Ternyata di daerah kabupaten Padang Pariaman terdapat beberapa pondok pesantren, tetapi saat saya bersama Tim MMBI melewati pesantren tersebut, tidak terlihat kegiatan yang berarti. Mungkin kebanyakan santri dan guru sedang libur. Rata-rata pesantren itu tidak mengalami kerusakan yang berarti (sepanjang penglihatan kami dari jalan).
Jalan-jalan yang kami lewati, baik jalan kabupaten, kecamatan hingga pedalaman desa, masih cukup mulus aspalnya untuk dilewati. Tetapi memang beberapa sekolah; SD, SMP dan SMA mengalami kerusakan yang bervariatif, dari ringan hingga ambruk sama sekali.
Kami mendengar cerita tentang desa di Tandikek yang terbenam oleh longsor, dimana penduduknya ketika itu sedang mengadakan pesta perkawinan yang menampilkan dangdut organ tunggal. Sementara cerita-cerita istimewa bagaimana selamatnya beberapa penduduk, semakin membuat variasi yang sangat kaya dari peristiwa bencana gempa ini.
Penasaran saya untuk bisa menyimpulkan pesan utama dari langit, yang dapat dijadikan pelajaran bagi kami yang menyaksikan semua ini.
Boleh jadi ini sebuah ujian ukhuwwah bagi siapa saja sebagai warga bangsa yang menyaksikan peristiwa pilu ini. Tergerakkah hati kita untuk membantu sesuai dengan kemampuan, sekalipun itu hanya sebait do’a. Tetapi mungkin juga ini merupakan cobaan ketabahan bagi mereka-mereka di daerah Sumbar yang mengalami guncangan dahsyat dari bumi.
Hasil daru ujian dan cobaan itu sudah mulai muncul. Mereka yang hanya bisa mengelus dada jauh di luar Sumbar kini sibuk kembali dengan hiruk-pikuk kesehariannya. Berita gempa sekedar menjadi variasi berita dari sekian berita yang ada di televisi mereka. Atau sibuk membincangkan hubungan angka dari detik-detik terjadinya gempa dengan ayat-ayat suci, seperti layaknya dukun yang menghubungkan sebuah peristiwa dengan angka-angka lotre. Duh tidak tega saya melihat ayat-ayat suciku ditafsirkan dengan cara-cara seperti itu.
Di Sumbar sendiri tidak sedikit penduduk yang luput dari bencana itu menjadi wisatawan lokal yang melancong dari satu lokasi gempa ke lokasi lainnya. Atau para korban yang cenderung semakin egois untuk mengamankan setiap bantuan yang lewat untuk diri dan keluarganya. Atau para pemimpin-pemimpin desa, kecamatan, kabupaten atau kotamadya hingga provinsi yang sibuk dengan prosedur dan birokrasi penanggulangan bencana, yang akhirnya membuat runyam kondisi korban dan daerah bencana.
Tak lama lagi kita akan lihat para pejabat dan para selebritis yang membawa para wartawan untuk meliput kegiatan keprihatinan mereka terhadap bencana itu. Rutinitas bencana berikut skenario dari awal hingga akhir dari keadaan bencana dan peristiwa-peristiwa yang meliputinya, selalunya berulang-berulang dan berulang. Yang pasti kita semua tidak semakin dekat pada Tuhan. Sebuah pelajaran mahal yang selalu diabaikan.
Jalan-jalan yang kami lewati, baik jalan kabupaten, kecamatan hingga pedalaman desa, masih cukup mulus aspalnya untuk dilewati. Tetapi memang beberapa sekolah; SD, SMP dan SMA mengalami kerusakan yang bervariatif, dari ringan hingga ambruk sama sekali.
Kami mendengar cerita tentang desa di Tandikek yang terbenam oleh longsor, dimana penduduknya ketika itu sedang mengadakan pesta perkawinan yang menampilkan dangdut organ tunggal. Sementara cerita-cerita istimewa bagaimana selamatnya beberapa penduduk, semakin membuat variasi yang sangat kaya dari peristiwa bencana gempa ini.
Penasaran saya untuk bisa menyimpulkan pesan utama dari langit, yang dapat dijadikan pelajaran bagi kami yang menyaksikan semua ini.
Boleh jadi ini sebuah ujian ukhuwwah bagi siapa saja sebagai warga bangsa yang menyaksikan peristiwa pilu ini. Tergerakkah hati kita untuk membantu sesuai dengan kemampuan, sekalipun itu hanya sebait do’a. Tetapi mungkin juga ini merupakan cobaan ketabahan bagi mereka-mereka di daerah Sumbar yang mengalami guncangan dahsyat dari bumi.
Hasil daru ujian dan cobaan itu sudah mulai muncul. Mereka yang hanya bisa mengelus dada jauh di luar Sumbar kini sibuk kembali dengan hiruk-pikuk kesehariannya. Berita gempa sekedar menjadi variasi berita dari sekian berita yang ada di televisi mereka. Atau sibuk membincangkan hubungan angka dari detik-detik terjadinya gempa dengan ayat-ayat suci, seperti layaknya dukun yang menghubungkan sebuah peristiwa dengan angka-angka lotre. Duh tidak tega saya melihat ayat-ayat suciku ditafsirkan dengan cara-cara seperti itu.
Di Sumbar sendiri tidak sedikit penduduk yang luput dari bencana itu menjadi wisatawan lokal yang melancong dari satu lokasi gempa ke lokasi lainnya. Atau para korban yang cenderung semakin egois untuk mengamankan setiap bantuan yang lewat untuk diri dan keluarganya. Atau para pemimpin-pemimpin desa, kecamatan, kabupaten atau kotamadya hingga provinsi yang sibuk dengan prosedur dan birokrasi penanggulangan bencana, yang akhirnya membuat runyam kondisi korban dan daerah bencana.
Tak lama lagi kita akan lihat para pejabat dan para selebritis yang membawa para wartawan untuk meliput kegiatan keprihatinan mereka terhadap bencana itu. Rutinitas bencana berikut skenario dari awal hingga akhir dari keadaan bencana dan peristiwa-peristiwa yang meliputinya, selalunya berulang-berulang dan berulang. Yang pasti kita semua tidak semakin dekat pada Tuhan. Sebuah pelajaran mahal yang selalu diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar