Pernah saya ungkapkan dalam beberapa tulisan sebelumnya, bahwa pada pengelolaan syariah (sharia governance), pihak-pihak terkait harus pula mampu menjawab kecenderungan pragmatis dari industri dimana otoritas fatwa pada semua tingkatan, baik yang bersifat sentralisasi maupun desentralisasi (baik untuk kasus Indonesia atau negara lain), melakukan fatwa shopping. Tindakan fatwa shopping adalah tindakan mengambil atau tepatnya memilih fatwa yang sesuai dengan kebutuhan industri dari berbagai dalil yang tersedia.
Isu fatwa shopping ini mengemuka ditengah kekecewaan banyak pakar ekonomi Islam melihat perkembangan dan kecenderungan aplikasi ekonomi Islam khususnya di sektor industri keuangan syariah. Produk-produk yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga keuangan syariah komersil ternyata mayoritas memiliki nature seperti produk konvensional. Sehingga pada implikasinya terlihat industri keuangan syariah berprilaku jauh dari cita-cita, semangat atau substansi ekonomi Islam.
Secara sederhana ekonomi Islam berkarakter ekonomi produktif, dan aplikasi keuangan syariah sepatutnya erat kaitannya dengan aktifitas ekonomi produktif (riil) tersebut. Namun dengan alasan sofistikasi dan rekayasa produk mengikut selera masyarakat pengguna (nasabah), maka keluarlah produk-produk yang esensinya mimicry dengan konvensional, tidak memiliki karakter orisinil keuangan syariah. terhadap kecenderungan ini, telah diidentifikasi salah satu penyebabnya adalah lemahnya mekanisme filter syariah dalam keluarnya produk-produk baru keuangan syariah.
Kelemahan pada proses mekanisme filter tersebut terefleksi pada kecenderungan praktek fatwa shopping yang ditengarai saat ini banyak dilakukan oleh otoritas fatwa. Karena berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal, otoritas fatwa memberikan keputusan fatwa atas produk keuangan syariah terkesan sekedar melayani keinginan praktisi industri. Padahal diharapkan otoritas fatwa berperan sebagai Guard of the System atau Guard of the Sharia. Salah satu tanda proses pengeluaran fatwa produk keuangan syariah dilakukan dengan cara fatwa shopping adalah fatwa berdasar pada pendapat yang sangat minoritas sekali.
Terlepas dari kelemahan pada faktor internal atau eksternal otoritas fatwa, fatwa shopping dimungkinkan terjadi karena beberapa hal seperti: (i) keberagaman pemikiran syariah yang begitu bervariasi sehingga dalil-dalil yang ada menyediakan semua pilihan hukum atas transaksi tertentu; (ii) sharia governance system belum begitu disiplin seperti belum ada pemisahan yang jelas antara otoritas fatwa dengan praktisi industry tidak ada standard tertentu atas kualitas anggota otoritas fatwa; (iii) belum tersedia prosedur yang standard dengan parameter yang jelas dan terukur menggunakan berbagai perspektif dalam pengambilan keputusan fatwa; (iv) dominannya hegemoni pasar (preferensi praktisi industri dan nasabah) atas perkembangan industri; (v) lemahnya institusi kontrol atau penyeimbang yang berperan memberikan evaluasi dan otokritik terhadap apa yang saat ini sedang berkembang dan dikembangkan.
Tindakan fatwa shopping ternyata bukan hanya menjadi kekhawatiran di tanah air tetapi juga telah menjadi isu dalam dunia internasional. Awareness terhadap fatwa shopping sebenarnya telah lama mengemuka seiring dengan perkembangan industri keuangan syariah yang sangat pesat tanpa mampu diimbangi oleh penyediaan SDM syariah yang memadai.
Dr. Sayd Farook, Head of Global Islamic Capital Market dari Thomson Reuters – UK, mengangkat isu ini dalam training tentang sharia governance. Dr. Farook mengungkapkan kegelisahannya melihat kelemahan yang ada di sharia governance saat ini. Fakta-fakta yang diungkapkan Dr. Farook begitu menarik, seperti Top 50 Scholars dunia mengokupasi sekitar 834 lembaga keuangan syariah internasional sebagai otoritas fatwanya, beberapa scholars menjadi sharia adviser (juga memiliki tugas mengeluarkan fatwa) di lebih 30 institusi, bahkan ada yang sampai lebih dari 80 institusi! Sampai-sampai di negera asalnya satu scholar dapat dikatakan menguasai sekitar 40% sampai 80% fatwa powers dari industri nasionalnya.
Sangat tidak sehat. Isu conflict of interest, profesionalisme, risiko konsentrasi pada satu pemikiran dan obyektifitas fatwa tentu wajar mengemuka dalam kondisi seperti itu. Bagaimana dengan Indonesia? PR yang paling utama saat ini dalam pembenahan sharia governance industri keuangan syariah Indonesia adalah pemisahan yang jelas antara pengawas syariah di lembaga keuangan syariah dengan otoritas fatwa. Cepat atau lambat hal ini menjadi syarat utama dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang sehat. Wallahu a’lam.
2 komentar:
sepakat pak...kalau rokok haram, freeport seharusnya lebih haram.
di tengah zaman seperti ini,,,faktor kepentingan menjadi buram, sehingga sulit menentukan apakah fatwa2 yang lahir tergolong ke dlm "Shoping Fatwa"..... semoga Allah Memberi petunjuk_Nya,,,,
Posting Komentar