Rabu, 07 Maret 2012

Kurva Indiferens dalam Ekonomi Islam


Ketika ingin memahami teori prilaku ekonomi, biasanya pada bagian awal akan disuguhkan penjelasan mengenai teori marginal utility function. Teori ini mencoba menjelaskan logika kepuasan seseorang yang akan selalu coba dimaksimalkan dan dapat berubah bergantung pada kemampuan orang tersebut. Kepuasan yang dilambangkan dengan unit utility (manfaat) dikembangkan secara paralel oleh William Stanley Jevons (1871), Karl Menger (1871), Leon Walras (1874) dan Alfred Marshall (1874 – meski bukunya baru dipublikasi tahun 1890).

Teori utility menyebutkan bahwa total utility (kepuasan) akan selalu bertambah dengan bertambahnya konsumsi suatu barang, tetapi penambahan (marginal) utility-nya pada titik tertentu akan semakin berkurang terhadap konsumsi barang tersebut. Meski begitu teori ini dipandang masih memiliki kelemahan karena; (i) kepuasan merupakan hal yang sangat subjektif sekali sehingga tidak dapat dikuantitatifkan; (ii) tidak berlaku untuk semua barang, misalnya barang yang dipakai sekali dan berusia panjang seperti rumah dan sejenisnya; dan (iii) sepatutnya mempertimbangkan faktor waktu, karena waktu secara signifikan menentukan tingkat kepuasan.

Teori utility ini memang cenderung berguna memahami prilaku ekonomi di sisi konsumsi. Namun karena aspek konsumsi begitu mendominasi dinamika ekonomi, teori utility otomatis menjadi krusial posisinya dalam ilmu ekonomi (mikro). Preferensi konsumen menggunakan teori ini relatif diseragamkan, artinya meski teori ini berbasis individual (bukan kolektif) setiap individual dinilai memiliki parameter sama untuk menilai kepuasan.

Namun ketika kelemahan pertama dari teori ini (subjektifitas sebuah kepuasan) ingin didalami, maka pada masa selanjutnya muncul pula teori utility yang menggunakan pendekatan indiferens. Pendekatan ini secara garis besar ingin mengatakan bahwa setiap orang dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang sama tetapi berbeda kombinasi barang yang dikonsumsi. Nah titik-titik kombinasi barang yang berbeda namun memiliki tingkat kepuasan yang sama inilah yang disebut dengan kurva indiferens (kurva tingkat kesukaan/kepuasan yang sama). Teori ini dipelopori oleh Sir John R Hicks dalam bukunya Value and Capital (1939).

Berdasarkan teori utility menggunakan pendekatan indiferens ini, naik dan turunnya kepuasan dihubungkan dengan kemampuan beli (purchasing power) dari seorang konsumen, sehingga faktor yang menentukan kepuasan dalah hal ini adalah pendapatan (income-M) dan harga barang (price-P). Dan satu hal yang juga penting adalah kurva indiferens juga menjelaskan prilaku konsumen yang relatif akan rela berkorban lebih banyak untuk mendapatkan sedikit barang lain ketika konsumen telah memiliki barang itu dalam jumlah yang relatif banyak. Kecenderungan inilah yang disebut marginal rate of subtitution. Dan ini lah yang menjelaskan bentuk cembung kurva indiferens, dimana kedua ujungnya mendekati nol. Tetapi secara substansi teori utility tidak berubah, teori ini tetap berbasis individual dengan parameter konsumsi barang yang bersifat material. Bagaimana teori ini dipandang menggunakan perspektif Islam?

Tentu sebelum sampai pada teknis penjelasan menggunakan formula dan kurva, perlu dipahami secara mendalam filosofi prilaku ekonomi khususnya konsumen yang menggunakan nilai-nilai Islam. Moral Islam mengajarkan bahwa kepuasan seseorang dibangun tidaklah berbasis individual tetapi kolektif. Filosofi ini bersumber dari axiom yang diinspirasi oleh hadits “tidak beriman seseorang ketika ia bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan.” Dengan filosofi ini kepuasan seseorang bukan hanya ditentukan oleh konsumsi pribadi dirinya tetapi juga belanja amal shaleh (charity-good deeds) bagi orang lain yang membutuhkan.

Jika ingin menjelaskan filosofi ini menggunakan instrumen bantu, mungkin dapat dilakukan menggunakan skema budget constrain dan kurva indiferensnya Hicks (1939). Namun perlu disesuaikan ukuran-ukuran pemuasannya. Misalnya kini kombinasi barang yang keduanya material diganti menjadi kombinasi barang kebutuhan dengan belanja amal shaleh. Dengan penyesuaian ini, nilai utama Islam berupa iman dapat dimasukkan dalam fungsi preferensi konsumen yang menentukan kombinasi barang dan amal shaleh yang ingin didapatkan. Iman yang semakin meningkat maka konsumsi akan cenderung membanyak pada belanja amal shaleh dari pada barang. Tetapi penurunan belanja barang (sebagai trade-off/kompensasi dari peningkatan belanja amal shaleh) akan terhenti pada titik minimum kebutuhan dasar (basic needs).

Dari skema ini akan banyak informasi yang didapatkan terkait prilaku konsumsi/ekonomi menggunakan perspektif Islam ini. Misalnya belanja amal shaleh ini akan berimplikasi pada penyediaan kesempatan pada masyarakat dhuafa untuk memiliki purchasing power, yang digambarkan dengan munculnya budget constrain baru dalam skema tersebut. Hal ini bermakna pula bahwa prilaku berbasis kolektif ini memang bertujuan untuk mengajak sebanyak mungkin orang untuk aktif dalam ekonomi. Atau dengan kata lain konsep ini ingin menjelaskan bahwa prilaku itu bertujuan memfasilitasi kesulitan sebanyak mungkin orang dhuafa, agar mereka tetap tidak terhambat secara ekonomi fungsi penghambaannya kepada Allah, ketika ada tuntutan-tuntutan ibadah ditengah kesulitan hidup mereka.

Namun pertanyaan selanjutnya yang tidak kalah menarik adalah, apakah marginal rate of substitution yang ditunjukkan kurva indiferens akan tetap sama jika kombinasi dua barang material dirubah menjadi kombinasi barang material dan amal shaleh? Apakah dengan jumlah amal shaleh yang sudah banyak seseorang akan willing berkorban lebih banyak amal shaleh untuk mendapatkan sedikit barang material? Rasanya dengan iman yang selalu haus dengan amal shaleh instead of barang material, marginal rate of subtitution dalam perspektif Islam mungkin tidak akan sama. Sehingga kurva indiferens-nya tidak akan cembung khususnya pada pilihan belanja amal shaleh.

Masih perlu banyak perenungan dan analisis. Tetapi akan sangat berharga hasil perenungan dan analisis tersebut dalam memahami bentuk-bentuk ideal ekonomi yang ingin diwujudkan dalam bangunan ekonomi Islam ini. Selamat merenung.

1 komentar:

Next Muslim mengatakan...

wah klo saya lebih suka margin islam malah bwat sya jadi tambah puas :)