1. bukankah setiap musibah itu menggunggurkan dosa;
2. bukankah setiap cobaan itu untuk menguatkan tekad bekerja dan berjuang;
3. bukankah setiap ujian itu untuk menaikkan derajad kemuliaan; dan
4. bukankah setiap kenikmatan itu hiburan untuk menambah-nambah semangat.
bukankah semua itu berakhir pada kebaikan bagimu.. lalu masihkah ada alasan untuk gelisah?
Senin, 18 Maret 2013
Jumat, 15 Maret 2013
Genre Baru Industri Keuangan Indonesia
Kalau melihat struktur industri keuangan Indonesia, sebenarnya sub-sektornya sudah begitu lengkap dalam melayani setiap segmen masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi. Sepintas sub-sektor industri keuangan sudah begitu rapi dalam melayani kebutuhan jasa keuangan khususnya kebutuhan modal usaha dari setiap kelompok masyarakat; dari kelompok masyarakat usaha besar, menengah, kecil, mikro sampai dengan kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin (fakir). Ada pasar modal dan bank umum yang melayani masyarakat usaha besar, lalu ada BPR/BPRS bersama bank umum melayani kelompok usaha menengah, ada pegadaian, BPR/BPRS dan KSP/BMT melayani masyarakat usaha mikro-kecil, dan ada lembaga keuangan sosial yang melayani masyarakat miskin dan sangat miskin.
Namun sayangnya landscape seperti ini tidak diatur dan diberdayakan secara terpadu, sistematis dan terukur. Hal ini terlihat dari pengaturan dan pengembangan masing-masing lembaga keuangan dilakukan secara parsial oleh masing-masing otoritas tanpa ada koordinasi. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mungkin (mudah-mudahan) dapat menjawab masalah ini. otoritas tunggal diharapkan mampu melakukan program-program pengembangan yang lebih efisien tanpa perlu menghabiskan energi untuk hal-hal yang berpotensi tumpang tindih, karena dengan otoritas tunggal batas masing-masing sub-sektor keuangan lebih dapat diidentifikasi dan disikapi dengan baik.
Khusus untuk lembaga keuangan mikro, meski selama ini telah menjadi bagian penting dalam landscape industri keuangan nasional, namun masih terkesan sebagai sektor informal dalam sistem keuangan Indonesia. Banyak yang telah bermimpi sektor keuangan mikro ini menjadi genre baru yang formal dalam sistem keuangan Indonesia. Disahkannya UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada bulan Januari 2013 lalu sebenarnya diharapkan mampu merealisasikan mimpi itu, namun ternyata masih meninggalkan beberapa pekerjaan rumah yang menunda mimpi tadi terwujud.
Lembaga keuangan mikro seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Unit Pelaksana Teknis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (UPT-PEM), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP Koperasi), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS Koperasi), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) atau lembaga sejenis lainnya sepatutnya diformalkan dengan diatur dan diawasi oleh satu lembaga menggunakan standard yang seragam.
Alih-alih memunculkan genre baru itu, ternyata UU LKM yang membatasi LKM beroperasi maksimal pada tingkat kabupaten/kota dibawah pengaturan OJK dan UU Perkoperasian yang membatasi bentuk usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha KSP/USP/KJKS/UJKS dibawah pengaturan Kementerian Koperasi melalui Lembaga Pengawasan KSP (LP-KSP), memunculkan dua otoritas pada industri keuangan mikro ini. Khusus untuk BMT sebagai KJKS, keberadaan dua UU ini membuatnya menghadapi dilema; pengaturannya dibawah OJK atau LP-KSP?
Meskipun begitu, masih ada peluang memunculkan genre baru industri keuangan mikro nasional dibawah satu badan pengaturan yang baik. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan kompromi atau koordinasi antara OJK dan Kementerian Koperasi (hal ini juga menjadi amanah bagi OJK dalam UU LKM), untuk menyepakati pengawasan semua jenis lembaga keuangan mikro tanpa terkecuali. Mungkin jalan tengah yang dapat menjadi alternatif adalah menyepakati LP-KSP ditransformasi menjadi pengawas lembaga keuangan mikro yang mendapat mandat dari OJK dan Kementerian Koperasi.
Namun sayangnya landscape seperti ini tidak diatur dan diberdayakan secara terpadu, sistematis dan terukur. Hal ini terlihat dari pengaturan dan pengembangan masing-masing lembaga keuangan dilakukan secara parsial oleh masing-masing otoritas tanpa ada koordinasi. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mungkin (mudah-mudahan) dapat menjawab masalah ini. otoritas tunggal diharapkan mampu melakukan program-program pengembangan yang lebih efisien tanpa perlu menghabiskan energi untuk hal-hal yang berpotensi tumpang tindih, karena dengan otoritas tunggal batas masing-masing sub-sektor keuangan lebih dapat diidentifikasi dan disikapi dengan baik.
Khusus untuk lembaga keuangan mikro, meski selama ini telah menjadi bagian penting dalam landscape industri keuangan nasional, namun masih terkesan sebagai sektor informal dalam sistem keuangan Indonesia. Banyak yang telah bermimpi sektor keuangan mikro ini menjadi genre baru yang formal dalam sistem keuangan Indonesia. Disahkannya UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada bulan Januari 2013 lalu sebenarnya diharapkan mampu merealisasikan mimpi itu, namun ternyata masih meninggalkan beberapa pekerjaan rumah yang menunda mimpi tadi terwujud.
Lembaga keuangan mikro seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Unit Pelaksana Teknis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (UPT-PEM), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP Koperasi), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS Koperasi), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) atau lembaga sejenis lainnya sepatutnya diformalkan dengan diatur dan diawasi oleh satu lembaga menggunakan standard yang seragam.
Alih-alih memunculkan genre baru itu, ternyata UU LKM yang membatasi LKM beroperasi maksimal pada tingkat kabupaten/kota dibawah pengaturan OJK dan UU Perkoperasian yang membatasi bentuk usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha KSP/USP/KJKS/UJKS dibawah pengaturan Kementerian Koperasi melalui Lembaga Pengawasan KSP (LP-KSP), memunculkan dua otoritas pada industri keuangan mikro ini. Khusus untuk BMT sebagai KJKS, keberadaan dua UU ini membuatnya menghadapi dilema; pengaturannya dibawah OJK atau LP-KSP?
Meskipun begitu, masih ada peluang memunculkan genre baru industri keuangan mikro nasional dibawah satu badan pengaturan yang baik. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan kompromi atau koordinasi antara OJK dan Kementerian Koperasi (hal ini juga menjadi amanah bagi OJK dalam UU LKM), untuk menyepakati pengawasan semua jenis lembaga keuangan mikro tanpa terkecuali. Mungkin jalan tengah yang dapat menjadi alternatif adalah menyepakati LP-KSP ditransformasi menjadi pengawas lembaga keuangan mikro yang mendapat mandat dari OJK dan Kementerian Koperasi.
Jumat, 08 Maret 2013
BMT Dikepung oleh Undang-Undang
Dengan struktur pelaku usaha dalam perekonomian Indonesia yang didominasi oleh unit usaha mikro dan kecil yang mencapai 51,2 juta unit atau mencapai 99,91% dari pelaku usaha di Indonesia , tidak heran dalam beberapa dekade terakhir ini berkembang dengan pesat lembaga-lembaga keuangan mikro. Di sektor keuangan mikro syariah, lembaga Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) atau lebih dikenal dengan nama Baitul Mal wa Tamwil (BMT) saat ini memainkan peran yang cukup signifikan. Namun begitu, sampai saat ini tidak ada data yang akurat mengenai jumlah BMT dan persebarannya.
Pusat Inkubator Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK- Departemen UMKM dan Koperasi) sampai akhir tahun 2007 memperkirakan jumlah BMT di Indonesia sebanyak 4.000 BMT dengan aset sekitar Rp 1,5 trilyun (PINBUK, 2008). Sementara itu BMT link (2010) memperkirakan jumlah BMT tahun 2006 sebesar 3.200 dengan jumlah nasabah sebanyak 3 juta orang, kemudian sampai akhir tahun 2010 akan tumbuh menjadi sekitar 5.200 BMT untuk melayani nasabah 10 juta orang. Muhammad Kholim (2004) menyebutkan bahwa tiga wilayah yang memiliki jumlah BMT terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat dengan 637 BMT (433 BMT yang melaporkan kegiatannya ke PINBUK), Jawa Timur dengan 600 BMT (519 BMT yang melaporkan kegiatannya) dan Jawa Tengah menduduki urutan ketiga dengan 513 BMT (447 BMT yang melaporkan kegiatannya).
KJKS atau BMT atau sering pula disebut Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan tujuan menyediakan permodalan bagi masyarakat usaha mikro dan kecil. Meski jumlahnya sangat dominan dalam struktur usaha nasional, masyarakat usaha mikro-kecil selalunya memiliki kesulitan mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal seperti bank . Saat ini berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sampai dengan akhir tahun 2011 unit koperasi secara umum jumlah totalnya mencapai 187.598 unit koperasi, dimana 71.365 unit merupakan koperasi simpan-pinjam, dan kurang lebih 5.500 unit (7,7%) diantaranya adalah BMT.
Namun upaya pemberdayaan ekonomi atau peningkatan akses keuangan bagi usaha mikro-kecil melalui lembaga keuangan mikro termasuk BMT, mulai mendapat perhatian berbagai pihak khususnya pemerintah. Perhatian tersebut misalnya pada penyediaan landasan hukum bagi beroperasinya lembaga-lembaga tersebut. Namun sangat disayangkan, ketika koordinasi tidak dilakukan dengan baik dan landasan hukum berupa Undang-Undang (UU) disusun secara parsial berdasarkan kepentingan dan pengetahuan masing-masing pihak, maka alih-alih UU itu diharapkan dapat melindungi dan mendukung keberadaan lembaga keuangan mikro, UU tersebut malah terkesan menambah-nambah aturan yang harus dipatuhi oleh lembaga keuangan mikro. Dengan begitu, beragam UU tersebut terkesan membatasi ruang gerak BMT dalam upayanya memberdayakan masyarakat usaha mikro-kecil.
Sebagai lembaga keuangan mikro yang operasionalnya menjadi intermediary agent bagi kelompok masyarakat ekonomi kecil, baik secara komersial maupun social, ruang gerak BMT terkesan terbatasi dengan munculnya beberapa UU terkait operasi BMT. Kalaupun tidak ingin dikatakan dibatasi, industri BMT akan highly regulated dan relative rentan terjadi dispute mengingat banyak landasan hukum yang harus dirujuk. Banyaknya landasan hukum membuka ruang penafsiran menjadi begitu luas, sehingga potensi dispute menjadi relative tinggi.
Dalam 2 tahun terakhir ini, UU yang terkait dengan keberadaan BMT dianataranya adalah UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan UU no. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Selain itu berhubungan dengan semua UU tersebut, maka UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu diperhatikan oleh BMT, mengingat dalam UU LKM mengaitkan LKM termasuk BMT dengan OJK. Selama ini BMT harus juga dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KepMen) no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).
Berpedoman pada semua UU tersebut, maka perlu diketahui posisi BMT terkait pengaturan, kelembagaan dan operasional secara hukum positif. Oleh sebab itu, analisa pada masing-masing UU dan keterkaitan satu UU dengan UU lainnya perlu dilakukan. Dan tulisan ini ingin memberikan gambaran umum seperti apa posisi BMT berdasarkan hukum positif di Indonesia. Tulisan ini akan memulai diskusi berdasarkan urutan UU diatas secara waktu (dikeluarkannya UU tersebut).
BMT dan UU no 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Selain beroperasi sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan berupa penitipan, investasi dan pembiayaan, berdasarkan Kep-Men no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS (pasal 24), kegiatan BMT dapat pula berupa pengelolaan dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (aktifitas sebagai Baitul Mal). Dan kegiatan pengelolaan dana ini merujuk pada UU pengelolaan Zakat (pasal 25). Dengan ketentuan ini, tentu BMT harus merujuk kegiatan social-nya (mal) pada UU pengelolaan zakat. Sementara berdasarkan UU no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang menggantikan UU 38 tahun 1999, pengelolaan zakat secara nasional menjadi wewenang Baznas (pasal 6 – 7). Dengan demikian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BMT seakan bertentangan dengan UU ini. Namun, berdasarkan UU ini juga BMT dapat menempatkan diri sebagai UPZ Baznas yang melaksanakan pengelolaan zakat membantu peran dan fungsi Baznas (pasal 16). Tetapi yang menjadi perhatian dari langkah atau strategi ini adalah ruang lingkup operasi BMT sebagai UPZ Baznas harus disesuaikan dengan UU yang lain, khususnya UU LKM.
BMT dan UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian
Dalam UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, BMT sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, hanya disinggung pada pasal 87 ayat 3 dan 4. Ayat 3 dan 4 pada pasal tersebut menyatakan bahwa koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah, dan ketentuan mengenai koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan hanya menyinggung koperasi berdasarkan prinsip syariah melalui ayat ini tanpa ada penjelasan lebih spesifik pada teknis operasional hal lainnya, UU Perkoperasian seakan memberikan ruang gerak yang sangat terbuka bagi koperasi syariah (termasuk BMT) dengan meninggalkan batasan pada klausul Peraturan Pemerintah. Beberapa penafsiran yang muncul dari UU ini terhadap posisi koperasi syariah (BMT), diantaranya adalah:
1. Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah akan diatur lebih detil dalam peraturan pemerintah. Dengan demikian, terkesan ada penafsiran bahwa peraturan pemerintah akan mengatur pedoman syariah pada semua jenis koperasi; koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan-pinjam.
2. Beberapa ketentuan dalam UU Perkoperasian yang tidak sesuai dengan filosofi dan prinsip-prinsip ekonomi syariah akan diatur lebih detil dalam Peraturan pemerintah. Beberapa hal yang tidak sesuai dengan nature ekonomi syariah ini diantaranya:
a. Jenis Koperasi Simpan-Pinjam, dimana istilah dan kegiatan usaha simpan pinjam tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah (Pasal 83). Jenis koperasi dalam UU Perkoperasian ini adalah: koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan pinjam. Jikapun ingin diklasifikasikan dalam jenis koperasi, maka kategori dan definisi usaha koperasi syariah yang bergerak pada usaha keuangan (BMT) yang lebih sesuai adalah adalah koperasi pembiayaan syariah.
b. Penggunaan istilah simpan pinjam dan pengelompokan koperasi simpan pinjam sebagai identifikasi pada koperasi yang bergerak di bidang keuangan, akan cenderung misleading dengan istilah Koperasi Jasa yang telah dipakai dalam Kep-Men no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS yang diketahui ditujukan untuk BMT
c. Batasan bahwa kegiatan simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha koperasi simpan pinjam telah membatasi koperasi dari jenis kegiatan lain seperti yang dilakukan oleh koperasi syariah dengan kegiatan pembiayaan berbasis jual beli dan investasi (pasal 84 ayat 4). Kecuali ada penjelasan lebih lanjut bahwa istilah “simpan-pinjam” ditafsirkan meliputi semua kegiatan pendanaan dan pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi syariah. Tetapi untuk koperasi keuangan pada umumnya, baik konvensional maupun syariah, batasan ini membuat pelayanan jasa-jasa seperti pembayaran listrik, air bersih, telefon dan lainnya menjadi tidak boleh lagi dilakukan.
3. Dan jika hal ini ditetapkan dalam peraturan pemerintah, maka hal-hal terkait koperasi simpan pinjam yang diatur oleh UU perkoperasian akan detil dijelaskan dalam peraturan pemerintah. Hal ini tentu berlaku pada aspek-aspek yang lain. Dan konsekwensinya tentu akan mempengaruhi ruang lingkup pembahasan peraturan pemerintah yang menjadi semakin luas.
BMT dan UU no. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Dalam UU 1 tahun 2013 tentang LKM secara eksplisit disebutkan BMT (termasuk BTM; Baitul Tamwil Muhammadiyah) sebagai lembaga keuangan mikro yang akan diatur dan diawasi oleh OJK. Oleh sebab itu, tentu sepenuhnya isi UU LKM ditujukan bagi BMT. Poin krusial yang menjadi perhatian dari UU LKM ini terkait BMT adalah pengaturan cakupan wilayah usaha BMT yang dibatasi pada wilayah kabupaten/kota saja (pasal 16). Apabila BMT sebagai LKM melakukan kegiatan usaha melebihi satu wilayah kabupaten/kota tempat kedudukannya, maka BMT tersebut harus berubah menjadi bank (pasal 27).
BMT dan UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
UU 21 tahun 2011 mengatur tentang keberadaan dan ruang lingkup wewenang OJK. Mengingat dalam pasal ketentuan peralihan UU 1 tahun 2013 tentang LKM disebutkan secara eksplisit bahwa BMT akan berada dalam pengawasan OJK, maka sepatutnya BMT memahami pula kelembagaan, wewenang dan ruang lingkup pengawasan OJK secara keseluruhan. Dalam UU OJK memang tidak disebutkan secara eksplisit lembaga keuangan mikro termasuk BMT, namun bukan berarti UU ini tidak perlu diperhatikan oleh komunitas BMT. Meski UU ini tidak terkait langsung dan memiliki konsekwensi langsung, namun tetap saja keberadaan UU ini akan menjadi batasan bagi BMT pada tingkat interaksi tertentu. Seberapa jauh cakupan batasannya tentu perlu ditelaah lebih dalam.
Mencoba menganalisa dua UU diatas yaitu UU Perkoperasian dan UU LKM, akan ada beberapa penafsiran yang berpotensi muncul berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Penafsiran itu diantaranya:
1. Terdapat opsi bagi koperasi atau LKM yang berbentuk koperasi untuk beroperasi di bawah UU Perkoperasian atau UU LKM. Konsekwensinya, jika memilih beroperasi bersandar pada UU perkoperasian maka yang akan menjadi regulatornya adalah Kementerian Koperasi dan UMKM dengan pengawasan dilakukan oleh Lembaga Pengawas Koperasi Simpan-Pinjam (pasal 100). Sementara jika memilih beroperasi berdasarkan UU LKM maka yang akan menjadi regulatornya adalah OJK. Penafsiran ini tentu asumsinya peraturan pemerintah sebagai ketentuan teknis disusun tanpa melakukan referensi pada UU terkait, misalnya peraturan pemerintah mengenai koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah (termasuk BMT) tidak merujuk pada UU LKM.
2. UU Perkoperasian dan UU LKM harus dikompromikan khususnya untuk pengaturan Koperasi yang melakukan kegiatan keuangan mikro atau atau lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum koperasi. Mengingat pada beberapa pasal dalam UU LKM mengindikasikan akan dilakukan koordinasi pengaturan koperasi yang menjalankan kegiatan keuangan mikro baik yang beroperasi secara konvensional maupun syariah. indikasi ini terlihat secara jelas dalam Tafsiran pertama mungkin tidak akan menjadi kesimpulan bila beberapa pasal di UU LKM dikaitkan dengan UU Perkoperasian. Berdasarkan beberapa pasal dalam UU LKM irisan UU Perkoperasian begitu signifikan dengan UU LKM. Artinya kedua UU ini perlu dikompromikan dalam pengaturan Koperasi yang melakukan kegiatan keuangan mikro atau lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum koperasi.
3. Terdapat tafsiran ada perbedaan entitas antara KJKS dengan BMT atau bahkan dengan KSP syariah. Tafsiran ini muncul karena UU Perkoperasian hanya menyebut Koperasi Simpan Pinjam (KSP) saja dengan potensi mengakomodasi KJKS untuk KSP Syariah. Sementara UU LKM hanya menyebutkan BMT. Tafsiran pembedaan ini akan menimbulkan tanda tanya besar, mengingat pada prakteknya di lapangan ketiga istilah penamaan lembaga itu sebenarnya tertuju pada satu entitas lembaga yang sama. Jika dilihat lebih detil UU Perkoperasian menggunakan memang tidak menyebutkan KJKS tetapi secara tersirat KJKS inilah yang detailnya akan diatur dalam peraturan pemerintah sebagai amanah UU Perkoperasian. Dengan kata lain koperasi syariah yang sejenis KSP pengaturannya akan berada di bawah wewenang Kementerian Koperasi melalui lembaga baru yaitu Lembaga Pengawas KSP.
4. Tafsiran pembedaan diatas akan berimpilasi pada fleksibilitas atau kebebasan operasi koperasi syariah ditinjau dari sisi variasi aplikasi keuangan atau produk dan luas wilayah atau ruang lingkup beroperasinya. Jika KJKS diklasifikasikan sebagai KSP Syariah mengikut UU Perkoperasian, maka KJKS akan menghadapi risiko penyesuaian bentuk pelayanan mengingat usahanya saat ini bukan hanya simpan-pinjam saja (satu-satunya) sesuai batasan yang diinginkan oleh UU perkoperasian (pasal 84). Tapi dari sisi cakupan wilayah usaha, KJKS sepertinya tidak dibatasi pada wilayah daerah tertentu dan hal ini akan diatur oleh Peraturan Menteri (pasal 90). Sedangkan BMT sepertinya coba didefinisikan sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan bentuk pelayanan lebih luas dari sekedar simpan-pinjam saja (pasal 1 UU LKM). Dan mengikut UU LKM, BMT harus menyesuaikan diri pada cakupan wilayah usahanya yang dibatasi maksimal di wilayah kabupaten saja sesuai amanah UU LKM (pasal 16).
5. Tafsiran pembedaan entitas KJKS dan BMT akan berimplikasi pada peraturan kelembagaan termasuk aspek hukumnya. KJKS akan berdiri sebagai lembaga yang berbadan hukum koperasi dan mendapatkan izin usaha simpan pinjam dari Kementerian Koperasi (pasal 88 UU Perkoperasian). Sementara BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang izin usahanya dikeluarkan oleh OJK (pasal 39 ayat 2) dengan berbadan hukum koperasi, dimana badan hukum koperasi ini diberikan oleh Kementerian Koperasi.
Tafsiran-tafsiran diatas, khususnya pada pembedaan lembaga KJKS dan BMT (meski entitasnya sama) yang berimplikasi pada perbedaan lembaga otoritas dapat berujung pada risiko arbitrase. KJKS atau BMT akan menyesuaikan diri untuk cenderung berada di bawah otoritasasi yang relatif tidak ketat. Hal ini bukan hanya buruk bagi upaya pemantapan dan mematangkan industri keuangan mikro Indonesia, tetapi juga buruk bagi masyarakat dalam memperoleh jasa pelayanan keuangan mikro yang terbaik
Menyikapi kondisi yang ada, maka rekomendasi yang saya pandang paling penting dan mendesak adalah:
1. Koordinasi pihak berwenang dalam merumuskan Peraturan Pemerintah atau peraturan sejenis sebagai ketentuan teknis bagi kegiatan usaha BMT. Peraturan Pemerintah atau peraturan sejenis itu meliputi kegiatan social BMT, Kelembagaan, Operasi dan Pengaturan BMT yang akan menjadi amanah Baznas, Kementerian Koperasi & UKM dan OJK berdasarkan UU terkait (UU Pengelolaan Zakat, UU Perkoperasian dan UU Lembaga Keuangan Mikro). Jangan sampai perumusan peraturan-peraturan teknis dilakukan secara parsial oleh masing-masing otoritas tanpa melakukan koordinasi, karena akan meningkatkan risiko tumpang tindih peraturan yang boleh jadi membuat industri BMT menjadi tidak jelas pengaturannya. Ketidakjelasan pengaturan pada akhirnya akan merugikan masyarakat sebagai anggota KJKS/BMT. Disamping itu, akan banyak kesulitan yang muncul ketika upaya-upaya pengembangan ingin dilakukan.
2. Dalam rangka tercapai koordinasi yang baik, perlu task force (kelompok kerja – pokja) dalam rangka membangun tata-kelola industri yang mapan bagi keuangan mikro nasional, yang meliputi lembaga-lembaga pemerintah terkait, seperti Kementerian Koperasi, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Amil Zakat Nasional, Badan Kebijakan Fiskal dan Badan Perencanaan pembangunan Nasional. Upaya ini masih sangat mungkin dilakukan mengingat UU terkait keuangan mikro ini masih 2 tahun lagi baru efektif berlaku, khususnya UU Perkoperasian (disahkan Oktober 2012) dan UU LKM (disahkan Januari 2013).
Pusat Inkubator Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK- Departemen UMKM dan Koperasi) sampai akhir tahun 2007 memperkirakan jumlah BMT di Indonesia sebanyak 4.000 BMT dengan aset sekitar Rp 1,5 trilyun (PINBUK, 2008). Sementara itu BMT link (2010) memperkirakan jumlah BMT tahun 2006 sebesar 3.200 dengan jumlah nasabah sebanyak 3 juta orang, kemudian sampai akhir tahun 2010 akan tumbuh menjadi sekitar 5.200 BMT untuk melayani nasabah 10 juta orang. Muhammad Kholim (2004) menyebutkan bahwa tiga wilayah yang memiliki jumlah BMT terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat dengan 637 BMT (433 BMT yang melaporkan kegiatannya ke PINBUK), Jawa Timur dengan 600 BMT (519 BMT yang melaporkan kegiatannya) dan Jawa Tengah menduduki urutan ketiga dengan 513 BMT (447 BMT yang melaporkan kegiatannya).
KJKS atau BMT atau sering pula disebut Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan tujuan menyediakan permodalan bagi masyarakat usaha mikro dan kecil. Meski jumlahnya sangat dominan dalam struktur usaha nasional, masyarakat usaha mikro-kecil selalunya memiliki kesulitan mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal seperti bank . Saat ini berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sampai dengan akhir tahun 2011 unit koperasi secara umum jumlah totalnya mencapai 187.598 unit koperasi, dimana 71.365 unit merupakan koperasi simpan-pinjam, dan kurang lebih 5.500 unit (7,7%) diantaranya adalah BMT.
Namun upaya pemberdayaan ekonomi atau peningkatan akses keuangan bagi usaha mikro-kecil melalui lembaga keuangan mikro termasuk BMT, mulai mendapat perhatian berbagai pihak khususnya pemerintah. Perhatian tersebut misalnya pada penyediaan landasan hukum bagi beroperasinya lembaga-lembaga tersebut. Namun sangat disayangkan, ketika koordinasi tidak dilakukan dengan baik dan landasan hukum berupa Undang-Undang (UU) disusun secara parsial berdasarkan kepentingan dan pengetahuan masing-masing pihak, maka alih-alih UU itu diharapkan dapat melindungi dan mendukung keberadaan lembaga keuangan mikro, UU tersebut malah terkesan menambah-nambah aturan yang harus dipatuhi oleh lembaga keuangan mikro. Dengan begitu, beragam UU tersebut terkesan membatasi ruang gerak BMT dalam upayanya memberdayakan masyarakat usaha mikro-kecil.
Sebagai lembaga keuangan mikro yang operasionalnya menjadi intermediary agent bagi kelompok masyarakat ekonomi kecil, baik secara komersial maupun social, ruang gerak BMT terkesan terbatasi dengan munculnya beberapa UU terkait operasi BMT. Kalaupun tidak ingin dikatakan dibatasi, industri BMT akan highly regulated dan relative rentan terjadi dispute mengingat banyak landasan hukum yang harus dirujuk. Banyaknya landasan hukum membuka ruang penafsiran menjadi begitu luas, sehingga potensi dispute menjadi relative tinggi.
Dalam 2 tahun terakhir ini, UU yang terkait dengan keberadaan BMT dianataranya adalah UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan UU no. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Selain itu berhubungan dengan semua UU tersebut, maka UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu diperhatikan oleh BMT, mengingat dalam UU LKM mengaitkan LKM termasuk BMT dengan OJK. Selama ini BMT harus juga dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KepMen) no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).
Berpedoman pada semua UU tersebut, maka perlu diketahui posisi BMT terkait pengaturan, kelembagaan dan operasional secara hukum positif. Oleh sebab itu, analisa pada masing-masing UU dan keterkaitan satu UU dengan UU lainnya perlu dilakukan. Dan tulisan ini ingin memberikan gambaran umum seperti apa posisi BMT berdasarkan hukum positif di Indonesia. Tulisan ini akan memulai diskusi berdasarkan urutan UU diatas secara waktu (dikeluarkannya UU tersebut).
BMT dan UU no 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Selain beroperasi sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan berupa penitipan, investasi dan pembiayaan, berdasarkan Kep-Men no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS (pasal 24), kegiatan BMT dapat pula berupa pengelolaan dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (aktifitas sebagai Baitul Mal). Dan kegiatan pengelolaan dana ini merujuk pada UU pengelolaan Zakat (pasal 25). Dengan ketentuan ini, tentu BMT harus merujuk kegiatan social-nya (mal) pada UU pengelolaan zakat. Sementara berdasarkan UU no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang menggantikan UU 38 tahun 1999, pengelolaan zakat secara nasional menjadi wewenang Baznas (pasal 6 – 7). Dengan demikian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BMT seakan bertentangan dengan UU ini. Namun, berdasarkan UU ini juga BMT dapat menempatkan diri sebagai UPZ Baznas yang melaksanakan pengelolaan zakat membantu peran dan fungsi Baznas (pasal 16). Tetapi yang menjadi perhatian dari langkah atau strategi ini adalah ruang lingkup operasi BMT sebagai UPZ Baznas harus disesuaikan dengan UU yang lain, khususnya UU LKM.
BMT dan UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian
Dalam UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, BMT sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, hanya disinggung pada pasal 87 ayat 3 dan 4. Ayat 3 dan 4 pada pasal tersebut menyatakan bahwa koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah, dan ketentuan mengenai koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan hanya menyinggung koperasi berdasarkan prinsip syariah melalui ayat ini tanpa ada penjelasan lebih spesifik pada teknis operasional hal lainnya, UU Perkoperasian seakan memberikan ruang gerak yang sangat terbuka bagi koperasi syariah (termasuk BMT) dengan meninggalkan batasan pada klausul Peraturan Pemerintah. Beberapa penafsiran yang muncul dari UU ini terhadap posisi koperasi syariah (BMT), diantaranya adalah:
1. Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah akan diatur lebih detil dalam peraturan pemerintah. Dengan demikian, terkesan ada penafsiran bahwa peraturan pemerintah akan mengatur pedoman syariah pada semua jenis koperasi; koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan-pinjam.
2. Beberapa ketentuan dalam UU Perkoperasian yang tidak sesuai dengan filosofi dan prinsip-prinsip ekonomi syariah akan diatur lebih detil dalam Peraturan pemerintah. Beberapa hal yang tidak sesuai dengan nature ekonomi syariah ini diantaranya:
a. Jenis Koperasi Simpan-Pinjam, dimana istilah dan kegiatan usaha simpan pinjam tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah (Pasal 83). Jenis koperasi dalam UU Perkoperasian ini adalah: koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan pinjam. Jikapun ingin diklasifikasikan dalam jenis koperasi, maka kategori dan definisi usaha koperasi syariah yang bergerak pada usaha keuangan (BMT) yang lebih sesuai adalah adalah koperasi pembiayaan syariah.
b. Penggunaan istilah simpan pinjam dan pengelompokan koperasi simpan pinjam sebagai identifikasi pada koperasi yang bergerak di bidang keuangan, akan cenderung misleading dengan istilah Koperasi Jasa yang telah dipakai dalam Kep-Men no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS yang diketahui ditujukan untuk BMT
c. Batasan bahwa kegiatan simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha koperasi simpan pinjam telah membatasi koperasi dari jenis kegiatan lain seperti yang dilakukan oleh koperasi syariah dengan kegiatan pembiayaan berbasis jual beli dan investasi (pasal 84 ayat 4). Kecuali ada penjelasan lebih lanjut bahwa istilah “simpan-pinjam” ditafsirkan meliputi semua kegiatan pendanaan dan pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi syariah. Tetapi untuk koperasi keuangan pada umumnya, baik konvensional maupun syariah, batasan ini membuat pelayanan jasa-jasa seperti pembayaran listrik, air bersih, telefon dan lainnya menjadi tidak boleh lagi dilakukan.
3. Dan jika hal ini ditetapkan dalam peraturan pemerintah, maka hal-hal terkait koperasi simpan pinjam yang diatur oleh UU perkoperasian akan detil dijelaskan dalam peraturan pemerintah. Hal ini tentu berlaku pada aspek-aspek yang lain. Dan konsekwensinya tentu akan mempengaruhi ruang lingkup pembahasan peraturan pemerintah yang menjadi semakin luas.
BMT dan UU no. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Dalam UU 1 tahun 2013 tentang LKM secara eksplisit disebutkan BMT (termasuk BTM; Baitul Tamwil Muhammadiyah) sebagai lembaga keuangan mikro yang akan diatur dan diawasi oleh OJK. Oleh sebab itu, tentu sepenuhnya isi UU LKM ditujukan bagi BMT. Poin krusial yang menjadi perhatian dari UU LKM ini terkait BMT adalah pengaturan cakupan wilayah usaha BMT yang dibatasi pada wilayah kabupaten/kota saja (pasal 16). Apabila BMT sebagai LKM melakukan kegiatan usaha melebihi satu wilayah kabupaten/kota tempat kedudukannya, maka BMT tersebut harus berubah menjadi bank (pasal 27).
BMT dan UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
UU 21 tahun 2011 mengatur tentang keberadaan dan ruang lingkup wewenang OJK. Mengingat dalam pasal ketentuan peralihan UU 1 tahun 2013 tentang LKM disebutkan secara eksplisit bahwa BMT akan berada dalam pengawasan OJK, maka sepatutnya BMT memahami pula kelembagaan, wewenang dan ruang lingkup pengawasan OJK secara keseluruhan. Dalam UU OJK memang tidak disebutkan secara eksplisit lembaga keuangan mikro termasuk BMT, namun bukan berarti UU ini tidak perlu diperhatikan oleh komunitas BMT. Meski UU ini tidak terkait langsung dan memiliki konsekwensi langsung, namun tetap saja keberadaan UU ini akan menjadi batasan bagi BMT pada tingkat interaksi tertentu. Seberapa jauh cakupan batasannya tentu perlu ditelaah lebih dalam.
Mencoba menganalisa dua UU diatas yaitu UU Perkoperasian dan UU LKM, akan ada beberapa penafsiran yang berpotensi muncul berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Penafsiran itu diantaranya:
1. Terdapat opsi bagi koperasi atau LKM yang berbentuk koperasi untuk beroperasi di bawah UU Perkoperasian atau UU LKM. Konsekwensinya, jika memilih beroperasi bersandar pada UU perkoperasian maka yang akan menjadi regulatornya adalah Kementerian Koperasi dan UMKM dengan pengawasan dilakukan oleh Lembaga Pengawas Koperasi Simpan-Pinjam (pasal 100). Sementara jika memilih beroperasi berdasarkan UU LKM maka yang akan menjadi regulatornya adalah OJK. Penafsiran ini tentu asumsinya peraturan pemerintah sebagai ketentuan teknis disusun tanpa melakukan referensi pada UU terkait, misalnya peraturan pemerintah mengenai koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah (termasuk BMT) tidak merujuk pada UU LKM.
2. UU Perkoperasian dan UU LKM harus dikompromikan khususnya untuk pengaturan Koperasi yang melakukan kegiatan keuangan mikro atau atau lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum koperasi. Mengingat pada beberapa pasal dalam UU LKM mengindikasikan akan dilakukan koordinasi pengaturan koperasi yang menjalankan kegiatan keuangan mikro baik yang beroperasi secara konvensional maupun syariah. indikasi ini terlihat secara jelas dalam Tafsiran pertama mungkin tidak akan menjadi kesimpulan bila beberapa pasal di UU LKM dikaitkan dengan UU Perkoperasian. Berdasarkan beberapa pasal dalam UU LKM irisan UU Perkoperasian begitu signifikan dengan UU LKM. Artinya kedua UU ini perlu dikompromikan dalam pengaturan Koperasi yang melakukan kegiatan keuangan mikro atau lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum koperasi.
3. Terdapat tafsiran ada perbedaan entitas antara KJKS dengan BMT atau bahkan dengan KSP syariah. Tafsiran ini muncul karena UU Perkoperasian hanya menyebut Koperasi Simpan Pinjam (KSP) saja dengan potensi mengakomodasi KJKS untuk KSP Syariah. Sementara UU LKM hanya menyebutkan BMT. Tafsiran pembedaan ini akan menimbulkan tanda tanya besar, mengingat pada prakteknya di lapangan ketiga istilah penamaan lembaga itu sebenarnya tertuju pada satu entitas lembaga yang sama. Jika dilihat lebih detil UU Perkoperasian menggunakan memang tidak menyebutkan KJKS tetapi secara tersirat KJKS inilah yang detailnya akan diatur dalam peraturan pemerintah sebagai amanah UU Perkoperasian. Dengan kata lain koperasi syariah yang sejenis KSP pengaturannya akan berada di bawah wewenang Kementerian Koperasi melalui lembaga baru yaitu Lembaga Pengawas KSP.
4. Tafsiran pembedaan diatas akan berimpilasi pada fleksibilitas atau kebebasan operasi koperasi syariah ditinjau dari sisi variasi aplikasi keuangan atau produk dan luas wilayah atau ruang lingkup beroperasinya. Jika KJKS diklasifikasikan sebagai KSP Syariah mengikut UU Perkoperasian, maka KJKS akan menghadapi risiko penyesuaian bentuk pelayanan mengingat usahanya saat ini bukan hanya simpan-pinjam saja (satu-satunya) sesuai batasan yang diinginkan oleh UU perkoperasian (pasal 84). Tapi dari sisi cakupan wilayah usaha, KJKS sepertinya tidak dibatasi pada wilayah daerah tertentu dan hal ini akan diatur oleh Peraturan Menteri (pasal 90). Sedangkan BMT sepertinya coba didefinisikan sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan bentuk pelayanan lebih luas dari sekedar simpan-pinjam saja (pasal 1 UU LKM). Dan mengikut UU LKM, BMT harus menyesuaikan diri pada cakupan wilayah usahanya yang dibatasi maksimal di wilayah kabupaten saja sesuai amanah UU LKM (pasal 16).
5. Tafsiran pembedaan entitas KJKS dan BMT akan berimplikasi pada peraturan kelembagaan termasuk aspek hukumnya. KJKS akan berdiri sebagai lembaga yang berbadan hukum koperasi dan mendapatkan izin usaha simpan pinjam dari Kementerian Koperasi (pasal 88 UU Perkoperasian). Sementara BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang izin usahanya dikeluarkan oleh OJK (pasal 39 ayat 2) dengan berbadan hukum koperasi, dimana badan hukum koperasi ini diberikan oleh Kementerian Koperasi.
Tafsiran-tafsiran diatas, khususnya pada pembedaan lembaga KJKS dan BMT (meski entitasnya sama) yang berimplikasi pada perbedaan lembaga otoritas dapat berujung pada risiko arbitrase. KJKS atau BMT akan menyesuaikan diri untuk cenderung berada di bawah otoritasasi yang relatif tidak ketat. Hal ini bukan hanya buruk bagi upaya pemantapan dan mematangkan industri keuangan mikro Indonesia, tetapi juga buruk bagi masyarakat dalam memperoleh jasa pelayanan keuangan mikro yang terbaik
Menyikapi kondisi yang ada, maka rekomendasi yang saya pandang paling penting dan mendesak adalah:
1. Koordinasi pihak berwenang dalam merumuskan Peraturan Pemerintah atau peraturan sejenis sebagai ketentuan teknis bagi kegiatan usaha BMT. Peraturan Pemerintah atau peraturan sejenis itu meliputi kegiatan social BMT, Kelembagaan, Operasi dan Pengaturan BMT yang akan menjadi amanah Baznas, Kementerian Koperasi & UKM dan OJK berdasarkan UU terkait (UU Pengelolaan Zakat, UU Perkoperasian dan UU Lembaga Keuangan Mikro). Jangan sampai perumusan peraturan-peraturan teknis dilakukan secara parsial oleh masing-masing otoritas tanpa melakukan koordinasi, karena akan meningkatkan risiko tumpang tindih peraturan yang boleh jadi membuat industri BMT menjadi tidak jelas pengaturannya. Ketidakjelasan pengaturan pada akhirnya akan merugikan masyarakat sebagai anggota KJKS/BMT. Disamping itu, akan banyak kesulitan yang muncul ketika upaya-upaya pengembangan ingin dilakukan.
2. Dalam rangka tercapai koordinasi yang baik, perlu task force (kelompok kerja – pokja) dalam rangka membangun tata-kelola industri yang mapan bagi keuangan mikro nasional, yang meliputi lembaga-lembaga pemerintah terkait, seperti Kementerian Koperasi, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Amil Zakat Nasional, Badan Kebijakan Fiskal dan Badan Perencanaan pembangunan Nasional. Upaya ini masih sangat mungkin dilakukan mengingat UU terkait keuangan mikro ini masih 2 tahun lagi baru efektif berlaku, khususnya UU Perkoperasian (disahkan Oktober 2012) dan UU LKM (disahkan Januari 2013).
Langganan:
Postingan (Atom)