Menggunakan konsep konsumsi yang selama ini dikenal dalam ekonomi mainstream (konvensional) terlepas dari konsep final spending, mungkin penggambaran prilaku konsumsi Islam menjadi sebagai berikut:
C = Co + bYd
Dimana:
b = preferensi konsumsi dari pendapatan (marginal propensity to consume)
Yd = pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income)
Dari model diatas, dapat diidentifikasi dua jenis konsumsi berdasarkan jenis golongan masyarakat dalam mekanisme zakat, yaitu konsumsi golongan mustahik (golongan masyarakat yang berhak menerima zakat) dan konsumsi golongan muzakki (golongan masyarakat yang wajib membayar zakat).
Konsumsi mustahik: C = Z = Co
Konsumsi muzakki: C = Co + b(Y – Z) atau C = Co + b(Y – Z – Nw)[1]
Nw = Nawaib (semacam pajak bagi para orang kaya yang bersifat temporer)[2]
Nw dikenakan kepada golongan masyarakat kaya (muzakki) karena perekonomian memburuk, dimana pendapatan pemerintah lainnya tidak mencukupi
Dengan pertimbangan bahwa golongan mustahik atau muzakki dapat saja berasal dari golongan non-muslim dan perkembangan perekonomian tidak begitu baik, maka variasi model konsumsi diatas dapat menjadi sebagai berikut:
Konsumsi mustahik muslim/non muslim: C = Za = Co
Dimana:
Za = Z + Kh + Jz atau Za = Z + Kh + Jz + Nw
Kh = Kharaj (semacam zakat pertanian bagi non muslim)
Jz = Jizyah (semacam zakat penghasilan/harta bagi non muslim)
Sementara itu konsumsi “muzakki” non muslim: C = Co + b(Y – Kh – Jz – Nw)
Dari model konsumsi mustahik dan muzakki diketahui bahwa MPC mustahik lebih besar dari MPC muzakki. Hal ini disebabkan oleh sensisitifitas konsumsi mustahik lebih besar akibat kenaikan pendapatan mereka dibandingkan dengan muzakki. Dari perspektif lain ini dijelaskan oleh alasan bahwa distribusi dana zakat (termasuk kharaj, jizyah dan nawaib) bagi mustahik jumlahnya harus sama dengan kebutuhan pokok mereka, sehingga secara sempurna pendapatan mereka dari dana tersebut secara sempurna (MPC mustahik cenderung sama dengan 1). Sementara besarnya MPC muzakki cenderung berada diantara 0 dan 1. Hal ini karena kebutuhan pokok mereka relatif telah terpenuhi. Dengan pemahaman ini sebenarnya dari model konsumsi muzakki, variabel “bYd” merepresentasikan kebutuhan sekunder, tersier atau bahkan luxury dari muzakki. Dengan demikian – menggunakan pemahaman ini – dapat saja dikatakan bahwa semakin beriman seorang individu atau sekelompok orang maka MPC individu atau kolektif akan semakin kecil mendekati 0, karena seorang yang beriman akan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok mereka saja. Namun jika MPC juga berarti segala preferensi konsumsi muzakki termasuk konsumsi untuk individu lain (motif beramal shaleh), maka mungkin sebaiknya MPC muzakki dibedakan menjadi 2 yaitu MPC untuk konsumsi diri sendiri (MPC riil) dan MPC untuk orang lain seperti infak - shadaqah (MPC amal shaleh). Dengan begitu MPC dapat dituliskan menjadi:
MPCmuzakki = MPCriil + MPCamal shaleh
Kadar keimanan seorang muzakki akan cenderung membentuk komposisi besar MPC-nya menjadi MPC riil < MPC amal shaleh. Atau dengan kata lain, semakin beriman seseorang (muzakki), maka MPC-nya akan didominasi oleh prilaku amal shaleh yang digambarkan oleh dominasi MPC amal shalehnya. Memasukkan amal shaleh dalam model konsumsi muzakki, maka secara spesifik model konsumsi muzakki menjadi sebagai berikut:
C = Co + b Yd
Jika b = MPCmuzakki; c = MPCriil; d = MPCamal shaleh; maka
C = Co + (c + d) Yd
C = Co + cYd + dYd
Model konsumsi muzakki diatas menunjukkan tiga komponen atau motif utama konsumsi seorang atau sekelompok muzakki, yaitu motif konsumsi kebutuhan pokok (Co), kebutuhan sekunder/tersier/luxury (cYd) dan kebutuhan untuk beramal shaleh (dYd).
Dari analisa ini terlihat bagaimana faktor keimanan mempengaruhi prilaku konsumsi seseorang khususnya muzakki. Sementara itu analisa yang sama tidak dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh keimanan terhadap prilaku konsumsi mustahik, karena asumsi mustahik tidak dapat beramal shaleh menggunakan pendapatannya yang bersumber dari zakat. Hal ini sekali lagi menunjukkan kesesuaian potensi prilaku manusia muzakki untuk dapat memaksimalkan diri beramal shaleh dengan anjuran Rasulullah SAW agar semua manusia berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, sehingga dapat memaksimalkan kemanfaatan dirinya bagi orang lain. Argumentasi ini tentu saja berasumsi bahwa besarnya amal shaleh dilakukan berdasarkan besarnya sumber daya ekonomi/harta/pendapatan yang dimiliki seseorang, sehingga kemudian disimpulkan bahwa kemampuan beramal shaleh muzakki lebih besar dari kemampuan beramal shaleh mustahik.
[1] Dalam persamaan ini tidak dimasukkan pajak dengan asumsi bahwa pajak yang dikenal dalam Islam adalah pajak-pajak yang memiliki ketentuannya secara syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, ushr, nawaib dan lain sebagainya. Secara detil pembahasan instrument – instrument ini akan dijelaskan dalam pembahasan kebijakan fiscal.
[2] Variabel-variabel ini akan dijelaskan secara detil pada bab-bab selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar