Zakat sebagai pungutan yang bersifat wajib mungkin tidak begitu fleksibel untuk dijadikan satu kebijakan (fiscal) ekonomi. Profil zakat yang besar pungutan dan objeknya sudah cukup definitive ditentukan oleh syariat, membuat zakat tidak dapat “diutak-utik” mengikuti keinginan otoritas dalam suatu kebijakan untuk mempengaruhi dinamika ekonomi. Satu kebijakan fiskal ekonomi selalunya bersifat fleksibel, mudah disesuaikan dalam mempengaruhi prilaku pelaku ekonomi menuju satu kondisi tertentu ekonomi. Ketentuan zakat pada besaran pungutan (persentase atau rate zakat) sudah cukup jelas melekat pada jenis-jenis harta dan pendapatan, sementara objek zakat serta penerimanya juga jelas definisinya.
Namun ruang yang mungkin dapat dijadikan variable kebijakan oleh suatu otoritas melalui instrument ini adalah batasan tingkat harta minimal (nishab) yang terkena ketentuan pungutan zakat pada barang tertentu dan besarnya distribusi zakat pada masing-masing penerima zakat (mustahik). Otoritas memiliki ruang lebih banyak dalam menentukan batasan-batasan pada variable tersebut, mengingat syariat memang relative menyediakan beberapa ruang dimana penentuannya pada diskresi otoritas (negara). Kebijkaan ini dapat menjadi rujukan pemerintah dalam mengenakan rate untuk Kharaj dan Jizyah yang berfungsi seperti “zakat”-nya warga negara non-muslim. Bahkan untuk kharaj dan jizyah, pemerintah bukan hanya memiliki wewenang menetapkan nisbah harta wajib kharaj-jizyah tetapi juga memiliki wewenang dalam menentukan berapa besar rate pungutannya.
Berapa besar batas minimal harta (nisbah) yang terkena pungutan zakat tentu akan mempengaruhi prilaku ekonomi pemilik harta. Jika batas minimal itu ditinggikan maka akan mempersempit ruang pemilik harta untuk dapat melakukan aktifitas ekonomi. Sebaliknya jika batas minimal itu direndahkan tentu akan memberikan jumlah harta lebih besar untuk digunakan oleh pemilik harta (muzaki). Pengaruh kebijakaan ini terhadap prilaku konsumsi diperkirakan relative tidak begitu besar jika dibandingkan dengan pengaruhnya pada tingkat tabungan dan preferensi investasi komersil muzaki. Hal ini menjadi kondisi umum pada muzakki dimana prilaku konsumsi mereka biasanya tidak begitu sensitive (inelastic) terhadap penambahan dan pengurangan kekayaan. Di samping itu, kebijakan ini tentu akan mempengaruhi besarnya akumulasi zakat yang dikelola oleh otoritas atau besarnya dana yang diperuntukkan bagi mustahik. Dalam jumlah mustahik yang sedikit, kebijakan menaikkan nisbah dengan maksud mengurangi penerimaan/akumulasi zakat menyesuaikan jumlah mustahik yang ada, tentu akan meningkatkan ketersediaan harta bagi muzakki untuk tujuan-tujuan investasi.
Begitu juga ketika besaran distribusi zakat (termasuk kharaj dan jizyah dalam akumulasi yang dihimpun oleh pemerintah) pada masing-masing mustahik, penentuannya menjadi wewenang pemerintah, maka besarnya distribusi zakat dapat pula dijadikan instrument kebijakan (fiscal) oleh pemerintah. Besarnya istribusi zakat pada masing-masing mustahik yang dapat naik-turun mengikut diskresi pemerintah, tentu kebijakan pemerintah itu akan mempengaruhi volume konsumsi kelompok mustahik. Berbeda dengan muzakki, prilaku konsumsi mustahik begitu sensitive (elastic) dengan penambahan dan pengurangan harta mereka. Artinya meningkatnya jumlah distribusi zakat yang diterima oleh mustahik akan mendorong jumlah konsumsi dari kelompok ini. Sementara itu, pesan utama syariat dalam memberikan zakat kepada masing-masing mustahik adalah sebesar kebutuhan dasar mereka. Namun berapa besar tingkat kebutuhan dasar setiap individu tentu sangat dipengaruhi oleh taraf ekonomi masyarakat pada satu periode tertentu. Memperhatikan taraf ekonomi negara dan masyarakat termasuk jumlah mustahik serta jumlah akumulasi dana zakat yang dihimpun, otoritas atau negara dapat menaik-turunkan jumlah distribusi zakat ini.
Dalam masyarakat yang cukup baik tingkat perekonomiannya boleh jadi penerimaan atau akumulasi zakat meningkat, sehingga pemerintah memiliki peluang meningkatkan tingkat distribusi kepada masing-masing mustahik. Atau jika kondisi perekonomian tidak berubah, jika pemerintah bermaksud meningkatkan uang beredar atau mendorong tingkat konsumsi ekonomi, pemerintah dapat saja menambah tingkat distribusi kepada masing-masing mustahik dengan menggunakan harta negara yang lain (bukan hanya berasal dari dana zakat). Wallahu a’lam.
1 komentar:
Terima kasih untuk postingan ini. Sangat bermanfaat bagi kami yang sedang mengkaji mengenai zakat.
Di La Riba Jurnal Ekonomi Islam FIAI UII yang kami kelola juga terdapat sejumlah artikel tentang zakat, yaitu:
Zakat Profesi dan Upaya Menuju Kesejahteraan Sosial
Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten / Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi terhadap Implementasi Undang-Undang No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat)
Yuli Andriansyah Ekonomi Islam FIAI UII
Posting Komentar