Kamis, 23 September 2010

Kemiskinan yang Memelihara Kesadaran

Kemiskinan seperti apa yang mampu menjaga akal sehat? Kemiskinan bagaimana yang mampu memelihara kesadaran pada Tuhan? Pertanyaan ini menggoda, karena kemiskinan identik dengan keterdesakan, dan keterdesakan biasanya membuat manusianya sulit untuk berfikir jernih atau sekedar menjaga konsentrasi (pada apa saja), apalagi harus fokus pada kesadaran kebaikan dan ketuhanan. Nah inilah titik perhatian tulisan ini, yaitu spesialnya kondisi paradok ini jika wujud dalam sebuah pribadi, sesosok manusia, dimana manusia memiliki kecenderungan pada keduanya, yaitu kekhilafan dan kebaikan.

Memang harus ditegaskan terlebih dahulu, bahwa bukanlah kemiskinan yang menjadi kata kunci tetapi manusianya. Bagaimana manusia mampu membuat kemiskinan menjadi indah untuk dijalani. Atau bahkan menarik untuk dipilih sebagai jalan hidup, gaya hidup. Ya kemiskinan menjadi kesengajaan. Naïf memang kesannya kalimat-kalimat dalam tulisan ini. Tapi saya tidak ingin terjebak oleh kesan dan kelaziman kehidupan itu. Saya ingin menyampaikan sebuah keyakinan yang mampu memberikan warna hidup yang lebih baik, memberikan alternative gaya hidup lain yang mungkin lebih menentramkan, atau membantu meminimalkan (bahkan menghilangkan) kecemasan jika memang kemiskinan itu melekat pada kita tanpa kita harapkan.

Sekali lagi kata kunci bukanlah kemiskinan, sehingga tidak penting mendefinisikan seberapa jauh kemiskinan yang mampu menjaga kesadaran. Atau mengindentifikasi bentuk-bentuk kemiskinan yang baik. Atau batas minimum kemiskinan yang mampu menawarkan ketentraman. Kemiskinan tetaplah kemiskinan, kondisi dimana manusia kesulitan secara harta (konsep miskin secraa materi), kondisi keterbatasan. Oleh sebab itu yang menjadi penting adalah paradigma berfikir manusianya menyikapi kemiskinan tersebut. Dan paradigma berfikir manusia tentu sangat terkait dengan keyakinan-keyakinan pada Tuhan yang berkuasa memiskinkan atau mengkayakan manusia.

Manusia yang memiliki criteria seperti ini dan mampu menjadikan kemiskinan sebagai kondisi yang tidak kalah nikmat dari kondisi kaya adalah manusia yang shaleh. Manusia yang dekat dengan Tuhannya, manusia yang melakukan penghambaan pada Tuhan secara total dan menyeluruh. Manusia yang telah meletakkan penghambaan pada Tuhan sebagai perkara diatas perkara, yang harus dijunjung tinggi dan memuarakan semua urusan pada perkara penghambaan ini. Manusia seperti ini akan memasuki kemiskinan dengan keikhlasan, menjalaninya dengan kesabaran dan syukur tanpa henti, serta melewatinya dengan kesahajaan.

Pesan-pesan terpuji tentang kemuliaan yang melekat pada kemiskinan membuat manusia shaleh tidak mencemaskan kemiskinan, bahkan pada tingkat keshalehan tertentu, kemiskinan bahkan dipilih sebagai sebuah gaya hidup dan dinikmati sama lezatnya dengan kekayaan. Bahkan kelezatan kemiskinan mampu memabukkan manusia, sehingga mereka dengan sengaja dan sekuat tenaga menjaga agar kemiskinan itu selalu menjadi kondisi mereka.

Mari kita renungkan hakikat-hakikat kemiskinan yang ternyata di dalamnya penuh dengan kemuliaan jika disikapi dengan benar dan baik. Orang miskin hidupnya penuh dengan keterbatasan, tetapi keterbatasan itu hakikatnya adalah kemuliaan-kemuliaan. Jika kita dapatkan situasi lapar, bukankah puasa merupakan ibadah yang penuh dengan keberkahan. Jika tidak memiliki uang/harta, bukankah memperbanyak infak, sedekah menyediakan kehormatan berupa gerbang tersendiri menuju syurga. Jika tidak memiliki kuasa dan jabatan, bukankah menghindari kezaliman dan kesewenangan akan membuat kita tidak merugi pada hari pembalasan nanti.

Merenungkan hakikat-hakikat ini berikut hikmah-hikmahnya serta dilengkapi dengan keyakinan bahwa Tuhan saying sekali dengan kita, maka tentu takdir-takdir Tuhan yang hadir pada kita, khususnya dalam hal ini kemiskinan, tidak akan mencemaskan dan menggelisahkan kita. Kemiskinan tidak akan mengganggu, bahkan mungkin lebih menentramkan. Inilah kemiskinan yang mampu menjaga kesadaran.

Tidak ada komentar: