Minggu, 03 Oktober 2010

Ketaatan Tanpa Syarat


Pagi ini saya ingin menulis renungan yang muncul saat seorang ustadz memberikan penerangan tentang ibadah haji pada saat sesi manasik haji Ahad kemarin. Beliau menyampaikan bagaimana prosesi-prosesi ibadah haji yang ditetapkan Allah. Jika diamati lebih dalam, seringkali prosesi ibadah haji seperti tahallul, thawaf, sa’i, wukuf ataupun melempar jumrah, tidak memiliki hikmah lebih layaknya pelarangan riba atau kewajiban membayar zakat. Prosesi haji sama dengan kewajiban ibadah utama (mahdhoh) lainnya, seperti shalat dan puasa, hikmahnya tak lebih sebagai simbol ketaatan. Dan memang alasan utama pertama dari setiap ibadah adalah ketaatan.

Jika mengambil contoh selain haji, shalat misalnya, dalam ibadah yang kastanya paling tinggi dalam Islam ini, mungkin kita pernah bertanya-tanya; apa hikmah sujud yang bentuknya seperti yang kita kenal saat ini, dimana kepala dan kaki saja yang harus menyentuh lantai. Kenapa tidak sekujur badan menyentuh lantai, sebagai simbol ketundukan dan penyembahan total? Mengapa ruku’ bentuknya seperti membungkuk, mengapa tidak bersimpuh saja pada dua lutut yang mengesankan penyerahan diri secara tulus? Apa hikmah dibalik itu?

Sejauh ini, saya sangat puas pada alasan bahwa prosesi itu dilakukan tidak memiliki alasan kecuali ketaatan menjalankan apa yang sudah ditetapkan. Tanpa perlu mencari alasan logis sebagai syarat untuk menjalankannya. Mungkin ini wilayah otoriter Tuhan. Terserah Beliau mau disembah dengan cara apa. Bukankah Tuhan sangat berwenang untuk menetapkan itu. Dan kita sebagai hamba, tidak pantas mencari-cari alasan dibelakangnya, bahkan mungkin bertanya saja sudah terkesan tak sopan, apalagi sampai bersikap tak akan menjalankannya tanpa ada alasan yang logis. Tugas kita hanyalah menjalankannya (sami’na wa atho’na).

Ini mungkin yang disebut ketaatan tanpa syarat, penyerahan diri yang melingkupi penyerahan semua yang kita miliki atau penyerahan semua aturan hidup dan penyembahan kepada Tuhan yang Maha Segala. Dengan landasan argumentasi ketaatan pada prosesi ibadah inilah saya pernah menjawab posisi saya terhadap pendapat yang menyarankan pelaksanaan ibadah Qurban (pada Idul Adha) dilakukan dengan cara berbeda mengingat begitu banyaknya kaum dhuafa di Indonesia ini. pendapat ini menyarakan agar pelaksanaan Qurban dilakukan dengan mengumpulkan saja uang untuk membeli hewan Qurban dan kemudian di bagikan kepada mereka yang membutuhkan atau dikelola dengan konsep pengelolaan dana produktif. Coba bayangkan bagaimana efek positifnya secara ekonomi, besar bukan?

Ketika itu saya jawab singkat, kalau saja itu dibenarkan, tentu Nabi adalah orang yang lebih dulu menjalankan ijtihad itu, mengingat kondisi muslim masa Beliau tidak kurang kedhuafaannya. Tetapi nyatanya, ketika waktu Idul Adha tiba, Beliau bersama sahabat-sahabatnya tetap menyembelih hewan Qurban, begitu juga masa sahabat sepeninggal Beliau. Anda pembaca mungkin memiliki argumen sendiri-sendiri, atau bahkan telah menemukan hikmah dibalik ibadah Qurban ini. tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ibadah Qurban inipun merepresentasikan sebuah prosesi penghambaan yang mutlak, ketaatan tanpa syarat. Karena hikmah tertingginya ya ketaatan total itu kepada Tuhan, dengan menjalankannya sesuai aturan Tuhan yang telah ditetapkan.

Sebentar lagi hari besar Idul Adha sampai pada kita semua, semoga Ibadah Qurban yang akan kita tunaikan menjadi representasi ketaatan total kita kepada Allah SWT untuk kesekian kali, yang mampu mengetuk pintu kasih sayang-Nya, sehingga kita manusia yang penuh salah ini selalu ada dalam kebaikan. Dan buat semua yang pada hari-hari besar itu berada di Arafah, semoga betul-betul keberkahan langit tercurah bagi anda, bagi keluarga anda, dan bagi semua yang mengenal anda, karena keberkahan diri anda tentu akan menentramkan semua yang ada disekitar anda. Semoga Allah penuhi bumi ini dengan keberkahan karena semakin banyaknya manusia yang memiliki keberkahan itu. Wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar: