Senin, 03 Oktober 2011

Dakwah dan Nafkah

Ada seorang bapak yang bertanya bagaimana hukumnya zakat dari penghasilan dia yang didapatkannya dari bekerja di bank konvensional. Saya tidak bisa tersenyum mendengar pertanyaan ini, seperti respon saya pada pertanyaan-pertanyaan lain pada satu seminar beberapa waktu lalu. Saya tahu pertanyaan ini begitu sederhananya, tetapi jawabannya membuat orang yang ditanya berpikir panjang agar jawaban tidak “mengakali” kebenaran sekaligus tidak mengecewakan penanya.

Terlebih lagi bekerja di bank (konvensional) menjadi pekerjaan mayoritas bankir di negeri ini, bahkan ada kesan dari masyarakat pekerjaan ini prestisius, bonafid dan “mentereng”. Mau tidak mau jawaban diatas tadi harus disikapi dengan sangat berhati-hati. Jawaban tidak sepatutnya mematikan semangat mencari kebenaran dan melaksanakan kebenaran, tetapi tidak pula mengaburkannya atau malah membingungkan penanya.

Dengan harap-harap Allah bantu saya dalam menemukan urutan kalimat yang baik, menemukan rangkaian kata yang juga tepat, saya menjawab seperti kurang lebih seperti ini; jika Bapak sepakat dengan saya bahwa bunga bank itu sama dengan riba, maka yang penting untuk dilakukan pertama kali tentu adalah memastikan dulu nafkah bebas dari riba baru kemudian kita membahas tentang zakat.

Ya sulit bagi saya membahas zakat diatas sesuatu yang tidak dibenarkan oleh agama. Menjadi tidak elok jika nafkah riba dianggap sebagai rizki yang patut dikeluarkan zakatnya. Zakat hanya melekat pada harta yang baik. Untuk harta yang tidak baik maka lebih utama memastikan harta itu menjadi baik lebih dahulu.

Memang ajakan-jakan dakwah tidak sesederhana mengucapkannya, praktek amalnya tentu akan lebih susah dan terkadang membingungkan. Itulah mengapa amal menjadi penyempurna ilmu. Jika pemilik ilmu menjadi pelaku amal maka berkumpullah kebaikan pada orang itu. berkumpullah padanya komitmen, karakter dan kemauan yang kuat.

Saya pernah diundang untuk memberikan ceramah subuh di sebuah masjid di kompleks perumahan karyawan sebuah bank konvensional. Tentu materi yang saya sampaikan tidak jauh dari materi tentang praktek ekonomi dan keuangan dalam Islam. Dan ketika sesi tanya jawab ada jamaah yang bertanya tentang riba, ketika itu seingat saya, saya mencoba jawab dengan bahasa semoderat dan sesantun mungkin. Akhirnya pembahasan cukup dalam pada topik riba. Padahal diawal saya dengan sengaja menghindari topik yang sensitif itu mengingat karakter jamaah.

Selepas acara respon jamaah begitu positif, banyak jamaah yang masih berkonsultasi dan pengurus masjid meminta komitmen saya untuk bersedia diundang kembali dan mengisi sesi-sesi pengajian rutin di masjid tersebut. Tetapi saya yakin akan banyak pemikiran yang harus dipertimbangkan pengurus, mengingat materi saya yang secara eksplisit “menggoyang” keabsahan kerja nafkah para jamaah di kompleks itu. Dengan segala kelemahan yang saya punya dan kelemahan yang jamaah juga punya, interaksi itu terjadi pasti atas kehendak Allah SWT. Dan setelah beberapa tahun setelah pengajian itu, saya tidak pernah mendapat undangan dari pengurus Masjid kompleks itu. semoga ada hikmah.

Tidak ada komentar: