Memberdaya atau memperdaya ummat? Ya ini ungkapan yang sejauh ini saya rasa paling pas menggambarkan keresahan saya melihat perkembangan terakhir inovasi produk bank syariah. Produk gadai emas, commodity murabaha dan mungkin selanjutnya murabahah emas, membuat daftar masalah pengembangan perbankan syariah semakin panjang (atau mungkin dari perspektif lain ini sebuah keharusan dalam dinamika pengembangan industri).
Gadai emas secara produk memang cukup signifikan mendongkrak antusiasme masyarakat terhadap produk bank syariah. Tapi sayang aplikasi produk ini identik sekali dengan transaksi spekulasi, karena produk gadai emas sangat bergantung pada pergerakan harga emas yang melangit, nasabah hanya ingin mendapatkan untung bukan dari aktifitas produktif ekonomi tapi hanya dari kenaikan harga pasar dari emas.
Sementara commodity murabaha merupakan produk klasik yang selama ini memunculkan kontroversi di banyak negara. Karena produk ini substansinya hanyalah rekayasa untuk justifikasi transaksi kredit, dimana komoditi yang ditransaksikan hanya menjadi benchmark saja. Komoditi tersebut tidak menjadi objek transaksi. (Untung saja) Saat ini di Indonesia akad ini diisolasi hanya aktif dalam pasar uang untuk keperluan manajemen likuiditas lembaga keuangan (misalnya antar bank syariah).
Satu lagi yang mungkin akan segera muncul, produk murabaha emas. Produk ini bersandar pada Fatwa DSN no. 77 tahun 2010, yang awalnya fatwa tersebut memiliki semangat untuk menjustifikasi produk gadai emas. Tetapi mungkin karena begitu banyak sorotan akhirnya fatwa ini dikembalikan menjadi produk murabaha tradisional khusus untuk emas. Namun begitu, bukan berarti ia terlepas dari masalah kontroversi. Karena emas yang menjadi produk yang dimurabahahkan, tentu ketentuan pada produk ini jangan sampai membiarkan transaksi mengarah pada aktifitas spekulasi seperti produk gadai emas.
Perlu diingat, jika seseorang membeli emas dengan tangguh (murabahah) dengan motivasi menyimpan kekayaan (store of value) untuk keperluan konsumsi masa yang akan datang seperti sekolah anak atau naik haji. Khususnya untuk produk emas dalam bentuk batangan emas. Maka pada dasarnya produk ini substansinya bukanlah financing tetapi identik seperti deposito, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai financing, sebagai konsekwensinya tidak relevan dikelompokkan dan dihitung memperbesar FDR bank syariah, kecuali murabahah emas dalam bentuk perhiasan emas.
Sekali lagi perlu dipahami emas in nature adalah uang, sehingga ia tidak membutuhkan legalisasi secara hukum positif (legal tender) untuk menjadi uang, tetapi fungsinya akan sedikit terdistorsi ketika emas itu berubah fungsi menjadi perhiasan. Perhiasan emas didalamnya terdapat unsur preferensi, like and dislike yang mempengaruhi besarnya harga emas tersebut. Dan unsur itu mengurangi risiko dispekulasikan. Bentuk inilah yang harusnya diakomodasi dalam fatwa DSN No. 77 tahun 2010 ketika membahas apakah emas itu nuqud (uang) atau sil’ah (barang).
Memunculkan produk-produk seperti ini jangan hanya berdalih bahwa saat ini seperti inilah kebutuhan masyarakat. Bukankah industri ini muncul karena kebutuhan pada produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sekaligus norma dan moral Islam? Bukankah industri ini dikembangkan karena industri ini membawa stabilitas sistem akibat daya tahannya yang berasal dari transaksi-transaksi riil/produktif ekonomi? mengapa masyarakat yang awam itu tidak perlahan-lahan di edukasi? Mengapa upaya penjagaan kemanfaatan ekonomi industri ini selalu dituding sebagai usaha yang menghambat membesarnya industri ini? Jadi mohon maaf kalau saya secara pribadi akhirnya mempertanyakan hal ini; para pelaku keuangan syariah ini komitmennya bagaimana, mau memberdaya ummat atu hanya memperdaya ummat? Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar