Sudah terlalu banyak momentum yang mampu membuat ekonomi Indonesia berkembang lebih baik. Momentum itu muncul beruntun dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun ini. Seakan-akan momentum itu tidak ada habisnya memberikan privilege bagi Indonesia untuk maju, menyediakan fasilitas bagi Indonesia untuk mendapatkan semua kenyamanan ekonomi yang selama ini hanya sekedar menjadi potensi. Momentum-momentum itu memberikan jalan yang teramat lapang bagi Indonesia merealisasikan semua potensi ekonomi yang dimilikinya. Momentum untuk berubah itu disediakan sejak krisis multidimensi (ekonomi, politik dan hukum) pada tahun 1998 sampai dengan krisis utang Eropa – Amerika yang melesukan ekonomi global pada tahun 2011.
Nah, tak ada salahnya, kita cermati peluang-peluang apa saja yang telah disediakan oleh momentum-momentum itu. Momentum ketika krisis moneter 1998 memberikan “anugerah” bagi ekonomi Indonesia dengan berkembangnya sektor riil mikro-kecil ekonomi sekaligus menghambat menggelembungnya sektor moneter ke tingkat yang lebih membahayakan masa depan ekonomi nasional. Krisis monumental itu pada satu sisi memang men-downgrade taraf perekonomian negeri ini, tetapi boleh jadi pada sisi yang lain krisis itu mempersiapkan atau memperkuat pondasi ekonomi untuk membangun lebih cepat dan lebih tinggi.
Krisis 1998 itu mempertahankan karakter tradisional sektor keuangan Indonesia, dan ternyata itu sangat bermanfaat menambah daya tahan ekonomi tanah air dari kontaminasi krisis-krisis keuangan setelahnya, khususnya krisis keuangan 2008. Sektor riil yang menguat khususnya di sektor mikro kecil membuat ekonomi nasional tetap bergairah membangun pada tahun-tahun selanjutnya. Terlebih lagi diperkirakan rombongan PHK akibat banyaknya lembaga keuangan dan korporasi besar kolaps, berbondong-bondong berwiraswasta di dektor mikro-kecil. Maka terbangunlah sektor mikro-kecil Indonesia yang pelakunya lebih beredukasi baik (well educated players).
Selain transmisi perubahan murni ekonomi yang bisa dilihat dan diidentifikasi keuntungan-keuntungannya, namun akan sangat arogan jika tidak juga mengakui dukungan bagi ekonomi Indonesia yang berasal dari perubahan rezim politik tanah air. Karena memang “prestasi” monumental dari krisis moneter 1998 adalah runtuhnya rezim politik dictatorial yang telah berusia 32 tahun! Runtuhnya rezim politik itu berkorelasi pula dengan tumbuhnya atmosfer ekonomi Indonesia yang relative lebih sehat.
Momentum selanjutnya adalah ketika dunia politik Indonesia pada tahun 2004 mulai tertata secara mapan dengan platform baru yang bernama demokrasi. Lingkungan baru politik dengan pengalaman kelam rezim politik sebelumnya memberikan semangat baru untuk membenahi semua lini kehidupan berbangsa, termasuk ekonomi di dalamnya. Dengan kemapanan politik baru, budaya berekonomi (diharapkan) dijalankan secara lebih professional, bersih dan efisien. Dalam beberapa hal, ekonomi nasional memang mengalami perubahan, meski kanker korupsi, birokrasi kotor dan rumit serta infrastruktur yang miskin masih menjadi PR yang perlu terus diperbaiki.
Tahun 2008 momentum itu datang kembali, krisis keuangan global yang dimulai di industri keuangan Amerika dan menjalar ke Eropa yang kemudian men-downgrade kinerja ekonomi di banyak Negara di dunia, ternyata menjadi ajang pembuktian ketahanan ekonomi Indonesia. Ketika itu Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang perekonomiannya mampu tetap tumbuh positif. Bahkan tidak cukup hanya positif, tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh pada level yang cukup tinggi dibandingkan negara kawasan atau dunia sekalipun. Momentum ini memberikan Indonesia reputasi yang cukup baik di dunia internasional. Setidaknya Indonesia dikenal keunggulan ekonominya. Indonesia mulai banyak disebut-sebut secara positif di banyak forum-forum ekonomi internasional. Implikasinya peringkat credit rating Indonesia tentu bergerak membaik.
Dan yang mutakhir, momentum itu berupa krisis utang yang melanda Amerika dan Eropa sejak awal 2011. Meski krisis ini masih merupakan kelanjutan krisis keuangan di industri keuangan mereka tahun 2008, krisis kali ini berepisentrum berbeda dengan tahun 2008. Kali ini yang menjadi sumber masalah adalah utang pemerintah yang begitu besar, boleh jadi memang akibat jor-joran mem-back up lembaga-lembaga keuangan mereka yang harus ditolong dari kebangkrutan massif pada krisis lalu. Dan kini harga mahal harus ditanggung negara. Bahkan saat ini krisis ini semakin sensitive karena rakyat mulai sadar bahwa akibat prilaku utang Negara, maka “kenyamanan” rakyat terganggu akibat budget kesejahteraan untuk mereka (dari pajak-pajak yang juga mereka harus bayar) harus dimakan oleh keperluan bail-out institusi keuangan raksasa yang berada diujung tanduk kebangkrutan.
Tetapi diyakini sekali lagi kondisi ini kemungkinan besar tidak berpengaruh signifikan bagi perekonomian nasional, setidak-tidaknya dalam jangka pendek. Memang kondisinya sangat tidak pasti, dengan lemahnya kondisi keuangan Eropa dan Amerika berikut reputasi (rating) industri yang tidak menunjukkan perbaikan, diprediksikan para pemilik modal akan mengalihkan perhatiannya ke pasar emerging market (termasuk Indonesia di dalamnya). Namun diperkirakan juga, jika kondisi ini berlangsung relative lama, negara-negara Eropa dan Amerika akan mengambil kebijakan yang cenderung “memaksa” para pemodalnya menarik dana-dananya di dunia internasional untuk memperkuat likuiditas domestic mereka. Jika itu terjadi negara emerging market harus memastikan situasi itu tidak mengganggu perekonomian mereka.
Momentum demi momentum sepertinya selalu tergelar untuk Indonesia, tetapi sayang momentum itu tidak termanfaatkan secara maksimal. Momentum tadi tidak dimanfaatkan dengan baik untuk merubah kondisi ekonomi nasional secara signifikan. Atau kalaupun perubahan kearah positif itu mulai terjadi setidak-tidaknya Indonesia tidak mampu mengakselerasi lebih cepat perubahan itu. Padahal lambatnya berubah membutuhkan biaya yang tidak kalah banyak.
Pada sisi yang lain, alih-alih ingin berubah, ternyata dibeberapa urusan, masalah Indonesia menjadi semakin rumit dan runyam. Misalnya dengan atmosfer baru perpolitikan dan perekonomian Indonesia ternyata kita harus berhadapan dengan generasi-generasi baru (muda) koruptor-koruptor Indonesia. Pembangunan terhambat oleh munculnya petualang-petualang politik baru yang mencari makan di dunia politik, padahal dunia itu tersedia untuk para anak bangsa yang ikhlas mewakafkan dirinya untuk melayani rakyat. Semoga Tuhan tidak bosan, secepatnya Beliau memberikan momentum berikutnya, yang dapat menyapu bersih manusia-manusia seperti itu dari Indonesia. Atau setidaknya ada momentum yang mampu mengetuk hati mereka untuk sadar atas kesalahannya, dan kemudian bersemangat membangung negeri ini dan bangsanya.
Dari sisi pandang keinsyafan sebagai hamba Tuhan, tidak dapat dikesampingkan, bahwa momentum-momentum yang tersedia itu, hakikatnya adalah kasih saying Tuhan kepada bangsa ini, kehendak Tuhan agar bangsa ini mendapatkan kebaikan-kebaikan. Jika memang penyikapan Indonesia sebagai komunitas hamba Tuhan baik, boleh jadi secara bangsa kita dikehendaki oleh Tuhan untuk menjadi bangsa yang besar secara ekonomi. Tetapi harapannya besarnya ekonomi Indonesia tidak mengulang kebesaran-kebesaran ekonomi bangsa yang sudah-sudah di zaman modern ini. Tetapi besarnya ekonomi Indonesia memberikan sesuatu yang berbeda. Lebih kurang sesuatu yang berbeda itu adalah bentuk ekonomi yang lebih baik, tidak hanya fisik tetapi juga prilaku dan interaksi manusia di dalamnya. Ekonomi makmur yang ditopang oleh prilaku ekonomi yang luhur dari manusia-manusianya dan keadilan system ekonominya.
Mampukah Indonesia mewujudkan itu? Melihat momentum yang terus datang bertubi-tubi, sebenarnya pertanyaan yang tepat bukan lagi mampu atau tidak mampu, tetapi mau atau tidak mau. Oleh sebab itu, ini seruan kepada saya sendiri dan anda yang telah lama bermimpi wujudnya Indonesia yang makmur di penghujung zaman: jika kita tidak mampu mengajak mereka diluar sana untuk menjadi baik dan memperbaiki negeri ini, kita pastikan diri kitalah yang akan menjadi generasi pembawa dan pewujud kebaikan itu! Bismillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar