Senin, 21 Juni 2010

Definisi yang Membingungkan dalam Ekonomi


Sejak lama definisi pasar dan sector riil dalam ekonomi menjadi perhatian saya. Begitu juga semua definisi yang ada dalam ruang lingkup kedua elemen ekonomi tersebut, baik pelaku, mekanisme, infrastruktur atau bahkan kebijakan-kebijakannya. Perhatian ini tentu muncul dari pemahaman saya tentang ekonomi menggunakan worldview (pandang dunia) ekonomi Islam.

Pada saya, pasar dan sector riil menjadi dua elemen vital dalam ekonomi dan perlu diposisikan dengan tepat juga benar. Pasar menjadi jantung ekonomi, dimana ia menjadi sentral terjadinya distribusi sumber daya. Distribusi sumber daya menjadi fungsi utama ekonomi dan pasar sebagai media utamanya. Sementara sector riil atau sector usaha produktif ekonomi menjadi substansi atau esensi aktifitas ekonomi. Ekonomi menjadi tidak relevan jika ternyata aktifitasnya tidak memberikan output atau manfaat berupa produksi dan pemanfaatan barang dan jasa.

Pada kenyataannya definisi pasar dan sector riil dalam konteks ekonomi modern saat ini telah jauh bergeser. Dan menurut hemat saya, alasan ini dapat juga menjadi sebab mengapa ekonomi semakin kompleks dan susah untuk dimengerti, apalagi ingin dikendalikan. Perkembangan aktifitas ekonomi modern yang mengakomodasi transaksi-transaksi non-riil/non-produktif membuat kompleksitas ekonomi berikut kejelasan definisi elemen-elemen didalamnya semakin bertambah rumit.

Transaksi non-produktif menjadi karakteristik yang dominant dalam perekonomian modern. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan pasar keuangan yang telah meraksasa di dunia dalam kurun waktu 3 sampai 4 dekade terakhir. Transaksi non-produktif telah pula mengambil istilah pasar bagi tempat transaksi mereka, meskipun banyak yang mencibir, kalau pasar yang dimaksudkan itu hakikatnya adalah rumah-rumah judi yang maha besar.

Pasar dalam banyak literature, didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli. Penjual dan pembeli mengambil manfaat dari pertukaran jual-beli yang bertempat di pasar. Artinya pasar menjadi pertemuan dua pihak atau lebih yang saling membutuhkan barang/jasa yang masing-masing dimilikinya. Seorang penjual memiliki barang/jasa akan menukarkan barang yang dimilikinya dengan uang yang lebih dia butuhkan. Sementara pembeli menukarkan uangnya dengan barang/jasa yang lebih dibutuhkannya. Preferensi pada kebutuhan barang/jasa dan uang yang berbeda itulah yang membuat penjual dan pembeli saling bertukar manfaat atau bileh dibilang saling memberi manfaat.

Tetapi dipasar keuangan hakikat ini tidak terjadi. Karena hakikat pertukaran tidak terjadi, karena barang yang saling bertukar intinya hanya satu yaitu uang. Yang membuat orang saling bertukar uang ini adalah karena ada ekspektasi nilainya pada masa yang akan datang, baik sifatnya tetap maupun yang bersifat spekulatif. Dalam nature seperti ini maka tempat bertemu penjual dan pembeli uang menjadi tidak relevan disebut sebagai pasar, karena hakikatnya tempat itu bukanlah tempat mereka yang saling bertukar atau memberi manfaat. Kondisi akhir dari transaksi di sector itu memungkinkan salah satu pihak akan menanggung kerugian. Jika kondisi akhir para pihak yang bertransaksi ada yang rugi dan ada yang untung, idealnya tempat itu disebut sebagai tempat perjudian. Tidak heran seorang pakar ekonomi dunia menyebut wall street (lokasi pasar modal terbesar dunia yang terletak di New York) bukanlah pasar tetapi pusat judi terbesar dunia.

Lucunya lagi, pasar keuangan yang non-produktif itu mengambil istilah-istilah yang lazim dalam pasar produktif. Pelaku pasar keuangan di lantai-lantai spekulasi digelari sebagai investor. Dan saking besarnya pasar spekulasi ini dalam skala ekonomi nasional maupun global, akhirnya keinginan dan preferensi “investor” itu menyita perhatian pembuat kebijakan, pemimpin pemerintahan, pemegang kendali ekonomi. Demi kepentingan mereka para “investor” itu, ekonomi akhirnya memalingkan wajahnya dari hakikat sebenarnya. Ekonomi mengangkat investor pasar keuangan yang notabene sebagai penjudi menjadi pangeran-pangeran ekonomi. Padahal kalau mau jujur, seberapa besar atau tepatnya adakah kontribusi transaksi spekulasi itu terhadap perekonomian, pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran, penanggulangan kemiskinan.

Bagi saya mereka bukan hanya sebagai penjudi yang mengganggu ketenangan ekonomi untuk tumbuh, tetapi mereka lebih buruk dari itu, mereka maling-maling ekonomi. Tapi ironisnya mereka dipuja dan dipuji. Kepentingan mereka diperhatikan dan diproteksi. Preferensi mereka menjadi pedoman utama regulator, otoritas atau bahkan ekonomi. Lihat hasil perbuatan mereka terhadap ekonomi, jurang keuangan dan sector ekonomi produktif semakin menganga dan dalam, pengangguran tidak memiliki kesempatan memperoleh akses terhadap dana menganggur untuk dapat aktif berekonomi, gap miskin dan kaya tidak semakin membaik karena si kaya asik dalam dunia perjudian mereka, sementara para regulator dan otoritas tidak memiliki waktu untuk memperhatikan kelompok marginal ekonomi akibat waktu mereka habis meng-entertain para penjudi itu.

Lucunya meski formula pertumbuhan ekonomi tidak pernah mengakui bahwa aktifitas non produktif keuangan sebagai elemennya (investasi), tetap saja ekonomi menisbahkan gelar investor pada para penjudi itu. Sementara energi semua pelaku ekonomi, regulator dan otoritas habis dicurahkan dibidang yang tidak berguna ini. Sedangkan sector produktif seiring dengan membesarnya sector keuangan, semakin menjadi sector anak tiri yang terbelakang. Meskipun selalu disebut-sebut sebagai sector pahlawan bagi perekonomian ketika sector keuangan kolaps. Padahal gelar pahlawan bagi sector riil khususnya UMKM semakin hari semakin menguat manakala badai krisis keuangan kini telah menjadi musim dalam dunia cuaca perekonomian. Tetapi data dan fakta itu tidak kemudian membuat sadar para pemegang kendali simpul-simpul ekonomi untuk belajar dan mengambil pelajaran berupa perbaikan system dan bangunan ekonomi.

Kesimpang-siuran, kekacauan definisi dan persepsi ini ternyata ditengarai sedikit banyak membuat pengembangan bangunan ekonomi inkonsisten dengan hakikat sebenar dari ekonomi. Fungsi-fungsi ekonomi menjadi keluar dari mekanisme yang sebenarnya, parameter-parameter ekonomi menjadi tidak mencerminkan kondisi ekonomi, sementara logika-logika ekonomi cenderung menjadi tidak logis dan didalam ekonomi segalanya semakin tinggi ketidak menentuannya (uncertainty level). Ekonomi tak lebih sebagai dunia ramal yang transmisinya serupa dengan dunia paranormal. Ya ekonomi menjadi dunia judi yang proyeksi dan rasionalnya tidak beda dengan apa yang lazim dilakukan di meja-meja judi. Kekacauan system ini belum lagi melibatkan kekacauan prilaku ekonomi yang tak kalah amburadul rasionalitasnya.

Tulisan ini saya akui, muncul dari kekecewaan yang amat sangat dari kondisi ekonomi dan carut marut social ekonomi global dan nasional. Frustasi melihat data dan fakta orang miskin yang harus terlunta-lunta, sampai-sampai tumpah darah, hilang nyawa atau teraniaya dipermainkan oleh intimidasi hokum akibat ketidakmampuan ekonomi. Sementara orang-orang kaya stress hanya karena uangnya berkurang sekian rupiah, mobil mewahnya tertunda keluar oleh showroom, pembangunan apartemen mewahnya terhenti karena tidak menemukan marmer yang tepat. Halah!!!

Tidak ada komentar: