulation on other nations.
All is not lost, however. The heads of state of the BRIC countries — Brazil, Russia, India and China — held their first-ever summit meeting this week at which they pledged to advance the reform of international financial institutions so as to reflect changes in the world economy. “The emerging and developing economies must have a greater voice,” said a declaration issued after the summit. All four countries, representing 40% of the world’s population and 15% of global gross domestic output, are favorably disposed towards Islamic finance.
Another point to be made is that Obama’s proposed overhaul won’t make the US financial system any more receptive towards Islamic finance. One glaring distinction is that while Islamic finance focuses on the consumer and the real economy, Obama’s version continues to be fixated on the financial institutions, with consumers and economic activities largely relegated to being appendages.
In his recent address to the Muslim world, Obama proposed a corps of American business volunteers to partner with counterparts in Muslim majority countries, and to help create connections between business leaders, foundations and social entrepreneurs in the US and Muslim majority countries. He also promised to create a fund to support technological development in Muslim majority countries, and to help transfer ideas to the marketplace so they can create more jobs. Does Islamic finance have no place in this?
Again, all is not lost. Islamic finance has still a considerable distance to go in establishing itself in Muslim majority countries. It has yet to sufficiently penetrate its own backyard: Indonesia (207 million Muslims), Pakistan (160 million), India (151 million), Bangladesh (132 million), Egypt (71 million), Turkey (71 million), Iran (64 million), Algeria ((33 million) and Morocco (32 million). Fresh fields to conquer yet.
Best regards,
IFN team
President Barack Obama has proposed a sweeping regulatory overhaul for the US financial sector, claiming that it can stop future crashes and deter lax oversight, greed and huge debts. New discipline and transparency are to be injected into these markets.
Critics have been quick to point out that Obama is merely loading more regulation on top of the huge pile of laws and rules that already exist, and has missed the opportunity for a genuine reform of the financial system. Independent Senator Bernie Sanders, in calling for greater action, said: "We need to enact a national usury law so that big banks can't charge outrageous interest rates and sky-high fees. If a bank is too big to fail, it is too big to exist."
What’s of greater concern to the international financial community is Obama’s effort to also impose his brand of regulation on the rest of the world, which inevitably includes the Islamic finance sector. He said that “to ensure that our own safeguards are not undermined abroad”, the US is demanding “strong, modern regulation and supervision around the world”. On the face of it, his proposals are portrayed as being sensible, but the underlying concern is how far the US will go in pushing its brand of banking regulation on other nations.
All is not lost, however. The heads of state of the BRIC countries — Brazil, Russia, India and China — held their first-ever summit meeting this week at which they pledged to advance the reform of international financial institutions so as to reflect changes in the world economy. “The emerging and developing economies must have a greater voice,” said a declaration issued after the summit. All four countries, representing 40% of the world’s population and 15% of global gross domestic output, are favorably disposed towards Islamic finance.
Another point to be made is that Obama’s proposed overhaul won’t make the US financial system any more receptive towards Islamic finance. One glaring distinction is that while Islamic finance focuses on the consumer and the real economy, Obama’s version continues to be fixated on the financial institutions, with consumers and economic activities largely relegated to being appendages.
In his recent address to the Muslim world, Obama proposed a corps of American business volunteers to partner with counterparts in Muslim majority countries, and to help create connections between business leaders, foundations and social entrepreneurs in the US and Muslim majority countries. He also promised to create a fund to support technological development in Muslim majority countries, and to help transfer ideas to the marketplace so they can create more jobs. Does Islamic finance have no place in this?
Again, all is not lost. Islamic finance has still a considerable distance to go in establishing itself in Muslim majority countries. It has yet to sufficiently penetrate its own backyard: Indonesia (207 million Muslims), Pakistan (160 million), India (151 million), Bangladesh (132 million), Egypt (71 million), Turkey (71 million), Iran (64 million), Algeria ((33 million) and Morocco (32 million). Fresh fields to conquer yet.
Best regards,
IFN team
Ekonomi Islam dan Kepentingan
Ikhwatifillah, tidak ada motivasi yang lebih besar dan lebih utama dari motivasi idiologi di dunia ini. Hanya motivasi idiologi yang mampu membuat manusia merelakan jiwanya. Dan idiologi Islam merupakan motivasi dahsyat yang kekuatannya tidak terikat pada dunia yang fana (sementara).
Motivasi Islam tidak terikat pada tempat dan zaman, dengan segala implikasi, konsekwensi dan ukuran-ukuran tertentu dari dunia, waktu dan zaman. Motivasi Islam akan membuat ruang lingkup kepentingan manusia menembut batas-batas dunia (beyond). Disamping itu, kepentingan manusia juga tidak hanya sebatas pada materi tetapi kenyamanan emosi dan hati.
Oleh sebab itu, kepentingan manusia akan jelas bentuk dan arahnya berdasarkan motivasi Islam ini. Dengan Islam kepentingan manusia sifatnya akan holistik. Artinya tidak parsial berdasarkan peristiwa atau objek, sehingga pamrih (kepentingan) tidak akan berbeda-beda tergantung peristiwa dan objeknya. Dengan kata lain, kepentingan manusia menjadi kekal pada semua kejadian dan objek.
Poin penting memang terletak pada motivasi. Bahkan motivasi dapat menentukan kadar pengorbanan yang rela manusia berikan pada sebuah usaha. Dan tidak jarang pengorbanan dalam kerangka Islam dapat menjadi bagian dari motivasi itu sendiri. Dengan begitu, pengorbanan mampu menambah energi motivasi. Motivasi juga menentukan kualitas kerja dan proses-prosesnya. Islam akan membuat kerja menjadi sepenuh jiwa dan kemampuan.
Ekonomi Islam harus diakui muncul dari motivasi Islam dalam beraktfitas ekonomi. Itu mengapa, implikasi motivasi pada kepentingan akan menjadi kepentingan dengan karakteristik seperti yang telah dijelaskan di atas. Yaitu kepentingan ekonomi yang konsisten pada apa yang menjadi kepentingan Islam. Kepentingan ekonomi yang yang ruang lingkupnya melampaui tapal batas dunia. Kepentingan ekonomi tidak hanya fokus pada pencapaian materi tetapi juga value (nilai-nilai keshalehan).
Sehingga kepentingan ekonomi dalam konsumsi, produksi, distribusi, kebijakan, infrastruktur, ketetuan, dan elemen-elemen lain dalam ekonomi akan konsisten dengan patern kepentingan Islam.
Dengan skala tertentu menggunakan ukuran kepentingan Islam ini, mengidentifikasi derajat keselarasan/konsistensi aktifitas ekonomi yang sedang dikembangkan dan dilakukan dengan kepentingan Islam akan mudah dilakukan. Artinya dengan parameter kepentingan ini, dapat diketahui gap antara kondisi ideal dengan realita pada semua aspek ekonomi. wallahu a'lam.
Motivasi Islam tidak terikat pada tempat dan zaman, dengan segala implikasi, konsekwensi dan ukuran-ukuran tertentu dari dunia, waktu dan zaman. Motivasi Islam akan membuat ruang lingkup kepentingan manusia menembut batas-batas dunia (beyond). Disamping itu, kepentingan manusia juga tidak hanya sebatas pada materi tetapi kenyamanan emosi dan hati.
Oleh sebab itu, kepentingan manusia akan jelas bentuk dan arahnya berdasarkan motivasi Islam ini. Dengan Islam kepentingan manusia sifatnya akan holistik. Artinya tidak parsial berdasarkan peristiwa atau objek, sehingga pamrih (kepentingan) tidak akan berbeda-beda tergantung peristiwa dan objeknya. Dengan kata lain, kepentingan manusia menjadi kekal pada semua kejadian dan objek.
Poin penting memang terletak pada motivasi. Bahkan motivasi dapat menentukan kadar pengorbanan yang rela manusia berikan pada sebuah usaha. Dan tidak jarang pengorbanan dalam kerangka Islam dapat menjadi bagian dari motivasi itu sendiri. Dengan begitu, pengorbanan mampu menambah energi motivasi. Motivasi juga menentukan kualitas kerja dan proses-prosesnya. Islam akan membuat kerja menjadi sepenuh jiwa dan kemampuan.
Ekonomi Islam harus diakui muncul dari motivasi Islam dalam beraktfitas ekonomi. Itu mengapa, implikasi motivasi pada kepentingan akan menjadi kepentingan dengan karakteristik seperti yang telah dijelaskan di atas. Yaitu kepentingan ekonomi yang konsisten pada apa yang menjadi kepentingan Islam. Kepentingan ekonomi yang yang ruang lingkupnya melampaui tapal batas dunia. Kepentingan ekonomi tidak hanya fokus pada pencapaian materi tetapi juga value (nilai-nilai keshalehan).
Sehingga kepentingan ekonomi dalam konsumsi, produksi, distribusi, kebijakan, infrastruktur, ketetuan, dan elemen-elemen lain dalam ekonomi akan konsisten dengan patern kepentingan Islam.
Dengan skala tertentu menggunakan ukuran kepentingan Islam ini, mengidentifikasi derajat keselarasan/konsistensi aktifitas ekonomi yang sedang dikembangkan dan dilakukan dengan kepentingan Islam akan mudah dilakukan. Artinya dengan parameter kepentingan ini, dapat diketahui gap antara kondisi ideal dengan realita pada semua aspek ekonomi. wallahu a'lam.
Syair Nusantara
dibolak-balik sejarah negeriku
dicari-cari kapan indahnya
ampunkan kami wahai Tuhanku
karena nusantara penuh dengan serakah pemimpinnya
digadang-gadang menjadi negeri yang mulia
dimimpi-mimpi sejahtera ada di mana-mana
sekali lagi kami mohon ampun duhai Tuhan Maha Perkasa
karena ternyata anak bangsa saling menganiaya
selatan hingga utara begitu kaya dan penuh cinta
timur hingga barat sangat indah dan juga ramah
setinggi-tinggi langit harapan dan cita-cita
ternyata nasibnya ada di dasar lembah
jakarta, 18 juni 2009
dicari-cari kapan indahnya
ampunkan kami wahai Tuhanku
karena nusantara penuh dengan serakah pemimpinnya
digadang-gadang menjadi negeri yang mulia
dimimpi-mimpi sejahtera ada di mana-mana
sekali lagi kami mohon ampun duhai Tuhan Maha Perkasa
karena ternyata anak bangsa saling menganiaya
selatan hingga utara begitu kaya dan penuh cinta
timur hingga barat sangat indah dan juga ramah
setinggi-tinggi langit harapan dan cita-cita
ternyata nasibnya ada di dasar lembah
jakarta, 18 juni 2009
Selasa, 16 Juni 2009
Ekonomi Islam dan Kematian
Mati. Kematian. Objek renungan yang memiliki berjuta makna dan fungsi. Ia menjadi pedoman untuk berharap, berencana dan bertindak. Namun pedoman itu bergantung pada perspektif kita memandang kematian. Tidak ada yang membantah kalau kematian adalah keniscayaan. Yang berbeda adalah keyakinan yang berimplikasi pada perhatian terhadap hal-hal sebelum atau sesudah kematian. Dan akhirnya semua perbedaan keyakinan itu nampak pada penyikapan-penyikapan pada hidup dan kehidupan.
Ketika anda meyakini tidak ada kehidupan setelah hidup, maka implikasinya adalah perhatian anda hanya akan tertuju pada kehidupan sebelum mati. Sementara jika anda percaya bahwa ada kehidupan setelah mati, terlebih lagi jika kebahagiaan kehidupan setelah mati memiliki korelasi dengan baik tidaknya anda dalam hidup sebelum mati, maka tentu implikasinya adalah anda akan berhati-hati dalam menjalani hidup sebelum mati. Oleh sebab itu, menjadi tidak relevan istilah “menikmati dunia” ketika tujuan puncak hidup kita adalah kehidupan setelah mati.
Sayangnya, begitu banyak manusia yang memfungsikan kematian hanya sebagai batas akhir dalam menikmati dunia. Sehingga banyak diantara kita yang berusaha sekuat tenaga untuk memperlama datangnya kematian. Karena semakin lama mati datang semakin panjang usia penikmatan dunia.
Latar belakang inilah yang menjelaskan peran kematian dan kehidupan setelahnya menjadi penting dalam Ekonomi Islam. Keyakinan pada pertanggungjawaban dunia pada kehidupan setelah kematian akan menentukan derajat kepatuhan kita pada syariah dan seberapa baik kita dalam berprilaku (derajat keshalehan). Ya, akhirnya jelas bagi kita mengapa seringkali Tuhan menekankan urgent-nya percaya pada hari akhir dalam firman-Nya. Jelas bahwa keyakinan itu berkorelasi dengan tingkat keshalehan.
Duh, terbayang di benak saya, kalau saja kekuasaan politik ada di tangan orang-orang shaleh, keputusan-keputusan hukum ada di tangan orang shaleh, senjata pembunuh ada ditangan orang shaleh dan harta kekayaan ada di tangan orang shaleh. Jika itu terjadi, saya idamkan terwujudnya sebaik-baik system politik, hokum, keamanan dan pastinya ekonomi.
Ketika anda meyakini tidak ada kehidupan setelah hidup, maka implikasinya adalah perhatian anda hanya akan tertuju pada kehidupan sebelum mati. Sementara jika anda percaya bahwa ada kehidupan setelah mati, terlebih lagi jika kebahagiaan kehidupan setelah mati memiliki korelasi dengan baik tidaknya anda dalam hidup sebelum mati, maka tentu implikasinya adalah anda akan berhati-hati dalam menjalani hidup sebelum mati. Oleh sebab itu, menjadi tidak relevan istilah “menikmati dunia” ketika tujuan puncak hidup kita adalah kehidupan setelah mati.
Sayangnya, begitu banyak manusia yang memfungsikan kematian hanya sebagai batas akhir dalam menikmati dunia. Sehingga banyak diantara kita yang berusaha sekuat tenaga untuk memperlama datangnya kematian. Karena semakin lama mati datang semakin panjang usia penikmatan dunia.
Latar belakang inilah yang menjelaskan peran kematian dan kehidupan setelahnya menjadi penting dalam Ekonomi Islam. Keyakinan pada pertanggungjawaban dunia pada kehidupan setelah kematian akan menentukan derajat kepatuhan kita pada syariah dan seberapa baik kita dalam berprilaku (derajat keshalehan). Ya, akhirnya jelas bagi kita mengapa seringkali Tuhan menekankan urgent-nya percaya pada hari akhir dalam firman-Nya. Jelas bahwa keyakinan itu berkorelasi dengan tingkat keshalehan.
Duh, terbayang di benak saya, kalau saja kekuasaan politik ada di tangan orang-orang shaleh, keputusan-keputusan hukum ada di tangan orang shaleh, senjata pembunuh ada ditangan orang shaleh dan harta kekayaan ada di tangan orang shaleh. Jika itu terjadi, saya idamkan terwujudnya sebaik-baik system politik, hokum, keamanan dan pastinya ekonomi.
Jumat, 12 Juni 2009
Underground Economy: Sebuah Estimasi
Diduga, dewasa ini 20–25 juta warga dunia dapat dikategorikan sebagai pengguna narkoba (drugs user) dari berbagai jenis dan golongan serta sekitar 10–20% di antaranya termasuk kalangan pencandu (drugs addict). Untuk Indonesia, angka pengguna diperkirakan mencapai 2–3 juta orang (Seputar Indonesia: Opini, Sinergi Memerangi Narkoba, May 23, 2009). Jika diasumsikan bahwa setiap pengguna narkoba menghabiskan Rp500 ribu setiap pekan, atau Rp 2 juta sebulan, maka volume transaksi narkoba bisa mencapai Rp 6 triliun sebulan. Dalam setahun bisa mencapai kurang lebih Rp 72 triliun. Fantastis! Sama dengan stimulus fiscal Indonesia menghadapi krisis global!
Sementara itu, UNDP mengestimasikan tahun 2003 di Indonesia terdapat 190 ribu hingga 270 ribu pekerja seksual komersial yang tiada lain mereka adalah para pelacur dengan 7 hingga 10 juta pelanggan. Artinya setiap pelacur rata-rata melayani 37 pelanggan (rasio maksimum). Dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang masih belum membaik, ada kemungkinan estimasi jumlah pekerja seks hingga akhir tahun 2008 telah meningkat di atas 20% atau sekitar 324 ribu. Jika rasio pelacur dan pelanggannya masih sama yaitu 1 banding 37, maka diperkirakan pelanggan pelacuran mencapai 12 juta pelanggan. Dan jika diasumsikan, setiap pelanggan mengeluarkan Rp 200 ribu perbulan, maka transaksi pelacuran perbulan mencapai Rp 2,4 triliun atau Rp 57,6 triliun. Dahsyat! Tidak heran jika ada segelintir orang ingin melegalkan sector ini dengan dalih penertiban dalam bentuk lokalisasi. Mungkin dengan aknga transaksi yang besar, mereka lihat potensi pajaknya yang juga cukup besar.
Bagaimana dengan angka perjudian dan korupsi? Mungkin angka keduanya jauh lebih mencengangkan. Duh, tambah terkesima saja kita dengan impact sector illegal yang mencerminkan rongrongan akhlak pada perekonomian.
Sementara itu, UNDP mengestimasikan tahun 2003 di Indonesia terdapat 190 ribu hingga 270 ribu pekerja seksual komersial yang tiada lain mereka adalah para pelacur dengan 7 hingga 10 juta pelanggan. Artinya setiap pelacur rata-rata melayani 37 pelanggan (rasio maksimum). Dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang masih belum membaik, ada kemungkinan estimasi jumlah pekerja seks hingga akhir tahun 2008 telah meningkat di atas 20% atau sekitar 324 ribu. Jika rasio pelacur dan pelanggannya masih sama yaitu 1 banding 37, maka diperkirakan pelanggan pelacuran mencapai 12 juta pelanggan. Dan jika diasumsikan, setiap pelanggan mengeluarkan Rp 200 ribu perbulan, maka transaksi pelacuran perbulan mencapai Rp 2,4 triliun atau Rp 57,6 triliun. Dahsyat! Tidak heran jika ada segelintir orang ingin melegalkan sector ini dengan dalih penertiban dalam bentuk lokalisasi. Mungkin dengan aknga transaksi yang besar, mereka lihat potensi pajaknya yang juga cukup besar.
Bagaimana dengan angka perjudian dan korupsi? Mungkin angka keduanya jauh lebih mencengangkan. Duh, tambah terkesima saja kita dengan impact sector illegal yang mencerminkan rongrongan akhlak pada perekonomian.
Islamic Finance News: Islamic Finance Goes Down Under
Dear Ali Sakti,
When Barack Obama addressed the Muslim world a week ago, he mentioned the innovations that Muslim communities had developed over the centuries: the order of algebra; magnetic compass and tools of navigation; mastery of pens and printing; understanding of how disease spreads and how it can be healed. But the US president never mentioned Islamic finance, that ethical and principles-based way to fund real economic activities to which more and more people, especially non-Muslims, are turning to following the global financial and economic crisis.
A blogger remarked: “Obama could have caused a great infusion of cash into the US economy by mentioning Islamic finance and Islamic banking, or a long term JFK-like Man on the Moon vision, by aiming for a dual banking system, conventional and Islamic, or as the British call it, conventional and alternative, which is their euphemism for all things ‘Islamic’ without using the word Shariah.
“Had Obama even said ‘Islamic finance’ once, he could have caused a net inflow of Shariah compliant capital flight into US money centers, banks and financial markets.”
Obama said his Cairo speech was meant to seek a new beginning between the US and Muslims around the world, one based on mutual interest and respect. Shouldn’t the mutual interest include Islamic finance, which a growing number of US financial players believe can help get the sector back on track?
The rest of the world is obviously not waiting for Obama to set the direction. Australia, which sees itself as a western nation trapped in an eastern environment, has decided on Islamic finance as a cornerstone of its ambition to make Sydney a financial services hub for Asia. "There're great opportunities such as Islamic finance," said financial services minister Chris Bowen.
"The majority of the world's Islamic population lives in Asia, and Singapore and Kuala Lumpur are trying to corner this market for themselves, and Australia can play a role. Even if we only take a small percentage of the market it could generate a lot of wealth and a lot of jobs in Australia."
Bowen, regretting that Australia has not yet passed a law allowing the operation of Islamic finance institutions, described Islamic finance as an untapped opportunity for Australia. “We are very good at managing money, and in superannuation we have the fourth-largest pool of funds under management in the world. We've developed really good skills but we don't export those skills."
While Australia is morale-boosting news for the Islamic finance industry, measures still need to be undertaken to make Islamic finance more presentable and acceptable to the rest of the world that dabbles in finance. A clearer reflection of corporate governance practices is one, as little has been written on governance structures in Islamic banking, especially in relation to Shariah advisors. Strengthened regulation is another.
The malpractices and playing fast and loose with the rules were what brought conventional finance to its knees. These could happen in Islamic finance, too. “Islamic finance is not immune from such pitfalls,” said Saudi Arabian Monetary Agency governor Muhammad Sulaiman Al-Jasser.
A timely warning as Islamic finance seeks fresh fields to conquer.
Best regards,
IFN team
When Barack Obama addressed the Muslim world a week ago, he mentioned the innovations that Muslim communities had developed over the centuries: the order of algebra; magnetic compass and tools of navigation; mastery of pens and printing; understanding of how disease spreads and how it can be healed. But the US president never mentioned Islamic finance, that ethical and principles-based way to fund real economic activities to which more and more people, especially non-Muslims, are turning to following the global financial and economic crisis.
A blogger remarked: “Obama could have caused a great infusion of cash into the US economy by mentioning Islamic finance and Islamic banking, or a long term JFK-like Man on the Moon vision, by aiming for a dual banking system, conventional and Islamic, or as the British call it, conventional and alternative, which is their euphemism for all things ‘Islamic’ without using the word Shariah.
“Had Obama even said ‘Islamic finance’ once, he could have caused a net inflow of Shariah compliant capital flight into US money centers, banks and financial markets.”
Obama said his Cairo speech was meant to seek a new beginning between the US and Muslims around the world, one based on mutual interest and respect. Shouldn’t the mutual interest include Islamic finance, which a growing number of US financial players believe can help get the sector back on track?
The rest of the world is obviously not waiting for Obama to set the direction. Australia, which sees itself as a western nation trapped in an eastern environment, has decided on Islamic finance as a cornerstone of its ambition to make Sydney a financial services hub for Asia. "There're great opportunities such as Islamic finance," said financial services minister Chris Bowen.
"The majority of the world's Islamic population lives in Asia, and Singapore and Kuala Lumpur are trying to corner this market for themselves, and Australia can play a role. Even if we only take a small percentage of the market it could generate a lot of wealth and a lot of jobs in Australia."
Bowen, regretting that Australia has not yet passed a law allowing the operation of Islamic finance institutions, described Islamic finance as an untapped opportunity for Australia. “We are very good at managing money, and in superannuation we have the fourth-largest pool of funds under management in the world. We've developed really good skills but we don't export those skills."
While Australia is morale-boosting news for the Islamic finance industry, measures still need to be undertaken to make Islamic finance more presentable and acceptable to the rest of the world that dabbles in finance. A clearer reflection of corporate governance practices is one, as little has been written on governance structures in Islamic banking, especially in relation to Shariah advisors. Strengthened regulation is another.
The malpractices and playing fast and loose with the rules were what brought conventional finance to its knees. These could happen in Islamic finance, too. “Islamic finance is not immune from such pitfalls,” said Saudi Arabian Monetary Agency governor Muhammad Sulaiman Al-Jasser.
A timely warning as Islamic finance seeks fresh fields to conquer.
Best regards,
IFN team
Rabu, 10 Juni 2009
Underground Economy
Ketika mengajar Pasca-Sarjana di Universitas Azzahra, terlontar renungan spontan dalam materiku tentang keuangan public Islam, yang membuat saya berfikir labih jauh setelah itu. Renungan spontan itu tentang aktifitas dan dinamika ekonomi illegal yang berpotensi menghambat kemanfaatan ekonomi dirasakan semua manusia. Sejak dulu saya yakin bahwa masalah ekonomi adalah masalah kelancaran velocity sumber daya ekonomi (factor-faktor produksi), sehingga perhatian saya tertuju pada optimalisasi kelancaran proses itu, baik secara system maupun secara prilaku ekonomi.
Perhatian saya ternyata selama ini lebih fokus pada system, dimana isu kelancaran velocity sumber daya ekonomi dikendala oleh praktek bunga dan spekulasi. Focus perhatian saya ini beralasan karena kendala system selalunya berimplikasi massif. Lihat saja bagaimana ketika praktek riba dan spekulasi menjadi industri, maka ekonomi mangalami misalokasi yang begitu serius, dimana volume ekonomi sector keuangan menggelembung dengan cepat dan rentan. Sementara sector riil semakin kurus, padahal jumlah populasi yang dilayani semakin bertambah.
Renungan spontan tadi kemudian menyadarkan saya bahwa aspek prilaku ekonomi yang salah secara akhlak akan memiliki implikasi tidak kalah dahsyat. Lihat bagaimana ketika moral tidak embodied dalam ekonomi, lihat transaksi narkoba, lihat volume agregat korupsi, transaksi pelacuran, volume perjudian. Transaksi-transaksi jenis ini sama sekali tidak pernah dihitung dalam pertumbuhan ekonomi. Padahal transaksi ini adalah transaksi “riil” yang memproduksi barang dan jasa dengan tingkat pasar tenaga kerjanya yang tertentu.
Triliunan ternyata volume transaksi narkoba di Indonesia ini, korupsipun angka agregatnya diyakini telah pula mencapai triliunan rupiah. Sementara pelacuran telah memiliki pasarnya sendiri di sudut-sudut tiap kota tanah air, begitu pula perjudian. Jika dianalisa lebih dalam, kecenderungan ini hakikatnya sama yaitu perkembangan transaksi-transaksi jenis ini akan menguruskan aktifitas ekonomi riil legal yang mensejahterakan. Sekali lagi renungan spontan ini menegaskan kembali keyakinan saya, bahwa masalah kesalahan system dan kerusakan prilaku ekonomi menjadi dua masalah dominant yang menjadi sasaran dakwah ekonomi Islam.
Perhatian saya ternyata selama ini lebih fokus pada system, dimana isu kelancaran velocity sumber daya ekonomi dikendala oleh praktek bunga dan spekulasi. Focus perhatian saya ini beralasan karena kendala system selalunya berimplikasi massif. Lihat saja bagaimana ketika praktek riba dan spekulasi menjadi industri, maka ekonomi mangalami misalokasi yang begitu serius, dimana volume ekonomi sector keuangan menggelembung dengan cepat dan rentan. Sementara sector riil semakin kurus, padahal jumlah populasi yang dilayani semakin bertambah.
Renungan spontan tadi kemudian menyadarkan saya bahwa aspek prilaku ekonomi yang salah secara akhlak akan memiliki implikasi tidak kalah dahsyat. Lihat bagaimana ketika moral tidak embodied dalam ekonomi, lihat transaksi narkoba, lihat volume agregat korupsi, transaksi pelacuran, volume perjudian. Transaksi-transaksi jenis ini sama sekali tidak pernah dihitung dalam pertumbuhan ekonomi. Padahal transaksi ini adalah transaksi “riil” yang memproduksi barang dan jasa dengan tingkat pasar tenaga kerjanya yang tertentu.
Triliunan ternyata volume transaksi narkoba di Indonesia ini, korupsipun angka agregatnya diyakini telah pula mencapai triliunan rupiah. Sementara pelacuran telah memiliki pasarnya sendiri di sudut-sudut tiap kota tanah air, begitu pula perjudian. Jika dianalisa lebih dalam, kecenderungan ini hakikatnya sama yaitu perkembangan transaksi-transaksi jenis ini akan menguruskan aktifitas ekonomi riil legal yang mensejahterakan. Sekali lagi renungan spontan ini menegaskan kembali keyakinan saya, bahwa masalah kesalahan system dan kerusakan prilaku ekonomi menjadi dua masalah dominant yang menjadi sasaran dakwah ekonomi Islam.
Satu Renungan Ga Penting tentang Ekonomi
Renungan toilet. Benar-benar tulisan ini saya rangkai ketika di toilet. Ketika inspirasi bercampur dengan hajat yang telah menjadi alami. Seperti seorang artis selebriti yang pernah membukukan sajak-sajak hasil renungannya ketika di toilet. Tapi tidak ada hubungan dengan tulisan ini. Saya hanya ingin saja menulis ketika hajat itu juga ada. Renungan itu seperti ini:
Teman-teman, apakah pernah kita fikirkan setelah Tuhan panggil kita dari kehidupan, seperti apa keadaan dunia. Apakah dunia semakin lega, karena manusia perusak sudah berkurang satu? Apakah manusia lain menyunggingkan senyum, karena kehidupan menjadi lebih baik? Atau kita tak pernah fikirkan itu, karena dalihnya fikiran itu tak lebih dari sekedar fikiran riya yang pamrih pada kehormatan dan kemuliaan dari manusia dan lingkungan alam.
Betul, sungguh musuh para pecinta amal adalah pamrih dunia, riya! Bertanya-tanya seperti apa hasil jerih-payah, boleh jadi merusak keikhlasan dalam bekerja, mengikis kemuliaan dari usaha yang telah susah payah dilakukan. Oleh sebab itu, sikap berhati-hati dalam berfikir apalagi bertindak menjadi sangat penting kita perhatikan. Senjata yang ringan dan dapat dilakukan adalah merenungkan terlebih dahulu semua yang ingin kita lakukan, melakukan evaluasi atas apa yang telah menjadi keyakinan atau sekedar keinginan. (renungan ini saya lanjutkan di bandara kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan).
Memang setiap manusia memiliki interpretasinya sendiri-sendiri tentang hidup, tentang cara menjalaninya, menyikapi semua peristiwa dan kejadiannya, atau merespon semua bentuk implikasi dan konsekwensi dunia. Tetapi sebenarnya manusia diberikan instrument dalam mengukur apakah interpretasinya benar atau tidak. Instrument itu Islam, dengan buku pintar atau referensinya Qur’an dan Sunnah (hadits). Dengan Islam diharapkan manusia akan sama dalam mendefinisikan hakikat hidup, tata cara menjalaninya, menyikapi peristiwa dan kejadian atau merespon semua bentuk implikasi dan konsekwensi dunia. Ya Islam menyatukan persepsi, menyatukan keyakinan, hingga menyatukan perbuatan dan tindakan.
Kecenderungan inilah yang menjadi landasan ekonomi Islam dikembangkan. Dengan persepsi, keyakinan dan perbuatan yang sama akan mudah kemudian memodelkan ekonomi Islam dengan lebih teknis dan praktis. Kemudian dengan begitu, akan juga semakin jelas bentuk dan warna ekonomi yang ingin dibangun. Ya semua bermula dari benar tidaknya persepsi, shahih tidaknya interpretasi. Oleh sebab itu, upaya pendidikan (tarbiyah) Islam terhadap semua manusia, akan menentukan sukses tidaknya ekonomi Islam mencapai bentuk aplikasi yang sebenarnya.
Teman-teman, apakah pernah kita fikirkan setelah Tuhan panggil kita dari kehidupan, seperti apa keadaan dunia. Apakah dunia semakin lega, karena manusia perusak sudah berkurang satu? Apakah manusia lain menyunggingkan senyum, karena kehidupan menjadi lebih baik? Atau kita tak pernah fikirkan itu, karena dalihnya fikiran itu tak lebih dari sekedar fikiran riya yang pamrih pada kehormatan dan kemuliaan dari manusia dan lingkungan alam.
Betul, sungguh musuh para pecinta amal adalah pamrih dunia, riya! Bertanya-tanya seperti apa hasil jerih-payah, boleh jadi merusak keikhlasan dalam bekerja, mengikis kemuliaan dari usaha yang telah susah payah dilakukan. Oleh sebab itu, sikap berhati-hati dalam berfikir apalagi bertindak menjadi sangat penting kita perhatikan. Senjata yang ringan dan dapat dilakukan adalah merenungkan terlebih dahulu semua yang ingin kita lakukan, melakukan evaluasi atas apa yang telah menjadi keyakinan atau sekedar keinginan. (renungan ini saya lanjutkan di bandara kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan).
Memang setiap manusia memiliki interpretasinya sendiri-sendiri tentang hidup, tentang cara menjalaninya, menyikapi semua peristiwa dan kejadiannya, atau merespon semua bentuk implikasi dan konsekwensi dunia. Tetapi sebenarnya manusia diberikan instrument dalam mengukur apakah interpretasinya benar atau tidak. Instrument itu Islam, dengan buku pintar atau referensinya Qur’an dan Sunnah (hadits). Dengan Islam diharapkan manusia akan sama dalam mendefinisikan hakikat hidup, tata cara menjalaninya, menyikapi peristiwa dan kejadian atau merespon semua bentuk implikasi dan konsekwensi dunia. Ya Islam menyatukan persepsi, menyatukan keyakinan, hingga menyatukan perbuatan dan tindakan.
Kecenderungan inilah yang menjadi landasan ekonomi Islam dikembangkan. Dengan persepsi, keyakinan dan perbuatan yang sama akan mudah kemudian memodelkan ekonomi Islam dengan lebih teknis dan praktis. Kemudian dengan begitu, akan juga semakin jelas bentuk dan warna ekonomi yang ingin dibangun. Ya semua bermula dari benar tidaknya persepsi, shahih tidaknya interpretasi. Oleh sebab itu, upaya pendidikan (tarbiyah) Islam terhadap semua manusia, akan menentukan sukses tidaknya ekonomi Islam mencapai bentuk aplikasi yang sebenarnya.
Rabu, 03 Juni 2009
artificial ekonomi....
Mungkin sadar atau mungkin sengaja tak menyadarkan diri, banyak sekali orang merasa berhak untuk lebih membusungkan dada hanya karena handphone-nya lebih mahal dari orang lain, mobilnya lebih mewah, rumahnya lebih luas, jabatannya lebih tinggi, gelarnya lebih banyak, pakaiannya lebih keren atau sekedar usianya lebih panjang.
Dan mungkin saja orang-orang yang utama, yang shalatnya selalu berjamaah di masjid, infak-shadaqahnya tidak putus setiap hari, atau puasa dan qiyamullail secara disiplin, memang tak akan pernah membusungkan dadanya, karena akan menyalahi motivasi mereka melakukan keutamaan itu semua. Mereka sadar tak boleh membusungkan dada.
Hingga akhirnya kita lihat sikap angkuh dan tidak santun itu dominan di sekitar kita. Sikap yang sebenarnya membuat udara di sekitar menjadi lebih panas. Kebersamaan dan senyum yang semuanya hanya artificial.
Lihatlah.. Hampir-hampir semua sikap diukur dengan kemegahan. Orang akan lebih mudah senyum dengan mereka yang punya mobil daripada yang lewat dengan motor. Orang akan lebih ringan menyapa jika yang di depannya adalah CEO perusahaan, atau seorang guru besar universitas bonafid, atau seorang politikus anggota dewan yang terhormat.
saya, anda, kita semua, ternyata seperti itu bukan? hanya bedanya ada yang sadar dan ada yang tidak sadar...
Dan mungkin saja orang-orang yang utama, yang shalatnya selalu berjamaah di masjid, infak-shadaqahnya tidak putus setiap hari, atau puasa dan qiyamullail secara disiplin, memang tak akan pernah membusungkan dadanya, karena akan menyalahi motivasi mereka melakukan keutamaan itu semua. Mereka sadar tak boleh membusungkan dada.
Hingga akhirnya kita lihat sikap angkuh dan tidak santun itu dominan di sekitar kita. Sikap yang sebenarnya membuat udara di sekitar menjadi lebih panas. Kebersamaan dan senyum yang semuanya hanya artificial.
Lihatlah.. Hampir-hampir semua sikap diukur dengan kemegahan. Orang akan lebih mudah senyum dengan mereka yang punya mobil daripada yang lewat dengan motor. Orang akan lebih ringan menyapa jika yang di depannya adalah CEO perusahaan, atau seorang guru besar universitas bonafid, atau seorang politikus anggota dewan yang terhormat.
saya, anda, kita semua, ternyata seperti itu bukan? hanya bedanya ada yang sadar dan ada yang tidak sadar...
Selasa, 02 Juni 2009
Ekonomi Halal Vs Ekonomi Islam
Unemployment rate in Europe 9.2% equal to 20.8 million people are in unemployed, highest in 10 years. Industri penerbangan Eropa terkena hantaman yang paling kuat, dimana kebanyakan maskapai penerbangan Eropa mengalami kerugian atau penurunan kinerja. Kerugian sepanjang tahun lalu mencapai USD 230 million berdasarkan data Budget Airline. Khabar ekonomi mulai membaik, sepertinya menjadi angin syurga yang sangat tidak beralasan.
Dalam hati saya masih terus berharap-harap keadaan disana semakin memburuk, dengan harapan ia akan memberikan semangat lain bagi pendekar-pendekar dakwah yang sudah banting tulang menyebarkan keyakinan mereka, bahwa ekonomi dengan hukum Tuhan dan moralnya adalah ekonomi yang paling tepat bagi manusia. Kecenderungan fakta ekonomi Amerika dan Eropa masih kuat menuju pada kondisi kebangkrutan. Hal ini membuat hati saya masih berbunga-bunga, berharap-harap mimpi akhir zaman dapat segera terwujud, yaitu berdirinya peradaban Islam terutama aspek ekonominya.
Tapi dilain sisi, saya masih terus prihatin dengan kondisi ekonomi di Indonesia. Bukan karena situasi pengangguran yang masih tinggi atau kemiskinan yang masih menggurita. Tapi lebih karena orientasi bisnis dan paradigma sukses hidup pelaku ekonomi yang masih berujung pada kemegahan harta, kelengkapan fasilitas hidup, dan semua bentuk kenikmatan-kenikmatan dunia. Orientasi dan obsesi seperti ini jangan menjadi tujuan ekonomi Islam. Jika ini terjadi, maka ekonomi Islam menjadi sempit sekedar menjadi ekonomi halal. Ekonomi yang dijalankan dengan cara-cara syariah tetapi tujuannya tidak beda dengan ekonomi modern saat ini, yaitu menumpuk-menimbun kemegahan harta dan menikmati sepuas-puasnya. Bukan menjadikan ekonomi dengan semua implikasi hartanya sebagai alat memaksimalkan kemanfaatan diri bagi manusia lain dalam kerangka optimalisasi kuantitas dan kualitas ibadah kepada Allah SWT.
Dalam hati saya masih terus berharap-harap keadaan disana semakin memburuk, dengan harapan ia akan memberikan semangat lain bagi pendekar-pendekar dakwah yang sudah banting tulang menyebarkan keyakinan mereka, bahwa ekonomi dengan hukum Tuhan dan moralnya adalah ekonomi yang paling tepat bagi manusia. Kecenderungan fakta ekonomi Amerika dan Eropa masih kuat menuju pada kondisi kebangkrutan. Hal ini membuat hati saya masih berbunga-bunga, berharap-harap mimpi akhir zaman dapat segera terwujud, yaitu berdirinya peradaban Islam terutama aspek ekonominya.
Tapi dilain sisi, saya masih terus prihatin dengan kondisi ekonomi di Indonesia. Bukan karena situasi pengangguran yang masih tinggi atau kemiskinan yang masih menggurita. Tapi lebih karena orientasi bisnis dan paradigma sukses hidup pelaku ekonomi yang masih berujung pada kemegahan harta, kelengkapan fasilitas hidup, dan semua bentuk kenikmatan-kenikmatan dunia. Orientasi dan obsesi seperti ini jangan menjadi tujuan ekonomi Islam. Jika ini terjadi, maka ekonomi Islam menjadi sempit sekedar menjadi ekonomi halal. Ekonomi yang dijalankan dengan cara-cara syariah tetapi tujuannya tidak beda dengan ekonomi modern saat ini, yaitu menumpuk-menimbun kemegahan harta dan menikmati sepuas-puasnya. Bukan menjadikan ekonomi dengan semua implikasi hartanya sebagai alat memaksimalkan kemanfaatan diri bagi manusia lain dalam kerangka optimalisasi kuantitas dan kualitas ibadah kepada Allah SWT.
Langganan:
Postingan (Atom)