Menyempatkan diri untuk sedikit lama di depan televisi, menyimak berita tentang apa saja yang terjadi di negeri ini, dari berita politik, hukum, budaya, ekonomi sampai dengan olah raga dan selebriti, membuat saya menjadi kecil hati dan sedikit demotivasi. Berita politik yang mengabarkan gegap-gempita politisi dengan nafsu politik dan prilaku serakah korupsinya. Cerita hukum yang selalu memojokkan rakyat kecil yang tak punya kuasa, paradoks dengan kongkalikong penguasa dan orang kaya yang mempu membeli sengketa dari para hakim, jaksa dan polisi, yang memang sudah tenggelam dalam samudera korupsi. Budaya yang tercipta bukan lagi representasi keluhuran budi dan tingginya daya kreasi, tetapi kini berubah orientasi berupa inovasi korupsi dan drama-drama konflik sosial hampir disemua segmen masyarakat.
Sementara di jagad ekonomi nasional tak habis-habisnya dituturkan cerita sedih kelompok dhuafa bangsa ini, mereka yang tidak diterima dan diusir dari rumah-rumah sakit, sementara tata-kelola uang rakyat dihamburkan bagi kelompok kaya yang berteriak karena tumpukan harta mereka pertambahannya menurun. Sedangkan dunia olah raga dimeriahkan dengan perseteruan antara pengurus, tata-kelola dan pembinaan yang tak jelas serta pengadaan fasilitas dan prasarana yang menjadi objek pungli dan korupsi. Di dunia selebriti, tak habis-habis cerita aib seseorang, dari pribadinya sampai keluarganya, di eksplorasi dalam kemasan industri.
Melihat dan mendapatkan berita seperti itu bukannya mencerahkan apalagi membangkitkan semangat hidup dan motivasi kerja, tetapi membuat semakin suntuk, bad-mood untuk melakukan apa saja. Namun, apakah seperti itu bangsa ini? Apa mungkin kesan itu hanya salah bangsa ini dalam bercerita dan berbagi berita? Jangan-jangan perasaan pesimis, pandangan skeptik dan prasangka buruk terhadap bangsa sendiri yang telah begitu kronisnya, yang menjadi masalah utama bangsa ini?
Bukankah bangsa dan negara Indonesia ini begitu besarnya, melimpah anugerah Tuhan berupa kekayaan alam diberikan hampir di setiap pulau yang berbaris dari ujung Sabang hingga pulau Papua. Lautan, selat, dan sungai pun tak kalah kayanya. Tak mampukah itu semua membuat kita sembuh dari penyakit kronis tadi? Apalagi kini, ekonomi berjalan lebih baik dari yang sudah-sudah, pencapaian kesejahteraan boleh dikatakan terbaik dalam sejarah bangsa ini. Mengapa ini belum dapat menjadi momentum untuk menjadi bangsa yang penuh optimis, saling menyemangati, saling membantu, saling menasehati dan saling menjaga.
Mungkin generasi yang ada belum menyadari ini atau mungkin belum siap menjadi bangsa yang dominan dan besar untuk diteladani. Potensi besar bangsa belum diikuti kebesaran jiwa bangsanya untuk menjadi negara yang pantas untuk ditonton dan dipanuti. Sekian lama bangsa ini hanya menjadi penonton dan terbiasa mengekor bangsa lain.
Kalau seperti itu, mungkin sudah waktunya kita bangkitkan generasi yang memiliki jiwa yang berbeda. Generasi yang menatap positif dan optimis masa depannya, berjiwa besar untuk siap menjadi generasi yang mengantarkan bangsanya menjadi bangsa yang dihormati dan diteladani. Melihat setiap kelemahan yang ada pada rakyat dan semua yang ada di dekatnya sebagai sebuah kesempatan baginya untuk berbuat baik dan menumpuk kebaikan. Tidak ada gelisah, cemas atau khawatir, karena generasi ini yakin bahwa setiap langkahnya selalu dibantu Sang Kuasa. Kegagalan dan keberhasilan dipercayai sebagai satu set skenario baik dari Tuhan. Musibah dan bencana hanyalah bagian dari “perhatian” Tuhan untuk mendidik diri mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Kesalahan dan kealpaan tidak menyurutkan semangat atau bahkan menghentikan langkah mereka, karena mereka sangat sadar kalau itu menjadi kefitrahan yang setiap waktu harus diperbaiki.
Sudah saatnya Indonesia memiliki generasi yang berprasangka baik pada Tuhan, pada bangsa dan negaranya, pada lingkungan dan semua yang terjadi pada dirinya. Tetapi pertanyaannya, siapa mereka itu?
Selasa, 17 April 2012
Kamis, 12 April 2012
Pedoman Islami dalam Islamic Wealth Management
Memahami logika pengelolaan kekayaan berdasarkan prinsip Islam, dapat dilakukan menggunakan penjelasan pemaksimalan kepuasan (utility function) individu Islam dalam mengalokasikan pendapatannya. Orientasi penggunaan pendapatan (kekayaan) secara sederhana akan tertuju pada dua motif. Pertama, orientasi pada alokasi barang dan jasa (barang X; sebagai konsekwensi kebutuhan hidup), dan yang kedua orientasi pada alokasi amal shaleh (G; good deeds). Seiring dengan pemahaman pada ketentuan syariat dan keyakinan pada nilai-nilai akidah dan akhlak, maka diyakini kecenderungan prilaku individu pemilik kekayaan adalah mengalokasikan pendapatannya untuk barang dan jasa maksimum sebatas kebutuhan dasarnya (BN; basic needs), sehingga sebagai trade-off sisa pendapatannya teralokasikan pada amal shaleh. Dan pada kondisi itu alokasi amal shaleh akan mencapai tingkat yang maksimal.
seiring dengan maksimalnya alokasi pendapatan untuk amal shaleh, individu tersebut yakin bahwa Allah akan melipatgandakan rizkinya, sehingga pada masa yang akan datang garis Budget Constraint (M) akan semakin meningkat. Secara ekstrem, bagi individu mukmin (muslim yang beriman), peningkatan pendapatan tidak merubah tingkat alokasi pendapatannya untuk barang dan jasa (karena ia akan memelihara pada tingkat kebutuhan dasarnya yang sejak awal telah teridentifikasi), tetapi yang berubah dan meningkat adalah amal shaleh. Ini yang disebut dengan pengelolaan kekayaan yang berorientasi pada pemaksimalan kemanfaatan diri (diukur berdasarkan kekayaannya (belum termasuk waktu, pikiran dan tenaga).
Dibawah ini pedoman dalam aplikasi pengelolaan kekayaan secara Islam.
Mencari Harta
1. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
2. Mendukung Ibadah dan amal shaleh bukan menghambat Ibadah dan amal shaleh
3. Mempertimbangkan optimalisasi kontribusi secara waktu, tenaga dan harta bagi; dakwah, masyarakat dan keluarga
Membelanjakan Harta
1. Mempertimbangkan kebutuhan dasar
2. Mempertimbangkan kemanfaatan atau optimalisasi amal shaleh; kepentingan dakwah dan masyarakat
3. Mempertimbangkan kepentingan dakwah, masyarakat dan keluarga yang bersifat mendesak
Menyisihkan Harta
1. Menabung
i. Kebutuhan (bukan keinginan) di masa depan
ii. Kebutuhan sekarang yang mendesak
iii. Tidak bermotif menumpuk harta
2. Investasi/Usaha
i. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan (syariat) dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
ii. Mempertimbangkan kontribusi kemanfaatan atau amal shaleh yang maksimal bagi manusia lain; lingkungan keluarga dan masyarakat
iii. Mendukung kesejahteraan (kemandirian ekonomi ummat) dan dakwah
Aktivitas pengelolaan harta juga harus dilandasi oleh prinsip keyakinan bahwa setiap harta yang dibelanjakan dijalan Allah akan Allah lipat gandakan balasannya, baik berupa pahala maupun balasan harta materil (monetary gain). Keyakinan ini pula yang nanti pada pembahasan pengelolaan kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi nilainya, menjadi sangat krusial. Karena salah satu cara melindungi nilai kekayaan dalam Islam (Islamic Hedging) adalah menginfakkannya di jalan Allah. Aneh? Ya seperti itulah sebenarnya logika ekonomi Islam yang seharusnya menjadi keyakinan para pelakunya, yang kemudian menjadi built in dalam prilaku ekonomi. Mari renungkan kalimat mulia di bawah ini.
"Allah SWT tidak mewahyukan kepadaku untuk mengumpulkan harta benda dan menjadi pedagang. Namun aku diperintahkan sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al Hijr: 98-99). (HR. As Suyuthi) Lihat Bab 13 Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali.
seiring dengan maksimalnya alokasi pendapatan untuk amal shaleh, individu tersebut yakin bahwa Allah akan melipatgandakan rizkinya, sehingga pada masa yang akan datang garis Budget Constraint (M) akan semakin meningkat. Secara ekstrem, bagi individu mukmin (muslim yang beriman), peningkatan pendapatan tidak merubah tingkat alokasi pendapatannya untuk barang dan jasa (karena ia akan memelihara pada tingkat kebutuhan dasarnya yang sejak awal telah teridentifikasi), tetapi yang berubah dan meningkat adalah amal shaleh. Ini yang disebut dengan pengelolaan kekayaan yang berorientasi pada pemaksimalan kemanfaatan diri (diukur berdasarkan kekayaannya (belum termasuk waktu, pikiran dan tenaga).
Dibawah ini pedoman dalam aplikasi pengelolaan kekayaan secara Islam.
Mencari Harta
1. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
2. Mendukung Ibadah dan amal shaleh bukan menghambat Ibadah dan amal shaleh
3. Mempertimbangkan optimalisasi kontribusi secara waktu, tenaga dan harta bagi; dakwah, masyarakat dan keluarga
Membelanjakan Harta
1. Mempertimbangkan kebutuhan dasar
2. Mempertimbangkan kemanfaatan atau optimalisasi amal shaleh; kepentingan dakwah dan masyarakat
3. Mempertimbangkan kepentingan dakwah, masyarakat dan keluarga yang bersifat mendesak
Menyisihkan Harta
1. Menabung
i. Kebutuhan (bukan keinginan) di masa depan
ii. Kebutuhan sekarang yang mendesak
iii. Tidak bermotif menumpuk harta
2. Investasi/Usaha
i. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan (syariat) dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
ii. Mempertimbangkan kontribusi kemanfaatan atau amal shaleh yang maksimal bagi manusia lain; lingkungan keluarga dan masyarakat
iii. Mendukung kesejahteraan (kemandirian ekonomi ummat) dan dakwah
Aktivitas pengelolaan harta juga harus dilandasi oleh prinsip keyakinan bahwa setiap harta yang dibelanjakan dijalan Allah akan Allah lipat gandakan balasannya, baik berupa pahala maupun balasan harta materil (monetary gain). Keyakinan ini pula yang nanti pada pembahasan pengelolaan kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi nilainya, menjadi sangat krusial. Karena salah satu cara melindungi nilai kekayaan dalam Islam (Islamic Hedging) adalah menginfakkannya di jalan Allah. Aneh? Ya seperti itulah sebenarnya logika ekonomi Islam yang seharusnya menjadi keyakinan para pelakunya, yang kemudian menjadi built in dalam prilaku ekonomi. Mari renungkan kalimat mulia di bawah ini.
"Allah SWT tidak mewahyukan kepadaku untuk mengumpulkan harta benda dan menjadi pedagang. Namun aku diperintahkan sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al Hijr: 98-99). (HR. As Suyuthi) Lihat Bab 13 Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali.
HAKIKAT ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT
Munculnya outlet-outlet berikut produk yang semakin bervariasi jasa pelayanan keuangan Syariah ternyata secara perlahan memunculkan bentuk industri keuangan Syariah baru, yaitu pengelolaan kekayaan pribadi secara Syariah (Islamic Wealth Management). Atau dalam beberapa aspek pembahasan pengelolaan kekayaan ini dikenal pula sebagai perencanaan keuangan keluarga secara syariah (Islamic Financial Planning). Beragam portfolio keuangan Syariah berupa deposito, reksadana, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya menjadi pilihan keluarga muslim kelas menengah keatas dalam pengelolaan harta mereka. Perkembangan industri tersebut mampu melayani golongan masyarakat tersebut terhadap kebutuhan aktifitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip syaria. Kebutuhan tersebut muncul seiring dengan semakin merekahnya populasi muslim menengah keatas Indonesia yang merefleksikan pula semangat keislaman yang tumbuh diantara mereka.
Penghasilan cukup memadai dan tingkat saving yang semakin meningkat dikalangan keluarga-keluarga muslim, semakin merangsang industri jasa pengelolaan kekayaan, terlebih lagi kondisi tersebut didukung kondisi dimana pribadi-pribadi muslim tersebut semakin sempit memiliki waktu luang untuk mengurusi kekayaan mereka. Kehadiran pengelola kekayaan tentu saja akan sangat membantu kebutuhan segmentasi masyarakat ini. Bahkan pengelolaan kekayaan ini bukan hanya bersifat pada pengelolaan yang berorientasi profit tetapi juga orientasi sosial dan kebutuhan keluarga lainnya, seperti alokasi kekayaan untuk membayar kewajiban zakat, infak, sedekah atau wakaf. Selain itu pengeluaran kebutuhan keluarga seperti alternatif dan alokasi biaya sekolah Islami untuk anak, rekreasi,
Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa praktek Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning sejauh ini belum mencerminkan hakikat pengelolaan kekayaan dalam Islam. Nilai-nilai moral dalam akidah dan akhlak, belum tergambar secara utuh dalam aktifitas industri baru tersebut. Oleh sebab itu, selintas praktek Islamic wealth management terkesan sebatas ”pengelolaan harta para pemilik orang kaya untuk memelihara atau bahkan menggandakan kekayaan mereka secara syariat/halal (jika tidak ingin didefinisikan aktifitas penumpukan harta secara syariat)”. Kondisi ini tentu akan mengkerdilkan makna Islamic wealth management terbatas hanya aktifitas berorientasi materil, tanpa “ruh”, tanpa “jiwa” keislaman yang lebih kental nuansa ibadah pada setiap aktifitas muamalah.
Dengan demikian, sebelum memahami secara lebih menyeluruh apa hakikat Islamic wealth management dan menanamkan jiwa keislaman dalam muamalah-muamalah ekonomi-keuangan, sebaiknya diidentifikasi dulu nilai-nilai moral Islam yang berkaitan erat dengan harta. Beberapa nilai dari nasehat Nabi yang bisa dijadikan pedoman adalah:
“Harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh”
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain”
Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti terkait dengan wealth management ini, pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan pelaku atau pemilik harta. Apa indikasinya? Indikasinya adalah harta tersebut dikelola dengan niat, cara-cara dan tujuan untuk kepentingan Allah SWT semata. Nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Terkait dengan wealth menagement, kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau memaksimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaannya yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Artinya harta itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi manusia yang paling mulia.
Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelola hartanya berdasarkan syariah Islam akan berorientasi utama pada dua hal. Yang pertama, pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya, sebagai sebuah kebutuhan yang wajib berdasarkan kefitrahannya sebagai manusia. Yang kedua adalah pemanfaatan harta tersebut bagi manusia diluar keluarga, atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shaleh sebagai alat dalam rangka mendapatkan gelar kemuliaan dari Tuhan berdasarkan standard-standard yang dikhabarkan juga oleh Tuhan.
Motif kebutuhan primer dan amal shaleh menjadi dua sasaran utama penggunaan atau pemanfaatan harta. Karena lazimnya kebutuhan primer tersebut relatif tetap bagi setiap individu, maka pertambahan kekayaan sepatutnya mempengaruhi penambahan amal shaleh atau pemanfaatan kekayaan tersebut bagi manusia lain. Dan tentu saja, paradigma ini akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam mencari kekayaan. Diyakini bahwa semangat mencari harta pada hakikatnya adalah refleksi dari semangat memaksimalkan amal shaleh, bukan semangat memaksimalkan penikmatan atasnya.
Lihatlah contoh-contoh yang disajikan oleh kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, Sahabat dan para Wali, meskipun sejarah mengenali mereka sebagai saudagar-saudagar yang melimpah perniagaannya, tetapi sejarah tak luput memotret kehidupan keseharian mereka yang bersahaja. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlaskan untuk manusia lain, untuk ummat, untuk Tuhan mereka. Seseoarang diantara mereka yang mulia itu pernah berkata: ”manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”
Dengan begitu tujuan pengelolaan harta tidak dilimitasi pada kegiatan penumpukan harta sesuai syariat tetapi lebih dari itu adalah pengelolaan harta untuk memaksimalkan diri menjadi manusia yang terbaik di mata Allah SWT. Orientasi kepemilikan harta tidak pada orientasi penikmatan atasnya tetapi berorientasi pada pemanfaatan demi sebuah kebahagiaan sejati.
Disamping itu tanpa upaya penjagaan secara disiplin kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah termasuk nilai-nilai moral Islam, kecenderungan system berikut aplikasi ekonomi – keuangan syariah akan mimicry dengan apa yang ada dalam konvensional. Karena pelaku industri akhirnya hanya concern dengan penyediaan produk dalam rangka pengelolaan kekayaan ataupun likuiditas yang merujuk pada preferensi (lebih berorientasi pada produk halal daripada produk Islami) para pemilik harta. Bahkan pada skala yang lebih luas prilaku penyediaan produk oleh praktisi keuangan syariah di pasar tidak memperhatikan hubungan atau implikasi sector kuangan Syariah terhadap aktifitas dan kinerja perekonomian secara luas. Portfolio-portfolio sebagai produk-produk keuangan syariah yang digunakan dalam pengelolaan kekayaan akhirnya hanya outlet keuangan layaknya konvensional yang semakin memperpanjang labirin uang disektor keuangan yang sedikit saja bermuara pada aktifitas produktif penciptaan barang dan jasa (sebagai esensi tujuan ekonomi Islam). Dengan begitu, at the end of the day, system ekonomi-keuangan Syariah kehilangan karakternya, kabur fungsinya dan tak jelas maksud serta tujuannya.
Ketidakpedulian praktisi keuangan syariah terhadap substansi prinsip-prinsip keuangan syariah apalagi pada nilai-nilai moral Islami-nya, ditambah dengan tingkat edukasi dan preferensi masyarakat (sebagai pengguna produk-produk keuangan syariah untuk kebutuhan pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga) yang masih rendah, membuat aplikasi ekonomi atau keuangan syariah masih sebatas aplikasi halal saja. Aplikasi ekonomi atau keuangan syariah yang kualitasnya masih sangat rendah. Aplikasi keuangan yang hanya fokus pada aplikasi yang free dari Riba atau judi (spekulasi) hemat saya adalah aplikasi minimum dari praktek ekonomi - keuangan syariah, mungkin kita sebut saja levelnya ada pada aplikasi ekonomi halal, tetapi jika kita ingin praktek ekonomi Islam naik pada level selanjutnya yang lebih tinggi (“aplikasi ekonomi Islami”), etika dan nilai-nilai prilaku ekonomi dalam Islam haruslah mulai diperkenalkan. Prilaku-prilaku seperti mencari harta bukan untuk ditumpuk tapi untuk memperluas kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat dhuafa. Prilaku-prilaku ini adalah prilaku yang berbekal dengan keyakinan pada janji Tuhan bahwa Tuhan akan semakin menambah memperlancar rezeki bagi mereka yang membelanjakan hartanya dijalan Tuhan.
Semoga kedepan, seiring dengan pembelajaran dan peningkatan keyakinan atau pemahaman terhadap akidah dan akhlak, dilengkapi dengan pengetahuan dan skill Syariah yang memadai, akan muncul manusia-manusia yang mampu memelihara ruh Islam terjaga dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi-keuangan Islam. Khusus bagi Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning, harapannya adalah industri ini menjadi industri yang shaleh, yang memproduksi dan menyebarkan keshalehan dan semakin membentuk serta melayani golongan orang-orang kaya yang shaleh. Bismillah.
Penghasilan cukup memadai dan tingkat saving yang semakin meningkat dikalangan keluarga-keluarga muslim, semakin merangsang industri jasa pengelolaan kekayaan, terlebih lagi kondisi tersebut didukung kondisi dimana pribadi-pribadi muslim tersebut semakin sempit memiliki waktu luang untuk mengurusi kekayaan mereka. Kehadiran pengelola kekayaan tentu saja akan sangat membantu kebutuhan segmentasi masyarakat ini. Bahkan pengelolaan kekayaan ini bukan hanya bersifat pada pengelolaan yang berorientasi profit tetapi juga orientasi sosial dan kebutuhan keluarga lainnya, seperti alokasi kekayaan untuk membayar kewajiban zakat, infak, sedekah atau wakaf. Selain itu pengeluaran kebutuhan keluarga seperti alternatif dan alokasi biaya sekolah Islami untuk anak, rekreasi,
Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa praktek Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning sejauh ini belum mencerminkan hakikat pengelolaan kekayaan dalam Islam. Nilai-nilai moral dalam akidah dan akhlak, belum tergambar secara utuh dalam aktifitas industri baru tersebut. Oleh sebab itu, selintas praktek Islamic wealth management terkesan sebatas ”pengelolaan harta para pemilik orang kaya untuk memelihara atau bahkan menggandakan kekayaan mereka secara syariat/halal (jika tidak ingin didefinisikan aktifitas penumpukan harta secara syariat)”. Kondisi ini tentu akan mengkerdilkan makna Islamic wealth management terbatas hanya aktifitas berorientasi materil, tanpa “ruh”, tanpa “jiwa” keislaman yang lebih kental nuansa ibadah pada setiap aktifitas muamalah.
Dengan demikian, sebelum memahami secara lebih menyeluruh apa hakikat Islamic wealth management dan menanamkan jiwa keislaman dalam muamalah-muamalah ekonomi-keuangan, sebaiknya diidentifikasi dulu nilai-nilai moral Islam yang berkaitan erat dengan harta. Beberapa nilai dari nasehat Nabi yang bisa dijadikan pedoman adalah:
“Harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh”
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain”
Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti terkait dengan wealth management ini, pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan pelaku atau pemilik harta. Apa indikasinya? Indikasinya adalah harta tersebut dikelola dengan niat, cara-cara dan tujuan untuk kepentingan Allah SWT semata. Nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Terkait dengan wealth menagement, kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau memaksimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaannya yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Artinya harta itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih baik yaitu mewujudkan pemiliknya menjadi manusia yang paling mulia.
Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelola hartanya berdasarkan syariah Islam akan berorientasi utama pada dua hal. Yang pertama, pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya, sebagai sebuah kebutuhan yang wajib berdasarkan kefitrahannya sebagai manusia. Yang kedua adalah pemanfaatan harta tersebut bagi manusia diluar keluarga, atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shaleh sebagai alat dalam rangka mendapatkan gelar kemuliaan dari Tuhan berdasarkan standard-standard yang dikhabarkan juga oleh Tuhan.
Motif kebutuhan primer dan amal shaleh menjadi dua sasaran utama penggunaan atau pemanfaatan harta. Karena lazimnya kebutuhan primer tersebut relatif tetap bagi setiap individu, maka pertambahan kekayaan sepatutnya mempengaruhi penambahan amal shaleh atau pemanfaatan kekayaan tersebut bagi manusia lain. Dan tentu saja, paradigma ini akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam mencari kekayaan. Diyakini bahwa semangat mencari harta pada hakikatnya adalah refleksi dari semangat memaksimalkan amal shaleh, bukan semangat memaksimalkan penikmatan atasnya.
Lihatlah contoh-contoh yang disajikan oleh kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, Sahabat dan para Wali, meskipun sejarah mengenali mereka sebagai saudagar-saudagar yang melimpah perniagaannya, tetapi sejarah tak luput memotret kehidupan keseharian mereka yang bersahaja. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlaskan untuk manusia lain, untuk ummat, untuk Tuhan mereka. Seseoarang diantara mereka yang mulia itu pernah berkata: ”manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”
Dengan begitu tujuan pengelolaan harta tidak dilimitasi pada kegiatan penumpukan harta sesuai syariat tetapi lebih dari itu adalah pengelolaan harta untuk memaksimalkan diri menjadi manusia yang terbaik di mata Allah SWT. Orientasi kepemilikan harta tidak pada orientasi penikmatan atasnya tetapi berorientasi pada pemanfaatan demi sebuah kebahagiaan sejati.
Disamping itu tanpa upaya penjagaan secara disiplin kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah termasuk nilai-nilai moral Islam, kecenderungan system berikut aplikasi ekonomi – keuangan syariah akan mimicry dengan apa yang ada dalam konvensional. Karena pelaku industri akhirnya hanya concern dengan penyediaan produk dalam rangka pengelolaan kekayaan ataupun likuiditas yang merujuk pada preferensi (lebih berorientasi pada produk halal daripada produk Islami) para pemilik harta. Bahkan pada skala yang lebih luas prilaku penyediaan produk oleh praktisi keuangan syariah di pasar tidak memperhatikan hubungan atau implikasi sector kuangan Syariah terhadap aktifitas dan kinerja perekonomian secara luas. Portfolio-portfolio sebagai produk-produk keuangan syariah yang digunakan dalam pengelolaan kekayaan akhirnya hanya outlet keuangan layaknya konvensional yang semakin memperpanjang labirin uang disektor keuangan yang sedikit saja bermuara pada aktifitas produktif penciptaan barang dan jasa (sebagai esensi tujuan ekonomi Islam). Dengan begitu, at the end of the day, system ekonomi-keuangan Syariah kehilangan karakternya, kabur fungsinya dan tak jelas maksud serta tujuannya.
Ketidakpedulian praktisi keuangan syariah terhadap substansi prinsip-prinsip keuangan syariah apalagi pada nilai-nilai moral Islami-nya, ditambah dengan tingkat edukasi dan preferensi masyarakat (sebagai pengguna produk-produk keuangan syariah untuk kebutuhan pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga) yang masih rendah, membuat aplikasi ekonomi atau keuangan syariah masih sebatas aplikasi halal saja. Aplikasi ekonomi atau keuangan syariah yang kualitasnya masih sangat rendah. Aplikasi keuangan yang hanya fokus pada aplikasi yang free dari Riba atau judi (spekulasi) hemat saya adalah aplikasi minimum dari praktek ekonomi - keuangan syariah, mungkin kita sebut saja levelnya ada pada aplikasi ekonomi halal, tetapi jika kita ingin praktek ekonomi Islam naik pada level selanjutnya yang lebih tinggi (“aplikasi ekonomi Islami”), etika dan nilai-nilai prilaku ekonomi dalam Islam haruslah mulai diperkenalkan. Prilaku-prilaku seperti mencari harta bukan untuk ditumpuk tapi untuk memperluas kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat dhuafa. Prilaku-prilaku ini adalah prilaku yang berbekal dengan keyakinan pada janji Tuhan bahwa Tuhan akan semakin menambah memperlancar rezeki bagi mereka yang membelanjakan hartanya dijalan Tuhan.
Semoga kedepan, seiring dengan pembelajaran dan peningkatan keyakinan atau pemahaman terhadap akidah dan akhlak, dilengkapi dengan pengetahuan dan skill Syariah yang memadai, akan muncul manusia-manusia yang mampu memelihara ruh Islam terjaga dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi-keuangan Islam. Khusus bagi Islamic Wealth Management atau Islamic Financial Planning, harapannya adalah industri ini menjadi industri yang shaleh, yang memproduksi dan menyebarkan keshalehan dan semakin membentuk serta melayani golongan orang-orang kaya yang shaleh. Bismillah.
Selasa, 10 April 2012
Semakin rumit semakin berkah
Pernah berhitung, anda hidup pada berapa ruang komunitas? Ada komunitas keluarga, baik keluarga sendiri maupun keluarga pasangan hidup kita. Ada pula komunitas kantor, komunitas tetangga dan komunitas pengajian. Atau ada komunitas sahabat, dari alumni SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 atau alumni program-program tertentu yang membuat jalinan pertemanan dimulai dan terpelihara, seperti komunitas alumni haji. Selain itu mungkin anda memiliki kesibukan dalam ruang komunitas yang terbentuk karena faktor-faktor unik, seperti komunitas hobi.
Nah, coba lihat, banyak bukan komunitas yang anda harus sikapi, harus perhatikan, harus luangkan waktu? Jikalau pada semua komunitas itu kita juga harus menjaga tingkah laku, memelihara idealisme sekaligus melakukan kerja-kerja yang menjadi tuntutan komunitas itu, begitu rumit dan meletihkan bukan? Kecuali jika anda memang tidak mau peduli dengan tuntutan itu atau sama sekali tidak mau tahu dengan keberadaan komunitas-komunitas semacam itu. Anda sibuk dengan dunia anda sendiri, melihat dunia dengan kaca mata “aku centris”. Tapi, maaf saya tidak sedang ingin bicara tipe manusia seperti ini, saya ingin bicara tentang mereka yang sibuk dengan begitu beragam ruang kehidupan, rumit dan meletihkan.
Disatu sisi memang meletihkan tetapi disisi yang lain jumlah komunitas itu mencerminkan seberapa luas ladang amal shaleh yang dapat dinikmati, semakin luas pintu-pintu keberkahan bisa anda peroleh. Bayangkan, kalau ternyata anda memiliki amanah pada setiap komunitas pergaulan anda itu, betapa besarnya potensi anda untuk menjadi manusia baik dan disayangi oleh Tuhan. Harus diakui, akan banyak yang harus difikirkan, diperhatikan dan digeluti, sehingga menguras waktu, tenaga, harta atau bahkan mempertaruhkan keselamatan. Tapi saya percaya, kehidupan seperti itu bukan tanpa imbalan. Pilihan skenario hidup oleh Tuhan seperti ini bukanlah tanpa maksud.
Satu masalah yang datang harus diyakini sebagai satu bentuk “perhatian” Tuhan. Dan jika dalam perjuangan masalah bertubi-tubi datang bukankah bermakna Tuhan tak henti-hentinya memperhatikan sang pejuang. Oleh sebab itu, menjaga kesadaran akan rasionalitas kausalitas, seperti amal dan pahala, istiqamah dan janji-janji Tuhan, pengorbanan dan kasih-sayang atau sabar dan syurga, menjadi begitu berharga. Kesadaran itu akan menetralisir racun godaan dan nafsu, memberikan keletihan istirahat yang cukup dan menjaga orientasi untuk selalu lurus dan bergerak maju.
Saya sedang ingin menghibur mereka yang letih dengan jargon-jargon perjuangan dan pengorbanan, mereka yang bosan atau mungkin hampir muak dengan pilihan hidup yang hingga saat ini belum memberikan apa-apa. Namun pada saat yang sama saya sebenarnya sedang angkat topi, salut pada mereka yang masih terus bersabar meski letih berkali-kali menggoda mereka untuk beralih orientasi. Karena saya baru saja tersadar bahwa prestasi bukanlah sebuah momen dimana seseorang mampu mencapai sesuatu, tetapi boleh jadi prestasi itu saat dimana ia mampu diam, bersabar untuk tidak mengambil apa-apa yang tidak baik dimata Tuhan.
Dan prestasi juga dapat disematkan pada mereka yang selama ini terus konsisten untuk memberikan manfaat pada semua ruang komunitas yang dimanahkan padanya. Dan akhirnya saya juga sadar, ternyata begitu banyak manusia-manusia berprestasi disekitar saya, dengan berbagai bentuk kerja-kerja meletihkan yang mereka geluti disemua ruang komunitas yang mereka tempati. Mungkin ini yang menjadi pelajaran dan penjelasan mengapa orang mulia dahulu menasehati, bahwa sungguh berbeda orang yang beramal dengan orang yang asyik dengan dirinya sendiri.
Nah, coba lihat, banyak bukan komunitas yang anda harus sikapi, harus perhatikan, harus luangkan waktu? Jikalau pada semua komunitas itu kita juga harus menjaga tingkah laku, memelihara idealisme sekaligus melakukan kerja-kerja yang menjadi tuntutan komunitas itu, begitu rumit dan meletihkan bukan? Kecuali jika anda memang tidak mau peduli dengan tuntutan itu atau sama sekali tidak mau tahu dengan keberadaan komunitas-komunitas semacam itu. Anda sibuk dengan dunia anda sendiri, melihat dunia dengan kaca mata “aku centris”. Tapi, maaf saya tidak sedang ingin bicara tipe manusia seperti ini, saya ingin bicara tentang mereka yang sibuk dengan begitu beragam ruang kehidupan, rumit dan meletihkan.
Disatu sisi memang meletihkan tetapi disisi yang lain jumlah komunitas itu mencerminkan seberapa luas ladang amal shaleh yang dapat dinikmati, semakin luas pintu-pintu keberkahan bisa anda peroleh. Bayangkan, kalau ternyata anda memiliki amanah pada setiap komunitas pergaulan anda itu, betapa besarnya potensi anda untuk menjadi manusia baik dan disayangi oleh Tuhan. Harus diakui, akan banyak yang harus difikirkan, diperhatikan dan digeluti, sehingga menguras waktu, tenaga, harta atau bahkan mempertaruhkan keselamatan. Tapi saya percaya, kehidupan seperti itu bukan tanpa imbalan. Pilihan skenario hidup oleh Tuhan seperti ini bukanlah tanpa maksud.
Satu masalah yang datang harus diyakini sebagai satu bentuk “perhatian” Tuhan. Dan jika dalam perjuangan masalah bertubi-tubi datang bukankah bermakna Tuhan tak henti-hentinya memperhatikan sang pejuang. Oleh sebab itu, menjaga kesadaran akan rasionalitas kausalitas, seperti amal dan pahala, istiqamah dan janji-janji Tuhan, pengorbanan dan kasih-sayang atau sabar dan syurga, menjadi begitu berharga. Kesadaran itu akan menetralisir racun godaan dan nafsu, memberikan keletihan istirahat yang cukup dan menjaga orientasi untuk selalu lurus dan bergerak maju.
Saya sedang ingin menghibur mereka yang letih dengan jargon-jargon perjuangan dan pengorbanan, mereka yang bosan atau mungkin hampir muak dengan pilihan hidup yang hingga saat ini belum memberikan apa-apa. Namun pada saat yang sama saya sebenarnya sedang angkat topi, salut pada mereka yang masih terus bersabar meski letih berkali-kali menggoda mereka untuk beralih orientasi. Karena saya baru saja tersadar bahwa prestasi bukanlah sebuah momen dimana seseorang mampu mencapai sesuatu, tetapi boleh jadi prestasi itu saat dimana ia mampu diam, bersabar untuk tidak mengambil apa-apa yang tidak baik dimata Tuhan.
Dan prestasi juga dapat disematkan pada mereka yang selama ini terus konsisten untuk memberikan manfaat pada semua ruang komunitas yang dimanahkan padanya. Dan akhirnya saya juga sadar, ternyata begitu banyak manusia-manusia berprestasi disekitar saya, dengan berbagai bentuk kerja-kerja meletihkan yang mereka geluti disemua ruang komunitas yang mereka tempati. Mungkin ini yang menjadi pelajaran dan penjelasan mengapa orang mulia dahulu menasehati, bahwa sungguh berbeda orang yang beramal dengan orang yang asyik dengan dirinya sendiri.
Rabu, 04 April 2012
Saya adalah Aktifis
Saya adalah aktifis. Statement ini bisa terkesan narsis, lebay atau mungkin terlalu berlebihan. Tetapi statement ini akan relevan saja ketika ditujukan untuk meyakinkan diri sendiri. Ya ini seruan untuk mengingatkan diri saya sendiri. Mengingatkan bahwa saya bukanlah pribadi bebas yang bisa melakukan apa saja, mendapatkan apa saja dengan cara apa saja. Saya ini pribadi yang sudah mengikatkan dan mewakafkan diri berikut semua yang melekat dan saya miliki, dengan sebuah nilai yang saya yakini. Saya ini aktifis. Dan seorang aktifis memiliki motivasi dan kepentingan kerja yang berakar pada idealisme. Motivasinya adalah keyakinan pada sebuah nilai dan ingin menempatkan diri sebagai bagian dari pengusung nilai-nilai itu. Sementara kepentingannya adalah kepentingan nilai itu sendiri.
Dengan begitu, saya juga ingin mengatakan pada diri sendiri, bahwa yang menggerakkan diri saya untuk semua kerja-kerja bukanlah orientasi material benefit, jabatan, status social, harum nama atau sekedar kondite kerja. Yang menggerakkan saya adalah keyakinan pada pengusungan nilai-nilai, yang akan memberikan imbal berupa keselamatan dan kedamaian yang sejati pada kehidupan saya setelah mati. Memang akan terkesan mengawang-awang seruan ini, tidak realistis dengan kelaziman zaman, berlebihan dalam memandang dan menjalani hidup, sehingga boleh jadi seruan ini hanya tepat diteriakkan dalam forum-forum motivasi yang seremonial untuk tujuan-tujuan tertentu. Seruan ini tidak tepat untuk menjadi motivasi aktifitas harian sepanjang hidup.
Setiap kita memiliki cara sendiri-sendiri dalam menentukan harapan dan menghimpun semangat, kita juga memiliki alasan sendiri-sendiri dalam bertindak, menyikapi setiap peristiwa yang terjadi di depan mata, menyesuaikan diri dengan keterbatasan dan kelebihan, merespon masalah atau kenikmatan. Cara dan alasan itulah hal yang harus diputuskan dengan hati-hati. Ketika saya menyerukan diri bahwa jalan yang saya pilih adalah sebagai seorang aktifis, maka saya harus sadar bahwa harapan saya tidak bebas saya tentukan, karena nilai-nilai yang saya yakini punya kontribusi dominan dalam membentuk harapan itu. Sementara semangat, akan datang dengan sendirinya ketika harapan sudah diobsesikan dalam setiap aspek hidup. Barulah setelah itu kerja-kerja berupa tindakan dilakukan.
Saya selalu merenungi, betapa hari-hari yang dilewati begitu berat ketika nilai-nilai yang diyakini selalu mempertanyakan keinginan yang muncul dalam diri. Betapa kehidupan menjadi semakin berat saat idealisme harus digugat oleh kelaziman yang ada. Ada yang kokoh bertahan dan berhasil menjaga idealismenya, memelihara ke-aktifis-an jalan hidupnya, tetapi tidak sedikit yang tersungkur dan tersingkir, karena tidak mampu menahan keinginan “manusiawi”nya dan tidak mampu bertahan dari badai kelaziman zaman.
Itulah mengapa kesimpulan saya sampai sejauh ini, jalah hidup aktifis pada hakikatnya akan sangat bergantung pada belas kasihan Tuhan, karena sebagai manusia seorang aktifis pasti tidak akan sanggup menanggung besarnya amanah nilai yang dia usung. Jika tersungkur seorang aktifis berharap Tuhan menghiburnya dengan nikmat yang tidak disangka-sangka baik bentuk dan dari mana datangnya, atau dihadiahi realisasi harapan dari janji-janji Tuhan yang selama ini menjadi semangat mereka. Ketika tak mampu menahan ingin dan nafsu dari hal-hal yang hakikatnya mudharat, Tuhan berikan peristiwa-peristiwa yang menghalangi mereka dari bala dan petaka, Tuhan berikan kantuk dan tidur, Tuhan berikan lupa dan segudang masalah yang menghijab mereka dari benda-benda seperti itu. Jikapun ia tersingkir, Tuhan tidak akan melupakannya dan segera membangkitkan dirinya, kembalikan dengan cara yang penuh pelajaran dan hikmah Dan ketika mereka bersalah Tuhan terima istighfar dan taubat mereka.
Minggu, 01 April 2012
Etika yang Harus Dijaga
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Bapak-Ibu, Saudara dan rekan-rekan,
beberapa waktu belakangan ini saya relatif mendapat banyak undangan dari bapak-ibu dosen di beberapa perguruan tinggi, saudara yang ada di consulting dan rekan-rekan mahasiswa untuk sharing ilmu terkait ekonomi, keuangan dan perbankan syariah. saya ucapkan terima kasih atas amanah dan kepercayaannya.
melakukan knowledge sharing dimanapun dan kapanpun saya bisa, menjadi komitmen saya untuk membayar banyak anugerah Tuhan pada kehidupan nafkah dan sebagai kompensasi kesalahan-kesalahan saya. meski, alasan tanggung-jawab keilmuan juga menjadi motivasi dari komitmen ini. namun terakhir ini ada hal yang cukup "mengganggu" proses menjalankan amanah knowledge sharing ini.
bapak-ibu, saudara dan rekan-rekan sekalian, selama ini saya sudah menyediakan waktu sabtu dan ahad untuk melakukan knowledge sharing ekonomi, keuangan dan perbankan syariah. insya Allah jika waktu saya ada, saya akan memenuhi amanah menyampaikan apa yang saya tahu tentang keilmuan itu dimanapun, dari forum diskusi kecil, majelis taklim, kuliah subuh, kuliah umum sampai dengan seminar. dan biasanya cukup dengan SMS saja, bahkan jika saya mampu saya akan tanggung sendiri biaya perjalanannya.
tetapi belakangan ini banyak undangan kepada saya yang saya fikir bersifat pribadi ternyata saya temukan diajukan pula proposal permohonan itu ke kantor saya, dengan menyebut nama saya sebagai narasumber (pembicara). duh, saya jadi serba salah. kondisi seperti itu membuat saya khawatir akan muncul prasangka di pihak berwenang di kantor saya, kalau saya memanfaatkan fasilitas kantor atau kalau saya merekayasa agar saya diundang menjadi narasumber dengan beban biaya kantor saya.
memang saya bisa saja melakukan klarifikasi (tabayun), tapi tak elok juga kalau tabayun terlalu sering dilakukan mengingat undangan seperti itu sering diajukan ke kantor saya. pelajaran dari Nabi; memang tidak baik berprasangka buruk tetapi juga tidak baik membiarkan orang berprasangka buruk (kisah Nabi yang dikunjungi istri ketika Beliau i'tikaf).
nah, untuk menjaga etika yang baik dan konsisten dengan etika itu, mohon kepada bapak-ibu, saudara dan rekan-rekan sekalian jika mempercayai saya dapat memberikan knowledge sharing di forum apa saja, silakan langsung kontak saya. biasanya untuk hari sabtu dan ahad saja, kecuali forum tertentu yang saya pandang penting, jika jatuh hari kerja, selalunya saya akan ambil cuti kantor (itupun jika masih tersedia hari cuti saya). kalau ingin melalui kantor saya, tolong tidak mencantumkan nama saya, biarkan pimpinan saya yang memutuskan siapa yang akan dipilih sebagai narasumber dari kantor saya.
mohon maklumnya dari bapak-ibu, saudara dan rekan-rekan. semoga semua upaya ini Allah berkahi dan mudahkan.
wassalam
ali sakti
Bapak-Ibu, Saudara dan rekan-rekan,
beberapa waktu belakangan ini saya relatif mendapat banyak undangan dari bapak-ibu dosen di beberapa perguruan tinggi, saudara yang ada di consulting dan rekan-rekan mahasiswa untuk sharing ilmu terkait ekonomi, keuangan dan perbankan syariah. saya ucapkan terima kasih atas amanah dan kepercayaannya.
melakukan knowledge sharing dimanapun dan kapanpun saya bisa, menjadi komitmen saya untuk membayar banyak anugerah Tuhan pada kehidupan nafkah dan sebagai kompensasi kesalahan-kesalahan saya. meski, alasan tanggung-jawab keilmuan juga menjadi motivasi dari komitmen ini. namun terakhir ini ada hal yang cukup "mengganggu" proses menjalankan amanah knowledge sharing ini.
bapak-ibu, saudara dan rekan-rekan sekalian, selama ini saya sudah menyediakan waktu sabtu dan ahad untuk melakukan knowledge sharing ekonomi, keuangan dan perbankan syariah. insya Allah jika waktu saya ada, saya akan memenuhi amanah menyampaikan apa yang saya tahu tentang keilmuan itu dimanapun, dari forum diskusi kecil, majelis taklim, kuliah subuh, kuliah umum sampai dengan seminar. dan biasanya cukup dengan SMS saja, bahkan jika saya mampu saya akan tanggung sendiri biaya perjalanannya.
tetapi belakangan ini banyak undangan kepada saya yang saya fikir bersifat pribadi ternyata saya temukan diajukan pula proposal permohonan itu ke kantor saya, dengan menyebut nama saya sebagai narasumber (pembicara). duh, saya jadi serba salah. kondisi seperti itu membuat saya khawatir akan muncul prasangka di pihak berwenang di kantor saya, kalau saya memanfaatkan fasilitas kantor atau kalau saya merekayasa agar saya diundang menjadi narasumber dengan beban biaya kantor saya.
memang saya bisa saja melakukan klarifikasi (tabayun), tapi tak elok juga kalau tabayun terlalu sering dilakukan mengingat undangan seperti itu sering diajukan ke kantor saya. pelajaran dari Nabi; memang tidak baik berprasangka buruk tetapi juga tidak baik membiarkan orang berprasangka buruk (kisah Nabi yang dikunjungi istri ketika Beliau i'tikaf).
nah, untuk menjaga etika yang baik dan konsisten dengan etika itu, mohon kepada bapak-ibu, saudara dan rekan-rekan sekalian jika mempercayai saya dapat memberikan knowledge sharing di forum apa saja, silakan langsung kontak saya. biasanya untuk hari sabtu dan ahad saja, kecuali forum tertentu yang saya pandang penting, jika jatuh hari kerja, selalunya saya akan ambil cuti kantor (itupun jika masih tersedia hari cuti saya). kalau ingin melalui kantor saya, tolong tidak mencantumkan nama saya, biarkan pimpinan saya yang memutuskan siapa yang akan dipilih sebagai narasumber dari kantor saya.
mohon maklumnya dari bapak-ibu, saudara dan rekan-rekan. semoga semua upaya ini Allah berkahi dan mudahkan.
wassalam
ali sakti
Langganan:
Postingan (Atom)