Senin, 28 September 2009

Konsep Pensiun dalam Islam (2)


Melanjutkan penjelasan saya tentang konsep pensiun sebelumnya, bahwa pensiun lebih terdefinisi pada kerja-kerja nafkah bukan kerja-kerja kebaikan yang memang sepatutnya menjadi kerja-kerja utama kehidupan manusia. Pensiun menjadi suatu keniscayaan karena ia dipaksa oleh kelaziman dalam kerja nafkah yang memang dibatasi oleh waktu.

Waktu membuat manusia digerogoti oleh usia, tenaga semakin berkurang, fikir semakin tidak tajam, daya ingat semakin luntur dan mobilitas semakin rendah. Kondisi ini membuat manusia harus mengalah untuk tidak selalu ada dalam pusaran dunia kerja (nafkah). Namun, yang disayangkan adalah kondisi sunset ini diseiringkan dengan kerja-kerja kebaikan (amal shaleh). Kerja amal shaleh pun juga semakin meredup. Semakin tua seseorang, mereka semakin konsentrasi dengan keluarganya, cucunya atau bahkan semakin asyik dengan semua urusan dirinya sendiri.

Yang menyedihkan adalah seiring dengan berhentinya mereka dari dunia kerja, mereka semakin pikun dan tidak lagi mengenal lingkungannya atau bahkan dirinya (pikun). Ketuaan akhirnya menjadi pembenaran bagi mayoritas manusia untuk menikmati dunia dengan segala fasilitasnya. Justifikasi ini sebagai kompensasi dari kesibukan yang telah mereka lakukan pada masa produktif, dimana waktu kerja menyita waktu mereka dengan kesibukan-kesibukan karir, bisnis dan lain-lain.

Dan masa tua akhirnya menjadi tempat yang pas untuk relaksasi secara total. Bahkan ada yang berpendapat bahwa masa tualah yang paling optimal untuk berkonsentrasi beribadah kepada Tuhan, karena waktu luang untuk Tuhan begitu lapang.

Konsep hidup seperti ini secara sadar atau tidak telah menjadi konsep banyak orang, baik ia muslim maupun tidak. Terlepas dari mana konsep ini bermula, saya berkeyakinan konsep ini akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kekeliruan hidup dan kehidupan. Konsep hidup ini sedikit-banyak memiliki kontribusi pada kemandulan ummat Islam saat ini. Konsep hidup seperti ini menjadi elemen penting bagi berkembangnya penyakin akhir zaman yaitu WAHN (cinta dunia dan takut mati).

Konsep hidup ini memang membuat banyak manusia semakin akrab dengan kemegahan dunia dan nilai-nilai hedonisme-nya. Kemegahan dan nilai-nilai hedonisme ini kemudian membentuk keyakinan, filosofi dan paradigma hidup manusia. Disamping itu (dikhawatirkan) keyakinan, filosofi dan paradigma seperti itu rentan terhadap godaan kemaksiatan, sehingga besar potensi kemaksiatan semakin menjadi kelaziman sehari-hari. Dan inilah yang membentuk dan membesarkan rasa ketakutan pada jiwa mereka terhadap kematian. Karena kematianlah yang akan menginterupsi kenyamanan, kemegahan dunia dalam bingkai kemaksiatan.

Dalam diskusi ekonomi Islam, pembahasan ini menjadi sangat krusial. Pembebasan manusia dari hiruk pikuk dunia dan fokus pada tujuan akhirat (ibadah) dengan kerja-kerja kebaikannya, merupakan hal yang mendasar agar aplikasi ekonomi Islam terjaga kemurniannya dan meningkat kualitasnya.

Kembali pada perbincangan konsep pensiun, maka konsep pensiun yang sejati adalah konsep pensiun yang hanya terbatas pada kerja-kerja mencari nafkah yang memang terbatasi oleh usia kerja. Namun kerja-kerja kebaikan sepatutnya tidak mengenal konsep pensiun. Boleh jadi momentum berhenti dari kerja nafkah menjadi saat untuk memaksimalkan kerja kebaikan pada tingkat akselerasi puncak sampai kematian menghentikannya.

Bagi mereka yang menganut konsep pensiun pada semua jenis kerja, sangat tidak mungkin mendapatkan kerja-kerja kebaikan pada tingkat kuantitas dan kualitas yang tinggi, mengingat permulaan kerja itu boleh jadi dilakukan baru setelah berhenti dari kerja nafkahnya.

Pada dasarnya kerja kebaikan diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama kerja kebaikan yang bersifat ibadah pada Tuhan dan yang kedua adalah kerja kebaikan berupa amal shaleh kepada sesama manusia atau makhluk hidup lainnya. Kedua kerja kebaikan ini idealnya telah dilatih dan kemudian konsisten dilaksanakan oleh pribadi muslim yang baik. Pelaksanaannya semakin meningkat baik kuantitas dan kualitas seiring dengan bertambahnya usia. Dan kemudian sampai pada puncaknya ketika individu muslim memasuki hari tuanya yang penuh dengan kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan, pengalaman dan keluangan waktu.

Menggunakan paradigma konvensional tentang pensiun yang tidak hanya meliputi kerja-kerja nafkah tetapi juga kerja lainnya, maka sangat tidak mungkin puncak kerja kebaikan akan sampai pada tingkat potensinya. Hal ini mengingat kerja-kerja kebaikan relatif “baru” akan dimulai begitu kerja nafkah mereka sudah mereda. Kita lihat kecenderungan ini telah nampak pada masyarakat pekerja kita saat ini. selepas pensiun dari kerja nafkahnya barulah mereka memulai untuk menekuni shalat, mulai belajar membaca Al Qur’an, mengakrabi do’a-do’a, mulai mengenal amal-amal shaleh. semua itu dilakukan dengan tertatih-tatih dengan akselerasi yang juga cenderung kekurangan energi.

Bagaimana mungkin mereka bisa mencapai kuantitas dan kualitas shalat yang optimal ketika mereka tidak terbiasa dengan ritual shalat dengan berbagai jenis dan kuantitasnya. Contoh sederhana saja shalat malam, bagaimana mungkin mereka akan mendapatkan kualitas yang tertinggi jika kebisaan dan kebiasaan mereka tidak lakukan sejak dulu-dulu. Begitu juga dengan amalan shaleh yang lain.

Pemahaman pada konsep pensiun yang salah telah membuat manusia muslim memiliki kualitas yang jauh dari potensi mereka. Oleh sebab itu, pemahaman yang benar, menyeluruh dan mendalam tentang konsep hidup Islam menjadi sangat krusial dimiliki oleh setiap individual Islam saat ini. Dan ini yang membuat saya memberikan perhatian lebih pada pembangunan akidah dan akhlak Islam, karena pengaruh dahsyatnya bukan hanya sangat berguna pada pengembangan ekonomi Islam, tetapi juga pada pembangunan semua aspek peradaban manusia; hukum, politik dan budaya.

Tidak ada komentar: