Rabu, 19 Oktober 2011

Seri Global Crisis: OccupyWallstreet; we are the 99 per cent!

Komunitas anti kemapanan Kapitalisme menemukan momentum, gerakan sosial anti kesenjangan pun menemukan momentum, maka berkumpullah mereka dalam satu kampanye yang sama yaitu OccupyWallstreet, dengan slogan yang kini menjadi teriakan di jalan-jalan “we are the 99 per cent!”

Perlawanan terhadap kapitalisme mengalami diversifikasi bentuk. Dahulu perlawanannya berupa sentimen pemikiran terutama dari kalangan akademisi sosialis-marxist dan kritisi kualitatif dari para aktifis sosial-budaya, kini perlawanannya begitu definitif, tajam dan agresif, yaitu perlawanan jalanan. Perlawanan jenis ini paling ditakuti oleh pihak status quo pada sektor apapun. Perlawanan jalanan merupakan bentuk perlawanan damai yang telah terbukti efektifnya oleh sejarah di banyak peradaban.



Gerakan perlawanan terhadap kapitalisme yang populer saat ini adalah gerakan yang ada di bawah payung kampanye OccupyWallstreet. Gerakan ini memprotes corporate influence on democracy, a growing disparity in wealth, and the absence of legal repercussions behind the recent global financial crisis (lihat OccupyWallstreet.org). Gerakan ini dimulai oleh lembaga Adbusters, yaitu the Canadian-based group Adbusters Media Foundation. Mereka dikenal melalui iklan layanan masyarakat mereka mengenai anti-consumerist di majalah Adbusters. Gerakan ini dimulai di Zuccotti Park di Wall Street – New York. Dan sampai sekarang gerakan dengan jumlah yang mencapai ribuan orang terus memadati Zuccotti Park. Beruntung taman ini bukanlah properti publik melainkan property swasta, sehingga polisi tidak memiliki kewenangan mengusir demonstran dari tempat ini.

Inisiator gerakan ini mengakui bahwa gerakan ini terinspirasi oleh gerakan rakyat di timur tengah, yang biasa dikenal dengan istilah Arab Spring. Oleh sebab itu, disalah satu media maya, mereka menulis slogan “From Tahrir Square to Times Square”. Kedua gerakan menyusuhkan substansi yang sama, yaitu penolakan segala bentuk intimidasi, baik intimidasi politik maupun intimidasi ekonomi.

Mereka menyuarakan dzalimnya kalangan korporasi terhadap kehidupan mereka. Dengan kekuasaan uang yang mereka punya kemampuan mengontrol penuh kebijakan ekonomi publik, menentukan arah hukum dan politik, atau mempengaruhi secara signifikan jalannya demokrasi. Sehingga esensinya kekuatan pemerintah sebenarnya ada di tangan para CEO korporasi besar.

Oleh karena itu mereka juga muncul dengan slogan ikonik; “we are the 99 per cent”. Dengan slogan ini mereka yang ada di barisan ini ingin menyampaikan beberapa pesan krusial kepada masyarakat, kepada pemerintah dan utamanya kepada pihak korporasi besar yang mereka posisikan sebagai “public enemy number one”. Slogan ini menggambarkan bahwa mayoritas (99%) rakyat ternyata menikmati kue pendapatan yang sangat-sangat kecil sementara minoritas kaya (1%) menguasai kue pendapatan begitu besarnya (tahun 2007 mereka menguasai 23,5% dari total pendapatan US), sehingga ketimpangan atau kesenjangan ekonomi (khususnya Amerika)tergolong besar (lihat GINI Ratio).



Pesan mereka kepada masyarakat luas, bahwa merekalah yang mayoritas, merekalah yang sepatutnya berkuasa untuk menentukan nasib dan kebebasan mereka dalam ekonomi, merekalah sepatutnya menikmati kue pendapatan dengan porsi yang adil. Sementara kepada pemerintah mereka menuntut agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mayoritas rakyatnya melalui kebijakan-kebijakan yang lebih adil.

Sedangkan kepada korporasi besar khususnya lembaga keuangan, seruannya adalah mereka tidak bisa begitu saja mengabaikan rakyat dengan terus mencetak profit yang begitu tinggi mengandalkan limpahan uang yang mereka punya (generate profit out of nothing) dan menikmati suapan bailout dari pemerintah yang diambil dari pajak yang rakyat bayar untuk menopang keterpurukan perusahaan mereka akibat keserakahan yang mereka sendiri lakukan.

Disisi pemerintah, perkembangan ini semakin membuat runyam suasana. Alih-aling menjaga dan memelihara kepercayaan semua pihak terhadap kondisi keuangan dalam negeri, situasi saat ini malah men-downgrade kepercayaan publik baik domestik maupun internasional. Kondisi semakin kacau bukan hanya di episentrum pergerakan ini yaitu di Amerika Serikat, tetapi menular dan meluas di negara-negara lain, bukan hanya di Eropa tetapi juga hampir disambut diseluruh belahan benua. Sejak pertengahan Oktober 2011 ini pergerakan sejenis telah merebak di kota-kota utama dunia, seperti London, Birmingham, Auckland, Sydney, Hong Kong, Taipei, Tokyo, Paris, Madrid, Berlin, Hamburg, Leipzig, Frankfurt, Zurich,Rome.



Perhatikan komentar Perdana Menteri Yunani George Papandreou yang mendukung gerakan protes OccupyWallstreet, "We fight for changing the global economic system, like many anti-Wall Street citizens who rightly protest against the inequalities and injustices of the system."

Dibalik perkembangan situasi Amerika dan Eropa yang jauh dari kondisi membaik, mengintip juga potensi kekacauan yang lain, seperti social unrest dan kerusuhan anti migran. Beberapa tahun yang lalu tidak pernah terbayangkan potensi ini dapat terjadi di bumi negara-negara maju itu, tetapi kini, rasanya semua imajinasi menakutkan itu dapat terjadi kapan saja atau mungkin tinggal menunggu waktu.

Dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi; US lebih dari 9,1%, UK 7,8%, Prancis 9,6%, Yunani 12,9%, Italia 8,6%, Irlandia 12,6%, Portugal 11,2% dan Spanyol 20,4%, dan tingkat utang luar negeri dibandingkan dengan GDP (debt service ratio) mereka yang kini berjejer rapih mendekati angka rata-rata 100%, kecemasan pada meluasnya krisis utang menjadi krisis ekonomi dan krisis politik menjadi sangat-sangat mungkin. Masih ingat kerusuhan yang terjadi di London dan beberapa kota besar di Inggris yang baru lalu?



Ingat krisis keuangan kali ini episentrumnya bukan lagi ada di pasar (swasta) tetapi ada di pemerintah (utang pemerintah). Wajar jika pakar ekonomi manapun sedikit menahan nafas mencermati apa yang terjadi di daratan Eropa dan Amerika. Kegagalan di kedua raksasa ekonomi dunia ini tentu diyakini akan menyeret ekonomi global masuk dalam musim krisis yang sangat panjang.

Namun jika krisis ini sebagai biaya yang harus ditanggung oleh rakyat mereka untu mendapatkan sistem dan kehidupan yang lebih adil (lebih baik), mungkin mereka yang saat ini ada di jalan-jalan meneriakkan slogan-slogan perjuangan keadilan ekonomi di bawah bendera OccupyWallstreet tidak akan keberatan. (bersambung)

Tidak ada komentar: